.
🌲🌲🌲🌲🌲
"Jangan lihatin saya seperti itu. Saya sudah punya istri!"
"Kan bisa cerai." Aku melipat kedua tangan di dada. Menantang Om tampan di depanku dengan tatapan genit.
"Astaghfirullah! Kamu mau jadi pelakor?" Om Gibran melayangkan tatapan sinis ke arahku saat aku mengusulkannya cerai.
"Ya, enggak. Makanya Om cerai dulu. Setelah itu baru kita nikah." Sederet gigi putih nan rapih kutunjukan padanya. Silau gak tuh!
"Sekolah yang bener. Masih bocah sudah mikirin nikah." Dia masih dengan tatapan sengitnya.
"Aku udah SMA, Om. bukan bocah lagi." sanggahku tak mau kalah.
"Ya tetap saja kamu masih anak sekolah."
"Om beneran gak nafsu lihat aku gitu?" tawarku bak gadis murahan. Aku emang gak bisa mahal sama Om-Om bule satu ini. No bully, yah! Kalo liat orangnya, kalian juga pasti demen.
"Dada rata, pantat tepos gitu gak ada nafsu-nafsunya." ucapnya sambil memindai tubuh ini dari atas sampai bawah. Modus itu. Bilang aja pengen lihatin lebih lama gitu! Yekan?
"Inikan luarnya. Beda lagi kalau dibuka. Mau lihat?" Aku pura-pura hendak membuka satu persatu kancing bajuku. Nggak beneran ya guys, ya. Aku gak sej4lang itu kok. Haha.
"Gak. Makasih! Saya sudah punya di rumah." sentaknya sembari ngeloyor pergi. Meninggalkan aku seorang diri bersama tukang cilor yang menatapku dengan tatapan aneh. Apa dia naksir, yah?
"Gak mau nambah?" Aku sedikit berteriak agar yang dituju mendengar suara merdu ini. Lelaki bertubuh kekar itu tampak tak menghiraukan ucapanku dan malah masuk ke mobilnya.
Apakah di sana ada istrinya? Ah tidak mungkin. Kalo ikut kan, pasti turun.
"Neng, ini pake saos, nggak?" Suara Babang cilor berhasil mengalihkan pandanganku dari mobil putih yang membawa lelaki tampan pencuri hatiku.
"Nggak usah! Berapa?" tanyaku seraya merebut seplastik cilor dari genggaman si Abang. Keknya si Abang sulit amat buat pisahan ama tuh cilor. Sampe erat gitu pegangnya.
"Goceng."
"Nih, makasih!" Kuserahkan uang kertas berwarna coklat pada si Babang cilor.
"Busyet!" ucapnya saat aku berlalu pergi sambil mengibaskan rambut cetarku kewajahnya. Dia pasti tersepona oleh harumnya rambutku ini. Moga aja kutunya kagak terbang ke dagangannya. Bisa kabur tuh para pelanggan.
***
"Hi, guys!" seruku ala-ala yutuber yang selalu kutonton di ponsel saat gabut melanda.
"Lama amat, lu. Beli jajanan apa semedi?"
"Salah dua-duanya. Ayo tebak lagi." Kujatuhkan pantat ini di tengah-tengah sekumpulan manusia yang sedang mengerjakan tugas sekolah mereka.
"Njir! Malah ngajak tebakan dia."
"Paling juga dia ketemu sama Om bule incarannya."
"Benar. Aakh! Seratus buat Siti." Aku bergerak-gerak bak cacing dirubung semut sambil mengacungkan jari jempolku tepat di depan wajah hitam Siti. Yaiya. Karena yang putih itu cuma Bang Agust.
"Woy, rusak nih buku orang!" Rani, sipaling bertubuh bongsor itu menarik-narik buku yang sengaja kududuki. Dia terlihat menekuk wajahnya karena bukunya lecek sempurna oleh ulahku. Itulah resiko punya teman bar-bar sepertiku.
"Hehe, sori." kataku sambil merubah posisi duduk jadi lebih alim.
Sepulang sekolah, aku memang tak langsung pulang ke rumah karena harus mengerjakan tugas kelompok di rumah Siti. Bukan kelompok sih, sebenernya. Kayak kita di sekolah mengadakan tour, nah terus oleh guru bahasa Indonesia kita disuruh merangkum cerita hasil dari tour tersebut. Gitu guys. Faham lah, yah.
Kukeluarkan kertas polio beserta pena dari dalam tas. Mulai menulis puisi untuk kusampaikan pada Om Gibran. Lha?
Yang bener, aku menulis sebuah rangkuman tour yang lusa lalu aku ikuti. Namun, Baru saja tangan ini menulis beberapa kata, otaku sudah nge-blank. Jujur, aku tidak bisa urusan rangkum merangkum seperti ini kalau bukan tentang cinta.
Aku menempelkan siku tanganku di lantai. Menopang dagu sambil berkhayal hidup bahagia menikah dengan cowok baik, tampan dan tajir seperti Om Gibran.
"Nada!"
"Aw!" pekikku seraya mengusap jidat yang terasa sakit. Sebuah lemparan penggaris dari seorang teman luck-nut berhasil menggores jidatku dan membuyarkan semua lamunan indah itu.
Kulayangkan tatapan tajam pada si pelaku. Bukannya takut, dia malah balik menatapku tajam dengan kedua tangan berada di pinggang. Persis seperti seorang ibu yang sedang memarahi anaknya.
"Kayaknya bentar lagi rangkumanku selesai,"
Ke tiga orang itu mengangkat dagunya seraya mencondongkan badan. Mengintai dan memastikan apa yang aku katakan itu benar atau bohong.
Sari melengkungkan sudut bibirnya ke bawah sambil berujar. "Kertas masih kosong gitu bilang bentar lagi selesai? Ck!" Dia menggeleng-gelengkan kepalanya ke kanan ke kiri dan ke be--
"Hmpt!" Kulihat Siti membekap mulutnya sendiri menahan tawa. Mengejek. Sialan tuh, bocah! Belum tau saja dia.
"Semua sudah di luar kepala. Jadi aku tinggal menuangkannya saja." Dengan pede-nya aku berkata begitu.
Lalu kuambil kertas polio berganjal buku yang tergeletak di lantai. Kemudian kembali menulis dengan paha yang kujadikan meja.
***
Akhirnya aku bisa menyelesaikan tugas sekolahku setelah hampir 3 jam lamanya memutar otak.
Sebelum pulang, kusempatkan diri ini untuk berjalan-jalan sebentar mencari jajanan.
Jam lima sore aku sudah ada di depan rumah. Sebelum benar-benar masuk, kupandangi bangunan minimalis bercat putih yang berada di sebelah rumahku ini. Rumah Om Gibran.
Kami tetanggaan. Rumahku dan rumahnya hanya tersekat pohon mangga.
Ada suara teriakan dari sana yang cukup menyita perhatianku.
"Sekali lagi kamu melangkah, jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki di rumah ini lagi!" Suara Om Gibran menggelegar menusuk hati ini.
Sepertinya lelaki itu sedang marah sama istrinya. Lho, kok tahu? Karena mereka hampir setiap hari selalu ribut. Dan karena itu jugalah yang membuatku nekat untuk mendekati Om bule tersebut.
Dari gosip yang beredar. Mbak Nilam, istri dari Om Gibran itu tidak mau mengandung dan melahirkan hanya karena takut badannya rusak karena perempuan modis itu bekerja sebagai seorang model yang lumayan terkenal.
Padahal Om Gibran pengen banget punya anak. Wajar, mereka menikah sudah hampir tujuh tahun. Aku ingat saat itu aku masih esdeh kelas enam.
"Masa bodo. Aku nggak peduli!"
Brak!
Astagfirullah! Aku terlonjak kaget mendengar Mbak Nilam menutup pintu mobilnya dengan kasar. Tak menunggu waktu lama, mobil menghilang dari pandangan.
Berniat ingin melihat ekspresi apa yang ditunjukan Om Gibran, aku melangkah lebih dekat.
Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, dan ..
Meow!
Apes!
Telapak kaki kiriku menginjak ekor Anabul, kucing persia putih kesayanganku yang sudah kurawat sedari kecil. Membuat hewan itu mengeong mengeluarkan suaranya berkali-kali.
Anabul, lu kenapa ada di luar sih! Bukannya di dalam jaga lilin, eh jaga rumah. Malah keluyuran gak jelas di depan pager.
Lelaki berkemeja putih polos itu menengok ke arahku dengan tatapan elangnya. Kemudian berlalu masuk setelah melihatku menampakkan senyum termanisku.
.
happy reading😘
.
.
🧚♀️🧚♀️🧚♀️🌺🧚♀️🧚♀️🧚♀️
Di depan teras aku terduduk sedang memakai sepatu hendak berangkat sekolah. Entah dapat sinyal dari mana hatiku seolah tahu bahwa doi incaranku sedang berada si sekitar. Refleks kutolehkan kepala ini ke kiri. Ternyata dia sedang bersama istrinya.
Aktivitas mengikat tali sepatu kuhentikan sejenak.
Kuperhatikan sepasang manusia tersebut dengan seksama sampai perempuan itu benar-benar pergi. Dugaanku ternyata salah. Yang pergi duluan ialah mas doi. Meninggalkan Mbak Nilam yang terlihat sibuk dengan ponselnya.
Ada rasa curiga melihat perempuan itu senyum-senyum sendiri menatap lanyar ponsel di tangannya. Dari ekspresi wajahnya terlihat seperti seorang yang sedang kasmaran. Kalo emang bener, bagus deh. Biar semakin mudah kudekati suaminya. Ahay!
Gegas kuteruskan mengikat tali sepatu. Masuk ke dalam, pamit sama Ayah Ibu. Lalu berjalan melangkah menghampiri Mbak Nilam.
"Hai, Mbak," sapaku basa-basi.
Dia melirikku sekilas. "Hai." sahutnya jutek.
"Mbak Nilam punya pacar, yah?" tuduhku karena melihat dia terus sibuk dengan ponselnya sambil tersenyum.
"Heh, bocah! Mau saya punya pacar, selingkuhan, kekasih gelap, itu urusan saya. Kamu bocah belajar aja yang bener. Biar nggak tinggal kelas." Dia mencak-mencak.
"Hehe. Aku cuma nanya kok, Mbak." Kutautkan kedua telapak tanganku sambil berpikir. "Hm kalo gitu, gimana kalo suami Mbak buat saya aja?" Dengan tanpa tahu malu aku berkata demikian.
Perempuan modis bergaya elegant itu tergelak. Tangannya memasukan ponsel ke dalam tas branded yang dia tenteng. Lalu melipat kedua tangan di dada seraya menatapku heran.
"Kamu anak kecil tapi seleranya om-om." Tatapannya berganti remeh. Padahal Om yang kumau kan, bukan sembarang om-om.
"Tapi Om Gibran, kan ganteng. Kaya lagi. Kalau masalah sikap, jangan ditanya. Si doi super duper baik. Ya, kan, Mbak?"
"Buktinya dia masih bertahan sama istri yang pembakang, ngelawan suami, dan suka keluyuran ke club. ups!" imbuhku panjang lebar. Lalu kutabok mulut yang sudah berkata kasar ini.
Aku nyengir cengengesan. Sebelum Mbak Nilam mengluarkan kata-kata pedasnya, aku memilih pamit dan berlari sekuat tenaga.
Sambil terus berlari, kudengar Mbak Nilam teriak-teriak. Mungkin saja perempuan itu mengeluarkan sumpah serapah andalannya. Kalo Mbak Nilam sudah ngamuk, jangankan si goib, kebun binatang aja dia absen. Ngeri gak tuh!
Entah Om Gibran nemu dari mana perempuan itu.
"Huh! Huh! Huh!"
Lari maraton baru saja finish.
Tarik nafas, keluarkan. Tarik nafas lagi, keluarkan lagi. Huufft.. Kuseka peluh yang menetes di dahi.
Kini aku berada di jalan raya. Celingak celinguk mencari angkutan umum untuk mengantarkanku sampai ke sekolah.
Kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul 07.15. Masih ada waktu lah, yah.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari arah kejauhan, kulihat Siti bersama scoopy-nya sedang menuju ke arahku. Dia memang sahabat paling peka. Tahu aja sahabatnya ini sedang butuh tumpangan. Kalo gini kan uang jajanku aman.
Siti berhenti tepat di depanku.
"Nada?! Tumben lu berangkat pagi?" Heran dia bertanya.
Aku memutar bola mata malas. Padahal kan, biasanya juga aku berangkat pagi. Eh, emang iya, yah? Tau deh. Jarang liat jam saat akan berangkat sekolah. Intinya pergi pagi pulang siang. Bisa sore kalo ada perlu. Ke warnet misal. Atau nongkrong.
"Biasanya kan juga pagi."
"Dih! Nggak ngerasa dia."
"Ngerasa, kok."
"Apa?"
"Pinter, kan?"
"Lha, kagak nyambung nih bocah. Btw mau ikut gue nggak?"
"Nggak! Nggak mau nolak maksudnya. Eak!" Segera kunaiki scoopy Siti. Kupeluk erat-erat dia dari belakang. Takut ngejengkang. Andai tiap hari begini. Bisa beli emas aku.
Sampai di sekolah, kulihat lapangan bola begitu ramai. Teriakan cempreng dari para ciwi yang mendukung pemain favorit-nya.
Jam belajar kelas tiga memang sudah bebas. Kita hanya tinggal menunggu wisuda kelulusan.
Datang ke sekolah hanya untuk basa-basi, lalu pulang. Enaknya kita dapat saku. Karena kalau aku nggak sekolah, bisa melas seharian kagak dikasih jajan sama ibu. Lain lagi kalo anak orang kaya. Sekolah gak sekolah jajan mah tetep jalan.
Anak cowok biasa menggunakan waktunya buat olahraga seperti futsal, voli, raket, atau yang lain. Tapi banyak juga sih yang cuma nongkrong gak jelas. Contohnya rombongan si Zenal. Hobi banget mereka godain cewek.
"Ya ampun! Cantik banget sih, kamu." Zenal berkata pada cewek berponi yang kebetulan melewatinya.
"Ah, makasih. Kamu juga ganteng." Si cewe terlihat salting dan malu malu kingk0ng.
Krukkk...
Ah ya ampun! Cacing-cacing dalam perutku memberi sinyal. Kupegangi perut yang terasa lapar.
"Laper, yah? Kantin, yuk. Gue traktir." Seorang cowok berseragam futsal menghampiriku yang sedang berdiri di depan kelas bersama Siti. Ternyata dari tadi dia memperhatikanku.
Hampir semua cewek yang mengitari lapangan itu menatap ke arahku.
"Gue ke kantin sama besti gue aja, deh. Tuh! Penggemar fanatik lu pada liatin sinis ke gue." Dagu kuarahakan pada ciwi-ciwi centil yang sepertinya kepanasan karena idolanya ngedeketin aku. Lalu segera kutarik tangan Siti menjauh dari Davin, si mantan ketua osis yang digilai para siswi.
Bisa dibilang, Davin ini superstarnya sekolah. Dia memiliki wajah lumayan tampan, tapi masih kalah kalau dibandingin sama Om Gibran eh? Oke lanjut. Davin juga seorang murid yang dikenal banyak guru karena kepintarannya. Plus dia itu anak dari orang kaya. Papa Mamanya kerja kantoran, guys. Paket komplit emang.
Menurut Siti, Rani, dan Sari, Davin itu suka sama aku. Bener nggaknya aku juga tidak tahu. Cuma sejauh ini emang dia perhatian banget sih. Suka ngajak jalan walau sering aku tolak, nggak pelit soal duit, alias sering traktir aku jajan, dan sering main ke rumah juga. Tapi anehnya aku nggak ada rasa sedikitpun sama dia.
*
"Hebat! Cuma lu, Nad, satu-satunya siswi yang berani nolak cowok sekeren Davin." Bukannya makan, Siti malah asik ngoceh tentang si Davin.
Tak kuhiraukan ucapan tak bermutu itu.
"Nad," Siti memanggil.
"Hm." jawabku singkat. Karena mulutku masih sibuk mengunyah cilok buatan Bang Jali. Makanan satu ini bener-bener the best! Lima jemol buat Bang Jali. Satu jempol pinjam punya Siti.
"Lu beneran kagak naksir si Davin?" tanyanya kemudian. Kuputar bola mata jengah. Pasalnya hampir berpuluh-puluh kali dia bertanya begitu.
"Bosen tau, nggak, denger lu tanya itu-itu mulu."
"Ya, habisnya, lu--"
Perkataan Siti ngambang begitu saja saat seseorang memanggil nama kita berdua.
"Dua jangkrik datang, tuh!" Siti berujar.
Aku menoleh.
Dua orang sisiwi yang sepertinya akan bergabung bersama kita. Rani dengan Sari. Mereka berdua terlihat seperti orang kembar. Sama-sama pake kacamata dengan rambut kuncir kuda. Tumben juga si Sari ikutan pake kacamata kaya Rani.
"Elah, ke kantin kagak ngajak-ngajak." Sari duduk di sampingku dan langsung merebut gelas es teh yang sedang kusedot.
"Pesen dulu sana!" kataku hendak merebut kembali es teh? Aku melongo melihat gelas yang hanya tinggal batunya saja. Dia lintah apa orang, yah. Cepet amat sedotannya.
Melihat aku merengut, Sari memanggil Bik Wati. Memesan dua mangkok bakso buat dia dan Rani. Juga tiga minuman dingin yang katanya satu buat mengganti minumanku yang sudah dia habiskan.
.
.
😽😽😽
.
🌺🌺🌺
.
Di bawah pohon angsana aku berteduh. Terik matahari yang begitu menyengat membuatku merasa seperti mandi keringat.
Lalu beberapa menit kemudian, sebuah motor capung berhenti tepat di depanku tatkala aku sedang menunggui Rani. Si pemilik membuka helm. Dan terlihatlah wajah tampan itu. Davin.
"Belum pulang?" tanyanya.
"Belum." jawabku singkat.
"Mau gue anterin, nggak?"
"Nggak, makasih. Gue lagi nungguin Rani." sahutku tanpa menoleh pada wajah tampannya. Kuakui dia memang keren. Apalagi saat begini. Mirip pembalap di tv-tv itu.
"Rani bukannya udah pulang dari tadi?" Dia mengernyit.
Aku mendongak menatapnya dengan dahi mengkerut. "Hah? Salah liat, kali." Semoga dia beneran salah liat.
Dia tampak menerawang sesuatu. "Mungkin. Kalo gitu gue duluan."
"Hm."
Dia kembali memakai helm-nya. Lalu melesat pergi.
Firasatku jadi tidak enak. Apa iya Rani sudah pulang. Tapi aku inget betul di kantin dia bilang bakal pulang akhiran bareng aku. Masa dia lupa.
Aku tau Rani hanya pintar dalam pelajaran. Alias 00n soal kehidupan. Tapi nggak ninggalin aku juga kan. Secara dia yang buat janji. Awas aja kalau beneran lupa. Gibeng juga tuh orang.
"Halo!" sahutku tatkala menjawab panggilan dari yang ditunggu. Pasti dia masih di tempat parkir dan mau ngabarin bentar lagi ke sini.
"Nad, maaf, aku udah pulang. Aku lupa mau bonceng kamu. Udah di rumah baru inget." Seketika rautku berubah garang. Mungkin sudah muncul dua tanduk di kepalaku. Sumpah, emosi banget aku denger dia ngomong seenak jidat gitu.
Tanpa kata aku langsung mematikan sambungan. Percuma juga ngoceh-ngoceh. Dia nggak bakal faham. Malah nanti dikira aku yang kayak orang gila nyerocos marah-marah sendiri.
Udah lama nunggu, panas-panasan, malah ditinggal. Tahu gitu tadi ngikut aja sama Davin. Gini, yah rasanya diphp-in. Nusuk ke ulu hati. Mana udah sepi lagi. Ojek juga kagak ada yang lewat.
"Rani!!!" Aku berteriak sekencang mungkin. Meluapkan semua kekesalanku pada Rani.
Awas kamu Rani!
Masa iya aku harus jalan kaki sampai rumah. Bisa kebakar nih kulit. Capek, haus pula. Gimana nanti kalau di pertengahan jalan aku pingsan. Iya kalau ditolongin. Kalau dicabuli? Oh no!
Segera kusingkirkan pikiran-pikiran buruk itu.
"Tenang, tenang, jangan panik." Kuatur nafas berkali-kali agar kembali stabil. Lalu kurogoh ponsel dalam saku. Mencoba menghubungi Siti.
"Sory, say. Gue lagi nemenin nyokap nganterin pesanan." sahutnya setelah aku mengatakan minta bantuan untuk dijemput.
Oke, kumaklumi karena memang ibunya Siti buka jasa pesanan kue.
Kali ini kucoba telpon Sari. Moga aja dia bisa bantu. aku menunggu jawaban dengan harap-harap cemas.
"Gue lagi renang sama adek gue. Kalo lu mau nunggu 15 menit, gue ke sana."
'Lima belas menit, pasti terasa lama kalau ditungguin' gumamku dalam hati.
Ah tapi gapapa deh. Dari pada jalan kaki.
"Oke, gue tunggu di pangkalan ojek, yah." Akhirnya kusanggupi buat nunggu Sari selama 15 menit.
Karena capek berdiri, aku memutuskan untuk pindah tempat. Hendak menyeberang dan duduk di kursi panjang yang berada di seberang sana. Tempat biasa duduk para tukang ojek.
Namun, baru dua kali kaki melangkah, dari arah kanan aku melihat mobil putih melaju dengan kecepatan tinggi. Tak memberiku kesempatan untuk menghindar, hingga...
Brakk!
Tubuhku ambruk di bagian depan mobil sebelum akhirnya terpental jauh. Bisa kurasakan tepukan tangan seseorang di pipi disertai teriakan panik sebelum semua menjadi gelap.
***
Aku telah terbangun dari tidur panjangku. Kata dokter yang merawat, aku mengalami koma selama tiga hari.
Saat sudah dipindah di ruang rawat, banyak orang yang masuk buat menjenguk termasuk si pelaku yang menabrakku. Aku terkejut saat tahu siapa dia.
Entah atas suruhan atau emang kemauan sendiri, satu persatu orang-orang yang menjengukku melangkah keluar. Membiarkan aku berdua saja dengan laki-laki yang sejak tadi berdiri di dekat jendela, tapi tatapannya selalu tertuju padaku. Dia memperhatikan dan aku merasakannya.
Kita hanya berdua di ruang perawatan.
Langkah lebarnya menuntun untuk sampai di dekatku. Dia kemudian duduk dan menatapku dengan tatapan yang... entah? Sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari wajah tampannya yang nampak kusut dengan kantung mata yang menghitam.
Lelaki berjas hitam di sampingku ini duduk tenang dengan tangan saling menggenggam.
"Saya benar-benar minta maaf atas kejadian yang menimpamu." Dia mulai membuka suaranya. Aku menatapnya tanpa kedip.
Jujur, saat ini tubuhku masih lemes dan ingin segera tidur. Tapi melihat dia berada di sini, aku seakan tak mau membuang kesempatan emas yang sedari dulu kunantikan. Duduk berhadapan dan saling bertatap-tatapan. Romantis, bukan?
"Istirahatlah, sepertinya kondisimu masih lemah." ucapnya lagi saat aku tak juga merespon perkatannya tadi.
"Biar saya betulkan selimutnya." Dia menarik selimut yang ada di ujung kakiku lalu membawanya sampai paha karena aku masih duduk.
Refleks aku memegang dada. Jantungku tiba-tiba saja berdetak sangat cepat dan kencang saat melihatnya sedekat ini. Wajahnya dan wajahku nyaris tak berjarak. Ah, semoga saja aku tidak pingsan.
Dia yang menyadari itu, terlihat begitu panik.
"Kenapa? Ada yang sakit?"
Aku menggeleng. Dia mengernyitkan dahi. Membuat kedua alis hitamnya hampir bertautan.
"Lalu kenapa? Dadanya sesak apa gimana? Saya panggilin dokter, ya."
Melihat dia sepanik itu aku merasa seperti banyak kupu-kupu yang menari di hatiku. Aish! Kapan lagi bisa dua-duan kayak gini. Semoga yang ketiga-nya bukan sEtan!
"Jangan!" cegahku sembari menarik jas-nya saat dia hendak pergi memanggil dokter. Tak kusangka ternyata tarikanku cukup kuat hingga membuat kami hampir bercivman kalau saja tidak ada...
"Nada!!" Tiga orang pengganggu menerobos masuk ke ruang rawatku. Membuat suasana yang tadinya romantis, kini berubah menjadi ambyar. Siapa lagi kalau bukan Rani, Siti, dan Sari.
Lekas Om Gibran menarik tubuhnya dan merapihkan jas yang sempat lecek karena tarikan tadi.
"Eh, ada Om duda ganteng. Sejak tadi, barusan, apa dari kemarin?"
"Duda?!" kagetku dengan mata terbelalak kala mendengar sapaan Siti pada Om Gibran.
"Saya pulang dulu. Nanti malam saya ke sini lagi." ucapnya lalu melenggang pergi. Menyisakan sederet tanya di kepalaku tentang statusnya.
Setelah Om Gibran menghilang di balik pintu, aku menodong ketiga orang ini dengan berbagai pertanyaan. Kutatap tajam wajah mereka satu persatu.
"Ti, maksud lu apa bilang duda sama Om Gibran?"
"Sari, kenapa juga lu semua baru pada datang?"
"Dan lu Rani, gue benci!"
Kulontarkan tiga pertanyaan itu dengan nada ketus. Sembari melengos, kulipat tangan di dada.
"Kita bertiga dari pertama lu masuk rumah sakit, selalu nengokin. Apalagi Rani. Dia sampai datang tiga kali sehari buat memastikan keadaan bahwa lu pasti baik-baik saja. Kalo soal Om Gibran, ceritanya panjang. Mending lu isi tenaga dulu biar cepet bisa pulang. Nggak usah banyak pikiran." Bukan Siti atau Rani yang menjawab, tapi Sari. Bocah itu membawa banyak buah dengan berbagai jenis yang di bungkus plastik merah besar.
"Nada, maafin gue. Lu boleh hukum gue kalo lu mau. Tapi plis jangan benci gue." Rani memelukku erat sambil menangis.
Hampir saja aku kehabisan nafas saat Rani semakin mengeratkan pelukannya. Beruntung Siti segera menarik bocah berkacamata itu menjauh dariku.
.
🌺🌺🌺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!