Mencuri dengar obrolan Ibu dengan Bapak

.

🐥🐥🐥

.

.

Sebetulnya, kalau mengingat kejadian itu, saat aku tertabrak mobil karena ditinggal oleh Rani, aku masih sangat kesal sama dia. Tapi melihatnya menangis sesenggukan gini, aku kok merasa iba, yah.

"Udah, Ran, udah. Mata lu udah bengkak, tuh!" Aku mencoba menenangkan. Kulihat bahunya masih bergetar naik turun. Senyesek itu kah?

"Dia ngerasa bersalah banget sama lu, Nad." sahut Sari sembari ikut menenangkan Rani.

"Lagian, lu kalo nggak bisa nepatin, nggak usah sok-sok an buat janji!" sentakku pada Rani. Aku jadi kepancing emosi lagi setelah beberapa menit sempat reda.

"Ini kagak ada kursi lagi apa? Pegel gue berdiri."

"Noh! Lu sered tuh sofa ke sini." ucapku lantang sembari menunjuk sofa bulat yang berada di pojok sana. Lagi haru haru begini bisa-bisanya dia memikirkan dirinya sendiri. Siti, lu emang ngeselin!

Ternyata dia serius, dong. Siti berlari kecil. Membawa sofa bulat itu dengan mendorongnya.

Namun naas. Sofa itu terbalik membuat si pendorong ikut terjungkal beberapa senti ke depan.

"Waduh, rusuh Siti!" celetuk Sari yang berhasil membuatku tak bisa menahan tawa.

"Gitu emang kalo orang lagi gabut," kataku sembari melihat Siti yang sedang berusaha berdiri, tapi lagi-lagi gagal.

Akhirnya Siti meninggalkan sofa tersebut dan berjalan ke arahku dengan tangan memegang pinggang. Persis seperti nenek-nenek encok. Haha rasain!

***

Malamnya, Om Gibran menepati omongannya siang tadi. Dia datang sambil membawa beberapa makanan untukku.

"Pak Ahmad, Bu Dewi," sapanya seraya membungkukkan badan pada kedua orang tuaku.

"Pak Gibran emang nggak sibuk tiap hari datang ke sini?" Ibu bertanya. Sementara Bapak memilih ke luar. Pengen beli wedang ronde katanya.

Lelaki tampan itu hanya tersenyum. Ya ampun, manisnya melebihi gula! Berasa pengen kulahap saja tuh bibir pinknya. Aish! Mulai ngeres nih otak.

Aku heran, diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, Om Gibran masih terlihat sangat tampan tanpa kerutan atau noda hitam sedikit pun di wajahnya. Nggak ada jerawat juga. Apalagi bekasnya. Apa rata-rata cowok bule gitu, yah? Makin tua makin cakep.

Kemudian Om Gibran mengeluarkan makanan yang sejak tadi tertenteng di tangannya. Wah, nggak kaleng-kaleng dong makanannya. Ada pizza, burger, fried chicken, sama satu lagi yang aku nggak tahu namanya. Bentukannya kayak sate usus, cuma ini gede dan ada kuahnya. Diwadahin dalam cup gitu.

"Ini eomuk," katanya seolah mengerti kebingunganku yang sedari tadi menatap heran makanan asing tersebut.

Saat kucium aroma kuahnya, beuh... enak bet nih kayaknya. Harus nyicip!

"Mau coba? Mumpung masih anget." tawarnya kemudian seraya menyodorkan cup berisi tiga sate besar tersebut. Bodo, ah. Aku lebih suka nyebutnya sate daripada omuk. Apaan tuh omuk?

Eh btw, kok dia jadi semanis gini, yah. Tahu akan diperlakukan seromantis begini, mending dari dulu aja aku tabrakin diri ke mobil dia, ups! Astagfirullah, jangan mulai, deh!

"Suapin!" titahku yang langsung mendapat geplakan di lengan dari Ibu. Ck! Harusnya Ibu ke luar aja ikut Bapak.

"Kamu ini!"

"Apasih, Bu?! Kan aku lagi sakit. Masih lemes kalo makan sendiri."

"Heleh! Siang aja kamu bisa makan pake tangan sendiri. Malah sambil ketawa-ketawa sama tiga temenmu itu."

"Ibu, mah ..."

Kurebahkan diri ini membelakangi mereka. Ibu bener-bener kompor! Nggak ngedukung aku banget. Padahal beliau ini tahu kalau aku naksir Om tampan yang berdiri di sebelahnya itu.

Samar kudengar Om Gibran tertawa kecil. Kulkas dua pintu bisa ketawa juga, yah. Sayang banget aku nggak ngeliat ekspresi wajahnya.

***

Setelah kuhabiskan separuh makanan bawaan dari Om Gibran, aku minta dibelikan yogurt sama Ibu. Kebetulan Bapak lagi pulang mengambil baju ganti setelah tadi sempat membawakan aku minuman jahe hangat.

Awalnya Om Gibran bersikeras biar dia saja yang ke luar. Tapi aku nggak mau. Aku maunya Ibu yang beliin. Karena tujuanku emang pengen dua-duaan sama Om tampan.

Namun, Ibu seolah tahu akal bulusku hingga beliau tetap diam di kursi dan tak beranjak sedikitpun. Entahlah. Hal beginian saja, Ibu peka.

"Bu, beliin." rengekku seperti anak kecil minta permen.

"Hoam. Kok, Ibu ngantuk, yah." Ibu malah sengaja pura-pura nguap. Ish! Menyebalkan.

Sampai sesuatu yang tak kuinginkan pun terjadi.

"Bu Dewi, Nada, maaf, saya harus pulang. Kalo butuh apa-apa, telpon saja," kata Om Gibran setelah tadi kulihat dia menerima telpon dari seseorang.

Lemes sudah jiwa ini ditinggal sang pangeran.

"Oh, iya, Pak Gibran. Makasih udah sering berkunjung. Hati-hati di jalan." Ibu berucap.

Lelaki itu mengangguk kemudian berbalik.

"Take care, my husband!" pesanku sambil terus menatap punggung lebarnya yang semakin menjauh.

"Heh!"

"Om Gibran, maksudnya, Bu." Beliau ini benar benar sensitif. Lidah meleset dikit aja langsung kek singa liat mangsa.

Kagak jadi berduaan deh malam ini. Tapi tadi dia bilang telpon saja. Berarti Ibu punya nomor wa-nya dong. Asik... bisa cetingan, nih.

Kukerlingkan mata ini pada Ibu. Lalu dia menatapku heran.

"Nape, tuh mata?" tanya Ibu.

"Ibu punya nomor telpon-nya Om Gibran, yah?" Tebakku dengan nada menggoda.

"Nomor apaan? Sepatu, sendal apa baju?"

Aku mencebik kesal. "Ish, Ibu. Seriuslah. Mana sini hape-nya biar Nada lihat."

"Kagak ada! Kalau pun emang punya, kamu mau apa?" sentaknya seraya mengambil tas slempang warna biru yang diletakan di atas nakas samping kanannya. Didekapnya erat-erat tas tersebut.

"Bu, ayolah." Aku mencoba meraih-raih tas Ibu. Namun tak juga dapat.

"Jangan macem-macem!" Dia memberi peringatan. Dahlah, nyerah. Gelud sama Ibu kagak bakal menang. Yang ada nanti nggak dikasih jajan.

Kubenamkan tubuh di balik selimut putih. Lalu memiringkan badan ke kanan dan memejam hendak berlayar ke alam mimpi.

Lima belas menit kemudian, terdengar suara Bapak mengucap salam. Tapi mataku sudah terlanjur sepet dan malas untuk kubuka. Sangat ngantuk.

"Sudah pulang tuh duda?"

Deg!

Sontak mataku terbuka dengan sempurna. Dari nada bicaranya, Bapak seperti tidak suka dengan Om Gibran. Padahal setahuku semua baik-baik saja. Selalu tegur sapa kalo ketemu. Dan tadi Bapak bilang duda katanya? Apa Om Gibran beneran menyandang status baru. Kalo iya, kesempatan sih.

Lantas, kututup kembali mata yang sempat terbuka. Lalu kupertajam pendengaran. Menunggu obrolan Bapak dengan Ibu selanjutnya.

"Bapak! Jangan ngomong gitu, ih. Nggak baik ngatain orang. Dan lagi," Ibu menjeda ucapannya dan bisa kurasakan dia melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Memastikan bahwa aku beneran sudah terlelap. "Takut Nada denger," sambungnya setengah berbisik.

"Bapak kesel sama dia, Bu. Gara-gara gosip perceraian dia, anak kita jadi korban gunjingan para tetangga."

Cerai? Jadi Om Gibran beneran sudah cerai dari Mbak Nilam? Tapi kenapa. Apakah lelaki tampan itu sudah tidak kuat menghadapi kebrutalan istrinya. Lalu gunjingan? Gunjingan apa maksudnya. Sebutan pelakor? Dah biasa kali. Dan aku tidak peduli.

"Anakmu juga salah. Siapa suruh suka sama laki orang. Jelas-jelas Pak Gibran sudah beristri. Si Nada malah suka. Pake ngomong langsung sama istrinya lagi. Nggak beradab itu. Bener-bener kurang didikan tuh anak. Ibu merasa gagal mendidik Nada."

Duh, Bu. Ini anakmu sakit hati, loh, diomong begitu. Meski pada kenyataannya aku memang salah karena telah menaruh rasa pada seorang lelaki yang telah termiliki, tapi setidaknya nasehati aku secara baik-baik. Walau akhirnya aku salah lagi.

Kurasakan cairan hangat mengalir melintasi batang hidungku. Haruskah aku mundur disaat peluang itu telah di depan mata?

.

🌱🌱🌱

Terpopuler

Comments

Eva Nietha✌🏻

Eva Nietha✌🏻

Msh dsini

2023-12-04

0

miyura

miyura

semangat othor

2023-09-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!