Pusaka

Orang zaman dahulu bilang, maghrib adalah waktu pergantian alam, di mana alam ghaib memulai aktivitasnya. Namun, banyak orang mengabaikannya, mengingat orang-orang itu tidak bisa melihat 'mereka' yang tak terlihat.

Bulan purnama malam ini tertutup oleh gerombolan awan hitam, membuat bumi terkesan redup. Terutama di desa ini, sebuah desa yang masih sangat tradisional dan kental akan tradisi mistisnya.

Ada sebuah pantangan di desa tersebut, yaitu tidak boleh berkeliaran di atas jam sembilan malam. Jadi terpaksa, rapat dan rangkaian kegiatan anak-anak KKN hanya berlangsung sampai jam delapan malam saja.

"Emangnya kenapa kalo kita rapat sampe malem sih?" gerutu salah satu Mahasiswa yang sedang melangsungkan KKN di desa tersebut. "Enggak seru banget dibates-batesin gini. Gua enggak percaya sama yang gitu-gitu, alay."

Ketua kelompok hanya bisa tersenyum melihat wajah gusar salah satu rekannya. "Gua juga enggak suka sama pantangan di desa ini, karena kita jadi punya keterbatasan waktu diskusi, tapi adat tetaplah adat, gaes. Harus dihormati di mana pun kita berpijak. Setiap wilayah punya aturan, dan kita sebagai tamu wajib patuh."

Tempat tinggal pria dan wanita dipisah, sehingga anak-anak KKN ini tak bisa melangsungkan rapat membahas program lebih fleksibel, mengingat tak ada jaringan juga di tempat ini, jadi mau tidak mau mereka harus bertatap muka. Mereka harus menunggu waktu subuh untuk memulai diskusi kembali terkait program yang sedang mereka jalankan.

Peraturan terkait jam malam bukan hanya berlaku untuk pendatang. Bahkan warga lokal pun tak ada yang berani keluar di jam tersebut. Bahkan pernah ada cerita, tentang satu keluarga yang meninggal dunia karena melanggar pantangan.

Kala itu ada seorang istri yang sedang hamil besar dan hendak melahirkan saat itu juga, tetapi karena waktu sudah berada di tengah malam, tak ada daya dan upaya. Namun, karena tak tahan melihat istrinya yang kesakitan, sang suami pun nekat pergi keluar rumah meminta pertolongan pada warga lain. Hanya saja tak ada yang berani membukakan pintu untuk pria itu hingga istri dan anak dalam kandungannya meninggal dunia. Dikabarkan juga malam itu pria tersebut menghilang. Tak ada yang dapat menemukannya di mana pun meski warga sudah mencarinya keseluruh penjuru desa.

Seminggu setelahnya, jasad sang suami pun di temukan sudah membusuk di dekat sungai arah rumah seorang sesepuh desa. Diduga bahwa ia diculik oleh makhluk halus saat sedang kabur menuju rumah orang paling sakti di desa tersebut, kala istrinya sedang membutuhkan pertolongan untuk melahirkan.

Sejak saat itu, warga semakin takut untuk melanggar pantangan yang ada. Tidak ada yang berani keluar malam hari. Ada pun kejadian yang mengharuskan mereka pergi, maka warga yang berkepentingan pun pergi sedari sore dan kembali ke desa saat pagi.

Sialnya, malam ini salah satu Mahasiswa yang rebel dan tak suka dengan pantangan aneh itu memutuskan untuk membuat ulah. Sengaja ia berkeliaran pada jam setengah sembilan malam dan berniat pulang lebih malam lagi.

"Lihat Steve enggak, Ta?" tanya Alvin, si ketua KKN pada pria pendiam yang memiliki paras cukup tampan.

"Enggak liat," jawab Manta dengan datar.

"Waduh, itu orang ke mana dah?" Alvin khawatir, sedari tadi ia melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan.

Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Steve belum juga kembali ke basecamp.

"Kalo dia enggak pulang gimana nih, Vin? Kita cari?" tanya salah satu anggota KKN.

"Jangan. Kita enggak boleh nambah masalah. Biar gua aja sendiri yang cari," jawab Alvin.

Manta melarang Alvin. "Biar gua aja," tuturnya.

"Nah! Biar si Manta aja, dia kan orang paling hoki sedunia tuh!"

"Setuju!"

Alvin menghela napas pasrah. "Ya udah." Ia menatap Manta. "Ta, tolong, ya. Inget, kalo ada sesuatu yang bahaya, lu langsung balik kanan."

"Oke." Darmanta berjalan ke kamarnya, lalu tak berselang lama ia keluar membawa sebuah benda panjang yang tertutup kain putih. Setelah itu barulah ia keluar mencari Steve.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana mendadak sunyi dan aura di desa ini pun berubah.

Suara burung nokturnal perlahan mulai mengisi kehampaan. Setiap kicaunya penuh tekanan. Regu KKN yang berada di dalam rumah hanya bisa khawatir. Mereka tak berani mengintip keluar jendela. Sebab samar-samar mulai terdengar suara gemerincing lonceng dan langkah yang riuh di luar rumah.

...****************...

"Ya elah, apa sih yang ditakutin?" ucap Steve bermonolog. Saat ini ia sedang duduk seorang diri di sebuah pos ronda tempat anak-anak KKN berkumpul untuk rapat membahas program kerja.

Dari kejauhan terlihat kerumunan orang yang sedang berjalan ke arahnya.

"Tuh, kan! Masih rame juga jam segini."

Perlahan kerumunan itu semakin jelas terlihat. Mereka sedang berbaris membawa keranda mayat dengan kain hitam bertuliskan aksara jawa. Mendadak Steve merinding, tetapi belum membuatnya beranjak pergi.

Ketika barisan pembawa keranda hampir melewatinya, pemuda itu tersenyum. "Pak," sapanya.

Para pembawa keranda itu berhenti tepat setelah pemuda itu menyapanya. Steve memicing ketika kerumunan tersebut mendadak berhenti dengan tatapan kosong lurus ke depan.

"Siapa yang meninggal, Pak?" tanya Steve berbasa-basi.

Mereka sontak menoleh ke arah Steve dengan serempak, membuat pemuda itu terkejut setengah mati.

Wajah-wajah para pembawa keranda itu begitu pucat. Tanpa ekspresi mereka semua masih memandang ke arah Steve. Tentu saja dipandang seperti itu membuat bulu kuduk pemuda itu merinding. Ia pun bangkit dan pamit pergi.

Namun, tiba-tiba saja tirai berupa kain hitam yang menutupi keranda itu terbang begitu saja melilit Steve.

"To-tolong!" teriak pemuda lemas. Ia tak memiliki tenaga untuk sekadar berteriak meminta pertolongan. Toh, percuma saja, warga pun enggan keluar menolongnya.

Keranda pun terbuka seolah siap mengangkutnya. Rupanya keranda itu tidak diangkut, melainkan melayang di atas pundak orang-orang yang membawanya. Tiba-tiba para pembawa jenazah yang tadi terlihat seperti manusia itu pun berubah menjadi barisan pocong.

Karena rasa takutnya, mendadak pandangan Steve mulai menghitam. Ia merasa lemas hingga akhirnya tumbang tak sadarkan diri dan terkulai di tanah.

Pemuda itu dibawa pergi oleh rombongan pembawa keranda. Namun, di tengah jalur yang dilalui oleh makhluk tersebut, seorang pemuda lain berdiri menghadangnya.

"Kembalikan orang itu," tutur Manta. "Tidak seharusnya yang mati mengusik yang hidup, dan sebaliknya. Namun, jika salah satu pihak melanggar hukum alam, jangan salahkan jika pihak yang satunya melawan."

Ia melepaskan kain putih yang menutupi sebuah pedang bersarung hitam. Manta memegang sarung pedang yang terlihat kuno itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan menggenggam gagangnya.

"Pergi," tuturnya dengan nada datar sembari mengangkat sedikit pedangnya keluar dari sarung.

Cahaya yang silau memancar dari pedang itu hingga membuat rombongan pembawa jenazah beterbangan dan kabur terbirit-birit.

Hanya saja, keranda hitam itu masih melayang di hadapan Darmanta.

"Jadi kau bosnya, ya?" tanya Manta. "Lampor."

Lampor adalah salah satu setan dari Jawa yang digambarkan sebagai penampakan keranda terbang. Dikisahkan, mereka yang keluar di malam hari dan melihat lampor tersebut akan hilang dan tak akan kembali. Cerita lainnya mengatakan bahwa misalnya orang tersebut kembali maka mereka tak akan jadi orang yang sama dari sebelumnya alias gila. Selain itu, Lampor juga menjadi tanda kematian.

Darmanta mengeluarkan pedang dari sarangnya. Ia mengusap badan pedang itu dari pangkalnya hingga ke ujung sambil menggumamkan sesuatu.

"Iro Yudho Wicaksano," lirihnya.

Muncul tulisan aksara jawa kuno di badan pedang tersebut yang bermakna 'Satria yang berani berperang membela kebenaran, menegakkan keadilan dengan berlandaskan prinsip kebijaksanaan'.

Semboyan Iro Yudho Wicaksano merupakan warisan dari prajurit zaman kerajaan dahulu yang mengutamakan keberanian, kegagahan, kerendahan hati, dan kebijaksanaan dari cara hidup prajurit perang. Filosofi dari Kesatria yang penuh dengan etos, dedikasi, perjuangan, kerja keras, dan pantang menyerah.

Pedang di tangan Manta mengeluarkan cahaya tipis. Kini pemuda itu menggenggam pedangnya dengan dua tangan. Sorot matanya tajam seolah mengintimidasi Lampor.

Lampor melesat cepat ke arah Manta. Sepertinya makhluk itu menginginkan nyawa dan darah dari penantangnya.

Darmanta mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Lambat laun cahaya tipis itu semakin terang benderang seolah menyerap energi alam di sekitarnya.

"Belahlah kegelapan dengan cahayamu, Bengisuro."

Ia lesatkan pedang itu ke bawah dengan cepat dan kuat hingga membelah angin malam. Lesatan cahaya membelah Lampor menjadi dua bagian, tetapi tak melukai Steve yang berada di dalamnya. Makhluk itu sirna menjadi kepulan asap hitam, meninggalkan Steve yang tergeletak di tanah.

Pusaka merupakan warisan masa lalu yang mengandung unsur mistik di dalamnya. Pedang Bengisura milik Darmanta merupakan salah satu senjata pusaka yang tidak diturunkan lewat darah keturunan. Pusaka yang satu ini hidup dan memilih tuannya sendiri. Dalam pelafalannya, Bengisura diucap Bengisuro.

Manta membawa Steve pulang ke basecamp. Sejak malam itu sesepuh desa mengumumkan bahwa desa sudah aman dari gangguan malam. Hanya pria tua itu yang tahu kebenaran tentang pertarungan salah satu pemuda KKN dengan Lampor.

"Matur nuwun," ucap tetua desa pada Darmanta. Ia merahasiakan kejadian di malam itu dan menelan kebenarannya seorang diri.

Manta tersenyum tipis pada pria tua tersebut. "Sama-sama."

Terpopuler

Comments

Tiara

Tiara

reflek jatuh cinta, lope lope mantaa

2023-08-23

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!