PESONA LUCIA
Disini aku berdiri...
Memandang kabut dini hari...
Sendiri...
Membiarkan angin dingin menembus pori-pori.
Sambil menyembunyikan kedua lengan yang terasa membatu.
Haruskah seperti ini?? Setiap hari, disini, tanpa tujuan yang pasti.
Gelombang air kian menyambut, bersuara merdu seakan menyapa dengan caranya sendiri.
Memandang langit yang sama dalam satuan detik yang berbeda, memimpikan impian yang berkeliling dalam pikiran.
Bertapak di atas kayu yang saling bergandengan sambil menatap lurus ke depan ditemani pepohonan yang menari seolah menghibur diri ini.
Ku pandangi langit ungu yang senantiasa menampakkan diri.
Indah, namun aku tak suka.
Mengingatkan ku ke dalam kejadian bertahun-tahun lalu, langit ungu yang membawa Ayah pergi dan tak kunjung kembali.
Kemanakah dia???
Kini aku sendiri, menghadapi semua dengan tubuh yang lemah tanpa ada yang menolong jeritan yang membuncah di dalam jiwa.
Topeng ini begitu tebal, sulit untukku lepas...
Bahkan tak terasa kala ku belai.
Perlahan matahari itu berdiri, menghangatkan raga namun tidak dengan jiwa. Menyambut diriku, tapi juga menyambut yang lainnya. Ia tak setia, hanya melakukan kewajiban saja.
Langit ungu pun kian memudar, berganti putih kosong berkabut bagaikan awan tipis sebagai hiasannya.
Aku menghela nafas dalam, menjernihkan pikiran dari segala sesuatu yang membuat batinku sesak.
Aku menatap pemandangan itu sebentar, sebelum akhirnya kaki ku terseret menjauh dari sana, kembali ke dalam kehidupan ku yang sebenarnya.
***
Kampus hari itu benar-benar ramai, dikelilingi banyak muda-mudi yang berkumpul bukan hanya untuk "mencari ilmu".
Memiliki tujuan berbeda atau mungkin hanya ingin mencari fantasi semata.
Tawa cerita pun menghiasi wajah para wanita, saling melingkar dengan obrolan yang panjang.
Entah apa yang dibicarakan akan tetapi membuat semua orang ingin bergabung menjadi bagian dari mereka.
Canda tawa orang-orang itu tiba-tiba terhenti tatkala mata mereka menyoroti seorang wanita yang datang memakai perlengkapan ospek sambil berjalan dengan perut besar yang menggantung.
Bisik riuh terdengar seperti sebuah lagu yang saling bertabrakan.
Lucia berjalan pelan menyeimbangkan beban berat yang ia tanggung di belakang punggung juga di bagian depan tubuhnya.
Duduk di atas lembaran koran yang ia bawa sesuai instruksi panitia, menghiraukan pandangan orang-orang yang menoleh kebelakang menatap padanya.
"SEMUANYA BERDIRI....! OSPEK AKAN SEGERA DIMULAI" Suara lantang membangunkan ribuan mahasiswa baru tersebut, berbaris sesuai dengan gugusnya masing-masing.
"PAKE TOPINYA!"
Topi caping dengan hiasan menarik mereka sematkan diatas kepala, melindungi rambut mereka dari teriknya sinar mentari.
"Heh, mana topi mu?!" Seru lelaki ber-almameter itu pada mahasiswa baru yang tak memakai benda sesuai perintah.
"Maaf kak topi saya rusak, jadi tidak saya bawa" sahut lelaki berpakaian Hitam-Putih itu.
"Rusak?? Rusak kamu bilang?!!"
"I-iya, kak"
"BAGUSSSSS!!! HARI PERTAMA AJA UDAH MELANGGAR, KAMU!" Sentaknya sambil bertepuk tangan.
Semua orang tambah menegang, belum apa-apa sudah timbul masalah, apalagi acara berlangsung hingga sore hari.
"Push up 30 kali, cepat!!" Titah senior itu tanpa bisa dibantah.
Calon mahasiswa baru itu pun mengambil posisi di bawah tanah, bersiap untuk melakukan hukuman dari panitia ospek.
Lucia berdiri sekuat tenaga, bergelut dengan panasnya matahari yang semakin menusuk, apalagi kakinya yang bengkak dipaksa berdiri dengan tegak.
Dua jam mereka mengikuti serangkaian acara yang belum setengahnya selesai, tetapi wanita muda yang tengah berbadan dua disana tampaknya sudah tidak kuat.
Ia pun mengangkat tangan dan menginterupsi.
"Intrupsi kak!"
Para senior mengalihkan fokus mereka, beberapa diantaranya mendekat.
"Kenapa?"
"Izin ke belakang kak, saya agak mual sedikit"
Mereka menatap ke bagian tubuh Lucia yang menonjol, menebak jika itulah penyebabnya.
"Lagi hamil? Kenapa ikut ospek?!"
"Tidak apa-apa, kak. Sedang saya usahakan"
"Ya sudah, cepat ke belakang. Sa, antar dia!" titah senior pada rekan perempuannya.
Lucia diantara oleh pemandu gugus, dengan jalan tertatih-tatih ia sampai di depan toilet.
"Makasih kak udah antar saya"
"Sama-sama, nanti langsung ke UKS aja kalau belum kuat, khusus wanita hamil dan yang sakit diberi keringanan. Kamu tau kan dimana UKS nya?"
"Tau, kak"
Lucia pun masuk ke dalam salah satu pintu toilet, hanya untuk mencuci muka dan duduk di atas WC sambil mengipasi wajahnya dengan name tag yang mengalung di bagian leher.
Sedangkan tangan kiri Lucia mengusap perut buncit yang terasa sesak, seperti ingin meletus dan mengempiskan area tersebut.
"Makin hari tambah berat saja, bagaimana kalau sudah di penghujung kehamilan? Datang ke kampus saja pasti sudah seperti naik ke atas bukit tertinggi" membayangkan masa itu.
Lucia merasa haus, tapi ia ingat jika tasnya ada di tengah lapangan. Haruskah ia membeli sebotol air mineral? Tapi Lucia terlalu malas menghadapi tatapan orang lain disana.
"Kalau tidak ingat makhluk kecil ini sudah aku minum air keran toilet"
Akhirnya Lucia memilih pergi ke UKS, ia ingin berbaring di atas brankar, meluruskan punggung yang amat pegal seolah tulang-tulangnya patah dan tak mampu menopang tubuh besar Lucia.
Sesampainya disana, Lucia justru tak kebagian tempat berbaring. Hampir seluruh brankar terisi penuh tidak hanya dari peserta ospek tapi juga dari mahasiswa aktif di kampus.
Lucia memilih duduk di sofa bersama dengan orang-orang yang tak kebagian tempat.
"Kamu peserta ospek?" Seru orang disebelah Lucia.
"Iya, kak" sahut Lucia seadanya.
"Gak capek ikutan ospek saat hamil?" Lanjutnya terkejut.
Dengan senyum simpul Lucia menjawab, "Capek kak, tapi harus tetap diusahain"
"Berapa bulan kandungannya?"
"Enam"
"Udah besar juga ya"
Seusai itu tak ada lagi obrolan diantara keduanya, hanya perbincangan singkat yang dilumuti rasa penasaran semata. Mereka bukan orang saling kenal, bukan juga calon teman seangkatan, kembali asing dalam hitungan menit dan seterusnya.
"Silahkan diminum, kalau pusing kasih tau kami supaya dapat obatnya" kata wanita berpakaian putih disana, menyodorkan Lucia segelas air hangat.
"Makasih, kak" segeralah Lucia meneguk air tersebut, menghilangkan dahaga yang mengeringkan kerongkongan.
***
Aku tau.
Aku tidak perlu pergi untuk melupakan seseorang.
Tapi aku juga tau.
Semakin aku disini, aku semakin tidak bisa melupakan.
Begitulah kiranya isi hati laki-laki yang tengah berdiri di hadapan batu nisan seorang perempuan yang sudah tak bernyawa.
Tatapannya kosong ke arah tanah berumput yang baru ditaburi macam-macam bunga, aromanya menyengat mengelilingi indera penciuman.
Kakinya terasa kelu untuk berlalu, ingin tetap disini menemani sembari menikmati rasa sakit kala dirinya masih sangat kehilangan.
Kenapa mesti sekarang? Disaat ia sudah mulai mencintai, tetapi Tuhan justru mengambilnya ketika cincin berlian ini akan ia beri.
Fabio merogoh benda cantik itu didalam saku celananya, menatap hampa lingkaran berkilau tersebut.
Benda ini seharusnya sudah tersemat disalah satu jari manis wanitanya, melingkar indah nan sempurna.
Fabio ingin melakukannya...
Tapi ia tak kuasa, sekarang ia hanya mampu memberi cincin ini di atas rumah terakhir sang permaisuri.
Diletakkannya berlian itu di atas tanah padat, terkubur rapi bersama pemilik yang sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Ety Nadhif
mampir ka
2024-06-07
0
™febri@n.*
mampir thor ..terharu sama kata" di awal smoga tidak sad ya
2024-04-22
1
Diana Susanti
nyimak
2024-01-26
1