Cahaya Tersembunyi
...•∆∆∆∆•...
.......
.......
.......
"Den bangun udah siang." Seorang wanita berusia setengah abad dengan pakaian khas pelayan sedang berusaha membangunkan anak sang majikan.
"IYA." Teriakan dari dalam menunjukkan bahwa yang di maksud telah bangun.
"Jangan tidur lagi, bibi kebawah lagi kalau begitu." Wanita itu berjalan menjauhi kamar untuk meneruskan pekerjaannya yang sempat terhenti.
Didalam kamar dengan nuansa monokrom itu terlihat seorang laki-laki yang sedang meregangkan tubuhnya sambil menguap lebar-lebar. Menggaruk kepalanya lalu melihat langit yang sudah cerah dari balik jendela kamarnya, dengan mata yang menyipit.
"Udah Senin aja." Laki-laki itu beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi.
Setelah selesai dengan segala urusannya laki-laki tadi segera menuruni tangga dengan menggunakan pakaian yang sudah rapi. Sweater abu-abu dan juga ripped jeans terpasang di badannya, dengan Clutch bag berwarna hitam di tangan kirinya.
"Pagi yah." Sapanya kepada seorang laki-laki berusia jauh diatasnya yang sudah menunggu di meja makan sambil sibuk dengan iPad-nya.
"Sudah dari tadi ayah tunggu, kenapa lama?" Laki-laki yang menyebut dirinya ayah itu menyerahkan iPad-nya pada seorang laki-laki yang sedari awal berdiri di belakangnya.
"Maaf." Keduanya pun sibuk dengan makanan yang sudah tersaji di depan masing-masing. Tidak membahas lagi perkara tadi.
"Aku sudah selesai." Laki-laki itu menyeka bibirnya dengan tisu untuk membersihkan siapa tahu ada noda yang tersisa.
"Oke."
"Ayah jangan sampai kecapean." Seperti biasa, sebelum berangkat sang anak selalu memperingati ayahnya terlebih dahulu.
"Iya-iya sana katanya mau berangkat, sana." Sang ayah mendorong anaknya agar segera pergi.
"Awas ya."
"Iya bawel."
Dengan mengendarai Buggati Divo pemberian sang ayah tahun lalu di hari ulang tahunnya menuju universitas tempatnya menempuh pendidikan.
Sampailah laki-laki tadi di sebuah Universitas ternama di kotanya yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang mungkin mempunyai kegiatan yang sama dengannya.
"YEP!" Laki-laki itu menoleh ketika suara seseorang yang tidak asing berteriak tidak jauh darinya. Tidak tahu malu, di tengah banyaknya orang suara kerasnya tentu saja menarik perhatian.
"Nama gue bukan Yep."
"Alah sama aja, lagian nama lo susah banget di ucapin." Laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak itu menyamakan langkah keduanya.
Melirik sampingnya, "Terserah."
"Kaya cewe." Gumamnya. "WOY TUNGGUIN GUE." Lanjutnya sambil berlari.
Mereka pun berjalan menuju kelas dengan berbagai tatapan kearah keduanya. Berbeda dengan temannya yang membalas orang-orang dengan senyuman, laki-laki yang di panggil Yep itu tetap berjalan tidak menghiraukan apapun yang terjadi di sekitarnya. Wherever every step is always the center of attention.
"Yang lain mana?"
"Kaga tau tadi gue kesini sendiri."
"Oh." Jika saja bukan temannya sudah pasti dia tidak akan ragu untuk memukul kepalanya. Tapi dia tidak seberani itu untuk melakukannya.
Membuka pintu dengan kencang kemudian berteriak, "HELLO EPRIBADIIII." Teriak laki-laki tinggi itu di pintu masuk.
Orang-orang yang ada di dalam ruangan tentu saja kaget dan melayangkan umpatan-umpatan yang malah membuat si pelaku tersenyum tanpa dosa.
Kedua laki-laki itu berjalan menuju tempat temannya berada, "Gitu aja kaget."
"Ya lo pikir siapa yang gak kaget baru muncul juga langsung teriak kaya begitu." Seorang perempuan dengan bandana putih melayangkan protesannya.
"Maafin Bastian atuh kalau begitu." Ya, nama lelaki tinggi dan menyebalkan itu adalah Sebastian Rendra.
"Dari mana aja kalian berdua baru datang?" Tanya seorang laki-laki yang sedang mengupil dengan satu kaki yang diletakkan di atas meja. Tidak memperdulikan orang-orang yang menatapnya dengan horor.
"Jorok Al lo mah." Protes laki-laki yang berada di sebelahnya sambil memukul lengannya.
"Yah seperti yang kalian lihat wahai kaum jamet, bahwa hamba sehat bahagia selalu." Ujar Bastian dengan percaya diri.
"Kagak nyambung lo Bas ditanya apa juga jawabnya juga apaan." Ucapan bernada sinis itu terdengar dari laki-laki yang sedari tadi marah-marah bernama Kenzo Clarence Fabian.
"Mata lo katarak, orang capek kaya gini dibilang jamet dasar basi." Ujar laki-laki dengan omongannya yang pedas dan juga blak-blakan bernama Al Ihsan Madava seraya menurunkan kakinya dari meja.
"Yoo may nem is Bastian no basi-basi."
"Sok Inggris lo."
"Mending diem lo Kenzo." ujar Bastian seraya duduk di belakang Al.
"Oh ya Vin nanti sore jadi?" Al membalikkan badannya untuk menatap temannya yang duduk di belakang.
"Jadi."
Yvaine Buana Wyman itulah namanya. Dia adalah anak tunggal dari seorang pengusaha terkenal bernama Zayan Sachdev Wyman yang sudah tidak diragukan lagi akan kemampuannya dalam berbisnis. Perusahaan raksasa dan juga termasuk yang terbesar di Asia bernama Buana Company. Bahkan wajahnya sudah banyak menghiasi media karena parasnya yang masih tampan padahal usianya yang tidak lagi muda.
Tapi hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa Yvaine adalah anak dari pengusaha tersebut. Bukannya menutupi tetapi Yvaine tidak suka kehidupannya terlalu terekspos dan juga jarang menggunakan nama belakangnya kecuali untuk hal yang penting. Just want peace in his life before everything changes.
"Memang nanti sore mau pada kemana kok gue kagak tau? Ah jangan-jangan kalian udah nggak anggap gue temen lagi ya." Bastian berkata dengan nada seolah tersakiti.
"Mani geuleuh maneh Babas sok-sokan lupa lagi." Ujar Kenzo dengan mata yang mendelik.
"Ya maaf atuh Jojo kan aing lupa."
"Dasar pikun."
"Namanya juga manusia."
"Emang lo manusia?"
"Maneh mah ngajak wae gelut ka aing teh nya."
"Sok lah saha nu sieun."
"Berisik! Dosen sebentar lagi datang." Lerai Yvaine karena kalau mereka tidak dipisahkan akan panjang kedepannya. Dan ya, berhasil mereka berdua langsung diam.
"Vin tempat mana yang nanti sore kita datengin?" Tanya Bastian setelah selesai dengan perdebatannya.
"Dekat taman pintar."
"Oke sip nanti gue yang beli perlengkapannya." Ujar Kenzo yang sudah sibuk dengan buku tulisnya, entah sedang apa.
.
.
.
Setelah memarkirkan kendaraan masing-masing mereka berempat segera berjalan menuju sebuah taman dengan kedua tangan mereka yang membawa banyak plastik besar.
"Itu mereka di sana." Al menunjuk kumpulan anak-anak yang terlihat sedang beristirahat dengan membaringkan badannya di rumput. Mereka berempat pun berjalan menuju kumpulan anak-anak tadi.
"Halo adek-adek." Sapa Yvaine dengan melambaikan tangannya.
Anak-anak itu bangkit dan mendekat pada empat pemuda itu, "HAI KAK." Jawab mereka serempak.
"Kakak boleh gabung sama kalian?" Kenzo menghitung anak-anak yang ternyata ada lima belas orang itu.
"Boleh dong kak." Seorang anak laki-laki yang terlihat paling dewasa diantara yang lainnya. Pakaian yang dikenakannya sudah tidak layak dan juga basah karena keringat.
"Sebelumnya kakak bawa hadiah loh untuk kalian, siapa yang mau?" Bastian mengangkat kedua tangannya menunjukkan apa yang dia bawa.
"Aku mau."
"Akuu."
"Aku juga."
"Aku pun mau."
"Oke-oke kalian semua pasti kebagian kok, tapi kakak mau tanya dulu sebelumnya kalian udah pada makan belum?" Tanya Yvaine menenangkan anak-anak yang antusias.
"BELUM." Jawab anak-anak serempak.
"Nah kebetulan kakak sama temen-temen kakak bawa makanan, jadi kalian harus baris dulu yang rapi ya."
Anak-anak pun baris dengan rapi sesuai dengan permintaan Yvaine. Kemudian masing-masing anak diberi sebuah tas yang berisikan banyak makanan dan terselip beberapa lembar uang didalamnya. Setelah semua anak dapat, keempatnya beristirahat sambil melihat anak-anak yang sedang makan.
"Gue seneng banget liat wajah bahagia mereka." Ujar Bastian dengan binar di matanya.
"Iya dengan lihat wajah mereka bisa jadi salah satu kebahagiaan buat gue." Sahut Al seraya menyandarkan badannya ke pohon yang berada di belakangnya.
Seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun menghampiri mereka. "Kakak, boleh kenalan?" Tanya anak perempuan itu dengan malu-malu.
"Boleh dong."
"Halo perkenalkan nama aku Septia." Keempat orang dewasa itu tersenyum mendengarnya melihat anak itu yang melambaikan kedua tangannya.
"Halo Septia nama kakak Yvaine, maaf ya tadi kakak lupa nggak kenalan dulu."
"Hai Tia nama kakak Kenzo."
"Halo Septia nama kakak Al, salam kenal ya."
"Anyong Septia nama kakak Bastian kamu bisa panggil kak Babas ya."
"Halo kak Vin, kak Jo, kak Al, kak Babas." sapa Septia dengan melambaikan kedua tangannya lagi.
"Iih kamu gemes banget Tia." Gemas Bastian dengan menguyel-uyel kedua pipi Septia.
"Kamu disini sama siapa?" Tanya Yvaine.
"Aku sendiri." Jawabnya.
"Maaf, keluarga kamu?" Tanya Al dengan hati-hati takut menyinggung perasaan Septia.
"Mamah sakit di rumah jadi aku harus cari uang buat beli obat." Jawab Septia yang masih bisa menunjukkan wajah cerianya.
"Ya ampun Septia." Gumam Bastian di sebelah Yvaine.
"Ini ada uang buat beli obat." Ujar Yvaine sambil menyerahkan beberapa lembar uang ke tangan Septia.
"Wah makasih kak padahal aku kesini bukan buat minta uang loh." Ujar Septia dengan antusias.
"Udah nggak papa kamu ambil aja." Yvaine menggenggam kedua tangan Septia. "Sisanya bisa buat kebutuhan yang lainnya." Lanjutnya.
"Makasih kakak-kakak ganteng." Ujar Septia setelah memeluk keempat pemuda itu satu persatu.
"Sama-sama Tia, gih kamu lanjutin makannya yang lain udah pada mau beres itu." Kenzo mengusap bahu Septia dengan perlahan.
"Seharusnya kakak ketemu sama kak Nala." Septia bergumam tapi masih bisa di dengar oleh keempatnya.
"Siapa kak Nala?" Tanya Kenzo penasaran.
"Sama kaya kakak-kakak, kak Nala juga suka ngasih kita makanan, tadi kita juga lagi nunggu kak Nala tapi gak datang-datang, bahkan ya kak Nala itu biasanya juga ikut tidur sama anak-anak yang engga punya rumah di kolong jembatan, kakak tau kenapa kak Nala ngga datang?" Kalimat bernada polos itu terdengar dari bibir mungil Septia.
Keempatnya diam belum bersuara bingung harus menjawab apa karena mereka tidak tahu siapa sosok yang disebut kak Nala itu.
.......
.......
.......
...•∆∆∆∆•...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments