Dengan hati berdebar, pemuda itu memandang jembatan kampus yang berdiri di hadapannya. Cahaya bulan pucat hanya menerangi sebagian dari struktur besi tua yang melengkung di atas danau kampus tersebut. Kabut-kabut tipis mempersempit pandangannya dan menambah kesan horor pada jembatan yang menghubungkan dua fakultas itu.
Pemandangan di jembatan ini seharusnya indah, iya indah, jika dilewati sore hari. Namun, ketika malam sudah beda cerita. Tak ada lagi keindahan. Kini tempat itu menjelma menjadi sebuah tempat yang menyeramkan.
Belum lagi banyak rumor kurang sedap tentang jembatan itu. Katanya, di malam hari banyak yang menangkap penampakan-penampakan makhluk halus di sana. Semakin banyak rumor yang beredar membuat jembatan itu semakin terkutuk. Makhluk-makhluk yang tinggal di sekitar sana memanfaatkan rumor tersebut untuk memperkuat dirinya. Wajar saja, rasa takut manusia adalah makanan para roh jahat.
Ketika roh jahat semakin kuat, maka mereka akan menjadi semakin berbahaya karena mampu menyakiti manusia. Mereka yang sudah hidup ratusan tahun bahkan kerap memburu manusia dan menjadikannya makanan.
"Aman, aman. Tenang, enggak akan ada apa-apa kok," gumam pemuda itu dalam hati, mencoba menenangkan diri. Ia memandang ke arah langit-langit kampus di seberang jembatan, tempat fakultas teknik berada. Motor kesayangannya tertinggal di sana dan cara tercepat untuk mencapainya adalah dengan melewati jembatan ini. Sebenarnya bisa saja pemuda itu melewati jalan lain, hanya saja jika dibandingkan dengan melewati jembatan, jaraknya memakan waktu enam kali lipat.
Dengan langkah ragu, ia melangkah di jembatan itu. Setiap langkahnya terdengar menggetar di atas struktur logam tua yang bergemuruh ketika ia melangkah lebih jauh. Suara angin sepoi-sepoi yang berdesir lembut, seolah membentuk suara bisikan yang tak terdengar jelas.
Ketika pemuda itu berjalan melewati titik tengah jembatan, ia merasakan ada perubahan suasana. Seolah-olah udara menjadi lebih dingin dan kental, membuat bulu kuduknya merinding. Ia berusaha tidak menatap sekelilingnya dan hanya fokus ke depan.
Di ujung jembatan yang sepi, terlihat bayangan samar. Detak jantungnya mendadak berdebar dengan napas memburu. Bayangan itu semakin nyata ketika langkahnya mendekat, membentuk siluet wanita yang berdiri di tengah jalan. Rambut panjangnya mengalir seperti angin, menutupi sebagian wajahnya dalam kegelapan.
"Yah elah," gumamnya lemas. "Orang kan tuh?"
Semakin dekat pemuda itu semakin ragu. tetapi langkahnya urung berhenti dan terus saja berjalan. Kini sosok itu semakin jelas. Seorang wanita berambut panjang dengan pakaian serba hitam itu sedang berdiri di tengah-tengah jembatan.
Pemuda itu agak melipir ke samping dan terus melangkah. Wanita itu masih saja diam tak bergerak dengan wajah yang menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Ketika jaraknya hampir dekat, pemuda itu menutup matanya dan mempercepat langkah.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, hingga entah langkah ke berapa, setelah dirasa cukup jauh pemuda itu kembali membuka mata. Mendadak langkahnya terhenti dengan bola mata yang membulat utuh. Tepat di sampingnya, wanita itu berjalan mundur mengikutinya sambil menatapnya dengan seringai mengerikan. Kedua mata wanita itu bolong bermandikan darah.
"AAAAAAAAAA!"
...****************...
Gelap telah sirna dilumat terang. Siang ini di kantin fakultas teknik, empat Mahasiswa sedang duduk dan asik berbincang. Tak luput menyenggol berita tentang salah satu Mahasiswa dari jurusannya yang dini hari tadi ditemukan tak sadarkan diri di jembatan kampus. Diketahui, hingga saat ini pemuda itu terlihat seperti orang linglung yang kehilangan jiwanya.
"Kasian tuh si Billy," ucap salah satu Mahasiswa berambut kribo.
"Berani banget lewat jembatan terkutuk itu malem-malem sendirian. Gua sih ramean aja enggak mau, apa lagi sendiri," balas seorang Mahasiswa bertopi.
"Iya, mending muter jauh deh," sahut si gondrong ala Mahasiswa Sekre.
Seorang Mahasiswa botak dengan jaket varsity hitam menghela napas. "Ngomongin apa sih lu pada?"
"Aduh, gua lupa kalo si Bowo Mahasiswa ghaib yang sering bolos. Wajar kalo dia enggak tahu rumor tentang jembatan di kampus kita," jawab si kribo.
"Rumor apa?" tanya Bowo, si pria botak berwajah garang dengan tanda lahir seperti tato di kening kirinya.
"Jembatan di kampus kita itu horor, Wo. Kalo malem-malem lu berani lewat situ, bisa gila lu," jawab si kribo.
Bowo tertawa renyah. "Gua enggak percaya sama gitu-gituan. Aneh-aneh aja lu semua."
Si pria bertopi menjitak kepala Bowo. "Lu jangan sompral, Wo! Bisa kualat lu!"
Bowo beranjak dari duduknya. "Terserah. Gua mau cabut dulu."
"Bentar lagi jam ketiga, Wo. Mau ke mana lu? Bolos lagi?" tanya si gondrong.
"Bentaran doang," balas Bowo yang melangkah pergi.
...****************...
Bentaran doang menurut bowo rupanya hingga hari menggelap dan suasana di Fakultas Sastra menemui titik henti. Bowo pergi dari Kantin Teknik menuju Kantin Sastra sedari siang tadi, lalu ia tidur siang di sana hingga terbangun saat waktu maghrib tiba.
"Bangun, Mas, sudah maghrib," ucap seorang ibu yang sedang beres-beres di kantin.
Bowo bangkit sambil menatap ibu itu dengan wajah kusam yang masih terlihat mengantuk. "Bu, pesen mi rebus double, ya. Pake telor sama sawinya banyakin."
"Saya sudah mau tutup, Mas."
"Ayolah, saya bangun-bangun laper nih," ucapnya. "mau pulang, tapi lemes banget. Aduh gimana dong nih?"
Ibu kantin bersikukuh untuk pulang, tetapi Bowo masih ngotot meminta dua porsi mi rebus untuk dirinya sendiri. Pada akhirnya ibu kantin menyerah dan membuatkan pesanan untuk pria berkepala batu tersebut. Saat ibu itu sedang merebus mi, ia berpesan pada pelanggan botaknya.
"Habis saya buatkan, saya tinggal, ya. Kamu bayarnya besok saja. Nanti setelah makan, mangkuknya taruh saja di meja, terus kamu cepat pulang."
"Buru-buru amat, kayak ada apaan aja," balas Bowo.
Ibu kantin menghela napas. Ia berjalan membawa semangkuk mi rebus pesanan Bowo ke mejanya. "Saya tahu kamu bukan anak sastra. Kalo kamu mau kembali ke Fakultas Teknik, kamu sebaiknya cepat. Jembatan itu angker kalau sudah gelap. Saran saya kamu jalan memutar saja."
"Oke, oke. Nanti abis makan saya balik ke Fakultas Teknik lewat jalan muter deh," balas Bowo.
"Ya sudah, saya pergi dulu. Kamu jangan lama-lama di sini. Jam segini gedung sudah kosong biasanya."
"Iya, santuy," balas Bowo sambil terkekeh.
Ibu kantin menggeleng sambil menghela napas berat. Ia meninggalkan Bowo membawa tentengan plastik di kedua tangannya. Selepas kepergian wanita tua itu, kini Bowo menjadi orang terakhir di Fakultas Sastra. Karena kejadian semalam, beberapa UKM dan komunitas menunda agenda mereka karena takut ada kejadian yang tidak diinginkan.
Selesai menghabisi makannya, Bowo pun tak langsung pergi. Ia masih asik duduk sambil bermain ponsel hingga kurang lebih dua jam. Setelah baterai ponselnya habis, ia baru beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju jembatan yang ia lewati siang tadi.
Ketika menatap jembatan itu, langkah Bowo terhenti. Sejenak ia terdiam sambil memegangi tengkuknya yang merinding.
"Oke, serem juga ternyata kalo malem," gumam Bowo bermonolog.
Ranting pohon bergoyang bergerak-gerak seperti tangan-tangan kegelapan. Udara dingin membuat pria botak itu menggigil meskipun mengenakan jaket varsity hitam yang cukup tebal. Ia menguap karena rasa kantuknya yang belum hilang, lalu melangkah ke jembatan itu dan berjalan semakin jauh.
Angin berembus riuh seolah menjadi bisikan-bisikan yang mengisi gendang telinganya. Sesekali bisikan angin itu terdengar miris meminta tolong.
Suasana di jembatan ini gelap tanpa penerangan. Hanya ada cahaya bulan yang menjadi satu-satunya penerangan di sana. Ketika hampir setengah jalan, terlihat siluet orang lain dari arah yang berlawanan. Bowo tersenyum.
"Kan, masih ada orang yang berani lewat meskipun udah malem. Orang-orang pada takut banget lewat sini dah," gumamnya diiringi kekehan.
Namun, lambat laun ketika jaraknya semakin dekat. Rupanya sosok itu tidak sedang berjalan. Wanita berambut panjang dengan pakaian serba hitam itu hanya berdiri di tengah jembatan.
Bowo melangkah santai melewati sosok itu dengan wajah datar seolah tak ada ketakutan dalam dirinya. Begitu ia lewat, terdengar suara seperti langkah kaki yang diseret. Ia pun menoleh ke belakang, tetapi tak ada siapa pun. Sosok wanita yang belum lama ia lewati sudah menghilang dari pandangannya.
"Lah? Kok ilang?" ucap Bowo heran.
Begitu ia menoleh kembali ke depan, sosok itu sudah berada tepat di depan wajahnya. Wanita itu memberikan seringai menyeramkan pada Bowo hingga bibirnya sobek. Sejenak Bowo terdiam, tatapannya mendadak kosong seolah jiwanya tertarik ke dalam bola mata bolong milik wanita itu.
"Hihihihi."
Ketika sedang asik menikmati jiwa mangsanya, tiba-tiba saja tangan kiri Bowo terjulur meraih wajah makhluk itu dan mencengkeramnya erat-erat. Ia menarik kembali jiwanya, lalu berbalik menyeringai.
"Yo, Jahanam," sapa Bowo diiringi kekehan tipis.
Makhluk itu berusaha melepaskan tangan Bowo dari wajahnya, tetapi tangan itu begitu kuat mencengkeramnya.
"Siapa kau?!" teriak makhluk itu dengan suara gusar. "Kenapa kau bisa menyentuhku?!"
"Atma," jawab Bowo.
Atma merupakan eksistensi energi alam yang berbentuk spiritual. Beberapa orang mampu mengendalikannya untuk memerangi kegelapan. Selalu ada dua sisi yang bertolak belakang. Jika hal-hal yang berurusan dengan iblis disebut sebagai ilmu hitam, maka atma merupakan bentuk lawan sejatinya. Dan orang-orang yang mampu menggunakan atma disebut dengan ....
"Aku adalah seorang Arkana," lanjut pria botak itu. Satu tangan yang menganggur ia posisikan dengan gestur ancang-ancang memukul.
"Tu-tunggu sebentar ... mari kita buat kesepakatan," gumam makhluk itu. Ia merinding melihat kumpulan cahaya putih kebiruan yang berkumpul di kepalan tangan kanan Bowo.
Bowo terkekeh, lalu mendadak ekspresinya berubah datar. "Orang-orang yang bersekutu dengan setan disebut musyrik!" Ia ayunkan kepalan tangan itu hingga menghantam perut roh jahat penunggu jembatan.
Seketika itu perut makhluk itu bolong, lalu wujudnya berubah menjadi kepulan asap hitam dan pudar bersama angin malam. Selepas kekalahan makhluk itu, dari dalam danau jiwa-jiwa yang terperangkap berbondong-bondong pergi mencari raga mereka. Meskipun, beberapa di antaranya sudah kehilangan raganya karena jangka waktu yang cukup lama.
"Terimakasih ...," lirih salah satu jiwa yang pergi pada Bowo.
Bowo kini mengambil sebungkus rokok di dalam kantung jaketnya, lalu mengambil sebatang dan membakar ujungnya. Perlahan ia hisap rokok itu, kemudian membuang asapnya sambil menatap langit malam yang cerah. Berselang beberapa detik, ia kembali melanjutkan langkahnya ke sebrang jembatan.
Konon katanya ada staf yang bunuh diri di bilik kamar mandi pojok sekolah ini. Sejak saat itu banyak rumor busuk tentang kamar mandi itu yang mengakibatkan siswa-siswi dan jajaran staf guru tak pernah menggunakan kamar mandi di bangunan lama tersebut. Para penghuni sekolah cenderung menggunakan kamar mandi di gedung baru yang terletak di sebrang gedung lama.
Gedung lama masih beroperasi menjadi sarana belajar untuk sekolah dasar, sementara bangunan baru diprioritaskan untuk tingkat SMP. Namun, hanya kamar mandi SMP yang digunakan di sekolah swasta tersebut.
Pada suatu hari, ketika hari sudah sore, seorang siswa kebelet berak. Namun, kamar mandi di gedung baru rupanya penuh. Karena tak mampu membendung hasrat, ia pun lari bagaikan ninja untuk membuang tinja.
Persetan dengan rasa takut. Sepertinya rasa malu lebih mengerikan karena akan diingat sepanjang masa. Daripada harus berpasrah diri, ia memutuskan menggunakan kamar mandi bangunan lama.
Plung!
"Ah, lega."
Ya, terdengar cukup klasik. Tak lama berselang dari rasa lega itu, kini rasa takut merambat mencengkerami tubuhnya. Di tengah keheningan itu, siswa tersebut buru-buru menyelesaikan urusannya.
Tok ... tok ... tok
Merinding! Tangan yang ia gunakan untuk memegang gayung kini gemetar hingga air di dalam gayungnya tumpah-tumpahan.
"Si-siapa?" tanya siswa itu.
Tok ... tok ... tok
Tak ada jawaban. Hanya ketukan pintu lagi dan lagi yang terdengar. Padahal ia sudah menghindari bilik pojok di kamar mandi ini, tetapi tetap saja rasanya masih menyeramkan.
Tok! Tok! Tok! Tok! Tok!
Semakin lama ketukan itu semakin brutal. Persetan dengan istinja! Kini siswa itu langsung mengenakan celananya dan hendak kabur. Namun, ketika ia berusaha membuka pintunya, pintu itu tidak mau terbuka seolah sedang terkunci.
"Tolong!" teriaknya sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi.
Ia terus berusaha membuka pintu itu dengan segala yang ia bisa. Hingga tanpa sadar, ada sesuatu yang menyentuh ujung rambutnya.
Sejenak ia berhenti, lalu perlahan menoleh dan mendongak. Matanya terbelalak ketika menatap pria yang tergantung dengan tali di lehernya. Kakinya menggantung melayang mengenai kepala siswa tersebut. Mata pria itu melotot menatap bocah kecil di dalam kamar mandi.
Ditatap orang yang seharusnya sudah mati membuat bocah itu ingin menangis, tetapi tak bisa. Tubuhnya lemas hingga terduduk dan hanya mampu mendongak menatap pria gantung diri di atasnya.
"Tok ... tok ... tok ...," lirih pria itu mengikuti suara ketukan pintu.
Tali yang menggantung di atas pun putus. Pria itu jatuh menimpa bocah yang sedang takut setengah mati tersebut.
"AAAAAAA!"
Teriakan bocah itu menggemparkan seisi sekolah. Ia tak sadarkan diri akibat rasa takut berlebih dan dibawa ke UKS oleh guru pertama yang mendobrak pintu kamar mandi.
...****************...
Hari silih berganti. Seorang guru datang ke kelas membawa seorang anak berwajah lesu dengan celana pendek berwarna biru bersamanya
"Selamat pagi anak-anak," sapa guru itu pada murid-murid di kelas
"Pagi bu guru," balas anak-anak di kelas dengan kompak
"Hari ini kita kedatangan anak baru." Guru itu menatap si murid pindahan. "Ayo, perkenalkan diri kamu."
Anak itu menghela napas berat, seolah malas dengan acara perkenalan ini. Namun, ini merupakan langkah awal dalam prosedur pendidikan yang harus dilalui. Hal wajar mengingat ia pindah di tengah semester.
"Yasa Kanigara," ucapnya menatap semua murid di kelas secara bergantian. "Salam kenal."
Keadaan mendadak hening. Sesingkat itu bocah itu memberikan perkenalan pada teman-teman barunya. Sang guru tersenyum masam padanya.
"Kamu tinggal di mana? Berapa bersaudara? Ayahnya kerjanya apa? Ibunya juga? Terus hobinya apa?" tanya si guru.
Lagi-lagi bocah itu menghela napas dengan wajah malasnya. "Tinggal di deket sini. Anak tunggal. Yatim piatu. Hobi menghafal."
Mendengar kata yatim piatu keluar dari mulut anak itu, membuat guru tersebut sedikit merasa bersalah. Namun, menyadari perubahan ekspresi sang guru, Yasa tersenyum tipis pada wanita itu.
"Enggak apa-apa. Bu. Saya sudah biasa," tuturnya.
"Ya sudah, kamu duduk di belakang, ya." Bu guru menunjuk satu meja kosong di barisan belakang. "Oh iya, Yasa. Kalo kamu mau pake kamar mandi, jangan ke kamar mandi SD, ya. Kita SMP pakenya kamar mandi SMP aja." Ia memberikan peringatan dengan dibumbui sedikit kebohongan untuk menutupi ke angkeran kamar mandi bangunan lama.
Namun, perkataan guru itu justru menimbulkan tanda tanya besar di dalam pikiran Yasa. Ia pun menatap bangunan lama yang berada di luar jendela dari kursinya.
...****************...
Hari berganti. Perlahan rasa janggal di benaknya semakin tajam. Seluruh manusia di tempat ini selalu menggunakan kamar mandi bangunan baru, padahal sesekali kamar mandi di sini penuh. Hal yang terlihat paling janggal adalah ketika seseorang lebih memilih mengantre, padahal ada kamar mandi kosong di bangunan lama.
Sore ini Yasa pulang terlambat karena pamannya telat menjemput. Ia menghabiskan waktu dengan menatap anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan. Satu per satu anak itu pergi ketika dijemput oleh orang tuanya. Melihat itu, ada rasa iri dalam diri Yasa. Jauh di lubuk hatinya, ia ingin dijemput oleh orang tuanya, tetapi ia pun sadar bahwa mereka yang mati tak akan pernah bisa kembali.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Kini Yasa menjadi siswa terakhir di sekolah. Mungkin karena bosan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan sedikit.
Langkahnya berhenti di depan kamar mandi bangunan lama. Rasa-rasanya ada aura misterius yang membuatnya tertarik untuk pergi ke sana. Ya, mumpung ingin buang air kecil, sekalian saja Yasa berjalan menuju kamar mandi bangunan lama.
Begitu ia masuk, Yasa terus melangkah hingga berdiri di bilik terakhir kamar mandi tersebut. Ia buka pintu bilik tersebut, lalu masuk ke dalam dan mengunci pintunya.
Yasa membelakangi pintu, ia berdiri di depan closet sambil membuang air kecil. Entah, aura di tempat ini membuatnya merinding. Orang bilang, ketika kita merinding saat berada di suatu tempat, artinya ada kehadiran makhluk halus di sana.
Tok ... tok ... tok
Sudut matanya melirik ke arah kanan sambil kepalanya sedikit menoleh ke belakang. Siapa yang mengetuk pintu di saat ia tahu bahwa tidak ada anak lain di sekolah ini. Rasanya tidak mungkin seorang guru iseng mengerjai muridnya.
"Siapa?" tanya Yasa.
Namun, tak ada jawaban.
Tok! Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu terdengar semakin brutal hingga menggedor-gedor pintu bilik kamar mandi yang Yasa gunakan.
Yasa menyelesaikan ritual istinja dengan sempurna, kemudian dengan tenang ia berbalik arah menatap ke arah pintu yang secara brutal digedor-gedor. Mulutnya tak henti-henti menggumamkan sesuatu.
"Amurwabumi, raksa kula. Damarwulan, ameng kurmati. Wisnumurti, kang anugrahi. Aji amukti, amukti kula ...," lirihnya.
Mendadak keadaan menjadi hening. Yasa membuka pintu, tetapi pintu dalam keadaan terkunci. Ia coba putar gagangnya kembali, tetapi memang tak bisa terbuka.
"Sira sesama, sira sukma. Kinanthi atmanira. Gusti, pangarsa kawula," gumam Yasa.
Pintu yang terkunci, kini dapat terbuka dengan mudah. Bocah itu berjalan keluar dari bilik pojok kamar mandi bangunan lama. Begitu ia keluar, di depan pintu keluar kamar mandi ada seorang pria yang melayang dengan simpul tali yang melilit lehernya. Makhluk itu berdiri menutupi pintu keluar dengan mata melotot.
"Pergi," tutur Yasa. "Jangan ganggu tempat ini lagi. Di sini bukan tempatmu."
Makhluk itu terlihat gusar. Ia melesat cepat ke arah Yasa yang sudah berani-beraninya mengusik teritori roh jahat tersebut.
Yasa menghela napas. "Bathara Brahma, Bathara Wisnu, Bathara Siwa. Angremu jroning alam, tindak marang mara."
Roh jahat itu tiba-tiba saja terpental, seolah ada tabir ghaib yang melindungi Yasa. Namun, ia tak mau menyerah. Makhluk tersebut bangkit kembali dan masih berusaha menyerang dengan beringas.
"Aku beri dua pilihan. Pergi atau lenyap?" tanya Yasa dengan nada tegas.
Makhluk itu tak menjawab dengan tutur kata. Ia masih berusaha menyerang dari berbagai sisi. Melihat upayanya membuat Yasa lagi-lagi menghela napas berat. Jawaban makhluk itu membuatnya menggeleng tipis.
"Apa boleh buat," lanjutnya. Kini bocah itu menatap sosok roh jahat penunggu kamar mandi dengan sorot mata yang tajam. Ia tempelkan jari telunjuk dan tengahnya, lalu mengarahkannya pada roh jahat tersebut.
"Cahya suci, mapadma atma jahat. Kekuatan alam, magenah adharma. Raris titiang, ngalahin pamrentah jagat. Ing pangawas Ida Sang Hyang Widhi, titiang sami aman."
Sosok roh jahat itu tiba-tiba berhenti menyerang. Ia terlihat seperti sedang terbakar oleh sesuatu yang tak kasat mata. Yasa lanjut merapalkan ba'it kedua mantranya.
"Roh kelam, titiang ngalahin olih cahya. Kekuatan alam, ngulurangin adharma. Titiang pateh, ngalahin antuk daging. Dados titiang nenten ngalingi dewa malaibang."
"Aku akan mengutukmu sampai ke neraka jahanam, manusia!" seru makhluk itu dengan mata melotot sambil menggeliat seperti cacing kepanasan.
Yasa menutup mata masih dengan dua jari yang mengacung pada lawannya. "Wujud roh jahat, titiang tapalangin olih cahya. Kekuatan alam, ngulurangin adharma. Pateh ngalahin, titiang nenten mengkewuh Ida Sang Hyang Widhi. Mugi dados titiang, panglimbak ring sami adharma!"
Roh itu melebur menjadi kepulan asap hitam dan lenyap dari pandangan Yasa. Kini bocah itu berjalan ke wastafel dan mencuci tangan, lalu dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong celana, ia berjalan keluar meninggalkan kamar mandi bangunan lama.
Sejak saat itu, perlahan tapi pasti, rumor tentang kamar mandi bangunan lama menghilang dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Tak ada lagi gangguan astral yang terjadi di sana dan mengubur cerita kelam itu ke dasar sejarah sekolah.
Orang zaman dahulu bilang, maghrib adalah waktu pergantian alam, di mana alam ghaib memulai aktivitasnya. Namun, banyak orang mengabaikannya, mengingat orang-orang itu tidak bisa melihat 'mereka' yang tak terlihat.
Bulan purnama malam ini tertutup oleh gerombolan awan hitam, membuat bumi terkesan redup. Terutama di desa ini, sebuah desa yang masih sangat tradisional dan kental akan tradisi mistisnya.
Ada sebuah pantangan di desa tersebut, yaitu tidak boleh berkeliaran di atas jam sembilan malam. Jadi terpaksa, rapat dan rangkaian kegiatan anak-anak KKN hanya berlangsung sampai jam delapan malam saja.
"Emangnya kenapa kalo kita rapat sampe malem sih?" gerutu salah satu Mahasiswa yang sedang melangsungkan KKN di desa tersebut. "Enggak seru banget dibates-batesin gini. Gua enggak percaya sama yang gitu-gitu, alay."
Ketua kelompok hanya bisa tersenyum melihat wajah gusar salah satu rekannya. "Gua juga enggak suka sama pantangan di desa ini, karena kita jadi punya keterbatasan waktu diskusi, tapi adat tetaplah adat, gaes. Harus dihormati di mana pun kita berpijak. Setiap wilayah punya aturan, dan kita sebagai tamu wajib patuh."
Tempat tinggal pria dan wanita dipisah, sehingga anak-anak KKN ini tak bisa melangsungkan rapat membahas program lebih fleksibel, mengingat tak ada jaringan juga di tempat ini, jadi mau tidak mau mereka harus bertatap muka. Mereka harus menunggu waktu subuh untuk memulai diskusi kembali terkait program yang sedang mereka jalankan.
Peraturan terkait jam malam bukan hanya berlaku untuk pendatang. Bahkan warga lokal pun tak ada yang berani keluar di jam tersebut. Bahkan pernah ada cerita, tentang satu keluarga yang meninggal dunia karena melanggar pantangan.
Kala itu ada seorang istri yang sedang hamil besar dan hendak melahirkan saat itu juga, tetapi karena waktu sudah berada di tengah malam, tak ada daya dan upaya. Namun, karena tak tahan melihat istrinya yang kesakitan, sang suami pun nekat pergi keluar rumah meminta pertolongan pada warga lain. Hanya saja tak ada yang berani membukakan pintu untuk pria itu hingga istri dan anak dalam kandungannya meninggal dunia. Dikabarkan juga malam itu pria tersebut menghilang. Tak ada yang dapat menemukannya di mana pun meski warga sudah mencarinya keseluruh penjuru desa.
Seminggu setelahnya, jasad sang suami pun di temukan sudah membusuk di dekat sungai arah rumah seorang sesepuh desa. Diduga bahwa ia diculik oleh makhluk halus saat sedang kabur menuju rumah orang paling sakti di desa tersebut, kala istrinya sedang membutuhkan pertolongan untuk melahirkan.
Sejak saat itu, warga semakin takut untuk melanggar pantangan yang ada. Tidak ada yang berani keluar malam hari. Ada pun kejadian yang mengharuskan mereka pergi, maka warga yang berkepentingan pun pergi sedari sore dan kembali ke desa saat pagi.
Sialnya, malam ini salah satu Mahasiswa yang rebel dan tak suka dengan pantangan aneh itu memutuskan untuk membuat ulah. Sengaja ia berkeliaran pada jam setengah sembilan malam dan berniat pulang lebih malam lagi.
"Lihat Steve enggak, Ta?" tanya Alvin, si ketua KKN pada pria pendiam yang memiliki paras cukup tampan.
"Enggak liat," jawab Manta dengan datar.
"Waduh, itu orang ke mana dah?" Alvin khawatir, sedari tadi ia melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan.
Waktu hampir menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi Steve belum juga kembali ke basecamp.
"Kalo dia enggak pulang gimana nih, Vin? Kita cari?" tanya salah satu anggota KKN.
"Jangan. Kita enggak boleh nambah masalah. Biar gua aja sendiri yang cari," jawab Alvin.
Manta melarang Alvin. "Biar gua aja," tuturnya.
"Nah! Biar si Manta aja, dia kan orang paling hoki sedunia tuh!"
"Setuju!"
Alvin menghela napas pasrah. "Ya udah." Ia menatap Manta. "Ta, tolong, ya. Inget, kalo ada sesuatu yang bahaya, lu langsung balik kanan."
"Oke." Darmanta berjalan ke kamarnya, lalu tak berselang lama ia keluar membawa sebuah benda panjang yang tertutup kain putih. Setelah itu barulah ia keluar mencari Steve.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Suasana mendadak sunyi dan aura di desa ini pun berubah.
Suara burung nokturnal perlahan mulai mengisi kehampaan. Setiap kicaunya penuh tekanan. Regu KKN yang berada di dalam rumah hanya bisa khawatir. Mereka tak berani mengintip keluar jendela. Sebab samar-samar mulai terdengar suara gemerincing lonceng dan langkah yang riuh di luar rumah.
...****************...
"Ya elah, apa sih yang ditakutin?" ucap Steve bermonolog. Saat ini ia sedang duduk seorang diri di sebuah pos ronda tempat anak-anak KKN berkumpul untuk rapat membahas program kerja.
Dari kejauhan terlihat kerumunan orang yang sedang berjalan ke arahnya.
"Tuh, kan! Masih rame juga jam segini."
Perlahan kerumunan itu semakin jelas terlihat. Mereka sedang berbaris membawa keranda mayat dengan kain hitam bertuliskan aksara jawa. Mendadak Steve merinding, tetapi belum membuatnya beranjak pergi.
Ketika barisan pembawa keranda hampir melewatinya, pemuda itu tersenyum. "Pak," sapanya.
Para pembawa keranda itu berhenti tepat setelah pemuda itu menyapanya. Steve memicing ketika kerumunan tersebut mendadak berhenti dengan tatapan kosong lurus ke depan.
"Siapa yang meninggal, Pak?" tanya Steve berbasa-basi.
Mereka sontak menoleh ke arah Steve dengan serempak, membuat pemuda itu terkejut setengah mati.
Wajah-wajah para pembawa keranda itu begitu pucat. Tanpa ekspresi mereka semua masih memandang ke arah Steve. Tentu saja dipandang seperti itu membuat bulu kuduk pemuda itu merinding. Ia pun bangkit dan pamit pergi.
Namun, tiba-tiba saja tirai berupa kain hitam yang menutupi keranda itu terbang begitu saja melilit Steve.
"To-tolong!" teriak pemuda lemas. Ia tak memiliki tenaga untuk sekadar berteriak meminta pertolongan. Toh, percuma saja, warga pun enggan keluar menolongnya.
Keranda pun terbuka seolah siap mengangkutnya. Rupanya keranda itu tidak diangkut, melainkan melayang di atas pundak orang-orang yang membawanya. Tiba-tiba para pembawa jenazah yang tadi terlihat seperti manusia itu pun berubah menjadi barisan pocong.
Karena rasa takutnya, mendadak pandangan Steve mulai menghitam. Ia merasa lemas hingga akhirnya tumbang tak sadarkan diri dan terkulai di tanah.
Pemuda itu dibawa pergi oleh rombongan pembawa keranda. Namun, di tengah jalur yang dilalui oleh makhluk tersebut, seorang pemuda lain berdiri menghadangnya.
"Kembalikan orang itu," tutur Manta. "Tidak seharusnya yang mati mengusik yang hidup, dan sebaliknya. Namun, jika salah satu pihak melanggar hukum alam, jangan salahkan jika pihak yang satunya melawan."
Ia melepaskan kain putih yang menutupi sebuah pedang bersarung hitam. Manta memegang sarung pedang yang terlihat kuno itu dengan tangan kirinya, sementara tangan kanan menggenggam gagangnya.
"Pergi," tuturnya dengan nada datar sembari mengangkat sedikit pedangnya keluar dari sarung.
Cahaya yang silau memancar dari pedang itu hingga membuat rombongan pembawa jenazah beterbangan dan kabur terbirit-birit.
Hanya saja, keranda hitam itu masih melayang di hadapan Darmanta.
"Jadi kau bosnya, ya?" tanya Manta. "Lampor."
Lampor adalah salah satu setan dari Jawa yang digambarkan sebagai penampakan keranda terbang. Dikisahkan, mereka yang keluar di malam hari dan melihat lampor tersebut akan hilang dan tak akan kembali. Cerita lainnya mengatakan bahwa misalnya orang tersebut kembali maka mereka tak akan jadi orang yang sama dari sebelumnya alias gila. Selain itu, Lampor juga menjadi tanda kematian.
Darmanta mengeluarkan pedang dari sarangnya. Ia mengusap badan pedang itu dari pangkalnya hingga ke ujung sambil menggumamkan sesuatu.
"Iro Yudho Wicaksano," lirihnya.
Muncul tulisan aksara jawa kuno di badan pedang tersebut yang bermakna 'Satria yang berani berperang membela kebenaran, menegakkan keadilan dengan berlandaskan prinsip kebijaksanaan'.
Semboyan Iro Yudho Wicaksano merupakan warisan dari prajurit zaman kerajaan dahulu yang mengutamakan keberanian, kegagahan, kerendahan hati, dan kebijaksanaan dari cara hidup prajurit perang. Filosofi dari Kesatria yang penuh dengan etos, dedikasi, perjuangan, kerja keras, dan pantang menyerah.
Pedang di tangan Manta mengeluarkan cahaya tipis. Kini pemuda itu menggenggam pedangnya dengan dua tangan. Sorot matanya tajam seolah mengintimidasi Lampor.
Lampor melesat cepat ke arah Manta. Sepertinya makhluk itu menginginkan nyawa dan darah dari penantangnya.
Darmanta mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Lambat laun cahaya tipis itu semakin terang benderang seolah menyerap energi alam di sekitarnya.
"Belahlah kegelapan dengan cahayamu, Bengisuro."
Ia lesatkan pedang itu ke bawah dengan cepat dan kuat hingga membelah angin malam. Lesatan cahaya membelah Lampor menjadi dua bagian, tetapi tak melukai Steve yang berada di dalamnya. Makhluk itu sirna menjadi kepulan asap hitam, meninggalkan Steve yang tergeletak di tanah.
Pusaka merupakan warisan masa lalu yang mengandung unsur mistik di dalamnya. Pedang Bengisura milik Darmanta merupakan salah satu senjata pusaka yang tidak diturunkan lewat darah keturunan. Pusaka yang satu ini hidup dan memilih tuannya sendiri. Dalam pelafalannya, Bengisura diucap Bengisuro.
Manta membawa Steve pulang ke basecamp. Sejak malam itu sesepuh desa mengumumkan bahwa desa sudah aman dari gangguan malam. Hanya pria tua itu yang tahu kebenaran tentang pertarungan salah satu pemuda KKN dengan Lampor.
"Matur nuwun," ucap tetua desa pada Darmanta. Ia merahasiakan kejadian di malam itu dan menelan kebenarannya seorang diri.
Manta tersenyum tipis pada pria tua tersebut. "Sama-sama."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!