Davin

.

.

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️🌺🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️

Di depan teras aku terduduk sedang memakai sepatu hendak berangkat sekolah. Entah dapat sinyal dari mana hatiku seolah tahu bahwa doi incaranku sedang berada si sekitar. Refleks kutolehkan kepala ini ke kiri. Ternyata dia sedang bersama istrinya.

Aktivitas mengikat tali sepatu kuhentikan sejenak.

Kuperhatikan sepasang manusia tersebut dengan seksama sampai perempuan itu benar-benar pergi. Dugaanku ternyata salah. Yang pergi duluan ialah mas doi. Meninggalkan Mbak Nilam yang terlihat sibuk dengan ponselnya.

Ada rasa curiga melihat perempuan itu senyum-senyum sendiri menatap lanyar ponsel di tangannya. Dari ekspresi wajahnya terlihat seperti seorang yang sedang kasmaran. Kalo emang bener, bagus deh. Biar semakin mudah kudekati suaminya. Ahay!

Gegas kuteruskan mengikat tali sepatu. Masuk ke dalam, pamit sama Ayah Ibu. Lalu berjalan melangkah menghampiri Mbak Nilam.

"Hai, Mbak," sapaku basa-basi.

Dia melirikku sekilas. "Hai." sahutnya jutek.

"Mbak Nilam punya pacar, yah?" tuduhku karena melihat dia terus sibuk dengan ponselnya sambil tersenyum.

"Heh, bocah! Mau saya punya pacar, selingkuhan, kekasih gelap, itu urusan saya. Kamu bocah belajar aja yang bener. Biar nggak tinggal kelas." Dia mencak-mencak.

"Hehe. Aku cuma nanya kok, Mbak." Kutautkan kedua telapak tanganku sambil berpikir. "Hm kalo gitu, gimana kalo suami Mbak buat saya aja?" Dengan tanpa tahu malu aku berkata demikian.

Perempuan modis bergaya elegant itu tergelak. Tangannya memasukan ponsel ke dalam tas branded yang dia tenteng. Lalu melipat kedua tangan di dada seraya menatapku heran.

"Kamu anak kecil tapi seleranya om-om." Tatapannya berganti remeh. Padahal Om yang kumau kan, bukan sembarang om-om.

"Tapi Om Gibran, kan ganteng. Kaya lagi. Kalau masalah sikap, jangan ditanya. Si doi super duper baik. Ya, kan, Mbak?"

"Buktinya dia masih bertahan sama istri yang pembakang, ngelawan suami, dan suka keluyuran ke club. ups!" imbuhku panjang lebar. Lalu kutabok mulut yang sudah berkata kasar ini.

Aku nyengir cengengesan. Sebelum Mbak Nilam mengluarkan kata-kata pedasnya, aku memilih pamit dan berlari sekuat tenaga.

Sambil terus berlari, kudengar Mbak Nilam teriak-teriak. Mungkin saja perempuan itu mengeluarkan sumpah serapah andalannya. Kalo Mbak Nilam sudah ngamuk, jangankan si goib, kebun binatang aja dia absen. Ngeri gak tuh!

Entah Om Gibran nemu dari mana perempuan itu.

"Huh! Huh! Huh!"

Lari maraton baru saja finish.

Tarik nafas, keluarkan. Tarik nafas lagi, keluarkan lagi. Huufft.. Kuseka peluh yang menetes di dahi.

Kini aku berada di jalan raya. Celingak celinguk mencari angkutan umum untuk mengantarkanku sampai ke sekolah.

Kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul 07.15. Masih ada waktu lah, yah.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dari arah kejauhan, kulihat Siti bersama scoopy-nya sedang menuju ke arahku. Dia memang sahabat paling peka. Tahu aja sahabatnya ini sedang butuh tumpangan. Kalo gini kan uang jajanku aman.

Siti berhenti tepat di depanku.

"Nada?! Tumben lu berangkat pagi?" Heran dia bertanya.

Aku memutar bola mata malas. Padahal kan, biasanya juga aku berangkat pagi. Eh, emang iya, yah? Tau deh. Jarang liat jam saat akan berangkat sekolah. Intinya pergi pagi pulang siang. Bisa sore kalo ada perlu. Ke warnet misal. Atau nongkrong.

"Biasanya kan juga pagi."

"Dih! Nggak ngerasa dia."

"Ngerasa, kok."

"Apa?"

"Pinter, kan?"

"Lha, kagak nyambung nih bocah. Btw mau ikut gue nggak?"

"Nggak! Nggak mau nolak maksudnya. Eak!" Segera kunaiki scoopy Siti. Kupeluk erat-erat dia dari belakang. Takut ngejengkang. Andai tiap hari begini. Bisa beli emas aku.

Sampai di sekolah, kulihat lapangan bola begitu ramai. Teriakan cempreng dari para ciwi yang mendukung pemain favorit-nya.

Jam belajar kelas tiga memang sudah bebas. Kita hanya tinggal menunggu wisuda kelulusan.

Datang ke sekolah hanya untuk basa-basi, lalu pulang. Enaknya kita dapat saku. Karena kalau aku nggak sekolah, bisa melas seharian kagak dikasih jajan sama ibu. Lain lagi kalo anak orang kaya. Sekolah gak sekolah jajan mah tetep jalan.

Anak cowok biasa menggunakan waktunya buat olahraga seperti futsal, voli, raket, atau yang lain. Tapi banyak juga sih yang cuma nongkrong gak jelas. Contohnya rombongan si Zenal. Hobi banget mereka godain cewek.

"Ya ampun! Cantik banget sih, kamu." Zenal berkata pada cewek berponi yang kebetulan melewatinya.

"Ah, makasih. Kamu juga ganteng." Si cewe terlihat salting dan malu malu kingk0ng.

Krukkk...

Ah ya ampun! Cacing-cacing dalam perutku memberi sinyal. Kupegangi perut yang terasa lapar.

"Laper, yah? Kantin, yuk. Gue traktir." Seorang cowok berseragam futsal menghampiriku yang sedang berdiri di depan kelas bersama Siti. Ternyata dari tadi dia memperhatikanku.

Hampir semua cewek yang mengitari lapangan itu menatap ke arahku.

"Gue ke kantin sama besti gue aja, deh. Tuh! Penggemar fanatik lu pada liatin sinis ke gue." Dagu kuarahakan pada ciwi-ciwi centil yang sepertinya kepanasan karena idolanya ngedeketin aku. Lalu segera kutarik tangan Siti menjauh dari Davin, si mantan ketua osis yang digilai para siswi.

Bisa dibilang, Davin ini superstarnya sekolah. Dia memiliki wajah lumayan tampan, tapi masih kalah kalau dibandingin sama Om Gibran eh? Oke lanjut. Davin juga seorang murid yang dikenal banyak guru karena kepintarannya. Plus dia itu anak dari orang kaya. Papa Mamanya kerja kantoran, guys. Paket komplit emang.

Menurut Siti, Rani, dan Sari, Davin itu suka sama aku. Bener nggaknya aku juga tidak tahu. Cuma sejauh ini emang dia perhatian banget sih. Suka ngajak jalan walau sering aku tolak, nggak pelit soal duit, alias sering traktir aku jajan, dan sering main ke rumah juga. Tapi anehnya aku nggak ada rasa sedikitpun sama dia.

*

"Hebat! Cuma lu, Nad, satu-satunya siswi yang berani nolak cowok sekeren Davin." Bukannya makan, Siti malah asik ngoceh tentang si Davin.

Tak kuhiraukan ucapan tak bermutu itu.

"Nad," Siti memanggil.

"Hm." jawabku singkat. Karena mulutku masih sibuk mengunyah cilok buatan Bang Jali. Makanan satu ini bener-bener the best! Lima jemol buat Bang Jali. Satu jempol pinjam punya Siti.

"Lu beneran kagak naksir si Davin?" tanyanya kemudian. Kuputar bola mata jengah. Pasalnya hampir berpuluh-puluh kali dia bertanya begitu.

"Bosen tau, nggak, denger lu tanya itu-itu mulu."

"Ya, habisnya, lu--"

Perkataan Siti ngambang begitu saja saat seseorang memanggil nama kita berdua.

"Dua jangkrik datang, tuh!" Siti berujar.

Aku menoleh.

Dua orang sisiwi yang sepertinya akan bergabung bersama kita. Rani dengan Sari. Mereka berdua terlihat seperti orang kembar. Sama-sama pake kacamata dengan rambut kuncir kuda. Tumben juga si Sari ikutan pake kacamata kaya Rani.

"Elah, ke kantin kagak ngajak-ngajak." Sari duduk di sampingku dan langsung merebut gelas es teh yang sedang kusedot.

"Pesen dulu sana!" kataku hendak merebut kembali es teh? Aku melongo melihat gelas yang hanya tinggal batunya saja. Dia lintah apa orang, yah. Cepet amat sedotannya.

Melihat aku merengut, Sari memanggil Bik Wati. Memesan dua mangkok bakso buat dia dan Rani. Juga tiga minuman dingin yang katanya satu buat mengganti minumanku yang sudah dia habiskan.

.

.

😽😽😽

Terpopuler

Comments

Eva Nietha✌🏻

Eva Nietha✌🏻

Baru merapat 😁

2023-12-04

0

Yuri Lowell

Yuri Lowell

Karakter-karakternya bikin baper thor, lanjutkan terus skenarionya!

2023-08-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!