NovelToon NovelToon

Cahaya Tersembunyi

1 | Commencé

...•∆∆∆∆•...

.......

.......

.......

"Den bangun udah siang." Seorang wanita berusia setengah abad dengan pakaian khas pelayan sedang berusaha membangunkan anak sang majikan.

"IYA." Teriakan dari dalam menunjukkan bahwa yang di maksud telah bangun.

"Jangan tidur lagi, bibi kebawah lagi kalau begitu." Wanita itu berjalan menjauhi kamar untuk meneruskan pekerjaannya yang sempat terhenti.

Didalam kamar dengan nuansa monokrom itu terlihat seorang laki-laki yang sedang meregangkan tubuhnya sambil menguap lebar-lebar. Menggaruk kepalanya lalu melihat langit yang sudah cerah dari balik jendela kamarnya, dengan mata yang menyipit.

"Udah Senin aja." Laki-laki itu beranjak dari kasurnya menuju kamar mandi.

Setelah selesai dengan segala urusannya laki-laki tadi segera menuruni tangga dengan menggunakan pakaian yang sudah rapi. Sweater abu-abu dan juga ripped jeans terpasang di badannya, dengan Clutch bag berwarna hitam di tangan kirinya.

"Pagi yah." Sapanya kepada seorang laki-laki berusia jauh diatasnya yang sudah menunggu di meja makan sambil sibuk dengan iPad-nya.

"Sudah dari tadi ayah tunggu, kenapa lama?" Laki-laki yang menyebut dirinya ayah itu menyerahkan iPad-nya pada seorang laki-laki yang sedari awal berdiri di belakangnya.

"Maaf." Keduanya pun sibuk dengan makanan yang sudah tersaji di depan masing-masing. Tidak membahas lagi perkara tadi.

"Aku sudah selesai." Laki-laki itu menyeka bibirnya dengan tisu untuk membersihkan siapa tahu ada noda yang tersisa.

"Oke."

"Ayah jangan sampai kecapean." Seperti biasa, sebelum berangkat sang anak selalu memperingati ayahnya terlebih dahulu.

"Iya-iya sana katanya mau berangkat, sana." Sang ayah mendorong anaknya agar segera pergi.

"Awas ya."

"Iya bawel."

Dengan mengendarai Buggati Divo pemberian sang ayah tahun lalu di hari ulang tahunnya menuju universitas tempatnya menempuh pendidikan.

Sampailah laki-laki tadi di sebuah Universitas ternama di kotanya yang sudah dipenuhi oleh orang-orang yang mungkin mempunyai kegiatan yang sama dengannya.

"YEP!" Laki-laki itu menoleh ketika suara seseorang yang tidak asing berteriak tidak jauh darinya. Tidak tahu malu, di tengah banyaknya orang suara kerasnya tentu saja menarik perhatian.

"Nama gue bukan Yep."

"Alah sama aja, lagian nama lo susah banget di ucapin." Laki-laki yang memakai kemeja kotak-kotak itu menyamakan langkah keduanya.

Melirik sampingnya, "Terserah."

"Kaya cewe." Gumamnya. "WOY TUNGGUIN GUE." Lanjutnya sambil berlari.

Mereka pun berjalan menuju kelas dengan berbagai tatapan kearah keduanya. Berbeda dengan temannya yang membalas orang-orang dengan senyuman, laki-laki yang di panggil Yep itu tetap berjalan tidak menghiraukan apapun yang terjadi di sekitarnya. Wherever every step is always the center of attention.

"Yang lain mana?"

"Kaga tau tadi gue kesini sendiri."

"Oh." Jika saja bukan temannya sudah pasti dia tidak akan ragu untuk memukul kepalanya. Tapi dia tidak seberani itu untuk melakukannya.

Membuka pintu dengan kencang kemudian berteriak, "HELLO EPRIBADIIII." Teriak laki-laki tinggi itu di pintu masuk.

Orang-orang yang ada di dalam ruangan tentu saja kaget dan melayangkan umpatan-umpatan yang malah membuat si pelaku tersenyum tanpa dosa.

Kedua laki-laki itu berjalan menuju tempat temannya berada, "Gitu aja kaget."

"Ya lo pikir siapa yang gak kaget baru muncul juga langsung teriak kaya begitu." Seorang perempuan dengan bandana putih melayangkan protesannya.

"Maafin Bastian atuh kalau begitu." Ya, nama lelaki tinggi dan menyebalkan itu adalah Sebastian Rendra.

"Dari mana aja kalian berdua baru datang?" Tanya seorang laki-laki yang sedang mengupil dengan satu kaki yang diletakkan di atas meja. Tidak memperdulikan orang-orang yang menatapnya dengan horor.

"Jorok Al lo mah." Protes laki-laki yang berada di sebelahnya sambil memukul lengannya.

"Yah seperti yang kalian lihat wahai kaum jamet, bahwa hamba sehat bahagia selalu." Ujar Bastian dengan percaya diri.

"Kagak nyambung lo Bas ditanya apa juga jawabnya juga apaan." Ucapan bernada sinis itu terdengar dari laki-laki yang sedari tadi marah-marah bernama Kenzo Clarence Fabian.

"Mata lo katarak, orang capek kaya gini dibilang jamet dasar basi." Ujar laki-laki dengan omongannya yang pedas dan juga blak-blakan bernama Al Ihsan Madava seraya menurunkan kakinya dari meja.

"Yoo may nem is Bastian no basi-basi."

"Sok Inggris lo."

"Mending diem lo Kenzo." ujar Bastian seraya duduk di belakang Al.

"Oh ya Vin nanti sore jadi?" Al membalikkan badannya untuk menatap temannya yang duduk di belakang.

"Jadi."

Yvaine Buana Wyman itulah namanya. Dia adalah anak tunggal dari seorang pengusaha terkenal bernama Zayan Sachdev Wyman yang sudah tidak diragukan lagi akan kemampuannya dalam berbisnis. Perusahaan raksasa dan juga termasuk yang terbesar di Asia bernama Buana Company. Bahkan wajahnya sudah banyak menghiasi media karena parasnya yang masih tampan padahal usianya yang tidak lagi muda.

Tapi hanya segelintir orang yang mengetahui bahwa Yvaine adalah anak dari pengusaha tersebut. Bukannya menutupi tetapi Yvaine tidak suka kehidupannya terlalu terekspos dan juga jarang menggunakan nama belakangnya kecuali untuk hal yang penting. Just want peace in his life before everything changes.

"Memang nanti sore mau pada kemana kok gue kagak tau? Ah jangan-jangan kalian udah nggak anggap gue temen lagi ya." Bastian berkata dengan nada seolah tersakiti.

"Mani geuleuh maneh Babas sok-sokan lupa lagi." Ujar Kenzo dengan mata yang mendelik.

"Ya maaf atuh Jojo kan aing lupa."

"Dasar pikun."

"Namanya juga manusia."

"Emang lo manusia?"

"Maneh mah ngajak wae gelut ka aing teh nya."

"Sok lah saha nu sieun."

"Berisik! Dosen sebentar lagi datang." Lerai Yvaine karena kalau mereka tidak dipisahkan akan panjang kedepannya. Dan ya, berhasil mereka berdua langsung diam.

"Vin tempat mana yang nanti sore kita datengin?" Tanya Bastian setelah selesai dengan perdebatannya.

"Dekat taman pintar."

"Oke sip nanti gue yang beli perlengkapannya." Ujar Kenzo yang sudah sibuk dengan buku tulisnya, entah sedang apa.

.

.

.

Setelah memarkirkan kendaraan masing-masing mereka berempat segera berjalan menuju sebuah taman dengan kedua tangan mereka yang membawa banyak plastik besar.

"Itu mereka di sana." Al menunjuk kumpulan anak-anak yang terlihat sedang beristirahat dengan membaringkan badannya di rumput. Mereka berempat pun berjalan menuju kumpulan anak-anak tadi.

"Halo adek-adek." Sapa Yvaine dengan melambaikan tangannya.

Anak-anak itu bangkit dan mendekat pada empat pemuda itu, "HAI KAK." Jawab mereka serempak.

"Kakak boleh gabung sama kalian?" Kenzo menghitung anak-anak yang ternyata ada lima belas orang itu.

"Boleh dong kak." Seorang anak laki-laki yang terlihat paling dewasa diantara yang lainnya. Pakaian yang dikenakannya sudah tidak layak dan juga basah karena keringat.

"Sebelumnya kakak bawa hadiah loh untuk kalian, siapa yang mau?" Bastian mengangkat kedua tangannya menunjukkan apa yang dia bawa.

"Aku mau."

"Akuu."

"Aku juga."

"Aku pun mau."

"Oke-oke kalian semua pasti kebagian kok, tapi kakak mau tanya dulu sebelumnya kalian udah pada makan belum?" Tanya Yvaine menenangkan anak-anak yang antusias.

"BELUM." Jawab anak-anak serempak.

"Nah kebetulan kakak sama temen-temen kakak bawa makanan, jadi kalian harus baris dulu yang rapi ya."

Anak-anak pun baris dengan rapi sesuai dengan permintaan Yvaine. Kemudian masing-masing anak diberi sebuah tas yang berisikan banyak makanan dan terselip beberapa lembar uang didalamnya. Setelah semua anak dapat, keempatnya beristirahat sambil melihat anak-anak yang sedang makan.

"Gue seneng banget liat wajah bahagia mereka." Ujar Bastian dengan binar di matanya.

"Iya dengan lihat wajah mereka bisa jadi salah satu kebahagiaan buat gue." Sahut Al seraya menyandarkan badannya ke pohon yang berada di belakangnya.

Seorang anak perempuan berusia sekitar empat tahun menghampiri mereka. "Kakak, boleh kenalan?" Tanya anak perempuan itu dengan malu-malu.

"Boleh dong."

"Halo perkenalkan nama aku Septia." Keempat orang dewasa itu tersenyum mendengarnya melihat anak itu yang melambaikan kedua tangannya.

"Halo Septia nama kakak Yvaine, maaf ya tadi kakak lupa nggak kenalan dulu."

"Hai Tia nama kakak Kenzo."

"Halo Septia nama kakak Al, salam kenal ya."

"Anyong Septia nama kakak Bastian kamu bisa panggil kak Babas ya."

"Halo kak Vin, kak Jo, kak Al, kak Babas." sapa Septia dengan melambaikan kedua tangannya lagi.

"Iih kamu gemes banget Tia." Gemas Bastian dengan menguyel-uyel kedua pipi Septia.

"Kamu disini sama siapa?" Tanya Yvaine.

"Aku sendiri." Jawabnya.

"Maaf, keluarga kamu?" Tanya Al dengan hati-hati takut menyinggung perasaan Septia.

"Mamah sakit di rumah jadi aku harus cari uang buat beli obat." Jawab Septia yang masih bisa menunjukkan wajah cerianya.

"Ya ampun Septia." Gumam Bastian di sebelah Yvaine.

"Ini ada uang buat beli obat." Ujar Yvaine sambil menyerahkan beberapa lembar uang ke tangan Septia.

"Wah makasih kak padahal aku kesini bukan buat minta uang loh." Ujar Septia dengan antusias.

"Udah nggak papa kamu ambil aja." Yvaine menggenggam kedua tangan Septia. "Sisanya bisa buat kebutuhan yang lainnya." Lanjutnya.

"Makasih kakak-kakak ganteng." Ujar Septia setelah memeluk keempat pemuda itu satu persatu.

"Sama-sama Tia, gih kamu lanjutin makannya yang lain udah pada mau beres itu." Kenzo mengusap bahu Septia dengan perlahan.

"Seharusnya kakak ketemu sama kak Nala." Septia bergumam tapi masih bisa di dengar oleh keempatnya.

"Siapa kak Nala?" Tanya Kenzo penasaran.

"Sama kaya kakak-kakak, kak Nala juga suka ngasih kita makanan, tadi kita juga lagi nunggu kak Nala tapi gak datang-datang, bahkan ya kak Nala itu biasanya juga ikut tidur sama anak-anak yang engga punya rumah di kolong jembatan, kakak tau kenapa kak Nala ngga datang?" Kalimat bernada polos itu terdengar dari bibir mungil Septia.

Keempatnya diam belum bersuara bingung harus menjawab apa karena mereka tidak tahu siapa sosok yang disebut kak Nala itu.

.......

.......

.......

...•∆∆∆∆•...

2 | Voir

...•∆∆∆∆•...

.......

.......

.......

"NALA!!"

"WOY NAL!"

"TUNGGUIN GUE."

"AIISSH ANJING LO."

"AWAS YA."

Teriakan yang diiringi dengan umpatan oleh seorang perempuan itu terdengar di sebuah gang yang dimana terlihat ada dua orang perempuan yang terlibat aksi kejar kejaran. Tidak peduli dengan orang-orang yang mengumpat atas aksi keduanya.

"AMPUN MAK GUE GAK SENGAJA."

"UDAH DONG JANGAN KEJAR GUE MULU CAPEK NIH."

Tidak lama kemudian mereka pun berhenti berlari kemudian berjongkok saling berhadapan dengan nafas keduanya yang tidak beraturan.

"Damai dulu mak damai." Perempuan yang lebih muda itu menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya.

Mencoba mengatur pernafasannya dengan perlahan, "Enak aja, kaga ada damai di antara kita." Menegakkan badannya seraya menggulung baju lengannya.

"Elah mak jangan huh-hah huh-hah napa, kaya orang yang mau brojol aja."

"Bacot lu orang gue capek juga."

"Suruh siapa lari-larian kaya begitu." Sahut perempuan itu dengan wajah tidak ada rasa bersalah sedikitpun.

"HEH gue lari juga karena lo ya!" Bentak seseorang yang disebut dengan Mak itu dengan memukul kepalanya.

"Ya kan gue udah bilang kalau itu kaga sengaja, lagian suruh siapa nyimpen akuarium di samping pohon untung aja gue kaga kenapa-napa." Jelasnya dengan bersungut-sungut.

"Iyalah lo kaga kenapa-napa,  orang akuariumnya ketiban sama badan Lo dan ini bukan untuk pertama kalinya Lo pecahin kandang ikan-ikan gue, juga stop panggil gue mak udah berapa kali juga dibilangin, panggil gue Kak Sana. Camkan itu Naladhipa." Sana mencubit pipi perempuan yang memakai kaus oversize itu dengan kencang.

"Sakit ih." Perempuan yang di panggil Naladhipa itu mengusap-usap pipinya yang memerah.

"Gitu aja sakit."

"Cobain sendiri." Sewot Nala seraya menyugar rambutnya yang sudah berantakan ke belakang.

"Lo itu ya, gemes gue tuh sama Lo." Nala mendelik mendengarnya. Tidak terima dengan ucapan sang kakak seolah dirinya yang sepenuhnya bersalah. I'm not wrong. Itu yang selalu dia rasa jika menyangkut keduanya.

"Awas aja kalau lo lari lagi." Sana berbicara seperti itu karena Nala memang bersiap untuk lari. Sial, selalu saja pergerakannya terbaca oleh kakaknya itu.

"Ck, iya-iya." Nala berkata dengan ogah-ogahan. Tapi tetap berjalan secara perlahan untuk kembali ke rumah.

"Iye iye awas aja kalau diulangi." Cibiran itu terdengar tepat di telinga Nala.

"Ya ngomongnya biasa aja dong jangan di telinga gue juga." Nala menggosok telinga kirinya. Dan menjauhkan badannya.

"Cepetan jalannya, belum nyuci hari ini giliran lo." Sana merangkul bahu Nala membuat sang adik protes karena ketek Sana yang basah mengenai lehernya.

"Lo aja ya gue lagi alergi nih liat tangan gue pada merah-merah begini. " Perkataan Nala memang benar adanya terlihat dari kedua telapak tangannya yang terdapat ruam merah, entah kenapa juga dirinya selalu seperti ini.

"Heh, gue heran sama lo kenapa sih tu kulit sensitif dikit-dikit merah kaya begitu, sakit kaga?." Pertanyaan bernada khawatir itu terdengar dari mulut Sana.

"Cie-cie khawatir ya." Nala menggoda Sana dengan mencolek tangannya.

"Si-siapa juga yang khawatir, gue kaga mau ya nanti malem harus jagain lo." Nala yang mendengar itu hanya terdiam.

Sadar akan perkataannya yang menyinggung perasaan Nala, Sana pun merasa bersalah. "Maksud gue bukan kaya beg- "

"Iya gue paham kok." Potong Nala yang tahu apa yang akan Sana katakan selanjutnya. Karena ini bukan pertama kalinya juga dia mengalami hal seperti ini. When he experiences it, always feels guilty.

"Lo nya jangan diem dong gue kan jadi ngerasa bersalah tau." Sana masih merasa bersalah, menatap Nala yang berjalan menunduk.

"Gue diem juga lagi mikir tau." Sewot Nala seraya menegakkan kepalanya.

"Mikir paan Lo?" Tanya Sana penasaran.

"Emmm, ada deh." Jawab Nala seraya berjalan meninggalkan Sana.

"Lo mah kebiasaan main rahasiaan mulu sama gue." Sana berlari menyusul Nala yang sudah berjalan didepannya.

"Nanti juga gue bilang kok sama lo."

"Awas aja kalau kaga bilang."

Setibanya di sebuah rumah yang terlihat sederhana karena hanya mereka berdua penghuninya, langsung saja Nala segera menuju sebuah pohon mangga yang berada di samping rumah. Dan terlihatlah sebuah akuarium yang sudah pecah  dengan ikan yang berserakan akibat ulah Nala yang tidak sengaja memecahkannya.

"Ikan-ikan yang malang lagian kenapa juga kalian ada disini udah tau gue lagi makan mangga di atas jadinya kan ketimpa sama badan gue." Ujar Nala sambil memungut ikan-ikan yang sudah mati itu dan masih untung belum di makan kucing.

"Mending di goreng apa di kubur aja ya?" Tanya Nala pada ikan yang ada di kedua tangannya.

"KAKAK, ini ikannya mending kita goreng apa gimana kak?" Teriak Nala setelah berada di dalam rumah. Tak lupa juga ikan yang masih ada di tangannya.

"Berisik lo, gue lagi nyuci ini." Balas Sana dengan berteriak juga dari arah belakang rumah. Membuat Nala segera berjalan ke tempat Sana berada.

"Kak, gimana ini?" Tanya Nala lagi sambil menyodorkan kedua ikan yang berada ditangannya.

"Heh kenapa kaga pake wadah sih lo bawanya." Sana yang kaget karena Nala memperlihatkan ikan itu tepat di depan matanya. Mendengar itu Nala hanya nyengir.

"Lo simpan aja di wastafel sana nanti gue goreng ikannya sayang kalau dibuang." Sana kembali sibuk dengan cuciannya.

"Kak nanti malem gue keluar ya." Izin Nala setelah mencuci kedua tangannya yang bau amis dari ikan. Lalu mengeringkannya dengan kain lap.

"Asal jangan lebih dari jam sepuluh aja." Sahut Sana tanpa melihat Nala.

"Yah kak mulainya juga jam sepuluh." Protes Nala seraya mendekatkan dirinya pada Sana.

"Oke tapi lo harus jaga diri." Menghembuskan nafas pasrah, percuma karena melarang pun pasti Nala akan tetap pergi. Sana hanya bisa berdoa untuk keselamatannya. His sister was very stubborn.

"Ya pasti itu mah, Mak Lo mau nitip kaga gue mau ke minimarket nih." Nala mengambil kunci motornya yang tergantung di samping meja makan.

"Sekalian aja lo belanja peralatan dikamar mandi udah pada abis." Sana berdiri karena cuciannya sudah selesai tinggal dia jemur.

"Siap." Balas Nala.

"NAL GUE MAU AYAM GEPREK NITIP DUA UANGNYA DARI LO DULU." Teriakan Sana terdengar ketika Nala sedang menyalakan motornya.

"IYA." Balas Nala. "Untung aja gue belom berangkat." Gumam Nala setelah keluar dari pekarangan rumahnya.

Setelah selesai belanja di minimarket Nala pun bergegas untuk membeli pesanan kak Sana.

Makanan yang dimaksud pun bukan dari sebuah restoran tetapi hanya sebuah warung yang berada di pinggir jalan yang sudah menjadi langganan karena menurut mereka berdua rasanya tidak kalah enaknya malahan bisa menghemat sedikit uangnya.

.

.

.

"Vin nanti malem ikut ga?" Tanya Kenzo seraya melirik Yvaine yang asik sendiri.

"Kayanya untuk malam ini gue gak ikut dulu soalnya ayah nyuruh buat temenin ke pesta koleganya." Jawab Yvaine dengan mata yang fokus pada layar ponselnya.

Saat ini Kenzo dan Yvaine berada di sebuah rumah minimalis yang sengaja mereka berempat beli dari awal masuk sekolah menengah untuk berkumpul seperti ini. Rumah yang terletak di pinggiran kota ini sangat nyaman karena jauh dari keramaian. Sangat cocok jika mereka tengah pusing dengan tugas perkuliahan.

"Yah kaga seru dong kalau lo engga ikut padahal malam ini katanya ada yang spesial." Ujar Kenzo seraya duduk di sebelah Yvaine setelah mengambil sebuah minuman dari kulkas yang ada di sebelah kursi yang mereka tempati.

"Ya mau gimana lagi."

"Ya udah kalau begitu padahal ini acara kapan lagi coba diadainnya lagi." Kenzo menaikkan sebelah kakinya pada meja.

"Minta." Yvaine tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel dengan tangan yang menengadah membuat Kenzo memukulnya.

"Apaan?" Tanya Kenzo bingung.

"Yang lo pegang."

"Oh ini, ya lo ngomong yang jelas dong gue kan kaga ngerti." Jelas Kenzo seraya menunjukkan kaleng minuman ditangannya.

"Nih." Kenzo mengambil minuman yang sama.

"Thanks."

"Padahal kulkas adanya persis di sebelah lo." Kenzo menggelengkan kepalanya, heran dengan tingkah teman yang satunya ini.

"Mager." Kenzo hanya diam tanpa membalas perkataannya karena dipastikan dia pasti kalah kalau berdebat dengan temannya yang satu ini.

"Ken gue pulang duluan, ayah nelpon cepat pulang." Ujar Yvaine beranjak mengambil kunci motornya.

"Iya sana anak ayah." Usir Kenzo.

Yvaine pun berjalan tanpa menghiraukan godaan dari Kenzo. Memang selama ini Yvaine selalu mementingkan apapun jika menyangkut ayahnya meski itu hal kecil sekalipun. He doesn't want to repeat a mistake.

Ditengah jalan ponsel Yvaine kembali berdering, dan demi keselamatannya dia pun menepi terlebih dahulu. Ketika selesai mengangkat telponnya Yvaine hanya bisa mendengus ketika lagi-lagi ayahnya yang mengingatkannya untuk segera pulang.

Ketika sedang memakai kembali helmnya pandangan Yvaine mengedar memperhatikan sekitarnya. Matanya pun tertuju pada seorang gadis yang terlihat sedang berdebat dengan seorang laki-laki.

Tanpa sadar Yvaine terus memperhatikan kejadian tersebut dan ketika melihat gadis itu menonjok laki-laki yang sedari tadi berdebat dengannya sontak bibir Yvaine melengkung keatas tanpa disadarinya.

"Lucu." Gumamnya.

.......

.......

.......

...•∆∆∆∆•...

3 | Palpitant

...•∆∆∆∆•...

.......

.......

.......

...

...

Nala masuk kedalam rumah dengan memasang wajah cemberut, kakinya yang di hentakkan lalu di kedua tangannya penuh dengan kresek berisi belanjaannya tadi. Menghembuskan nafasnya kasar hingga menarik perhatian Sana.

"Napa muka lo kaya gitu?" Tanya Sana yang sedang duduk di sofa sambil memakan sebuah snack yang berbahan dasar kentang.

"Keeeseeelllll huaaaaaa." Nala merengek setelah mendudukkan dirinya dilantai tanpa melepaskan kresek ditangannya. Bahkan kakinya dia hentakan-hentakan.

"Berisik nanti tetangga denger dikira gue macem-macem lagi sama lo." Sana membekap mulut Nala. Lupa jika tangannya masih terdapat remahan makanan. Nala terdiam sejenak dengan menatap mata Sana.

"Mmmmhh." Nala meronta berusaha menyingkirkan tangan Sana dari mulutnya. Demi apapun kakaknya itu sangat jorok.

"Gue lepasin asal lo diem." Nala mengangguk sebagai jawaban. Asal Sana cepat menyingkirkan tangannya.

"Tangan lo kotor!" Nala membersihkan wajahnya yang tertempel setelah Sana melepaskan tangannya.

"Enak aja." Diam-diam mengelapkan tangannya ke celananya.

Nala memutar bola matanya malas, "Liat aja sendiri."

Damn, Nala takut jerawat tumbuh lagi di wajahnya.

"Peduli amat, kesel kenapa lo?" Tanya Sana penasaran. Sebenarnya ini bukan pertama kali Nala pulang seperti ini. Jika ada yang membuatnya kesal, Nala pasti akan mencak-mencak jika rasa kesalnya tidak tersalurkan.

"Hah?" Sana mendelik akibat respon Nala yang memang kadang-kadang lemot seperti ini.

"Oh apa yah apa yah." Nala berkata dengan polosnya. Ingin sekali Sana menampol wajah itu, tapi dia terlalu sayang untuk melakukannya. Jadi dia hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.

"Gue pites lo ya." Sana mencubit tangan Nala lalu setelahnya mengambil kresek yang berserakan dilantai akibat ulahnya. Untung saja pesanannya tidak berhamburan isinya.

"MAK!" Nala berteriak tiba-tiba setelah beberapa saat terdiam membuat Sana terkejut bukan main dan refleks memukul kepalanya. Membuat Nala mengaduh.

"Auh sakit Mak." Nala meringis seraya mengusap-usap kepalanya.

"Ya lagian juga lo ngagetin gue kaya begitu." Sana masih kesal dengan Nala. Kakak dan adik itu sama-sama tidak mau mengalah.

"Tadi kan gue lagi beli ayam pesanan lo kan ya terus tiba-tiba aja ada orang yang nyerobot antrian gue, otomatis kan gue kaga terima udah lama juga nunggu eh malah dia yang mau duluan kan asu itu orang." Nala berkata dengan menggebu-gebu.

"Terus?" Sana seraya mengeluarkan makanannya.

"Nah itu orang tuh kaga terima gue tegur terus dia ngajak gue adu jotos, ya gue terima lah Mak lumayan udah lama juga gue nggak latihan. Terus nih liat tangan gue aja sampe merah kaya begini." Jelas Nala sambil menunjukkan tangan kanannya yang memerah. Meskipun rasa sakitnya tidak terasa, Nala hanya melebih-lebihkan.

"Tapi dibales kan?" Sana berjalan menuju dapur untuk mengambil es batu.

"Cuma gue tonjok sekali keburu dipisahin sama orang-orang." Sana kini mengerti kenapa Nala bisa kesal. "Itu yang bikin gue kesel kakak masa nonjoknya cuman sekali kan ngga asik."

Sana pun tidak menjawab lagi karena sibuk mengompres memar ditangan Nala. Setelah selesai diobati Nala beranjak menuju kamarnya. Sedangkan Sana tengah sibuk dengan makanannya.

"Kak gue mau mandi." Nala berhenti di depan kamarnya lalu membalikkan badannya melihat Sana yang tengah menggigit ayamnya.

"Ya kalau mau mandi, ya mandi aja kenapa juga harus bilang." Sana heran dengan Nala yang apa-apa harus bicara dulu padanya.

"Iya juga ya, ah bodo ah."

"Dih lu mah." Sana fokus lagi pada ayamnya.

.

.

Malam pun tiba Nala sudah berada disebuah tempat yang sudah berisi banyak manusia yang akan melihat sebuah pertandingan. Mereka bahkan tidak segan untuk berteriak menanti jagoannya.

"Oke Nala malem ini lo harus menang." Semangat Nala pada dirinya sendiri.

Telinga Nala mendengar suara MC yang mengumumkan jika pertandingan yang akan dia ikuti sebentar lagi akan segera dimulai. Mata Nala mengedar hingga dia menangkap seorang laki-laki yang juga tengah celingukan.

"Bang Iyan!"

"Gue cari-cari juga." Laki-laki bernama lengkap Adrian Magani itu berdiri di depannya.

Nala melirik sekitarnya, "Iya."

"Ayo kita siap-siap." Nala mengikuti kemana Adrian pergi dengan mata yang tetap mengawasi sekitarnya. Entah mengapa perasaanya tiba-tiba resah. Tapi dia tidak terlalu memikirkannya karena fokusnya saat ini adalah pertandingan yang akan berlangsung sebentar lagi.

Adrian memegang kedua bahu Nala membuatnya harus mendongak karena perbedaan tinggi keduanya, "Lo kali ini tanding sama Agnes jadi harus hati-hati."

"Oke bang." Ujar Nala dengan tenang.

"Nala inget, apapun hasilnya lo harus selamat." Adrian menunduk hingga wajah keduanya sejajar. Membuat Nala memundurkan kepalanya karena jaraknya terlalu dekat.

Nala mengangguk, "Gue pasti menang bang." Nala berkata dengan percaya diri.

"Jangan lupa untuk berdoa."

"Pasti itu mah."

Mereka berdua berjalan menuju tempat pertandingan berlangsung, dan terlihat disebuah ring lawan Nala sudah menunggunya. Adrenalin Nala langsung terpacu melihatnya.

Sorakan orang-orang tidak bisa terbendung ketika MC mempersilahkannya untuk naik ke atas ring. Sebelum naik, Nala menunduk seraya memejamkan matanya. Semoga hasilnya seperti apa yang dia harapkan.

"Long time no see Nala." Perkataan itu Nala dengar ketika dia menghindari pukulan pada wajahnya.

Nala hanya diam tanpa menjawab perkataan lawannya itu karena tujuannya bukan untuk basa-basi. Apalagi jika itu hanya untuk memancing emosinya saja. Nala tidak akan terpengaruh.

"Sombong amat lo." Perkataan itu kembali terdengar ketika Nala mendapatkan pukulan di wajah membuatnya mengumpat. Nala meludahkan darah yang keluar dari mulutnya.

Melihat senyum remeh di wajah lawannya membuat tangan Nala mengepal. Dia mulai mengatur posisinya untuk menyerang. Dengan gerakan cepat, Nala mengangkat kaki kirinya dan mengayunkannya tepat ke bawah rahang lawannya.

Tepat. Perkiraannya tidak salah.

Lawannya langsung tumbang seketika. Setelah menghitung mundur dan lawannya tidak bangun membuat Nala langsung berteriak. Dia menang.

"Bagus Nal." Adrian langsung memberikannya handuk ketika Nala turun.

"Jelas dong." Keduanya berjalan menuju ruangan di mana barang-barang Nala berada. Nala melambatkan jalannya hingga Adrian dulu yang masuk ke dalam. Menengok ke sekitar, tidak ada apa-apa. Mungkin itu hanya perasaannya saja.

Adrian mencekal tangan Nala yang akan memakai jaketnya, "Mau diobatin sekarang?"

"Nanti ajalah di rumah."Nala menyampirkan tas di bahunya.

Adrian menghela nafas, "Gue antar pulang."

Nala melepaskan tangan Adrian yang mencekal tangannya, "Gak usah gue bawa motor kok." Tolak Nala karena untuk apa di antar, toh dia juga membawa kendaraannya sendiri.

"Hati-hati kalau begitu." Adrian tau, memaksa Nala untuk pulang bersamanya akan percuma.

"Oke."

.

.

.

"Gila tuh cewe keren bat Al." Bastian berdecak kagum mengingat pertandingan tadi, dia masih terbayang-bayang.

"Yoi gue aja sampe speechless liatnya." Kenzo menimpali perkataan Bastian dengan sama hebohnya.

Bastian berdecak, "Gue jadi penasaran kan sama tuh cewe jadinya."

"Yang mana?" Tanya Al setelah sekian lama akhirnya mengeluarkan suara dari mulutnya.

"Yang menang lah."

"Oh."

"Anj lo Al." Bastian melayangkan pukulan di udara seolah ingin menonjok temannya yang irit bicara itu.

"Lah kenapa Lo?" Kenzo heran dengan tingkah teman yang satunya ini.

"Tau ah." Bastian pergi dengan motornya.

"Lah tu anak kenapa dah aneh banget." Kenzo berdecak seraya menggelengkan kepalanya.

"Kita pulang." Al memakai helmnya kemudian menghidupkan motornya dan pergi dari tempat itu.

......•∆∆∆∆•......

.......

.......

.......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!