Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu malam, waktu dimana orang-orang terpejam guna mengistirahatkan tubuhnya seusai beraktivitas panjang.
Hiruk-pikuk kota pun sedikit berkurang jumlahnya, hanya lampu-lampu jalanan yang menerangi setiap tempat untuk melaju.
Tak ada kemacetan di sepanjang jalan, membuat suasana malam sangatlah indah kala diiringi oleh nyanyian lagu bermelodi.
Ternyata purnama masih tetap terjaga, terasa lama menunggu surya di tengah malam seperti ini.
Persis yang dirasakan oleh seorang lelaki yang tengah diam berdiri di atas gedung bertingkat tinggi, tanpa ditemani satu rekan ataupun kawan.
Fabio menghirup oksigen hingga memenuhi seluruh rongga paru-parunya.
Setelah berkumpul dengan teman-teman, Fabio langsung pergi ke atap gedung apartemen yang ia tempati.
Dia selalu mencari kesunyian setelah berada dalam lingkup keramaian, menjernihkan telinga yang terasa panas seusai mendengar suara penuh kebisingan.
Ditengah lamunannya, seseorang tiba-tiba datang dan berdiri di samping Fabio, mereka sama-sama melihat pemandangan kota dari atas bangunan tinggi tersebut.
Fabio hanya diam tanpa menanggapi keberadaan pria yang telah mengganggu ketenangannya.
"Besok Papa dan Mama akan pulang... " Seru lelaki paru baya itu.
Fabio diam membisukan mulutnya.
"Setelah mengantarkan kamu kesini dan mengawasi kamu selama sebulan, kami rasa kamu sudah mulai beradaptasi dengan beberapa temanmu, Papa juga harus kembali bekerja. Apa perlu Papa suruh Mama untuk tetap disini menemani kamu?" Tanyanya yang tak lain adalah Ayah dari Fabio.
"Papa akan pulang sendiri kalau kamu membutuhkan seseorang untuk menemani kamu"
Namun Fabio menggeleng, menolak tawaran Ayahandanya.
"Enggak perlu, Fabio akan baik-baik saja disini" Ujar Fabio meyakinkan sang Ayah.
Pria paru baya itu pun mengangguk, tak akan memaksa keinginan sang putra.
"Baiklah, Papa harap kamu bisa menimba ilmu yang baik disini. Dan juga.... Memenuhi kerinduan kamu pada seseorang, jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Orang seperti kamu tidak pandai berbagi duka, akan sangat berat jika ditanggung seorang diri" Tuturnya menasehati anak lelaki ini.
Fabio memalingkan wajah ke sembarangan arah, sedikit malu saat orang tua membahas masalah pribadinya. Apalagi Fabio adalah seorang laki-laki.
"Jangan khawatirkan itu" Sahut Fabio.
Sang Ayah tertawa renyah melihat tingkah Fabio, sebagai sesama lelaki ia tahu apa yang Fabio rasakan, apalagi kepribadian Fabio yang sangat tertutup membuatnya harus ekstra berusaha mendekati anak lelakinya sendiri.
"Jangan malu, Papa juga pernah muda. Curahkan saja semua keluh kesah yang mengganjal di hatimu, Papa akan mendengar semua curhatan kamu... Kamu tenang saja, Papa tidak akan menyebarkannya pada orang lain termasuk pada Mama mu"
Fabio mendengarkan semua yang Ayahnya katakan, tetapi Fabio tidak menanggapi seruan itu.
"Ini tengah malam, sebaiknya Papa tidur. Besok aku antar kalian ke bandara" Ucap Fabio mengusir secara halus.
"Tentu saja kamu harus mengantar kami, sebaiknya kamu juga segera kembali dan tidur. Papa akan turun lebih dulu, jangan terlalu lama disini" menepuk bahu Fabio setelah berkata demikian, lelaki paru baya itu pun pergi dari sana meninggalkan Fabio yang masih bertapak kaki ditengah-tengah bumi yang dia huni.
***
"Sekarang kalian boleh istirahat dengan bebas, boleh ke kantin atau tetap di lapangan pun terserah. Ya penting pukul 12.30 kalian sudah berada di lapangan lagi"
"Ingat! Kalau ada yang telat lebih dari jam itu, kalian berhak mendapat hukuman dari kami"
"Mengerti?!!"
"Siap, mengerti!" Para Maba serempak.
Barisan di silahkan bubar dari baris terdepan, hampir semua peserta memilih pergi ke kantin, karena untuk pertama kalinya mereka diperbolehkan turun dari lapangan di jam ospek berlangsung.
Lucia celingak-celinguk di ujung lapangan, pundaknya ditepuk oleh salah satu teman gugus Lucia, ia menoleh seketika.
"Lucia, ayo. Ke kantin?" Ajak sang teman seperjuangan, merasa kasihan melihat Lucia yang sendiri terus sejak kemarin.
"Iya" Lucia pun ikut bersama mereka, sebab bingung harus kemana jika sendirian.
Kantin seketika sudah seperti pasar tradisional, dikerumuni pembeli pembeli muda yang mengantri untuk mendapatkan makanan yang mereka pesan.
"Lucia, mau ikut beli dimsum?"
"Enggak, aku mau beli mie ayam. Kalian duluan aja"
"Oke, hati-hati"
Mereka pun berpisah disana, Lucia menghampiri penjual mie ayam, turut menjadi pembeli yang berdiri berurutan.
Andai saja ada barisan untuk ibu hamil, pasti dia sudah diprioritaskan lebih dulu.
Sudah lima belas menit dan Lucia masih berbaris di urutan nomor dua.
Ketika orang di depannya telah memesan, kini giliran Lucia maju, baru saja ia menyeret kakinya satu langkah sang penjual tiba-tiba berkata.
"Maaf adek-adek ternyata mie Ayamnya sudah habis, adanya tinggal mie bakso. Mau?"
Kedua bahu Lucia merosot ke bawah, sudah capek-capek antri malah kehabisan stok pesanan.
"Beneran gak ada bang? Satu lagi?" Lucia mencoba bertanya.
"Habis dek, paling mie bakso"
"Ya udah, gak jadi bang. Makasih"
Tanpa sadar suara Lucia menarik perhatian lelaki di sebelahnya, dengan tatapan yang tertuju pada perut si wanita, dia membawa mangkuk berisikan mie ayam yang dirinya pesan, dia terus menatap kepergian Lucia yang sudah cukup jauh.
"Bro, ayo. Cewek-cewek udah cari meja kosong buat kita"
Tapi seruan dari kawannya tak di respon sama sekali.
"Bro, liat apa sih?!" Mulai penasaran.
"Bis, Lo duluan aja. Gue ada urusan" melangkah pergi meninggalkan sahabatnya yang tercengo di tempat.
"Fabio anj...!" Umpat remaja satu ini, menggeram penuh kekesalan.
Fabio mengejar wanita yang tak kebagian pesanan itu, mengedarkan pandangan ke penjuru kantin yang luas, pakaian yang sama membuatnya tak bisa membedakan satu sama lain.
Fabio terus mencari sampai ke ujung kantin, sambil setia mengangkat mangkuk dengan satu tangannya.
"Eh sorry sorry, perutnya gak apa-apa? Maaf aku kira gak ada orang di belakang"
"Iya gapapa, cuma kesenggol dikit kok"
"Maaf ya..."
Obrolan itu membuat Fabio memutar tubuh hingga 180 derajat, ditelusurinya sang pemilik suara, hingga dia berhasil menemukan orang tersebut.
Lucia menyimpulkan senyum guna memperlihatkan jika dirinya baik-baik saja, tak enak juga kalau orang itu terus meminta maaf, karena akan menyita perhatian khalayak ramai.
Setelah mereka pergi, Lucia masih disibukkan mencari makan siangnya. Padahal tinggal sisa lima belas menit lagi, tapi dia sama sekali belum mendapatkan santapan apapun.
"Permisi...." Suara dari orang dibelakang menimbulkan reaksi terhadap Lucia, ia menoleh sebelum akhirnya berbalik.
Seorang lelaki ber-almameter berdiri tepat di belakangnya, membawa mangkuk mie ayam yang aromanya menyengat sampai ke indera penciuman Lucia.
Huft... Ada saja godaan disaat Lucia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan, malah lewat di depan wajahnya.
"Silahkan, kak" bergeser ke samping, sebab Lucia mengira orang di depannya hendak melintas.
"Mau mie ayam punyaku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Anya
msh pnsrnnnnn
2023-09-24
2
Tien Ensoe
hmm pertemuan pertama kah ?
2023-09-16
1
rindu rindu
nah pertemuan pertama
2023-09-15
1