.
🥀🥀🥀🥀🥀
.
Sejak saat itu-- malam saat aku sengaja mencuri dengar percakapan kedua orang tuaku kala aku masih dirawat di rumah sakit, aku tak lagi berani mendekati Om Gibran. Meski aku sudah tahu fakta yang sebenarnya bahwa kini dia benar-benar telah sendiri. Alias menduda.
Dari info yang kudapat, Om Gibran menjatuhkan talak pada Mbak Nilam karena istrinya itu tertangkap basah sedang 'bermain' dengan laki-laki lain. Konon katanya juga, hubungan perselingkuhan Mbak Nilam sudah terjalin cukup lama sekitar dua tahun. Hal itu membuat Om Gibran tak segan menjatuhkan talak tiga sekaligus pada Mbak Nilam. Karir wanita itu juga sempat hancur dan sekarang entah bagaimana.
Bapak menegaskan bahwa aku tidak boleh mendekati duda tampan tersebut.
"Bapak mohon sama kamu, Nak. Jauhi Pak Gibran. Masih banyak laki-laki baik dan tampan yang masih sendiri di luar sana," kata Bapak waktu itu saat aku baru saja keluar dari rumah sakit dan bersiap hendak pulang.
"Nada! Pagi-pagi bukannya sarapan malah ngelamun." Ibu berdecak dan berhasil membuyarkan lamunanku pagi ini.
"Bu, Nada bosen lah di rumah seharian nggak ngapa-ngapain." sahutku seraya terus menggambar pola-pola abstrak di tanah menggunakan kayu. Sementara tangan kiri kugunakan menyangga pipi.
"Loh, emangnya kamu mau apa. Ibu takut kamu masih lemes kalau disuruh ikut Bapak ke kebun." Ibu mulai mengerjakan pekerjaannya menejemur pakaian.
"Bapak lagi panen jagung, yah, Bu?"
Selain jadi pegawai di pabrik beras, Bapak juga mengelola kebun yang setiap tahunnya hampir selalu tiga kali panen. Katanya lumayan buat tambah-tambah penghasilan. Kebun itu Bapak dapat dari warisan nenek dari pihak Bapak.
Kebun yang Bapak kelola itu tidak menetap pada satu buah. Misal, tahun ini panen jagung, tahun berikutnya Bapak ganti dengan nanem semangka, melon, timun suri atau yang lainnya. Biar nggak itu-itu aja.
"Iya. Tapi kamu nggak usah ke sana. Bantuin Ibu aja yuk, di belakang."
"Bantuin apa?"
***
"Yaelah, Bu. Kirain bantuin apaan." Aku menggerutu sambil terus mencabuti bayam yang tumbuh subur di belakang rumah.
Bukan cuma ada bayam. Tomat, cabe, tanaman katu, jahe, bawang merah serta berbagai jenis bunga tertanam indah di kebun mini Ibu. Beliau emang seneng banget nanem-nanem gitu. Beda denganku yang malesnya minta ampun. Boro-boro rawat taneman, masak aja jarang.
"Sekalian petik cabe sama tomat juga, yah. Stok di kulkas sudah pada habis."
"Iya," sahutku malas.
Aku yang nggak suka beginian berfikir gimana caranya biar bisa kabur dari sini. Kutengok, Ibu lagi mengolah ikan gabus yang dibeli dari tetangga. Kira-kira ngeh nggak, yah, kalo aku lari. Atau jalan ngendap-ngendap aja biar nggak ketahuan.
Baru saja kaki ini melangkah saat kudengar Ibu bersuara lagi.
"Kalau anak gadis itu bagusnya di rumah. Bebenah, bantuin Ibu, atau nderes. Jangan suka keluyuran."
Aku hanya manggut-manggut. Oke, kutarik lagi kaki yang sempat melebar. Nunggu Ibu kembali lengah.
"Kamu sudah petik semua belum bahan-bahan tadi yang Ibu minta?" Kayaknya Ibu mengerti dengan kegelisahanku.
Aku diam saja. Melihat aku yang tak berkutik sedikitpun, Ibu menghampiri.
"Ya ampun! Masih metik bayem aja. Kamu metiknya gimana? Dari tadi kagak selesai-selesai." seloroh Ibu seraya melihat keranjang berisi sayur yang kupegang.
Sejenak aku menahan nafas karena bau amis dari tangan Ibu yang dipenuhi sisik dan darah ikan. Mau tutup hidung takut dikira nyindir. Auto kena semprot nanti.
"Ibu sampe dah selesai ngolah ikan. Kamu ngerjain satu aja belum juga beres. Nada ... Nada," imbuhnya kemudian sambil geleng-geleng kepala.
"Hehe." Aku nyengir kuda.
"Malah cengengesan gitu."
Sampai suara ucapan salam berhasil mengalihkan pandangan kami.
"Wa'alaikumussalam," jawabku dan Ibu hampir berbarengan.
Ibu dan aku menengok ke belakang. Tidak ada orang. Ya, iyalah. Kami sedang berada di belakang. Dan pasti tamu itu dari depan. Dari suaranya sih, aku kayak kenal. Nggak asing di telinga. Semoga mereka menyelamatkanku dari kebosanan ini.
"Samperin, gih. Ibu mau cuci ikan dulu," suruh Ibu. Dia membawa ikan yang tadi di olahnya masuk ke dalam.
Melangkah ke saluran air, aku mencuci tangan dan kakiku sebelum masuk ke dalam menemui tamu.
Sudah kuduga, pasti mereka.
"Nada, kamu udah baikan?" Pertanyaan monoton dari Rani saat kubuka pintu depan.
"Hai. Gimana, udah bisa loncat-loncat, kan? Atau ada perkembangan lain?" seloroh Siti yang terlihat girang entah karena apa.
Sableng! Dikira aku bayi yang sedang dalam masa pertumbuhan apa. Sementara Sari mengajak kita duduk di teras sekedar ngobrol-ngobrol.
***
Ternyata kedatangan Siti, Sari dan Rani tak lain akan mengajakku ke Mall. Katanya mau ditraktir Sari. Dan aku berhasil keluar setelah bujuk rayu kulakukan pada Ibu. Ya kali wekeend cuma ngedekem di rumah.
"Lu beneran mau traktir kita?" tanyaku memastikan. Takutnya sudah pilih-pilih mau beli malah nggak ada yang bayar. Kan malu.
"Bener, lah. Anggap aja buat ngerayain kesembuhan lu." sahut Sari sambil fokus mengemudi mobilnya.
Dia emang sudah mahir nyetir mobil semenjak kelas dua SMA. Dan asal kalian tahu saja. Mobil merah yang sedang kami tumpangi ini adalah hadiah ulang tahun Sari dari Papanya. Enak yah, punya temen baik dari orang kaya. Kecipratan hepi-hepinya gitu.
Kini kita sudah sampai di halaman Mall terbesar di kota kami. Sambil menunggu Sari memarkirkan mobil, Rani, dan Siti menunggu di depan pintu masuk. Katanya mau melihat-lihat seramai apa di dalam sana. Norak bet, yak.
Sedangkan aku memilih berdiri mengamati betapa besar bangunan di depanku ini. Memikirkan bagaimana cara agar bisa menikah dengan anak pemiliknya eh?
"Yu, guys!" ajak Sari kemudian setelah mobil terparkir dengan sempurna.
Kami memasuki area Mall. Keliling-keliling, sesekali mampir di tempat penjualan baju. Pilah pilih, bagus, lihat harga, ternyata mehong dan nggak jadi beli, deh. Gitu aja terus sampai dengkul berasa kaya tales Bogor.
Meski ditraktir, kita bertiga juga harus tau diri.
Tak terasa kita hampir dua jam berkiling dan belum dapat apa-apa. Jujur aku ragu mau beli di tempat seperti ini. Mahal-mahal. Rata-rata harga satu baju bisa tiga kali lipat dari harga sweater yang kupakai saat ini. Ya ampun, mending duitnya buat bisnis seblak aja nggak, sih?
"Kalian belum nemu juga baju atau barang yang kalian suka?" Sari bertanya sambil menatap kita bertiga satu persatu.
"Lu traktir kita bertiga di tempat lain aja, deh." Siti menjeda ucapannya dan mendekat ke arah Sari. "Di sini mahal-mahal," sambungnya dengan suara tertahan.
"Iya, Sar. Kita beli di luar aja. Cari yang murah-murah." sahutku setuju.
"Iya, bener. Kenapa juga barang-barang di sini mahal-mahal. Baju yang aku pakai ini aja murah. Tapi nggak kalah bagus. Nih, aku liatin!" Rani hendak melepas cardigan yang di pakainya, namun segera kutahan. Membuat aku, Sari dan Siti geleng-geleng kepala.
Si Rani kumat. Dia dengan tingkah ke-goblockannya. Ketika cewek berkacamata itu lagi mode 00n, dia bakal manggil dengan sebutan 'aku-kamu' disertai tingkah konyolnya. Tapi kalo misal lempeng-lempeng aja, seperti biasa manggilnya 'lu-gue'. Estetik emang tuh bocah.
"Ya, sudah. Kalo gitu kita makan dulu, yah. Kalian laper, kan?" ucap Sari yang langsung mendapat anggukan dariku, Rani dan Siti.
Menuju ke area makan, tak sengaja mataku bersibobrok dengan Om Gibran. Namun dengan cepat dia mengalihkan pandangan pada kertas putih yang berada di tangannya.
.
.
🥀🥀🥀🥀🥀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Eva Nietha✌🏻
Lanjut
2023-12-04
0
miyura
next.. othor
2023-09-06
1