Sang Arkana : Para Pemburu Iblis
Dengan hati berdebar, pemuda itu memandang jembatan kampus yang berdiri di hadapannya. Cahaya bulan pucat hanya menerangi sebagian dari struktur besi tua yang melengkung di atas danau kampus tersebut. Kabut-kabut tipis mempersempit pandangannya dan menambah kesan horor pada jembatan yang menghubungkan dua fakultas itu.
Pemandangan di jembatan ini seharusnya indah, iya indah, jika dilewati sore hari. Namun, ketika malam sudah beda cerita. Tak ada lagi keindahan. Kini tempat itu menjelma menjadi sebuah tempat yang menyeramkan.
Belum lagi banyak rumor kurang sedap tentang jembatan itu. Katanya, di malam hari banyak yang menangkap penampakan-penampakan makhluk halus di sana. Semakin banyak rumor yang beredar membuat jembatan itu semakin terkutuk. Makhluk-makhluk yang tinggal di sekitar sana memanfaatkan rumor tersebut untuk memperkuat dirinya. Wajar saja, rasa takut manusia adalah makanan para roh jahat.
Ketika roh jahat semakin kuat, maka mereka akan menjadi semakin berbahaya karena mampu menyakiti manusia. Mereka yang sudah hidup ratusan tahun bahkan kerap memburu manusia dan menjadikannya makanan.
"Aman, aman. Tenang, enggak akan ada apa-apa kok," gumam pemuda itu dalam hati, mencoba menenangkan diri. Ia memandang ke arah langit-langit kampus di seberang jembatan, tempat fakultas teknik berada. Motor kesayangannya tertinggal di sana dan cara tercepat untuk mencapainya adalah dengan melewati jembatan ini. Sebenarnya bisa saja pemuda itu melewati jalan lain, hanya saja jika dibandingkan dengan melewati jembatan, jaraknya memakan waktu enam kali lipat.
Dengan langkah ragu, ia melangkah di jembatan itu. Setiap langkahnya terdengar menggetar di atas struktur logam tua yang bergemuruh ketika ia melangkah lebih jauh. Suara angin sepoi-sepoi yang berdesir lembut, seolah membentuk suara bisikan yang tak terdengar jelas.
Ketika pemuda itu berjalan melewati titik tengah jembatan, ia merasakan ada perubahan suasana. Seolah-olah udara menjadi lebih dingin dan kental, membuat bulu kuduknya merinding. Ia berusaha tidak menatap sekelilingnya dan hanya fokus ke depan.
Di ujung jembatan yang sepi, terlihat bayangan samar. Detak jantungnya mendadak berdebar dengan napas memburu. Bayangan itu semakin nyata ketika langkahnya mendekat, membentuk siluet wanita yang berdiri di tengah jalan. Rambut panjangnya mengalir seperti angin, menutupi sebagian wajahnya dalam kegelapan.
"Yah elah," gumamnya lemas. "Orang kan tuh?"
Semakin dekat pemuda itu semakin ragu. tetapi langkahnya urung berhenti dan terus saja berjalan. Kini sosok itu semakin jelas. Seorang wanita berambut panjang dengan pakaian serba hitam itu sedang berdiri di tengah-tengah jembatan.
Pemuda itu agak melipir ke samping dan terus melangkah. Wanita itu masih saja diam tak bergerak dengan wajah yang menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Ketika jaraknya hampir dekat, pemuda itu menutup matanya dan mempercepat langkah.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, hingga entah langkah ke berapa, setelah dirasa cukup jauh pemuda itu kembali membuka mata. Mendadak langkahnya terhenti dengan bola mata yang membulat utuh. Tepat di sampingnya, wanita itu berjalan mundur mengikutinya sambil menatapnya dengan seringai mengerikan. Kedua mata wanita itu bolong bermandikan darah.
"AAAAAAAAAA!"
...****************...
Gelap telah sirna dilumat terang. Siang ini di kantin fakultas teknik, empat Mahasiswa sedang duduk dan asik berbincang. Tak luput menyenggol berita tentang salah satu Mahasiswa dari jurusannya yang dini hari tadi ditemukan tak sadarkan diri di jembatan kampus. Diketahui, hingga saat ini pemuda itu terlihat seperti orang linglung yang kehilangan jiwanya.
"Kasian tuh si Billy," ucap salah satu Mahasiswa berambut kribo.
"Berani banget lewat jembatan terkutuk itu malem-malem sendirian. Gua sih ramean aja enggak mau, apa lagi sendiri," balas seorang Mahasiswa bertopi.
"Iya, mending muter jauh deh," sahut si gondrong ala Mahasiswa Sekre.
Seorang Mahasiswa botak dengan jaket varsity hitam menghela napas. "Ngomongin apa sih lu pada?"
"Aduh, gua lupa kalo si Bowo Mahasiswa ghaib yang sering bolos. Wajar kalo dia enggak tahu rumor tentang jembatan di kampus kita," jawab si kribo.
"Rumor apa?" tanya Bowo, si pria botak berwajah garang dengan tanda lahir seperti tato di kening kirinya.
"Jembatan di kampus kita itu horor, Wo. Kalo malem-malem lu berani lewat situ, bisa gila lu," jawab si kribo.
Bowo tertawa renyah. "Gua enggak percaya sama gitu-gituan. Aneh-aneh aja lu semua."
Si pria bertopi menjitak kepala Bowo. "Lu jangan sompral, Wo! Bisa kualat lu!"
Bowo beranjak dari duduknya. "Terserah. Gua mau cabut dulu."
"Bentar lagi jam ketiga, Wo. Mau ke mana lu? Bolos lagi?" tanya si gondrong.
"Bentaran doang," balas Bowo yang melangkah pergi.
...****************...
Bentaran doang menurut bowo rupanya hingga hari menggelap dan suasana di Fakultas Sastra menemui titik henti. Bowo pergi dari Kantin Teknik menuju Kantin Sastra sedari siang tadi, lalu ia tidur siang di sana hingga terbangun saat waktu maghrib tiba.
"Bangun, Mas, sudah maghrib," ucap seorang ibu yang sedang beres-beres di kantin.
Bowo bangkit sambil menatap ibu itu dengan wajah kusam yang masih terlihat mengantuk. "Bu, pesen mi rebus double, ya. Pake telor sama sawinya banyakin."
"Saya sudah mau tutup, Mas."
"Ayolah, saya bangun-bangun laper nih," ucapnya. "mau pulang, tapi lemes banget. Aduh gimana dong nih?"
Ibu kantin bersikukuh untuk pulang, tetapi Bowo masih ngotot meminta dua porsi mi rebus untuk dirinya sendiri. Pada akhirnya ibu kantin menyerah dan membuatkan pesanan untuk pria berkepala batu tersebut. Saat ibu itu sedang merebus mi, ia berpesan pada pelanggan botaknya.
"Habis saya buatkan, saya tinggal, ya. Kamu bayarnya besok saja. Nanti setelah makan, mangkuknya taruh saja di meja, terus kamu cepat pulang."
"Buru-buru amat, kayak ada apaan aja," balas Bowo.
Ibu kantin menghela napas. Ia berjalan membawa semangkuk mi rebus pesanan Bowo ke mejanya. "Saya tahu kamu bukan anak sastra. Kalo kamu mau kembali ke Fakultas Teknik, kamu sebaiknya cepat. Jembatan itu angker kalau sudah gelap. Saran saya kamu jalan memutar saja."
"Oke, oke. Nanti abis makan saya balik ke Fakultas Teknik lewat jalan muter deh," balas Bowo.
"Ya sudah, saya pergi dulu. Kamu jangan lama-lama di sini. Jam segini gedung sudah kosong biasanya."
"Iya, santuy," balas Bowo sambil terkekeh.
Ibu kantin menggeleng sambil menghela napas berat. Ia meninggalkan Bowo membawa tentengan plastik di kedua tangannya. Selepas kepergian wanita tua itu, kini Bowo menjadi orang terakhir di Fakultas Sastra. Karena kejadian semalam, beberapa UKM dan komunitas menunda agenda mereka karena takut ada kejadian yang tidak diinginkan.
Selesai menghabisi makannya, Bowo pun tak langsung pergi. Ia masih asik duduk sambil bermain ponsel hingga kurang lebih dua jam. Setelah baterai ponselnya habis, ia baru beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju jembatan yang ia lewati siang tadi.
Ketika menatap jembatan itu, langkah Bowo terhenti. Sejenak ia terdiam sambil memegangi tengkuknya yang merinding.
"Oke, serem juga ternyata kalo malem," gumam Bowo bermonolog.
Ranting pohon bergoyang bergerak-gerak seperti tangan-tangan kegelapan. Udara dingin membuat pria botak itu menggigil meskipun mengenakan jaket varsity hitam yang cukup tebal. Ia menguap karena rasa kantuknya yang belum hilang, lalu melangkah ke jembatan itu dan berjalan semakin jauh.
Angin berembus riuh seolah menjadi bisikan-bisikan yang mengisi gendang telinganya. Sesekali bisikan angin itu terdengar miris meminta tolong.
Suasana di jembatan ini gelap tanpa penerangan. Hanya ada cahaya bulan yang menjadi satu-satunya penerangan di sana. Ketika hampir setengah jalan, terlihat siluet orang lain dari arah yang berlawanan. Bowo tersenyum.
"Kan, masih ada orang yang berani lewat meskipun udah malem. Orang-orang pada takut banget lewat sini dah," gumamnya diiringi kekehan.
Namun, lambat laun ketika jaraknya semakin dekat. Rupanya sosok itu tidak sedang berjalan. Wanita berambut panjang dengan pakaian serba hitam itu hanya berdiri di tengah jembatan.
Bowo melangkah santai melewati sosok itu dengan wajah datar seolah tak ada ketakutan dalam dirinya. Begitu ia lewat, terdengar suara seperti langkah kaki yang diseret. Ia pun menoleh ke belakang, tetapi tak ada siapa pun. Sosok wanita yang belum lama ia lewati sudah menghilang dari pandangannya.
"Lah? Kok ilang?" ucap Bowo heran.
Begitu ia menoleh kembali ke depan, sosok itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Wanita itu memberikan seringai menyeramkan pada Bowo hingga bibirnya sobek. Sejenak Bowo terdiam, tatapannya mendadak kosong seolah jiwanya tertarik ke dalam bola mata bolong milik wanita itu.
"Hihihihi."
Ketika sedang asik menikmati jiwa mangsanya, tiba-tiba saja tangan kiri Bowo terjulur meraih wajah makhluk itu dan mencengkeramnya erat-erat. Ia menarik kembali jiwanya, lalu berbalik menyeringai.
"Yo, Jahanam," sapa Bowo diiringi kekehan tipis.
Makhluk itu berusaha melepaskan tangan Bowo dari wajahnya, tetapi tangan itu begitu kuat mencengkeramnya.
"Siapa kau?!" teriak makhluk itu dengan suara gusar. "Kenapa kau bisa menyentuhku?!"
"Atma," jawab Bowo.
Atma merupakan eksistensi energi alam yang berbentuk spiritual. Beberapa orang mampu mengendalikannya untuk memerangi kegelapan. Selalu ada dua sisi yang bertolak belakang. Jika hal-hal yang berurusan dengan iblis disebut sebagai ilmu hitam, maka atma merupakan bentuk lawan sejatinya. Dan orang-orang yang mampu menggunakan atma disebut dengan ....
"Aku adalah seorang Arkana," lanjut pria botak itu. Satu tangan yang menganggur ia posisikan dengan gestur ancang-ancang memukul.
"Tu-tunggu sebentar ... mari kita buat kesepakatan," gumam makhluk itu. Ia merinding melihat kumpulan cahaya putih kebiruan yang berkumpul di kepalan tangan kanan Bowo.
Bowo terkekeh, lalu mendadak ekspresinya berubah datar. "Orang-orang yang bersekutu dengan setan disebut musyrik!" Ia ayunkan kepalan tangan itu hingga menghantam perut roh jahat penunggu jembatan.
Seketika itu perut makhluk itu bolong, lalu wujudnya berubah menjadi kepulan asap hitam dan pudar bersama angin malam. Selepas kekalahan makhluk itu, dari dalam danau jiwa-jiwa yang terperangkap berbondong-bondong pergi mencari raga mereka. Meskipun, beberapa di antaranya sudah kehilangan raganya karena jangka waktu yang cukup lama.
"Terimakasih ...," lirih salah satu jiwa yang pergi pada Bowo.
Bowo kini mengambil sebungkus rokok di dalam kantung jaketnya, lalu mengambil sebatang dan membakar ujungnya. Perlahan ia hisap rokok itu, kemudian membuang asapnya sambil menatap langit malam yang cerah. Berselang beberapa detik, ia kembali melanjutkan langkahnya ke sebrang jembatan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Nouveau Jour
saya mampir kak
jangan lupa mampir juga ya, siapa tau bisa kasih saran
2023-09-14
3
ZuraineZha
gak ada gambar tapi berasa jumpscare😭😭😭
2023-08-22
3
ZuraineZha
coba disapa nyahahah
2023-08-22
1