kecelakaan

.

🌺🌺🌺

.

Di bawah pohon angsana aku berteduh. Terik matahari yang begitu menyengat membuatku merasa seperti mandi keringat.

Lalu beberapa menit kemudian, sebuah motor capung berhenti tepat di depanku tatkala aku sedang menunggui Rani. Si pemilik membuka helm. Dan terlihatlah wajah tampan itu. Davin.

"Belum pulang?" tanyanya.

"Belum." jawabku singkat.

"Mau gue anterin, nggak?"

"Nggak, makasih. Gue lagi nungguin Rani." sahutku tanpa menoleh pada wajah tampannya. Kuakui dia memang keren. Apalagi saat begini. Mirip pembalap di tv-tv itu.

"Rani bukannya udah pulang dari tadi?" Dia mengernyit.

Aku mendongak menatapnya dengan dahi mengkerut. "Hah? Salah liat, kali." Semoga dia beneran salah liat.

Dia tampak menerawang sesuatu. "Mungkin. Kalo gitu gue duluan."

"Hm."

Dia kembali memakai helm-nya. Lalu melesat pergi.

Firasatku jadi tidak enak. Apa iya Rani sudah pulang. Tapi aku inget betul di kantin dia bilang bakal pulang akhiran bareng aku. Masa dia lupa.

Aku tau Rani hanya pintar dalam pelajaran. Alias 00n soal kehidupan. Tapi nggak ninggalin aku juga kan. Secara dia yang buat janji. Awas aja kalau beneran lupa. Gibeng juga tuh orang.

"Halo!" sahutku tatkala menjawab panggilan dari yang ditunggu. Pasti dia masih di tempat parkir dan mau ngabarin bentar lagi ke sini.

"Nad, maaf, aku udah pulang. Aku lupa mau bonceng kamu. Udah di rumah baru inget." Seketika rautku berubah garang. Mungkin sudah muncul dua tanduk di kepalaku. Sumpah, emosi banget aku denger dia ngomong seenak jidat gitu.

Tanpa kata aku langsung mematikan sambungan. Percuma juga ngoceh-ngoceh. Dia nggak bakal faham. Malah nanti dikira aku yang kayak orang gila nyerocos marah-marah sendiri.

Udah lama nunggu, panas-panasan, malah ditinggal. Tahu gitu tadi ngikut aja sama Davin. Gini, yah rasanya diphp-in. Nusuk ke ulu hati. Mana udah sepi lagi. Ojek juga kagak ada yang lewat.

"Rani!!!" Aku berteriak sekencang mungkin. Meluapkan semua kekesalanku pada Rani.

Awas kamu Rani!

Masa iya aku harus jalan kaki sampai rumah. Bisa kebakar nih kulit. Capek, haus pula. Gimana nanti kalau di pertengahan jalan aku pingsan. Iya kalau ditolongin. Kalau dicabuli? Oh no!

Segera kusingkirkan pikiran-pikiran buruk itu.

"Tenang, tenang, jangan panik." Kuatur nafas berkali-kali agar kembali stabil. Lalu kurogoh ponsel dalam saku. Mencoba menghubungi Siti.

"Sory, say. Gue lagi nemenin nyokap nganterin pesanan." sahutnya setelah aku mengatakan minta bantuan untuk dijemput.

Oke, kumaklumi karena memang ibunya Siti buka jasa pesanan kue.

Kali ini kucoba telpon Sari. Moga aja dia bisa bantu. aku menunggu jawaban dengan harap-harap cemas.

"Gue lagi renang sama adek gue. Kalo lu mau nunggu 15 menit, gue ke sana."

'Lima belas menit, pasti terasa lama kalau ditungguin' gumamku dalam hati.

Ah tapi gapapa deh. Dari pada jalan kaki.

"Oke, gue tunggu di pangkalan ojek, yah." Akhirnya kusanggupi buat nunggu Sari selama 15 menit.

Karena capek berdiri, aku memutuskan untuk pindah tempat. Hendak menyeberang dan duduk di kursi panjang yang berada di seberang sana. Tempat biasa duduk para tukang ojek.

Namun, baru dua kali kaki melangkah, dari arah kanan aku melihat mobil putih melaju dengan kecepatan tinggi. Tak memberiku kesempatan untuk menghindar, hingga...

Brakk!

Tubuhku ambruk di bagian depan mobil sebelum akhirnya terpental jauh. Bisa kurasakan tepukan tangan seseorang di pipi disertai teriakan panik sebelum semua menjadi gelap.

***

Aku telah terbangun dari tidur panjangku. Kata dokter yang merawat, aku mengalami koma selama tiga hari.

Saat sudah dipindah di ruang rawat, banyak orang yang masuk buat menjenguk termasuk si pelaku yang menabrakku. Aku terkejut saat tahu siapa dia.

Entah atas suruhan atau emang kemauan sendiri, satu persatu orang-orang yang menjengukku melangkah keluar. Membiarkan aku berdua saja dengan laki-laki yang sejak tadi berdiri di dekat jendela, tapi tatapannya selalu tertuju padaku. Dia memperhatikan dan aku merasakannya.

Kita hanya berdua di ruang perawatan.

Langkah lebarnya menuntun untuk sampai di dekatku. Dia kemudian duduk dan menatapku dengan tatapan yang... entah? Sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari wajah tampannya yang nampak kusut dengan kantung mata yang menghitam.

Lelaki berjas hitam di sampingku ini duduk tenang dengan tangan saling menggenggam.

"Saya benar-benar minta maaf atas kejadian yang menimpamu." Dia mulai membuka suaranya. Aku menatapnya tanpa kedip.

Jujur, saat ini tubuhku masih lemes dan ingin segera tidur. Tapi melihat dia berada di sini, aku seakan tak mau membuang kesempatan emas yang sedari dulu kunantikan. Duduk berhadapan dan saling bertatap-tatapan. Romantis, bukan?

"Istirahatlah, sepertinya kondisimu masih lemah." ucapnya lagi saat aku tak juga merespon perkatannya tadi.

"Biar saya betulkan selimutnya." Dia menarik selimut yang ada di ujung kakiku lalu membawanya sampai paha karena aku masih duduk.

Refleks aku memegang dada. Jantungku tiba-tiba saja berdetak sangat cepat dan kencang saat melihatnya sedekat ini. Wajahnya dan wajahku nyaris tak berjarak. Ah, semoga saja aku tidak pingsan.

Dia yang menyadari itu, terlihat begitu panik.

"Kenapa? Ada yang sakit?"

Aku menggeleng. Dia mengernyitkan dahi. Membuat kedua alis hitamnya hampir bertautan.

"Lalu kenapa? Dadanya sesak apa gimana? Saya panggilin dokter, ya."

Melihat dia sepanik itu aku merasa seperti banyak kupu-kupu yang menari di hatiku. Aish! Kapan lagi bisa dua-duan kayak gini. Semoga yang ketiga-nya bukan sEtan!

"Jangan!" cegahku sembari menarik jas-nya saat dia hendak pergi memanggil dokter. Tak kusangka ternyata tarikanku cukup kuat hingga membuat kami hampir bercivman kalau saja tidak ada...

"Nada!!" Tiga orang pengganggu menerobos masuk ke ruang rawatku. Membuat suasana yang tadinya romantis, kini berubah menjadi ambyar. Siapa lagi kalau bukan Rani, Siti, dan Sari.

Lekas Om Gibran menarik tubuhnya dan merapihkan jas yang sempat lecek karena tarikan tadi.

"Eh, ada Om duda ganteng. Sejak tadi, barusan, apa dari kemarin?"

"Duda?!" kagetku dengan mata terbelalak kala mendengar sapaan Siti pada Om Gibran.

"Saya pulang dulu. Nanti malam saya ke sini lagi." ucapnya lalu melenggang pergi. Menyisakan sederet tanya di kepalaku tentang statusnya.

Setelah Om Gibran menghilang di balik pintu, aku menodong ketiga orang ini dengan berbagai pertanyaan. Kutatap tajam wajah mereka satu persatu.

"Ti, maksud lu apa bilang duda sama Om Gibran?"

"Sari, kenapa juga lu semua baru pada datang?"

"Dan lu Rani, gue benci!"

Kulontarkan tiga pertanyaan itu dengan nada ketus. Sembari melengos, kulipat tangan di dada.

"Kita bertiga dari pertama lu masuk rumah sakit, selalu nengokin. Apalagi Rani. Dia sampai datang tiga kali sehari buat memastikan keadaan bahwa lu pasti baik-baik saja. Kalo soal Om Gibran, ceritanya panjang. Mending lu isi tenaga dulu biar cepet bisa pulang. Nggak usah banyak pikiran." Bukan Siti atau Rani yang menjawab, tapi Sari. Bocah itu membawa banyak buah dengan berbagai jenis yang di bungkus plastik merah besar.

"Nada, maafin gue. Lu boleh hukum gue kalo lu mau. Tapi plis jangan benci gue." Rani memelukku erat sambil menangis.

Hampir saja aku kehabisan nafas saat Rani semakin mengeratkan pelukannya. Beruntung Siti segera menarik bocah berkacamata itu menjauh dariku.

.

🌺🌺🌺

Terpopuler

Comments

WinDz7

WinDz7

siap, tengkyu🌹🌹

2023-09-06

1

miyura

miyura

lanjut othor

2023-09-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!