Disini aku berdiri...
Memandang kabut dini hari...
Sendiri...
Membiarkan angin dingin menembus pori-pori.
Sambil menyembunyikan kedua lengan yang terasa membatu.
Haruskah seperti ini?? Setiap hari, disini, tanpa tujuan yang pasti.
Gelombang air kian menyambut, bersuara merdu seakan menyapa dengan caranya sendiri.
Memandang langit yang sama dalam satuan detik yang berbeda, memimpikan impian yang berkeliling dalam pikiran.
Bertapak di atas kayu yang saling bergandengan sambil menatap lurus ke depan ditemani pepohonan yang menari seolah menghibur diri ini.
Ku pandangi langit ungu yang senantiasa menampakkan diri.
Indah, namun aku tak suka.
Mengingatkan ku ke dalam kejadian bertahun-tahun lalu, langit ungu yang membawa Ayah pergi dan tak kunjung kembali.
Kemanakah dia???
Kini aku sendiri, menghadapi semua dengan tubuh yang lemah tanpa ada yang menolong jeritan yang membuncah di dalam jiwa.
Topeng ini begitu tebal, sulit untukku lepas...
Bahkan tak terasa kala ku belai.
Perlahan matahari itu berdiri, menghangatkan raga namun tidak dengan jiwa. Menyambut diriku, tapi juga menyambut yang lainnya. Ia tak setia, hanya melakukan kewajiban saja.
Langit ungu pun kian memudar, berganti putih kosong berkabut bagaikan awan tipis sebagai hiasannya.
Aku menghela nafas dalam, menjernihkan pikiran dari segala sesuatu yang membuat batinku sesak.
Aku menatap pemandangan itu sebentar, sebelum akhirnya kaki ku terseret menjauh dari sana, kembali ke dalam kehidupan ku yang sebenarnya.
***
Kampus hari itu benar-benar ramai, dikelilingi banyak muda-mudi yang berkumpul bukan hanya untuk "mencari ilmu".
Memiliki tujuan berbeda atau mungkin hanya ingin mencari fantasi semata.
Tawa cerita pun menghiasi wajah para wanita, saling melingkar dengan obrolan yang panjang.
Entah apa yang dibicarakan akan tetapi membuat semua orang ingin bergabung menjadi bagian dari mereka.
Canda tawa orang-orang itu tiba-tiba terhenti tatkala mata mereka menyoroti seorang wanita yang datang memakai perlengkapan ospek sambil berjalan dengan perut besar yang menggantung.
Bisik riuh terdengar seperti sebuah lagu yang saling bertabrakan.
Lucia berjalan pelan menyeimbangkan beban berat yang ia tanggung di belakang punggung juga di bagian depan tubuhnya.
Duduk di atas lembaran koran yang ia bawa sesuai instruksi panitia, menghiraukan pandangan orang-orang yang menoleh kebelakang menatap padanya.
"SEMUANYA BERDIRI....! OSPEK AKAN SEGERA DIMULAI" Suara lantang membangunkan ribuan mahasiswa baru tersebut, berbaris sesuai dengan gugusnya masing-masing.
"PAKE TOPINYA!"
Topi caping dengan hiasan menarik mereka sematkan diatas kepala, melindungi rambut mereka dari teriknya sinar mentari.
"Heh, mana topi mu?!" Seru lelaki ber-almameter itu pada mahasiswa baru yang tak memakai benda sesuai perintah.
"Maaf kak topi saya rusak, jadi tidak saya bawa" sahut lelaki berpakaian Hitam-Putih itu.
"Rusak?? Rusak kamu bilang?!!"
"I-iya, kak"
"BAGUSSSSS!!! HARI PERTAMA AJA UDAH MELANGGAR, KAMU!" Sentaknya sambil bertepuk tangan.
Semua orang tambah menegang, belum apa-apa sudah timbul masalah, apalagi acara berlangsung hingga sore hari.
"Push up 30 kali, cepat!!" Titah senior itu tanpa bisa dibantah.
Calon mahasiswa baru itu pun mengambil posisi di bawah tanah, bersiap untuk melakukan hukuman dari panitia ospek.
Lucia berdiri sekuat tenaga, bergelut dengan panasnya matahari yang semakin menusuk, apalagi kakinya yang bengkak dipaksa berdiri dengan tegak.
Dua jam mereka mengikuti serangkaian acara yang belum setengahnya selesai, tetapi wanita muda yang tengah berbadan dua disana tampaknya sudah tidak kuat.
Ia pun mengangkat tangan dan menginterupsi.
"Intrupsi kak!"
Para senior mengalihkan fokus mereka, beberapa diantaranya mendekat.
"Kenapa?"
"Izin ke belakang kak, saya agak mual sedikit"
Mereka menatap ke bagian tubuh Lucia yang menonjol, menebak jika itulah penyebabnya.
"Lagi hamil? Kenapa ikut ospek?!"
"Tidak apa-apa, kak. Sedang saya usahakan"
"Ya sudah, cepat ke belakang. Sa, antar dia!" titah senior pada rekan perempuannya.
Lucia diantara oleh pemandu gugus, dengan jalan tertatih-tatih ia sampai di depan toilet.
"Makasih kak udah antar saya"
"Sama-sama, nanti langsung ke UKS aja kalau belum kuat, khusus wanita hamil dan yang sakit diberi keringanan. Kamu tau kan dimana UKS nya?"
"Tau, kak"
Lucia pun masuk ke dalam salah satu pintu toilet, hanya untuk mencuci muka dan duduk di atas WC sambil mengipasi wajahnya dengan name tag yang mengalung di bagian leher.
Sedangkan tangan kiri Lucia mengusap perut buncit yang terasa sesak, seperti ingin meletus dan mengempiskan area tersebut.
"Makin hari tambah berat saja, bagaimana kalau sudah di penghujung kehamilan? Datang ke kampus saja pasti sudah seperti naik ke atas bukit tertinggi" membayangkan masa itu.
Lucia merasa haus, tapi ia ingat jika tasnya ada di tengah lapangan. Haruskah ia membeli sebotol air mineral? Tapi Lucia terlalu malas menghadapi tatapan orang lain disana.
"Kalau tidak ingat makhluk kecil ini sudah aku minum air keran toilet"
Akhirnya Lucia memilih pergi ke UKS, ia ingin berbaring di atas brankar, meluruskan punggung yang amat pegal seolah tulang-tulangnya patah dan tak mampu menopang tubuh besar Lucia.
Sesampainya disana, Lucia justru tak kebagian tempat berbaring. Hampir seluruh brankar terisi penuh tidak hanya dari peserta ospek tapi juga dari mahasiswa aktif di kampus.
Lucia memilih duduk di sofa bersama dengan orang-orang yang tak kebagian tempat.
"Kamu peserta ospek?" Seru orang disebelah Lucia.
"Iya, kak" sahut Lucia seadanya.
"Gak capek ikutan ospek saat hamil?" Lanjutnya terkejut.
Dengan senyum simpul Lucia menjawab, "Capek kak, tapi harus tetap diusahain"
"Berapa bulan kandungannya?"
"Enam"
"Udah besar juga ya"
Seusai itu tak ada lagi obrolan diantara keduanya, hanya perbincangan singkat yang dilumuti rasa penasaran semata. Mereka bukan orang saling kenal, bukan juga calon teman seangkatan, kembali asing dalam hitungan menit dan seterusnya.
"Silahkan diminum, kalau pusing kasih tau kami supaya dapat obatnya" kata wanita berpakaian putih disana, menyodorkan Lucia segelas air hangat.
"Makasih, kak" segeralah Lucia meneguk air tersebut, menghilangkan dahaga yang mengeringkan kerongkongan.
***
Aku tau.
Aku tidak perlu pergi untuk melupakan seseorang.
Tapi aku juga tau.
Semakin aku disini, aku semakin tidak bisa melupakan.
Begitulah kiranya isi hati laki-laki yang tengah berdiri di hadapan batu nisan seorang perempuan yang sudah tak bernyawa.
Tatapannya kosong ke arah tanah berumput yang baru ditaburi macam-macam bunga, aromanya menyengat mengelilingi indera penciuman.
Kakinya terasa kelu untuk berlalu, ingin tetap disini menemani sembari menikmati rasa sakit kala dirinya masih sangat kehilangan.
Kenapa mesti sekarang? Disaat ia sudah mulai mencintai, tetapi Tuhan justru mengambilnya ketika cincin berlian ini akan ia beri.
Fabio merogoh benda cantik itu didalam saku celananya, menatap hampa lingkaran berkilau tersebut.
Benda ini seharusnya sudah tersemat disalah satu jari manis wanitanya, melingkar indah nan sempurna.
Fabio ingin melakukannya...
Tapi ia tak kuasa, sekarang ia hanya mampu memberi cincin ini di atas rumah terakhir sang permaisuri.
Diletakkannya berlian itu di atas tanah padat, terkubur rapi bersama pemilik yang sebenarnya.
Seusai menyelesaikan ospek hari pertama, aku langsung keluar dari aula kampus, berbeda dengan teman-teman yang lebih memilih bercengkrama dahulu dengan para teman baru.
Sedangkan aku langsung pergi begitu saja, tak ada yang bisa aku ajak berdiskusi. Aku tak nyaman dengan sorot mata orang-orang.
Aku berjalan melewati koridor dengan beberapa pasang mata yang menatap ke arahku, apakah sekarang aku sudah menjadi selebriti kampus??
Sepertinya begitu, namun bukan atas dasar kecantikan ataupun prestasi.
Aku terus berjalan ke arah gerbang, dari jauh aku melihat seorang pria berdiri di depan mobil berwarna merah. Lelaki itu melambaikan tangan saat melihatku.
Sejenak ku lirik orang-orang sekitar, mereka makin berbisik mengenai aku. Apa yang dipikirkan mereka? Apa karena lelaki yang menjemput ku ini?
Aku mendesah pelan, mau tak mau aku pun menghampiri lelaki dewasa di sana. Dia menyambutku dengan ramah.
"Selamat sore, saya diperintah oleh atasan saya untuk menjemput anda disini" Katanya.
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis meski rasanya bibirku ini sudah tak mampu lagi membentuk senyuman.
"Ya... " Jawabku singkat.
"Silahkan masuk" Dia membukakan pintu mobil untukku, aku pun masuk ke dalam kendaraan beroda empat tersebut.
Didalam mobil aku memandang ke arah kaca luar, nampak para kerumunan itu tertawa ke arah ku. Menceritakan aku sesuai yang mereka lihat.
"Sudah siap, Nona?" Tanya pria itu setelah duduk di kursi kemudi.
"Sudah"
Mesin mobil pun dinyalakan, kemudian melaju meninggalkan pekarangan, membuat rasa sesak di dalam diriku sedikit melebur.
***
Fabio memutuskan meninggalkan pemakaman sore hari, matahari sebentar lagi tenggelam dan penjaga pemakaman memintanya untuk segera pulang.
Bukan mengusir, melainkan tak tega melihat Fabio yang sedari pagi hanya diam disalah satu makam.
"Tuan sudah sangat lama disini, sebaiknya pulang dan istirahat lah. Tuan bisa kembali lagi besok"
Namun, lelaki berusia dua puluh tahun itu tak langsung melajukan mobilnya untuk pulang. Ia memutar stir mobil ke suatu tempat di ujung kota.
Jalanan yang padat tak membuat ia mengeluh untuk pergi kesana, bahkan Fabio tak bisa menundanya sampai besok.
Mobil sport itu membelah jalanan kota yang ramai akan pengendara.
Keramaian tak membuat suasana hatinya ikut merasa terhibur, kekosongan terus menyelimuti perasaan anak muda satu ini.
Hingga tanpa sadar kendaraan beroda empat itu sampai di sebuah danau besar.
Fabio keluar dari mobilnya, memandang pemandangan yang sudah bertahun-tahun tak ia singgahi.
Angin sore menyambut Fabio ketika tiba, rambutnya yang rapi mendadak berterbangan mengikuti arah mata angin.
Langkah jenjang Fabio mulai mendekat menaiki jejeran kayu yang masih kuat meski sudah berpuluh tahun lamanya.
Suasana itu masih sama, sunyi dan penuh ketenangan.
Sesaat Fabio lupa siapa dirinya, kesenangan yang ia rasakan lenyap dan mengembalikan dirinya ke keadaan semula.
Membuat Fabio sadar jika inilah dirinya.
Fabio terus berjalan hingga di ujung jembatan, menatap langit jingga yang begitu memanjakan pasang mata.
Air laut mulai menenang, sang surya pun kian tenggelam setelah seharian menampakkan diri dalam balutan awan putih yang kini berubah menghitam.
Memori lama kian berputar dalam otaknya, menayangkan kenangan-kenangan manis dalam setiap jengkal tanpa ada yang terlewati.
Bayangan tentang dua anak kecil yang sedang berlayar menaiki sebuah perahu, hanya si wanita yang rela mendayung untuk mencapai ke tepian. Sedangkan si lelaki hanya memasang wajah murung tatkala dirinya dipaksa untuk menaiki perahu tersebut.
Seperti tak ada rasa lelah bagi si wanita untuk menghibur anak lelaki itu, membuatnya tersenyum dan gembira.
Menemani dirinya yang selalu ingin menyendiri, tak peduli seberapa banyak keringat yang mengucur asalkan pangeran itu menampilkan senyum menawan.
Tetapi ketika lelaki tersebut mulai menatap ke arah gadis itu, ia justru kehilangannya.
Dalam sekejap Fabio dipenuhi rasa sesal yang teramat sangat, baru saja ia tersenyum seketika berubah menjadi air mata. Tak ada kehidupan dalam dirinya selain rasa bersalah dan gundah.
***
Pukul tujuh malam Fabio masih tak berniat untuk pulang, ia juga mendapat ajakan untuk berkumpul dengan teman-teman disalah satu cafe di ibukota.
Fabio memarkirkan kendaraan di depan cafe yang dipenuhi dengan pengunjung.
Kedatangan Fabio langsung disambut oleh teman-temannya yang duduk di ujung ruangan tersebut.
Saling melambaikan tangan menyuruh Fabio untuk berjalan ke arah mereka.
Fabio tersenyum hangat, ia ikut bergabung diantara mereka. Nampak raut senang terpancarkan di wajah para wanita.
"Nah gitu dong, kalau kita lagi kumpul gini lu harus ikut!" Ucap bisma menepuk bahu sang sahabat.
"Iya bener tuh, kan jadi seru kalau lo dateng" Tambah Dinsa.
Fabio lagi-lagi hanya mampu melengkungkan bibir, "Maaf baru sempet kumpul"
"Santai aja, btw kita gak ngeganggu lo kan?"
"Enggak kok, kebetulan gue lagi diluar tadi"
"Kebetulan banget dong, kalau gitu lu bisa kan habisin waktu lo malem ini bareng kita?"
Fabio mengangguk sebagai tanggapan, Fabio mengambil sebuah gelas yang dia pikir untuknya, lalu menyeruput minuman itu sampai dua tegukan.
"Emm... B-bio, i-itu minuman punya gue" Ucap Nada membuat Fabio meletakkan gelasnya kembali.
"Maaf, gue pikir.... "
"Gapapa kok, buat lo aja gue bakal pesen lagi" Sambung Nada grogi.
"Kalau gitu biar gue yang pesenin" Fabio pun lantas bangkit untuk memesan minuman pengganti di meja kasir.
Sedangkan si pemilik minuman tersenyum malu-malu melihat kelakuan Fabio, bukannya marah atau kesal Nada malah merelakan minumannya di teguk oleh lelaki tampan itu.
"Ekhem...! Kayaknya ada yang lagi mesem-mesem nih" Sindir Dinsa pada perempuan disebelahnya.
Nada terkekeh menyadari sindiran yang ditunjukkan untuknya.
"Apaan sih... " Ujarnya tersipu.
Tak lama Fabio kembali ke meja dan menyerahkan minuman yang ia pesan kepada Nada.
"Ini minumannya"
"Ah iya, makasih Fabio. Maaf jadi ngerepotin lo"
"Sama sekali enggak, maaf juga untuk yang tadi" Imbuh Fabio.
"Oh ya bro, ngomong-ngomong kapan lo mau masuk kuliah lagi? Dosen-dosen udah banyak yang nanyain kehadiran lo, lagian apa lo gak takut nilai lu jelek nanti gara-gara keseringan bolos?" Ujar Kean yang sedari tadi diam memerhatikan.
"Nah bener yang dibilang Kean, emangnya lo kemana sih? Gue tanya-tanya lo gak pernah jawab" Timpal Bisma penasaran.
Fabio tersenyum kaku, rupanya rasa penasaran mereka belum juga hilang. Fabio memang tak ingin memberi alasan sebenarnya, biarlah hanya dirinya yang tahu.
"Sorry bro, akhir-akhir ini gue lagi sibuk aja. Makanya gue gak pernah masuk kuliah" Ucap Fabio berdusta.
"Terus kapan lo mau masuk kuliah?"
"Besok gue usahain hadir"
"Okelah, awas ya kalau lo bohong!" Ancam Bisma memberi tatapan tajam, membuat Fabio terkekeh lucu.
"Hahaha.... Kok gue jadi pingin ketawa ya" Timbal Dinsa tergelak.
"Udah ah gimana kalau kita bersulang?" Ujar Nada bersuara.
"Boleh tuh" Semua orang pun mengangkat gelas minuman dan mulai bersulang.
"CHEERS......!"
Tring!
Tring!
Suara dentingan kaca terdengar menggema di sudut cafe itu menemani malam para remaja yang sedang menikmati masa muda.
Dalam sunyi aku bersembunyi, di balik tirai penuh luka ini, berpayungi janji yang tak pasti, derita lalu yang ku gandrungi, seakan tidak akan pernah berhenti.
Berdamai dengan diri yang tak ada habis-habisnya, mengadaikan waktu dapat terulang, berharap bisa menarik benang kusut yang hancur berantakan.
Lucia menatap langit malam yang gelap, di dalam kamar temaram nan sepi, tanpa beralaskan sandal untuk menutupi telapak kaki, membiarkan dinginnya ubin menusuk hingga ke urat nadi.
Malam ketiga di rumah sewa yang ia tempati, benar-benar seorang diri, dari luar bagaikan ruang tak berpenghuni.
Ting Tong!
Denting bunyi itu menyadarkan Lucia dari keterlamunan, suara bel rumah yang menandakan datangnya seorang tamu di waktu malam.
"Lucia?"
Suara itu membuat lehernya berputar 90 derajat, daun pintu yang masih tertutup hanya dilihatnya cukup lama, rasa letih untuk sekedar menyeret langkah kesana.
Tapi dua kali namanya dipanggil, memaksa wanita itu keluar dari zona nyaman.
"Lucia?"
"Ya, Nyonya? Aku disini" Lucia menampakkan diri.
Wanita dewasa itu menghembuskan nafas lega, mendapati Lucia dalam keadaan baik-baik saja.
"Maaf aku datang malam-malam"
"Gak masalah, Nyonya. Aku belum tidur kok"
Wanita itu mengangguk-angguk, memang bukan waktu yang tepat ia berkunjung di jam istirahat, tapi dirinya berusaha menyempatkan waktu sebisa mungkin.
"Sudah makan?"
"Sudah tadi" imbuh Lucia.
"Berapa suap?" Tanyanya lagi.
Lucia mengigit bibir bawah, padahal tinggal jawab dengan jujur seperti tadi, tapi pertanyaan sederhana ini bagaikan soal rumit teruntuk Lucia.
"Dua"
"Cuma dua??"
Lucia menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, terpaksa mengaku, wanita di depannya bukan orang bodoh yang bisa diam hanya dengan jawaban masuk akal.
"Makanannya enggak enak? Kamu makan apa tadi?"
"Aku beli, Soto dan bubur ayam dipinggir jalan"
"Terus kenapa cuma dua suap?"
Lucia menggeleng pelan, "Enggak enak, rasanya hambar"
Seutas senyum terbit dari bibir perempuan berpakaian formal disana, tatapannya tertuju pada lengan Lucia yang mengelus perut buncitnya sendiri.
"Bayinya ingin apa? Biar aku belikan makanan buat kamu"
"Enggak usah, Nyonya. Aku sudah enggak lapar lagi" tolak Lucia cepat.
"Tapi bayinya mungkin lapar, dia butuh asupan yang sehat. Mungkin kamu enggak mau, tapi bayinya?"
Lucia tertunduk lesu, sudah beberapa bulan nafsu makannya hilang. Lucia hanya mengkonsumsi sesuatu karena mengingat makhluk kecil di dalam perutnya. Itupun dia dipaksa.
"Mau apa? Biar aku belikan, jangan sungkan. Justru aku gak bakal tenang kalau kamu menolak" menawarkan Lucia dengan sedikit paksaan.
"Nasi goreng?"
Lucia menangkis, mual membayangi makan nasi malam-malam begini, dia tidak ingin makanan berat.
"Aku makan roti dan buah saja"
"Aku belikan"
"Masih ada kok di kulkas, aku ambil dulu" Lucia berlalu ke dapur, mengambil makanan untuk mengganjal perutnya, Lucia mengakui sedikit lapar, tapi perut kosongnya tidak ada apa-apa dibandingkan isi pikiran Lucia.
Dia kembali ke tempat tadi, bergabung dengan tamunya di sofa.
"Biar aku potongkan" Wanita itu mengambil apel utuh, mengupas kulitnya untuk dibelah menjadi beberapa potongan.
Sedangkan Lucia berusaha menelan satu lembar roti selai kacang dengan susah payah, rasanya enak tapi Lucia kurang beruntung ketika mencicipinya.
"Lusa kita ke dokter, memeriksa kandungan kamu" berseru sambil sibuk membuang kulit apel.
"Bukannya sudah?"
"Kapan? Bulan lalu?"
"Memang harus setiap bulan periksa kandungan?" Lucia mengheran.
"Tentu saja, apalagi mendekati bulan kelahiran"
Lucia tak bertanya lagi, pengetahuannya yang minim seputar kehamilan menimbulkan kebingungan tersendiri untuk Lucia, ditambah Lucia amat jarang mencaritahu informasi penting terkait ibu hamil.
"Aku usahakan bisa membawa mas Ghani nanti"
Deg!
Mendengar nama itu Lucia sontak membeku, baru disebutkan saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, belum lagi kalau bertemu Lucia ingin kabur saja rasanya. Kalau bisa tidak usah datang saja, tapi sayang Lucia tidak berani mengungkapkan.
"Tuan pasti sibuk, aku di antar Nyonya saja" hanya itu yang bisa Lucia luapkan.
"Iya, aku kan juga bilang sedang mengusahakannya"
"Kalau gak datang juga bukan masalah" lanjut Lucia berlirih.
Sontak dia melirik pada Lucia, mendengar nada yang berkebalikan dengan kalimat yang keluar, hal itu semakin diperkuat tatkala melihat ekspresi Lucia.
"Kalian gak bisa menghindar terus, ada calon bayi yang membutuhkan kalian"
Keheningan datang, suasana berubah secara berangsur-angsur. Saling bergelut dengan pikiran masing-masing, akibat fakta yang tak kunjung usai akhirannya.
Rasa sesak tidak hanya menghampiri Lucia, tetapi juga wanita di sebelahnya. Mata bening yang berkaca-kaca, sebagai pertanda, sekuat hati ia menyerap kembali linangan itu meski sedikit keluar diujung mata.
"Maaf Nyonya....." Nada gemetar keluar dari pita suara Lucia, tanpa menengok ia tau telah menyakiti hati wanita itu.
"Kamu gak perlu minta maaf, cintaku tak akan pernah berkurang sedikitpun pada dia"
Sekuat itukah yang disebut dengan cinta? Lucia merasa tak mendapat cinta lebih baik dibandingkan mengenalnya.
"Bagaimana caranya agar bisa sekuat Nyonya? Jika itu aku, sudah ku pastikan tak akan pernah sanggup" ujar Lucia.
Sambil menarik nafas dalam, dia tersenyum dengan tegar, menatap ke arah depan, menelisik bayangan seseorang yang muncul dari balik kacamatanya sendiri.
"Karena makin lama kita akan semakin mengerti, kalo level tertinggi mencintai adalah menerima dan memaklumi sifatnya, bukan lagi tentang kapan dia mau berubah"
Kata-kata itu menusuk tepat bagaikan anak panah, realita yang hanya bisa dirasakan dari satu banding seribu manusia, bisa dirasa namun tak berhasil dicoba.
Oh Tuhan, jatuhkan lah nirwana pada wanita di sampingnya ini. Dalam fisik dan materi yang berlimpah, ada satu masalah yang tak bisa menyembuhkan batinnya. Lucia berdoa dalam hati.
"Andai saja waktu itu...."
"Ssstttt..... Jangan kamu ingat lagi kejadian miris itu, adakalanya sesuatu yang tidak baik diawal akan berbuah manis di akhir. Contohnya janin itu, dia akan menjadi kebahagiaan untuk kamu dan mas Ghani, bahkan juga aku" menyela omongan Lucia yang merujuk pada kisah balik.
"Sekarang jangan bicarakan itu, aku mau tau kegiatan kamu di kampus tadi. Ospeknya melelahkan?" Mengalihkan topik ke pembahasan ringan.
"Lumayan, tapi aku kebanyakan diam di UKS. Katanya ibu hamil cukup diam kalau merasa capek"
"Jadi kamu ikut apa aja selama disana?"
"Pagi-pagi aku ikut baris di lapangan, siangnya di UKS, terus menjelang sore ikut lagi ke aula buat mendengarkan pidato dosen-dosen" jelas Lucia.
"Berapa lama kegiatan ospeknya?"
"Seminggu"
"Sudah punya teman baru?"
"Belum" kata Lucia jujur.
"Kenapa? Mereka menghindari kamu?" Menebak.
"Enggak, aku lebih suka sendiri. Tadi juga yang pertama pulang duluan"
"Enggak ada yang menyakiti kamu kan?"
"Enggak, mungkin..."
"Belum" cicit Lucia menambahkan.
"Kamu anak yang kuat, aku yakin kamu akan baik-baik saja disana"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!