Jerat Cinta Bocah Tengil
.
🌲🌲🌲🌲🌲
"Jangan lihatin saya seperti itu. Saya sudah punya istri!"
"Kan bisa cerai." Aku melipat kedua tangan di dada. Menantang Om tampan di depanku dengan tatapan genit.
"Astaghfirullah! Kamu mau jadi pelakor?" Om Gibran melayangkan tatapan sinis ke arahku saat aku mengusulkannya cerai.
"Ya, enggak. Makanya Om cerai dulu. Setelah itu baru kita nikah." Sederet gigi putih nan rapih kutunjukan padanya. Silau gak tuh!
"Sekolah yang bener. Masih bocah sudah mikirin nikah." Dia masih dengan tatapan sengitnya.
"Aku udah SMA, Om. bukan bocah lagi." sanggahku tak mau kalah.
"Ya tetap saja kamu masih anak sekolah."
"Om beneran gak nafsu lihat aku gitu?" tawarku bak gadis murahan. Aku emang gak bisa mahal sama Om-Om bule satu ini. No bully, yah! Kalo liat orangnya, kalian juga pasti demen.
"Dada rata, pantat tepos gitu gak ada nafsu-nafsunya." ucapnya sambil memindai tubuh ini dari atas sampai bawah. Modus itu. Bilang aja pengen lihatin lebih lama gitu! Yekan?
"Inikan luarnya. Beda lagi kalau dibuka. Mau lihat?" Aku pura-pura hendak membuka satu persatu kancing bajuku. Nggak beneran ya guys, ya. Aku gak sej4lang itu kok. Haha.
"Gak. Makasih! Saya sudah punya di rumah." sentaknya sembari ngeloyor pergi. Meninggalkan aku seorang diri bersama tukang cilor yang menatapku dengan tatapan aneh. Apa dia naksir, yah?
"Gak mau nambah?" Aku sedikit berteriak agar yang dituju mendengar suara merdu ini. Lelaki bertubuh kekar itu tampak tak menghiraukan ucapanku dan malah masuk ke mobilnya.
Apakah di sana ada istrinya? Ah tidak mungkin. Kalo ikut kan, pasti turun.
"Neng, ini pake saos, nggak?" Suara Babang cilor berhasil mengalihkan pandanganku dari mobil putih yang membawa lelaki tampan pencuri hatiku.
"Nggak usah! Berapa?" tanyaku seraya merebut seplastik cilor dari genggaman si Abang. Keknya si Abang sulit amat buat pisahan ama tuh cilor. Sampe erat gitu pegangnya.
"Goceng."
"Nih, makasih!" Kuserahkan uang kertas berwarna coklat pada si Babang cilor.
"Busyet!" ucapnya saat aku berlalu pergi sambil mengibaskan rambut cetarku kewajahnya. Dia pasti tersepona oleh harumnya rambutku ini. Moga aja kutunya kagak terbang ke dagangannya. Bisa kabur tuh para pelanggan.
***
"Hi, guys!" seruku ala-ala yutuber yang selalu kutonton di ponsel saat gabut melanda.
"Lama amat, lu. Beli jajanan apa semedi?"
"Salah dua-duanya. Ayo tebak lagi." Kujatuhkan pantat ini di tengah-tengah sekumpulan manusia yang sedang mengerjakan tugas sekolah mereka.
"Njir! Malah ngajak tebakan dia."
"Paling juga dia ketemu sama Om bule incarannya."
"Benar. Aakh! Seratus buat Siti." Aku bergerak-gerak bak cacing dirubung semut sambil mengacungkan jari jempolku tepat di depan wajah hitam Siti. Yaiya. Karena yang putih itu cuma Bang Agust.
"Woy, rusak nih buku orang!" Rani, sipaling bertubuh bongsor itu menarik-narik buku yang sengaja kududuki. Dia terlihat menekuk wajahnya karena bukunya lecek sempurna oleh ulahku. Itulah resiko punya teman bar-bar sepertiku.
"Hehe, sori." kataku sambil merubah posisi duduk jadi lebih alim.
Sepulang sekolah, aku memang tak langsung pulang ke rumah karena harus mengerjakan tugas kelompok di rumah Siti. Bukan kelompok sih, sebenernya. Kayak kita di sekolah mengadakan tour, nah terus oleh guru bahasa Indonesia kita disuruh merangkum cerita hasil dari tour tersebut. Gitu guys. Faham lah, yah.
Kukeluarkan kertas polio beserta pena dari dalam tas. Mulai menulis puisi untuk kusampaikan pada Om Gibran. Lha?
Yang bener, aku menulis sebuah rangkuman tour yang lusa lalu aku ikuti. Namun, Baru saja tangan ini menulis beberapa kata, otaku sudah nge-blank. Jujur, aku tidak bisa urusan rangkum merangkum seperti ini kalau bukan tentang cinta.
Aku menempelkan siku tanganku di lantai. Menopang dagu sambil berkhayal hidup bahagia menikah dengan cowok baik, tampan dan tajir seperti Om Gibran.
"Nada!"
"Aw!" pekikku seraya mengusap jidat yang terasa sakit. Sebuah lemparan penggaris dari seorang teman luck-nut berhasil menggores jidatku dan membuyarkan semua lamunan indah itu.
Kulayangkan tatapan tajam pada si pelaku. Bukannya takut, dia malah balik menatapku tajam dengan kedua tangan berada di pinggang. Persis seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya.
"Kayaknya bentar lagi rangkumanku selesai,"
Ke tiga orang itu mengangkat dagunya seraya mencondongkan badan. Mengintai dan memastikan apa yang aku katakan itu benar atau bohong.
Sari melengkungkan sudut bibirnya ke bawah sambil berujar. "Kertas masih kosong gitu bilang bentar lagi selesai? Ck!" Dia menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan ke kiri dan ke be--
"Hmpt!" Kulihat Siti membekap mulutnya sendiri menahan tawa. Mengejek. Sialan tuh, bocah! Belum tau saja dia.
"Semua sudah di luar kepala. Jadi aku tinggal menuangkannya saja." Dengan pede-nya aku berkata begitu.
Lalu kuambil kertas polio berganjal buku yang tergeletak di lantai. Kemudian kembali menulis dengan paha yang kujadikan meja.
***
Akhirnya aku bisa menyelesaikan tugas sekolahku setelah hampir 3 jam lamanya memutar otak.
Sebelum pulang, kusempatkan diri ini untuk berjalan-jalan sebentar mencari jajanan.
Jam lima sore aku sudah ada di depan rumah. Sebelum benar-benar masuk, kupandangi bangunan minimalis bercat putih yang berada di sebelah rumahku ini. Rumah Om Gibran.
Kami tetanggaan. Rumahku dan rumahnya hanya tersekat pohon mangga.
Ada suara teriakan dari sana yang cukup menyita perhatianku.
"Sekali lagi kamu melangkah, jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" Suara Om Gibran menggelegar menusuk hati ini.
Sepertinya lelaki itu sedang marah sama istrinya. Lho, kok tahu? Karena mereka hampir setiap hari selalu ribut. Dan karena itu jugalah yang membuatku nekat untuk mendekati Om bule tersebut.
Dari gosip yang beredar. Mbak Nilam, istri dari Om Gibran itu tidak mau mengandung dan melahirkan hanya karena takut badannya rusak karena perempuan modis itu bekerja sebagai seorang model yang lumayan terkenal.
Padahal Om Gibran pengen banget punya anak. Wajar, mereka menikah sudah hampir tujuh tahun. Aku ingat saat itu aku masih esdeh kelas enam.
"Masa bodo. Aku nggak peduli!"
Brak!
Astagfirullah! Aku terlonjak kaget mendengar Mbak Nilam menutup pintu mobilnya dengan kasar. Tak menunggu waktu lama, mobil menghilang dari pandangan.
Berniat ingin melihat ekspresi apa yang ditunjukan Om Gibran, aku melangkah lebih dekat.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan ..
Meow!
Apes!
Telapak kaki kiriku menginjak ekor Anabul, kucing persia putih kesayanganku yang sudah kurawat sedari kecil. Membuat hewan itu mengeong mengeluarkan suaranya berkali-kali.
Anabul, lu kenapa ada di luar sih! Bukannya di dalam jaga lilin, eh jaga rumah. Malah keluyuran gak jelas di depan pager.
Lelaki berkemeja putih polos itu menengok ke arahku dengan tatapan elangnya. Kemudian berlalu masuk setelah melihatku menampakkan senyum termanisku.
.
happy reading😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Eva Nietha✌🏻
Hai Tohir
2023-12-04
0
Bluesky_
🔥
2023-09-30
1
Mita Moy
🔥🔥
2023-09-24
1