Tunggu Aku Di Perbatasan

Tunggu Aku Di Perbatasan

1. Mengungsi.

Tahun 1941.

Fajar baru saja usai saat dentuman bom mendarat mulus di sebuah desa hingga menghancurkan beberapa rumah. Pagi yang tenang menjadi hiruk pikuk karenanya.

Dari kejauhan asap terlihat membumbung ke angkasa sesaat setelah bom meledak. Warga nampak berlarian keluar rumah bersamaan dengan datangnya perintah mengungsi.

Seorang gadis remaja bernama Melati nampak berlari untuk melihat apa yang terjadi. Beruntung ia berhasil menunaikan sholat Subuh tadi. Karena biasanya Melati tak akan sempat menunaikan sholat jika perintah mengungsi terdengar.

"Melati !" panggil sang ayah yang bernama Mardian dari luar rumah.

"Iya, Aku di sini Yah !" sahut Melati sambil membawa tas berisi pakaian di pundaknya.

"Cepat sedikit Nak. Jangan sampe Kita tertinggal nanti. Dimana Ibu dan Kakakmu ?" tanya Mardian.

"Di sebelah sini !. Kita harus keluar kearah Utara sekarang Yah !" sahut Arman, kakak Melati sambil mengamati pergerakan semua orang di depan rumah.

Lalu Arman mengajak ibunya keluar dari rumah sambil menggendong adik bungsunya.

Tak lama kemudian Melati dan keluarganya pun bergabung bersama para penduduk lainnya yang akan pergi mengungsi.

Bulan ini adalah kali ke dua mereka mengungsi. Biasanya mereka akan kembali ke rumah setelah situasi aman. Disebut aman jika para kelompok penjajah itu tak bercokol di kampung mereka dan hanya melintas saja.

"Kemana Kita sekarang Yah ?" tanya ibu Melati yang bernama Arti itu dengan lirih.

"Mungkin ke hutan Bu. Kenapa, capek ya ?" tanya Mardian sambil tersenyum kecut.

"Kalo ga mau capek resikonya mati. Iya kan Yah ?" tanya Arti sambil mencibir namun membuat Mardian tertawa mendengar ucapan istrinya itu.

Arti adalah kembang desa dulu. Waktu menikah dengannya Mardian harus bersaing dengan para pemuda dari berbagai kampung dan seorang juragan beras. Beruntung cinta Arti padanya sangat besar hingga mereka bisa menikah meski pun harus kawin lari. Situasi Indonesia yang kacau karena dijajah mendukung pelarian mereka saat itu. Hingga Mardian bisa membawa Arti berpindah-pindah tempat mengikuti arus pengungsi tanpa pernah terdeteksi oleh keluarga Arti.

Bertahun-tahun kemudian Mardian dan Arti kembali ke kampung dengan membawa Arman dan Melati. Keluarga Arti akhirnya menerima pernikahan mereka karena melihat Arman dan Melati yang menggemaskan itu.

Setelahnya mereka tinggal di rumah pemberian orangtua Arti hingga si bungsu lahir. Namun kampung yang damai karena tak pernah tersentuh penjajah itu terusik dengan kedatangan pasukan Belanda. Dan mereka terpaksa mengungsi bersama warga kampung ke tempat yang lebih aman.

\=\=\=\=\=

Arman nampak sedang duduk di atas batu sambil mengamati calon tentara yang sedang berlatih di kejauhan. Melati yang melihat sang kakak begitu serius pun tersenyum.

"Jadi Kakak di sini," kata Melati sambil duduk di samping sang kakak.

"Eh, Kamu Mel. Iya, Aku lagi liat para calon tentara itu berlatih. Seru banget kayanya," sahut Arman sambil tersenyum.

"Apa Kakak tertarik jadi tentara ?" tanya Melati.

"Iya. Aku ingin jadi tentara karena tentara pasti digembleng secara khusus. Berlatih lari, menggunakan senjata, membaca peta, membantu warga mengungsi. Dan yang pasti dilatih untuk menghadapi Belanda keparat itu lalu mengusirnya jauh-jauh dari negara Kita !" sahut Arman berapi-api.

Jawaban Arman membuat Melati tersenyum.

"Ga perlu jadi tentara kalo mau ngusir Belanda Kak. Buktinya Ayah dan warga juga bisa pegang senjata dan bertempur. Padahal mereka bukan tentara dan cuma latihan sekedarnya," kata Melati sambil mencibir.

"Pasti beda lah Mel. Tentara dibekali ilmu yang cukup untuk bertahan di lapangan !" sahut Arman lantang.

"Iya iya. Tapi Ayah pasti ga setuju kalo Kakak jadi tentara. Ayah lebih suka Kakak jadi petani. Mengolah sawah atau jadi pedagang karena tetap bisa tinggal di rumah sambil mengawasi Ibu, Aku dan Adik," kata Melati sambil berlalu.

Arman membisu mendengar ucapan Melati. Ia tahu apa yang diucapkan sang adik memang benar. Ayahnya tak pernah setuju dengan cita-cita luhurnya itu.

"Berjuang membela tanah air ga harus jadi tentara yang tugasnya ga kenal waktu. Jadi petani atau pedagang saja kan bisa. Kamu bisa membantu Ayah menjaga Ibumu dan kedua Adikmu," kata Mardian dulu.

Dan saat teringat ucapan sang ayah membuat Arman sedih. Remaja berusia lima belas tahun itu nampak mengusak rambutnya dengan kasar karena tak berdaya menentang keputusan sang ayah.

Suara sang ibu menyadarkan Arman dari lamunannya. Ia bergegas turun dari batu lalu berlari menghampiri sang ibu.

"Makan dulu Man. Abis itu siap-siap," kata Arti.

"Siap-siap kemana Bu ?" tanya Arman.

"Pulang," sahut Arti cepat.

"Pulang ?!" tanya Arman tak percaya.

"Iya. Kata Ayah, pasukan Belanda udah pergi dari kampung Kita. Jadi Kita bisa kembali dan melanjutkan kehidupan Kita seperti biasa," sahut Arti sambil tersenyum.

Arman pun mengangguk lalu mulai makan dengan lahap. Hanya singkong rebus yang dibubuhi garam saja sudah membuat Arman semangat. Tapi itu lebih dari cukup bagi Arman dan semua pengungsi. Mereka bersyukur karena masih ada makanan yang bisa dimakan untuk mengganjal perut mereka.

Setelah makan semua pengungsi diminta berbaris. Perjalanan akan dilakukan saat malam hari untuk menekan bahaya. Biasanya pasukan Belanda tak akan mengejar para pengungsi saat malam hari karena mereka menggunakan waktu malam untuk beristirahat. Pasukan Belanda hanya beraktifitas pagi hingga sore hari. Dan itu menguntungkan para pejuang dan pengungsi yang justru bergerak saat malam hari.

"Tolong saling mengawasi dan saling mengingatkan nanti. Kalo ada yang tertinggal tolong kasih tau. Jangan lengah, jangan sampe tersesat. Kita akan lewat hutan supaya ga berpapasan sama pasukan Belanda !" kata seorang pria yang merupakan kepala kampung.

"Iya Pak !" sahut para pengungsi bersamaan.

Perlahan rombongan pengungsi mulai melangkah. Tak ada wajah lelah, mereka tetap semangat. Itu lah yang membuat kepala kampung terharu. Selama memimpin warganya mengungsi dari satu tempat ke tempat lain tak sekali pun warga memperlihatkan rasa tak suka pada keputusannya. Mereka selalu mendukung bahkan tak jarang memberi masukan agar perjalanan lebih mudah dan menyenangkan.

Setelah tiga hari dua malam menempuh perjalanan, akhirnya warga kembali ke rumah. Tak terkira bahagianya mereka saat bisa melihat rumah mereka. Meski pun isinya berantakan karena diacak-acak penjajah, toh mereka bersyukur karena tak kepanasan dan kehujanan lagi.

"Besok aja beres-beresnya. Sekarang tidur dulu. Kalian pasti capek setelah jalan berhari-hari," kata Mardian pada keluarga kecilnya.

"Iya Yah," sahut istri dan anak Mardian bersamaan.

Sudah pasti ucapan Mardian disambut dengan senang hati. Karena saat ini Arti dan ketiga anaknya memang butuh istirahat setelah lelah berjalan.

Tak lama kemudian Arti dan ketiga anaknya nampak tertidur di lantai. Mardian masih terjaga karena memang begitu lah seharusnya. Ia akan terus berjaga hingga pagi untuk memastikan keluarganya aman.

Mardian menatap istri dan anaknya yang tidur itu dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa haru memenuhi dadanya saat menyaksikan keluarganya terlelap di lantai beralaskan tikar usang karena perabotan di rumah itu telah dihancurkan oleh penjajah Belanda.

\=\=\=\=\=

Terpopuler

Comments

neng ade

neng ade

hadir thor.. ini kisah tentang penjajahan belanda .. betapa menderita nya bangsa kita dlu .. ga kebayang saat mengungsi dan saat pulang lagi ke rumah menempuh perjalanan ber hari2 melewati hutan..sampai di rumah ternyata barang2 udh di hancurkan.. ga sanggup aku ngebayangin penderitaan mereka 😭😭

2023-10-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!