4 | Melawan

...•∆∆∆∆•...

.......

.......

.......

...

...

"Vin, udah siap?" Zayan berdiri di depan pintu kamar anaknya.

Tidak lama kemudian pintu terbuka memperlihatkan Yvaine yang ternyata sudah rapi dengan pakaiannya. Kemeja putih yang terbalut jas berwarna hitam terpasang di badannya membuat ketampanannya bertambah.

"Udah yah."

"Berangkat sekarang."

Dua manusia yang berstatus ayah dan anak itu berjalan beriringan menuju mobil yang akan membawa mereka ketempat acara diadakan. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut keduanya.

Tiba ditempat tujuan kedatangan mereka disambut oleh banyaknya kamera dari berbagai media. Yvaine yang melihat itu menjadi gusar karena tidak menyangka banyak media yang meliput.

"Yah." Yvaine berbicara dengan pelan seraya memandang sang ayah. Kaget dengan situasi yang terjadi.

"Maaf Ayah tidak tau kalau akan banyak media seperti ini." Sesal Zayan setelah melihat wajah anaknya yang gelisah. "Kalau kamu tidak nyaman kita pulang." Lanjut Zayan. Dia tidak ingin anaknya merasa tidak nyaman.

Dan kenapa juga dia bisa tidak tahu jika akan banyak media seperti ini.

"Jangan." Larang Yvaine setelah mengumpulkan keberanian untuk melawan ketakutannya. Mungkin ini saatnya untuk menunjukkan siapa dirinya. Dia tidak bisa lagi bersembunyi layaknya pengecut.

"Ayah tidak ingin kamu merasa tidak nyaman." Zayan masih ragu.

"It's okay, it's time for me to deal with it anyway." Yvaine berkata dengan yakin membuat Zayan menghela nafas.

"Kalau kamu sudah yakin, ayo kita keluar." Yvaine menganggukkan kepalanya.

Keluar dari mobil keduanya disambut dengan kilatan cahaya dari berbagai arah. Yvaine berusaha tetap tenang sambil menutup matanya yang tertutup oleh kacamata hitam yang tadi sempat ayahnya berikan sebelum keluar dari mobil.

"Kita tidak akan lama-lama disini ayo ikuti ayah temui pemilik acara." Mereka berdua berjalan menghampiri tuan rumah yang kebetulan teman dekat Zayan.

"Selamat Faldo untuk bisnis barunya semoga sukses." Zayan menjabat tangan Faldo.

"Terimakasih Zayan telah menyempatkan untuk datang." Faldo beralih memeluk Zayan.

"Masa tidak datang di acara sahabat sendiri." Memang Faldo itu adalah sahabat Zayan dari masa bangku sekolah membuat keduanya tidak lagi sungkan di depan orang-orang.

"Bisa saja kamu Yan, siapa ini kenapa baru sadar ada laki-laki tampan di sampingmu." Faldo mendekat pada Yvaine.

"Hampir saja lupa kenalkan ini anakku."

"Yvaine? Astaga sudah besar kamu terakhir saya lihat kamu itu ketika berumur tiga tahun dan sekarang, ya ampun." Faldo terkejut melihat anak sahabatnya yang sudah dewasa.

"Iya, halo om." Sapa Yvaine sedikit membungkuk.

"Astaga om masih tidak menyangka kamu sudah sebesar ini ayah kamu emang pintar ya untuk menyembunyikan anaknya ini." Faldo berkata seraya menyindir Zayan. Karena memang selama ini Zayan tidak mengekspose Yvaine meskipun ke temannya sendiri. Ada alasan untuk itu.

"Bukan disembunyikan ya tapi- "

"Iya-iya ngerti." Sela Faldo sebelum Zayan menyelesaikan ucapannya.

"Kamu pasti belum tau nama saya, Faldo Kaliandra Fyneen itu nama saya ingat ya." Faldo menepuk pundak Yvaine.

"Baik om."

"Kalian nikmati jamuannya saya harus menyambut tamu yang lain, Yvaine makan yang banyak ya." Faldo kembali menepuk bahu Yvaine sebelum pergi.

"Kamu ingat sama om Faldo?" Zayan bertanya setelah Faldo menghilang.

"Ngga." Jawab Yvaine seraya menggelengkan kepalanya.

"Iya lah kalian ketemunya juga waktu kamu umurnya tiga tahun ya pasti lupa." Ujar Zayan tanpa dosanya membuat Yvaine melongo.

"Terserah ayah."

.

.

.

Pagi ini Yvaine tidak ada jadwal kuliah dan juga tidak ada kegiatan yang mengharuskannya untuk keluar rumah, jadi dari pagi hingga sore ini dia hanya berdiam diri di kamarnya mengutak-atik sebuah kamera. Sedangkan ayahnya sedang pergi keluar kota untuk urusan bisnis.

Lama-kelamaan Yvaine merasa bosan dan dia berniat untuk pergi keluar mencari kesibukan, sebenarnya tadi siang teman-temannya mengajak untuk berkumpul tetapi dia terlalu malas rasanya.

"Pergi kemana ya," Yvaine berbicara sendiri seraya menuruni tangga rumahnya dengan sebuah kunci motor yang diputar-putar di jari telunjuknya.

"Mau kemana den, udah rapi kaya begini" Pertanyaan itu datang dari bi Siti yang sedang menyirami tanaman ketika Yvaine melintas dihadapannya menuju garasi untuk mengambil motornya.

"Aku keluar dulu bi." Yvaine berhenti untuk menjawab pertanyaan bi Siti.

Bi Siti menganggukkan kepalanya, "Oalah hati-hati kalau begitu pulangnya juga jangan terlalu malem nanti tuan marah."

"Iya bi, lagian ayah juga kan lagi ngga ada kalau begitu aku pamit bi" Yvaine melanjutkan langkahnya menuju garasi.

Melajukan motor tanpa arah hanya mengikuti kata hatinya saja. Tidak lama kemudian Yvaine berhenti didepan sebuah taman yang terlihat sepi dan memarkirkan motornya dibawah sebuah pohon.

Setelah berjalan menelusuri taman dengan sebuah kamera yang berada ditangannya Yvaine berhenti ketika ia menemukan sebuah danau yang begitu cantik apalagi ini di sore hari, waktu yang pas untuk menikmati pemandangannya.

Setelah mengambil beberapa jepretan, kamera Yvaine menangkap sebuah pemandangan menarik dimana ada seorang wanita yang sedang duduk di dermaga rusak yang ada di danau tersebut.

Yvaine mengalihkan pandangannya dari kamera untuk memastikan apakah yang dilihatnya asli atau hanya ilusinya saja. Yvaine mengambil beberapa foto wanita itu dengan kameranya.

"Maaf sudah lancang." Untung saja tindakannya tidak disadari oleh sang objek. Yvaine berlalu meninggalkan tempat tersebut karena hari sudah mulai gelap.

Diperjalanan Yvaine terlihat beberapa kali menggeleng-gelengkan kepala ketika bayangan perempuan di danau tadi melintas dipikirannya. Ketika diingat lagi sepertinya dia tidak asing dengan sosoknya. Tak mau berlarut dalam pikirannya Yvaine melajukan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata agar bisa cepat sampai di rumah karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Tidak terasa juga waktu cepat berlalu.

"Dari mana saja kamu." Suara itu menyambut kedatangan Yvaine membuatnya hampir mengumpat.

"Ayah bukannya keluar kota?" Yvaine heran kenapa sang ayah bisa berada di rumah apalagi melihat piyama berwarna abu-abu yang dikenakannya.

"Kapan ayah bilang?" Zayan malah balik bertanya.

"Tadi pagi." Jawab Yvaine malas. Kenapa juga ayahnya mendadak amnesia.

"Oh ngga jadi." Zayan mengangguk kemudian mendudukkan dirinya di sofa membuat Yvaine ikut duduk di sampingnya.

"Kenapa?"

"Tumben kamu pengen tau biasanya juga bodo amat mau ayah pulang atau ngga sekalipun." Zayan memperhatikan penampilan sang anak.

"Ya kan-"

"Kamu belum jawab pertanyaan ayah, dari mana?" Zayan mengulang pertanyaannya membuat Yvaine menghembuskan nafasnya dalam.

"Main." Yvaine menyandarkan kepalanya ke bahu Zayan.

"Manja kamu." Zayan dengan mendorong kepala anaknya hingga hampir terjatuh kalau saja Yvaine tidak bisa menyeimbangkan badannya.

"Biarin, sama ayah doang." Acuh Yvaine menyandarkan lagi kepalanya.

"Iya anak ayah." Zayan menepuk-nepuk kepala Yvaine sedikit keras.

Yvaine menjauhkan kepalanya, "Sakit yah." Protesnya.

"Gitu doang sakit." Cibir Zayan seraya mengambil remote tv yang ada di meja.

"Aku mau tidur duluan." Yvaine beranjak menuju kamarnya.

"Dih ngambek kamu."

"Ngga ayah."

.

.

.

"Dari mana aja lo?" Pertanyaan itu datang ketika Nala baru membuka pintu rumah. Baru juga datang membuat Nala menghembuskan nafasnya dengan perlahan.

"Main." Nala menyerahkan keresek berisi ayam geprek.

"Tau aja ya lo nyogok pake yang gak bisa gue tolak." Sana mengambil keresek itu dari tangan Nala lalu dengan cepat membukanya.

Nala mendudukkan dirinya di samping Sana, "Iya lah."

"Nal lo tau gak-"

"Ngga."

"Dengerin dulu bego." Sembur Sana seraya memukul paha Nala membuatnya meringis.

"Iya-iya apaan emangnya." Jawab Nala dengan malas sambil mengelus pahanya yang panas akibat tangan Sana.

"Gue diterima kerja dong." Ujar Sana dengan semangat membuat mood Nala berubah seketika.

"Beneran?" Nala bertanya dengan antusias.

"Bener akhirnya ada yang nerima gue juga setelah sekian lama nganggur." Jelas Sana dengan senyuman yang tidak luntur diwajahnya membuat Nala ikut tersenyum di buatnya.

Nala mendekatkan tubuhnya pada Sana, "Kerjanya apaan?" Tanya Nala penasaran.

"Gue belum bisa jawab sekarang pokoknya gajinya cukup buat lo masuk kuliah." Jelas Sana membuat Nala curiga, apa-apaan kenapa main rahasia.

"Kak kan gue udah bilang, gue gak minat sama kuliah." Keluh Nala karena lagi-lagi Sana membahas tentang hal itu lagi.

"Gue gak mau lo kaya gue Nal."

Nala menjauhkan badannya kemudian menyandarkan kepalanya ke sofa, "Ya emang kenapa kalau cuma lulusan SMA toh sama aja."

"Iya sama tapi gue ngga mau lo-"

"Kak udah ya gue cape jangan bahas lagi tentang itu." Nala memijat keningnya yang tiba-tiba pusing.

"Oke gue gak bahas lagi, tapi kalau lo berubah pikiran bilang aja sama gue." Peringat Sana.

"Gak akan." Nala bicara dengan tegas kemudian beranjak menuju kamarnya tidak memperdulikan Sana yang terus memanggil namanya.

.......

.......

.......

...•∆∆∆∆•...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!