...ATTENTION‼️...
...NOVEL INI TELAH BERGANTI JUDUL...
...---...
"Hah?" Lucia menengadah, menjadikan dua insan itu silih bersitatap.
Dalam hati ia bertanya, siapa gerangan lelaki ini? Apa maksud dari tawarannya? Dari mana dia tau kemauan Lucia?
Wajah tampan nan rupawan itu, pasti tidak tertuju pada dirinya kan? Datang tak diundang untuk sekedar menawarkan mie ayam.
"Ini, buat kamu" menyodorkan mangkuk besar itu kepada Lucia.
"Ini.... Apa kak?" Terbengong.
"Mie ayam" jawab Fabio dengan jelas.
"Maksudku.... Kenapa kakak kasih ini untuk aku?"
"Kamu mau mie ayam kan? Ini, ambil aja" mendesak agar Lucia menerima mangkuk tersebut.
"Eh, gak usah kak. Buat kakak aja, aku mau pesan yang lain kok" Lucia buru-buru menghindar, mencoba menjauh dari lelaki tak dikenalnya itu.
Hap!
"Mau kemana? Udah, makan ini aja" menarik lengan Lucia dan membawanya ke sebuah meja.
"Eh, jangan kak!" Tolak Lucia, entah dari mana sosok tersebut bisa datang. Lucia merasa tak pernah melihatnya.
"Duduk disini!" Menekan bahu si wanita sehingga terjatuh bokongnya di kursi panjang itu.
Fabio ikut duduk berhadap-hadapan, melipat kedua tangan di atas meja, sambil fokus menatap perempuan yang belum ia kenali siapa namanya.
"Cepat makan, waktunya tinggal 15 menit lagi kan?" Ujarnya menitah.
"Tapi.... Ini punya kakak"
"Udah, cepetan kamu habiskan. Lagi ngidam mie ayam kan?" Tebak Fabio.
"Ngidam?" Lucia mengulang.
"Perut itu" menunjuk perut Lucia yang menggelembung.
Ah, jadi ini maksudnya. Laki-laki tersebut pasti merasa iba saat melihat Lucia yang tak kebagian pesanan, mengira Lucia sedang mengidam makanan satu ini.
Tapi jujur, meski pun ingin namun Lucia tidak begitu menginginkannya. Ia masih bisa cari yang lain, hanya saja bingung dan malas mengantri.
"Teman-teman kamu udah mulai pergi, kamu masih disini dan belum makan apa-apa. Cepet, nanti aku adukan pada mentor kamu loh" ancam Fabio, membuat Lucia melotot.
"Kakak panitia ospek juga?"
"Bukan, tapi panitia ospek itu teman ku juga"
Tak mau dapat masalah, Lucia memilih melahap mie ayam yang dia dapat.
Emm.... Kenapa rasanya enak sekali? Melebihi ekspektasi Lucia, apa karena ia dapat secara gratis. Eh, memang lelaki ini benar-benar memberi tanpa imbalan? Ah... Nanti saja kalau sudah habis Lucia bayar.
"Pedas enggak?"
"Enggak, pas kok" sahutnya dengan mulut yang terisi penuh.
"Habiskan, aku mau beli minumnya dulu" Fabio bangkit menuju kantin terdekat, tak lupa untuk menyuguhkan sebotol minuman segar.
Seusai membayar Fabio kembali lagi ke meja tadi, membeli dua botol untuk mereka berdua.
Mangkuk yang tadinya penuh dengan mie sedikit demi sedikit habis dilahapnya, wanita yang tadi sempat menolak bersikeras, ujungnya lenyap ke dalam lambung Lucia.
Fabio membuka tutup botol air mineral, memberikannya ketika Lucia telah menghabiskan makanan tersebut.
"Berapa kak semuanya?"
"Gak perlu, semua gratis!"
"Jangan kak, biar aku bayar"
"Gak usah, sini mangkoknya. Mau aku kembalikan" mengambil wadah itu lalu bangkit.
"Kak? Berapa totalnya? Dua puluh ribu cukup?"
"Gratis, kamu tenang aja. Aku pergi dulu ya"
Lucia ikut berdiri, mengambil uang saku untuk diserahkan pada Fabio.
"Kak please..... Ini, tolong ambil uangnya"
"Udah ya, aku mau pergi. Kamu juga cepatlah kembali, nanti dimarahi"
"Kak ini ambil dulu" saat Lucia hendak mengejar, teman sebayanya menghampiri untuk mengajak kembali.
"Lucia, ayo. Tinggal lima menit lagi"
"Tapi...."
"Cepet Lucia!"
Dan dengan langkah berat, Lucia memilih pergi dari sana. Tak mengejar lagi lelaki yang mentraktirnya makan siang.
Mungkin nanti, kalau mereka bertemu lagi.
***
Tidakkah ada yang lebih indah dari cerita Galih dan Ratna? Jika ada, mungkin perjalanan yang dilaluinya terasa bagai neraka.
Karena yang berbuah manis akan selalu dihinggapi ribuan ulat di sekelilingnya.
Sesuatu yang selalu diterapkan dalam hidup Lucia, sesakit apapun hidupnya kini, suatu saat nanti ia harap bisa bahagia.
Makan malam dengan sayur lagi, hanya diaduk-aduk Lucia tanpa berniat menelan satu suapan saja.
Mangkuk besar ini mengingatkannya pada laki-laki tadi, seperti menyangkut di otak Lucia semenjak terakhir kali melihat punggungnya.
"Kakak kelas itu.... Siapa namanya?" Bergumam sambil menerawang ke depan.
Lucu sekali kalau di pikir-pikir, ada seseorang yang tidak kita kenali tiba-tiba datang sambil menyodorkan semangkuk mie ayam, tidak tau bagaimana ceritanya orang itu bisa paham keinginan kita.
Wajar sih kalau cuma menawarkan, tapi yang ini juga memaksa kita.
Lucia tertawa kecil, ada-ada saja tingkah manusia satu ini.
"Dasar aneh...!" Lucia mengatai, tapi juga mengulas senyum penuh arti.
Dia bahkan jadi lupa sayur sup yang hanya didiami, sudah tak panas lagi, tekstur yang tadinya kental berubah mencair.
"Semester berapa?"
"Dari jurusan mana?"
Sayang sekali tak sempat bertanya, besok ada di kampus lagi tidak?
Besok?
Ah, lagi-lagi Lucia dibuat lupa. Esok dirinya harus pergi memeriksa kandungan. Sudah dibuatkan janji juga dengan dokter yang menanganinya.
"Huftt.... Aku malas datang kesana" mengeluhkan nasibnya besok, harus bertemu dengan pria yang akan dibawa Nyonya.
Mengusap perut yang terasa mengencang itu, setiap malam harus dihadapi dengan reaksi seperti ini. Tulangnya yang lunak belum siap membawa beban berat tersebut.
"Eughhh......!"
Lucia buru-buru mengambil minyak yang diwadahi botol kecil, meneteskan di atas perut kemudian mengolesi hingga ke seluruh permukaan kulit.
Orang bilang cara ini efektif untuk meredakan perut kencang, sambil di pijat-pijat sedikit dan tunggu beberapa saat.
Tak ada yang bisa menjadi teman untuk berbagi rasa sakit, Lucia menahan semua itu seorang diri, di usia yang masih genap 18 tahun.
"Lama banget, biasanya langsung hilang" merintih.
Lucia mencoba berbaring miring, merilekskan tubuhnya agar tidak kaku dan tegang.
"Tarik nafas........ Keluarkan"
"Huftttttttt.........."
Mencoba berbagai cara agar rasa nyerinya mereda, berangsur-angsur rasa sakit itu menghilang, Lucia terkapar lemas di atas ranjang.
Menatap langit-langit kamar yang hampa. Kosong, seperti masa depannya yang belum tergambar jelas.
Disaat seperti ini Lucia teringat sosok orang tuanya, sang Ayah yang telah pergi, dan ibu yang merantau jauh darinya. Belum sempat Lucia bahagiakan, tapi malah dirinya lebih dulu ketimpaan musibah.
"Ibu..... Lucia rindu, Lucia butuh ibu"
Genangan air yang ia tahan-tahan menembus di ujung penglihatan, rindu menjadi kanak-kanak yang tak perlu memikirkan beban berat. Tapi kini, nasib mentakdirkan Lucia menanggung derita seberat batu dari angkasa.
Usianya yang sangat muda membuat Lucia labil dalam menghadapi masa-masa berbadan dua, bagaimana mungkin ia bisa menjadi seorang ibu dalam keadaan emosi yang seperti ini? Tidakkah itu menyiksa diri dan bayinya?
"Laki-laki itu...... Kenapa dia jahat sekali?!" Isak Lucia membatin, menyalahkan orang-orang yang telah membuatnya terkurung di sangkar penderitaan, tanpa tau salah apa Lucia kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Ety Nadhif
penasaran,,baca ini pdhl udah end tp ga mau baca dari akhir,,biar seru
2024-06-08
0
lyani
wahhhhh.....
2024-02-01
1
Esther Lestari
Lucia hamil dari Ghani suami nyonya itu ?
2023-10-02
2