"Sayang kenapa ..., Cup,cup,cup ya." Ronald mengambil Bianca dari tangan Varga. Mencoba membujuk bayi mungil itu sambil berdiri.
"Aku telpon dokternya dulu," ujar Varga mengambil ponselnya dan mencari sebuah nama disana.
"Bianca baik-baik aja kan, Varga?" Mendengar ucapan Varga Nisa khawatir kalau-kalau cucunya itu ada masalah pada kesehatannya ditambah lagi Bianca tak juga berhenti menangis.
"Kata dokternya sih sehat, Ma." Jawab Varga, gerakannya gelisah kala orang yang ia hubungi belum juga menjawab.
Ele dan suaminya bergatian menggendong Bianca.
Aralia? Gadis itu masih diam dalam duduknya mengabaikan apa yang sedang terjadi di sana.
"Ara ...," Nisa menyentuh lengan Aralia yang sedari tadi membisu. Aralia terkesiap lalu mendongak melihat ibunya yang khawatir.
Merasa tak ada yang harus ia lakukan di sana Aralia berdiri ingin meninggalkan ruangan itu.
"Ara ke kamar dulu, Ma." Lirihnya, Nisa mengangguk mengiyakan tapi saat Aralia menginjak anak tangga langkahnya terhenti, seseorang memanggil namanya. Suara itu milik Ele.
Wanita yang masih terlihat cantik di usia tuanya, melangkah sambil menggendong Bianca mengghampiri Aralia.
"Kenapa kau tidak coba menggedongnya, sayang?" Tanyanya dengan lembut. Menyerahkan Bianca padanya.
Aralia tersenyum, berpikir jika mereka yang sudah berpengalaman tidak dapat menenangkan bayi ini, lalu bagaimana dengannya? Gadis manja berusia sembilan belas tahun itu sama sekali belum pernah menggedong bayi, cukup memandang dan menyetuh pipinya itulah yang ia lakukan.
Bianca masih saja menangis. Aralia ingin menolak tapi wanita itu masih berharap. Ragu-ragu Aralia mengulurkan tangan dan Ele menyerahkan Bianca.
Ini pengalaman pertamanya, Aralia tersenyum lalu mencoba menimang layaknya seorang Ibu pada bayinya. Perlahan bayi itu mengecilkan suaranya dan tak lama kemudian Bianca diam memandangi Aralia dengan tatapan kosong.
"Aku telpon lagi nanti ya ...," kata Varga saat melihat Aralia menimang bayinya dan yang paling mengejutkan bagi mereka adalah Bianca diam seolah merasa nyaman.
"Sayang ..., " guman Aralia lembut.
Ele dan yang lain merasa lega sekaligus cemburu, Bianca berhasil membuat mereka kebingungan.
"Kau memang pantas jadi ibunya," ujar Ele menatap Aralia. Mendengar itu ekpresinya berubah masam, ia memalingkan wajah agar tak terlihat wanita itu.
Varga menarik napas, melihat perubahan raut Aralia seperti tidak senang. Ia menggigit bibir sambil meremas ponsel yang ada pada tangannya.
"Sus ikut aku ke kamar,"
Suster yang masih berdiri di samping Varga, segera mengiyakan lewat anggukan kepalanya. Ia mengikuti Aralia dari belakang.
"Tidak masalah jika mereka menikah, Besan bujuklah Aralia demi cucu kita." Kata Ele setelah Aralia ke kamarnya.
______________________________________________
"Menikah?" Ilir sontak kanget mendengar pernyataan temannya itu, saat ini mereka sedang duduk di anak tangga kampus lantai tiga tempat mereka berkuliah.
Aralia hanya mengangguk, menatap Ilir dengan malas.
"Serius?" Ilir bertanya dengan nada serius memastikan.
"Mmm ...," Jawab Aralia dengan nada tidak enak.
Ilir terkekeh mencubit pipi temannya itu hingga Aralia mendengus kesal.
"Emang kamu punya pacar?" Aralia menggelengkan kepala.
Mendengar itu Ilir makin mengeraskan volume tawanya.
"Terus kamu nikah sama siapa?"
"Ipar aku."
"Apa?" Kali ini Ilir benar-benar terkejut, suaranya yang keras menjadi pusat perhatian yang juga berada di sana. Baginya ini adalah kabar baru.
Ilir melihat raut muka Aralia sedih, sejak tiga minggu ini temannya itu lebih banyak diam. Lingkaran matanya hitam dan juga tak ada semangat dalam dirinya. Ilir dan temannya yang lain mengerti mengingat duka masih menyelimutinya.
Tapi menikah? Ilir dapat merasakan bagaimana sedihnya Aralia.
"Sorry, aku tidak tahu harus berkomentar apa? Tapi ini bukan ide kakak iparmu kan?" Tanya Ilir.
Aralia menarik napas, lalu menggeleng.
"Amanah," katanya pelan.
"What? amanah siapa? sahut Ilir dengan segala rasa penasarannya.
"kak Rena,"
"Oh my ..., jadi ini kakakmu yang minta?"
"Di akhir hidupnya."
"Terus bagaimana dengan kakak iparmu? Setuju?"
"Setujulah, kalau dia tidak setuju dia tidak akan cerita sama kedua orang tuanya masalah keinginan almarhum istrinya."
Aralia kembali menarik napas, bangun berlahan menurin anak tangga dan Ilir mengikutinya dengan perasaan prihatin.
Di Bank
Sebagai manager di sebuah Bank swasta di negeri ini, Varga berusaha semaksimal mungkin agar tidak membuat kesalahan pada pekerjaannya.
Dia berusaha fokus tapi sayangnya usahanya sia-sia saat mengingat bagaimana tatapan Aralia padanya dua hari lampau. Tatapan itu penuh kemarahan bercampur sedih. Sungguh membuat Varga tidak enak hati telah menyeret adik iparnya itu masuk kedalam kehidupannya.
Varga, menghentikan tangannya yang menari di atas laptopnya. Menarik napas berat melihat Photo Rena bersamanya masih tertata rapi di meja kerjanya.
Sayang, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Diambilnya photo itu dan tanpa terasa air matanya menitik.
Dua hari yang lalu saat Varga berkunjung kerumah mertuanya, ia menitipkan sebuah pertanyaan bagi Aralia, sorenya sebelum kembali pulang. Mertuanya mengajaknya berbicara di kamar yang biasa mereka tempati kala berkunjung kerumah itu.
"Varga, kau nyakin akan menunaikan keinginan almarhum istrimu?"
"Jika Tuhan mengizinkanya, Ma." ucap Varga nyakin.
"Amin semoga Tuhan memberi izin, mama akan mendukung apapun itu keputusan kalian, dan mama minta bantu Ara membuat keputusan ya, Nak. "
Varga menipiskan bibir. Hatinya perih Mengingat tatapan Aralia yang saat ini terngiang dalam pikirannya.
Maafkan aku sayang, sepertinya keinginanmu tidak akan terpenuhi.
meletakkan kembali photo itu di atas meja dengan perasaan sedih.
Menyerah?
______________________________________________
Aralia berjalan melewati kamar Ibunya di sore hari saat ia pulang kuliah. Perlahan kakinya melangkah dan terhenti saat hendak membuka pintu kamarnya. Samar-samar ia mendengar suara tangisan.
Suara itu berasal dari kamar Nisa. Wanita itu sudah pasti menangis, merindukan Rena.
Aralia, menghela napas membuka pintu kamarnya pelan, melepaskan tas yang ada di pundakkan. Duduk di tepi ranjang melihat photonya bersama Rena.
"Kau berhasil mengacaukan segalanya kak?" Gumamnya, duduk terdiam membawa pikirannya kembali pada perbincangannya dengan Nisa ibunya.
"Kamu sudah ada jawaban, mengenai pertanyaan kakak iparmu, sayang?"
Aralia terdiam, ia memilih memainkan ponselnya dan sengaja mengabaikan pertanyaan Ibunya.
"Ra ...?" Aralia menggeleng tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel itu.
"Berdoa ya sayang, minta sama Tuhan petunjuk." ujar Nisa dengan lembut, menarik putrinya itu dalam pelukannya yang hangat.
"Ma ...,"
"Mmm,"
"Kenapa kakak meminta hal seperti itu pada Ara?"
Nisa berlahan melepas pelukannya, ia melihat putrinya itu dengan bongkahan air mata yang siap lepas.
"Karena dia nyakin kau bisa melakukannya."
"Apa mama setuju dengan keinginan kakak?
Hening sejenak.
Nisa mengalihkan tatapannya ke arah lain. Andai Aralia tahu, di dalam dukanya Nisa bukan hanya memikirkan kepergian Rena yang begitu mendadak, sebagian tangisnya untuk Aralia dan dalam doanya ia meminta agar sang maha kuasa memberi jalan yang terbaik untuk putrinya itu.
"Sayang, kau sudah mengenal Varga, dia pria yang sopan baik dan pengertian. Bukan hany—,"
"Ara tanya mama setuju?" Aralia menyela, satu satu jawaban yang ingin ia dengar adalah kata 'tidak' dari ibunya.
Nisa mengangguk, terdengar tarikan napas panjang dari Aralia, sedih.
"Tapi kembali pada kamu, Ra. Semua keputusan ada ditanganmu." Kata Nisa lembut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Asmawatikadri Wati
Yang sabar Ra, Karena Tuhan gak akan pernah meleset dalam menentukan takdir kehidupan umatnya
2022-09-05
0
Asmawatikadri Wati
Yang sabar Ra, Karena Tuhan gak akan pernah meleset dalam menentukan takdir kehidupan umatnya
2022-09-05
0
Yeni Dwi Astuti
critanya menguras airmata ini kak😭😭
2021-03-27
0