Dalam sunyi aku bersembunyi, di balik tirai penuh luka ini, berpayungi janji yang tak pasti, derita lalu yang ku gandrungi, seakan tidak akan pernah berhenti.
Berdamai dengan diri yang tak ada habis-habisnya, mengadaikan waktu dapat terulang, berharap bisa menarik benang kusut yang hancur berantakan.
Lucia menatap langit malam yang gelap, di dalam kamar temaram nan sepi, tanpa beralaskan sandal untuk menutupi telapak kaki, membiarkan dinginnya ubin menusuk hingga ke urat nadi.
Malam ketiga di rumah sewa yang ia tempati, benar-benar seorang diri, dari luar bagaikan ruang tak berpenghuni.
Ting Tong!
Denting bunyi itu menyadarkan Lucia dari keterlamunan, suara bel rumah yang menandakan datangnya seorang tamu di waktu malam.
"Lucia?"
Suara itu membuat lehernya berputar 90 derajat, daun pintu yang masih tertutup hanya dilihatnya cukup lama, rasa letih untuk sekedar menyeret langkah kesana.
Tapi dua kali namanya dipanggil, memaksa wanita itu keluar dari zona nyaman.
"Lucia?"
"Ya, Nyonya? Aku disini" Lucia menampakkan diri.
Wanita dewasa itu menghembuskan nafas lega, mendapati Lucia dalam keadaan baik-baik saja.
"Maaf aku datang malam-malam"
"Gak masalah, Nyonya. Aku belum tidur kok"
Wanita itu mengangguk-angguk, memang bukan waktu yang tepat ia berkunjung di jam istirahat, tapi dirinya berusaha menyempatkan waktu sebisa mungkin.
"Sudah makan?"
"Sudah tadi" imbuh Lucia.
"Berapa suap?" Tanyanya lagi.
Lucia mengigit bibir bawah, padahal tinggal jawab dengan jujur seperti tadi, tapi pertanyaan sederhana ini bagaikan soal rumit teruntuk Lucia.
"Dua"
"Cuma dua??"
Lucia menggerakkan kepala ke atas dan ke bawah, terpaksa mengaku, wanita di depannya bukan orang bodoh yang bisa diam hanya dengan jawaban masuk akal.
"Makanannya enggak enak? Kamu makan apa tadi?"
"Aku beli, Soto dan bubur ayam dipinggir jalan"
"Terus kenapa cuma dua suap?"
Lucia menggeleng pelan, "Enggak enak, rasanya hambar"
Seutas senyum terbit dari bibir perempuan berpakaian formal disana, tatapannya tertuju pada lengan Lucia yang mengelus perut buncitnya sendiri.
"Bayinya ingin apa? Biar aku belikan makanan buat kamu"
"Enggak usah, Nyonya. Aku sudah enggak lapar lagi" tolak Lucia cepat.
"Tapi bayinya mungkin lapar, dia butuh asupan yang sehat. Mungkin kamu enggak mau, tapi bayinya?"
Lucia tertunduk lesu, sudah beberapa bulan nafsu makannya hilang. Lucia hanya mengkonsumsi sesuatu karena mengingat makhluk kecil di dalam perutnya. Itupun dia dipaksa.
"Mau apa? Biar aku belikan, jangan sungkan. Justru aku gak bakal tenang kalau kamu menolak" menawarkan Lucia dengan sedikit paksaan.
"Nasi goreng?"
Lucia menangkis, mual membayangi makan nasi malam-malam begini, dia tidak ingin makanan berat.
"Aku makan roti dan buah saja"
"Aku belikan"
"Masih ada kok di kulkas, aku ambil dulu" Lucia berlalu ke dapur, mengambil makanan untuk mengganjal perutnya, Lucia mengakui sedikit lapar, tapi perut kosongnya tidak ada apa-apa dibandingkan isi pikiran Lucia.
Dia kembali ke tempat tadi, bergabung dengan tamunya di sofa.
"Biar aku potongkan" Wanita itu mengambil apel utuh, mengupas kulitnya untuk dibelah menjadi beberapa potongan.
Sedangkan Lucia berusaha menelan satu lembar roti selai kacang dengan susah payah, rasanya enak tapi Lucia kurang beruntung ketika mencicipinya.
"Lusa kita ke dokter, memeriksa kandungan kamu" berseru sambil sibuk membuang kulit apel.
"Bukannya sudah?"
"Kapan? Bulan lalu?"
"Memang harus setiap bulan periksa kandungan?" Lucia mengheran.
"Tentu saja, apalagi mendekati bulan kelahiran"
Lucia tak bertanya lagi, pengetahuannya yang minim seputar kehamilan menimbulkan kebingungan tersendiri untuk Lucia, ditambah Lucia amat jarang mencaritahu informasi penting terkait ibu hamil.
"Aku usahakan bisa membawa mas Ghani nanti"
Deg!
Mendengar nama itu Lucia sontak membeku, baru disebutkan saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, belum lagi kalau bertemu Lucia ingin kabur saja rasanya. Kalau bisa tidak usah datang saja, tapi sayang Lucia tidak berani mengungkapkan.
"Tuan pasti sibuk, aku di antar Nyonya saja" hanya itu yang bisa Lucia luapkan.
"Iya, aku kan juga bilang sedang mengusahakannya"
"Kalau gak datang juga bukan masalah" lanjut Lucia berlirih.
Sontak dia melirik pada Lucia, mendengar nada yang berkebalikan dengan kalimat yang keluar, hal itu semakin diperkuat tatkala melihat ekspresi Lucia.
"Kalian gak bisa menghindar terus, ada calon bayi yang membutuhkan kalian"
Keheningan datang, suasana berubah secara berangsur-angsur. Saling bergelut dengan pikiran masing-masing, akibat fakta yang tak kunjung usai akhirannya.
Rasa sesak tidak hanya menghampiri Lucia, tetapi juga wanita di sebelahnya. Mata bening yang berkaca-kaca, sebagai pertanda, sekuat hati ia menyerap kembali linangan itu meski sedikit keluar diujung mata.
"Maaf Nyonya....." Nada gemetar keluar dari pita suara Lucia, tanpa menengok ia tau telah menyakiti hati wanita itu.
"Kamu gak perlu minta maaf, cintaku tak akan pernah berkurang sedikitpun pada dia"
Sekuat itukah yang disebut dengan cinta? Lucia merasa tak mendapat cinta lebih baik dibandingkan mengenalnya.
"Bagaimana caranya agar bisa sekuat Nyonya? Jika itu aku, sudah ku pastikan tak akan pernah sanggup" ujar Lucia.
Sambil menarik nafas dalam, dia tersenyum dengan tegar, menatap ke arah depan, menelisik bayangan seseorang yang muncul dari balik kacamatanya sendiri.
"Karena makin lama kita akan semakin mengerti, kalo level tertinggi mencintai adalah menerima dan memaklumi sifatnya, bukan lagi tentang kapan dia mau berubah"
Kata-kata itu menusuk tepat bagaikan anak panah, realita yang hanya bisa dirasakan dari satu banding seribu manusia, bisa dirasa namun tak berhasil dicoba.
Oh Tuhan, jatuhkan lah nirwana pada wanita di sampingnya ini. Dalam fisik dan materi yang berlimpah, ada satu masalah yang tak bisa menyembuhkan batinnya. Lucia berdoa dalam hati.
"Andai saja waktu itu...."
"Ssstttt..... Jangan kamu ingat lagi kejadian miris itu, adakalanya sesuatu yang tidak baik diawal akan berbuah manis di akhir. Contohnya janin itu, dia akan menjadi kebahagiaan untuk kamu dan mas Ghani, bahkan juga aku" menyela omongan Lucia yang merujuk pada kisah balik.
"Sekarang jangan bicarakan itu, aku mau tau kegiatan kamu di kampus tadi. Ospeknya melelahkan?" Mengalihkan topik ke pembahasan ringan.
"Lumayan, tapi aku kebanyakan diam di UKS. Katanya ibu hamil cukup diam kalau merasa capek"
"Jadi kamu ikut apa aja selama disana?"
"Pagi-pagi aku ikut baris di lapangan, siangnya di UKS, terus menjelang sore ikut lagi ke aula buat mendengarkan pidato dosen-dosen" jelas Lucia.
"Berapa lama kegiatan ospeknya?"
"Seminggu"
"Sudah punya teman baru?"
"Belum" kata Lucia jujur.
"Kenapa? Mereka menghindari kamu?" Menebak.
"Enggak, aku lebih suka sendiri. Tadi juga yang pertama pulang duluan"
"Enggak ada yang menyakiti kamu kan?"
"Enggak, mungkin..."
"Belum" cicit Lucia menambahkan.
"Kamu anak yang kuat, aku yakin kamu akan baik-baik saja disana"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Ety Nadhif
apa lucia di hamili suami yg di sebut nyonya sama lucia,,,
nebak" siapa tau bnr🤭
2024-06-08
0
Anisatul Azizah
apa Lucia jd penyewa rahim atau semacamnya??
2024-04-21
1
lyani
lucia surrogate mother kah?
atau salah masuk kamar?
2024-02-01
1