Tahun 1941.
Fajar baru saja usai saat dentuman bom mendarat mulus di sebuah desa hingga menghancurkan beberapa rumah. Pagi yang tenang menjadi hiruk pikuk karenanya.
Dari kejauhan asap terlihat membumbung ke angkasa sesaat setelah bom meledak. Warga nampak berlarian keluar rumah bersamaan dengan datangnya perintah mengungsi.
Seorang gadis remaja bernama Melati nampak berlari untuk melihat apa yang terjadi. Beruntung ia berhasil menunaikan sholat Subuh tadi. Karena biasanya Melati tak akan sempat menunaikan sholat jika perintah mengungsi terdengar.
"Melati !" panggil sang ayah yang bernama Mardian dari luar rumah.
"Iya, Aku di sini Yah !" sahut Melati sambil membawa tas berisi pakaian di pundaknya.
"Cepat sedikit Nak. Jangan sampe Kita tertinggal nanti. Dimana Ibu dan Kakakmu ?" tanya Mardian.
"Di sebelah sini !. Kita harus keluar kearah Utara sekarang Yah !" sahut Arman, kakak Melati sambil mengamati pergerakan semua orang di depan rumah.
Lalu Arman mengajak ibunya keluar dari rumah sambil menggendong adik bungsunya.
Tak lama kemudian Melati dan keluarganya pun bergabung bersama para penduduk lainnya yang akan pergi mengungsi.
Bulan ini adalah kali ke dua mereka mengungsi. Biasanya mereka akan kembali ke rumah setelah situasi aman. Disebut aman jika para kelompok penjajah itu tak bercokol di kampung mereka dan hanya melintas saja.
"Kemana Kita sekarang Yah ?" tanya ibu Melati yang bernama Arti itu dengan lirih.
"Mungkin ke hutan Bu. Kenapa, capek ya ?" tanya Mardian sambil tersenyum kecut.
"Kalo ga mau capek resikonya mati. Iya kan Yah ?" tanya Arti sambil mencibir namun membuat Mardian tertawa mendengar ucapan istrinya itu.
Arti adalah kembang desa dulu. Waktu menikah dengannya Mardian harus bersaing dengan para pemuda dari berbagai kampung dan seorang juragan beras. Beruntung cinta Arti padanya sangat besar hingga mereka bisa menikah meski pun harus kawin lari. Situasi Indonesia yang kacau karena dijajah mendukung pelarian mereka saat itu. Hingga Mardian bisa membawa Arti berpindah-pindah tempat mengikuti arus pengungsi tanpa pernah terdeteksi oleh keluarga Arti.
Bertahun-tahun kemudian Mardian dan Arti kembali ke kampung dengan membawa Arman dan Melati. Keluarga Arti akhirnya menerima pernikahan mereka karena melihat Arman dan Melati yang menggemaskan itu.
Setelahnya mereka tinggal di rumah pemberian orangtua Arti hingga si bungsu lahir. Namun kampung yang damai karena tak pernah tersentuh penjajah itu terusik dengan kedatangan pasukan Belanda. Dan mereka terpaksa mengungsi bersama warga kampung ke tempat yang lebih aman.
\=\=\=\=\=
Arman nampak sedang duduk di atas batu sambil mengamati calon tentara yang sedang berlatih di kejauhan. Melati yang melihat sang kakak begitu serius pun tersenyum.
"Jadi Kakak di sini," kata Melati sambil duduk di samping sang kakak.
"Eh, Kamu Mel. Iya, Aku lagi liat para calon tentara itu berlatih. Seru banget kayanya," sahut Arman sambil tersenyum.
"Apa Kakak tertarik jadi tentara ?" tanya Melati.
"Iya. Aku ingin jadi tentara karena tentara pasti digembleng secara khusus. Berlatih lari, menggunakan senjata, membaca peta, membantu warga mengungsi. Dan yang pasti dilatih untuk menghadapi Belanda keparat itu lalu mengusirnya jauh-jauh dari negara Kita !" sahut Arman berapi-api.
Jawaban Arman membuat Melati tersenyum.
"Ga perlu jadi tentara kalo mau ngusir Belanda Kak. Buktinya Ayah dan warga juga bisa pegang senjata dan bertempur. Padahal mereka bukan tentara dan cuma latihan sekedarnya," kata Melati sambil mencibir.
"Pasti beda lah Mel. Tentara dibekali ilmu yang cukup untuk bertahan di lapangan !" sahut Arman lantang.
"Iya iya. Tapi Ayah pasti ga setuju kalo Kakak jadi tentara. Ayah lebih suka Kakak jadi petani. Mengolah sawah atau jadi pedagang karena tetap bisa tinggal di rumah sambil mengawasi Ibu, Aku dan Adik," kata Melati sambil berlalu.
Arman membisu mendengar ucapan Melati. Ia tahu apa yang diucapkan sang adik memang benar. Ayahnya tak pernah setuju dengan cita-cita luhurnya itu.
"Berjuang membela tanah air ga harus jadi tentara yang tugasnya ga kenal waktu. Jadi petani atau pedagang saja kan bisa. Kamu bisa membantu Ayah menjaga Ibumu dan kedua Adikmu," kata Mardian dulu.
Dan saat teringat ucapan sang ayah membuat Arman sedih. Remaja berusia lima belas tahun itu nampak mengusak rambutnya dengan kasar karena tak berdaya menentang keputusan sang ayah.
Suara sang ibu menyadarkan Arman dari lamunannya. Ia bergegas turun dari batu lalu berlari menghampiri sang ibu.
"Makan dulu Man. Abis itu siap-siap," kata Arti.
"Siap-siap kemana Bu ?" tanya Arman.
"Pulang," sahut Arti cepat.
"Pulang ?!" tanya Arman tak percaya.
"Iya. Kata Ayah, pasukan Belanda udah pergi dari kampung Kita. Jadi Kita bisa kembali dan melanjutkan kehidupan Kita seperti biasa," sahut Arti sambil tersenyum.
Arman pun mengangguk lalu mulai makan dengan lahap. Hanya singkong rebus yang dibubuhi garam saja sudah membuat Arman semangat. Tapi itu lebih dari cukup bagi Arman dan semua pengungsi. Mereka bersyukur karena masih ada makanan yang bisa dimakan untuk mengganjal perut mereka.
Setelah makan semua pengungsi diminta berbaris. Perjalanan akan dilakukan saat malam hari untuk menekan bahaya. Biasanya pasukan Belanda tak akan mengejar para pengungsi saat malam hari karena mereka menggunakan waktu malam untuk beristirahat. Pasukan Belanda hanya beraktifitas pagi hingga sore hari. Dan itu menguntungkan para pejuang dan pengungsi yang justru bergerak saat malam hari.
"Tolong saling mengawasi dan saling mengingatkan nanti. Kalo ada yang tertinggal tolong kasih tau. Jangan lengah, jangan sampe tersesat. Kita akan lewat hutan supaya ga berpapasan sama pasukan Belanda !" kata seorang pria yang merupakan kepala kampung.
"Iya Pak !" sahut para pengungsi bersamaan.
Perlahan rombongan pengungsi mulai melangkah. Tak ada wajah lelah, mereka tetap semangat. Itu lah yang membuat kepala kampung terharu. Selama memimpin warganya mengungsi dari satu tempat ke tempat lain tak sekali pun warga memperlihatkan rasa tak suka pada keputusannya. Mereka selalu mendukung bahkan tak jarang memberi masukan agar perjalanan lebih mudah dan menyenangkan.
Setelah tiga hari dua malam menempuh perjalanan, akhirnya warga kembali ke rumah. Tak terkira bahagianya mereka saat bisa melihat rumah mereka. Meski pun isinya berantakan karena diacak-acak penjajah, toh mereka bersyukur karena tak kepanasan dan kehujanan lagi.
"Besok aja beres-beresnya. Sekarang tidur dulu. Kalian pasti capek setelah jalan berhari-hari," kata Mardian pada keluarga kecilnya.
"Iya Yah," sahut istri dan anak Mardian bersamaan.
Sudah pasti ucapan Mardian disambut dengan senang hati. Karena saat ini Arti dan ketiga anaknya memang butuh istirahat setelah lelah berjalan.
Tak lama kemudian Arti dan ketiga anaknya nampak tertidur di lantai. Mardian masih terjaga karena memang begitu lah seharusnya. Ia akan terus berjaga hingga pagi untuk memastikan keluarganya aman.
Mardian menatap istri dan anaknya yang tidur itu dengan mata berkaca-kaca. Ada rasa haru memenuhi dadanya saat menyaksikan keluarganya terlelap di lantai beralaskan tikar usang karena perabotan di rumah itu telah dihancurkan oleh penjajah Belanda.
\=\=\=\=\=
Arman sedang berbincang akrab dengan teman sebayanya yang berusia remaja. Di sisi lain terlihat Melati yang juga sedang bermain bersama teman-teman perempuannya. Mereka membentuk dua kelompok besar yang berbeda jenis kelamin dan generasi. Saat itu mereka sedang berada di lapangan tak jauh dari rumah.
Tiba-tiba terdengar suara rentetan senjata. Hal yang telah lama absen di kampung itu karena letak kampung yang jauh di lereng bukit dan sulit digapai. Sejak mereka kembali dari pengungsian beberapa bulan yang lalu, ini adalah kali pertama mereka mendengar suara tembakan senjata.
Para remaja yang berada di tempat itu nampak panik. Mereka berlarian ke sana kemari untuk mencari tempat sembunyi. Arman yang juga panik masih sempat menoleh mencari adiknya.
"Sebelah sini Mel !" panggil Arman lantang sambil melambaikan tangan kearah Melati.
Melati menoleh lalu mengangguk. Ia mengajak remaja wanita di sampingnya untuk ikut bersamanya. Namun sayang, saat keduanya akan berlari kearah Arman, sebuah ledakan terjadi tepat di depan mereka. Akibatnya asap dan debu membumbung tinggi menutupi pandangan. Melati dan beberapa orang yang berada di dekatnya pun terpental lalu terkapar jatuh di tanah.
Arman dan semua orang terkejut lalu berlarian mendekati sumber ledakan.
"Melatiiii ...!" panggil Arman lantang sambil berlari mendekati Melati.
Namun sebuah pukulan mendarat di tengkuk Arman hingga membuatnya terjatuh. Arman sempat menoleh kearah belakang untuk mengetahui siapa yang telah memukulnya.
Di saat bersamaan Arman merasakan sesuatu mengalir di tengkuknya. Dan saat disentuh tengkuknya terasa basah. Arman meringis saat mengetahui sesuatu yang mengalir dan basah itu adalah darah.
"Darah ?" gumam Arman sambil menatap ke belakang.
Arman terkejut melihat sosok pria berkulit putih, bermata sip*t dan berseragam lengkap tengah menatap kearahnya. Ia berusaha mengingat siapa pria itu dan apa salahnya hingga pria itu memukulnya. Sesaat kemudian Arman pun jatuh pingsan saat pria itu melayangkan popor senapan kearah wajahnya.
\=\=\=\=\=
Arman terbangun saat sebuah tendangan mendarat di punggungnya. Dan saat membuka mata, Arman merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Arman meringis kala sebuah tendangan kembali mampir di tubuhnya.
"Hentikan !. Ini sakit tau !" kata Arman lantang sambil menangkap kaki pria yang tengah menendang dan menginjak-injak tubuhnya.
Untuk sejenak tatapan Arman dan pria bermata sip*t itu saling bertemu. Pria itu nampak menyeringai lalu kembali menggerakkan kakinya yang lain untuk menendang Arman.
Tak ingin disakiti tanpa sebab, Arman pun menggulingkan tubuhnya sambil terus memegangi kaki pria bermata sip*t itu. Akibatnya pria bermata sip*t itu jatuh tersungkur ke tanah dengan wajah lebih dulu mencium tanah.
Adegan itu disaksikan belasan atau mungkin puluhan orang dan tentu saja menimbulkan berbagai reaksi. Ada yang terkejut bahkan ada juga yang tertawa. Arman nampak kebingungan lalu melepaskan tangannya dari pria bermata sip*t yang tadi jatuh bersamanya. Sedangkan pria itu bangkit lalu melayangkan pukulan sekali lagi ke perut Arman. Rupanya pria bermata sip*t itu merasa malu karena telah dijatuhkan oleh Arman di hadapan semua rekannya.
Melihat Arman disakiti sebuah suara menjerit memanggil namanya.
"Kakaaakk ...!" panggil Melati dari sisi lain.
Arman menoleh dan terkejut melihat Melati dan beberapa remaja putri lainnya tengah disandera oleh sekelompok orang berkulit putih, bermata sip*t dan berseragam.
Saat itu lah Arman baru sadar jika dirinya bersama belasan temannya ada di sebuah tempat dalam kondisi terkapar babak belur.
Arman tak mengenal siapa mereka. Lalu mengapa mereka menyakitinya dirinya, adiknya dan para remaja itu dengan brutal.
Saat Arman sedang bingung, sebuah jeritan terdengar di balik rimbunan pohon. Salah seorang pria bermata sip*t lainnya datang sambil mendorong jatuh seorang pria yang dikenali Arman. Lalu tanpa basa basi pria bermata sip*t itu menembaki pria malang itu hingga tewas meregang nyawa.
Semua orang terkejut. Para remaja putri menjerit dan menangis menyaksikan kekejaman pria bermata sip*t itu.
"Itu akibatnya jika Kalian tidak patuh !" kata pria bermata sip*t itu sambil menatap ke sekelilingnya dengan tatapan bengis.
"Si-siapa Kalian ?. Apa mau Kalian ?" tanya salah seorang remaja dengan berani.
"Kami tentara Nippon. Kami dari jauh. Apa Kalian pernah dengar nama Nippon ?" tanya pria bermata sipit itu terbata-bata dengan aksen yang aneh.
Semua orang menggelengkan kepala sebagai jawaban dan itu membuat pria bermata sip*t yang kemudian diketahui sebagai tentara Jepang itu mendengus kesal.
Seorang pria yang nampak berwibawa tampil ke depan. Nampaknya ia adalah pimpinan pasukan yang sangat disegani. Pria itu bicara dalam bahasa Indonesia dengan lancar meski dengan aksen yang terdengar aneh.
"Nama Saya Takeshi, panggil Saya Jendral Takeshi. Kita bersaudara. Dan Kami adalah saudara tua yang akan membawa Kalian pada kejayaan dan kemerdekaan. Jika Kalian ingin merdeka, maka ikuti Kami. Tangkap para Belanda itu dan bunuh. Jika tidak, Kalian akan mati seperti dia !" kata pria itu lantang sambil menunjuk ke jasad warga yang tadi dihabisi oleh bawahannya.
Ucapan pria itu membuat semua orang takut. Di bawah ancaman senjata warga pun mengangguk. Mereka setuju untuk mengikuti aturan sang 'saudara tua' yang katanya akan membawa mereka kepada kejayaan dan kemerdekaan. Karena memang itu lah yang diharapkan oleh semua penduduk Indonesia sejak lama.
Setelahnya mendengar ceramah panjang tentang konsep saudara tua dari Jendral pasukan Jepang itu, Arman dan semua warga pun dilepaskan dan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.
Arman menghampiri Melati lalu mereka berpelukan erat.
"Kakak. Aku takut banget tadi. Tapi apa ini sakit ?" tanya Melati sambil mengusap perut dan punggung Arman dengan hati-hati.
"Iya Mel. Tapi gapapa, sebentar lagi juga sembuh kok. Sekarang ayo Kita pulang. Ayah sama Ibu pasti khawatir sama Kita," kata Arman sambil membawa Melati melangkah menjauhi tempat itu.
Melati pun mengangguk lalu mulai melangkah bersama Arman dan warga lainnya. Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di pundak Arman. Ia menoleh dan tersenyum saat mengetahui temannya yang menepuk pundaknya tadi.
"Ada apa Kus ?" tanya Arman.
"Keliatannya tentara Nippon yang tadi mukulin Kamu suka sama Melati," sahut Kusnadi setengah berbisik.
"Apa ?!" kata Arman tak percaya.
"Sssttt ..., ga usah teriak dan jangan liat ke sana. Percaya sama Aku. Sekarang tentara itu lagi ngeliatin Melati. Kayanya Kamu harus hati-hati sama dia Man," kata Kusnadi mengingatkan.
"Aku ga takut sama dia," sahut Arman cepat.
"Aku tau. Tapi mereka bisa lakukan apa pun sama orang yang ga mau menuruti kemauannya. Kamu jangan gegabah Man. Ingat, Kamu harus menjaga Melati, Ibu dan Adikmu. Kalo sampe Kamu buat ulah dan mereka ga suka lalu membalaskan dendamnya pada keluargamu, kan bahaya. Bayangkan apa yang akan mereka lakukan pada gadis remaja secantik Melati nanti," kata Kusnadi sambil menatap Arman lekat.
Arman mengepalkan tangannya. Ia paham maksud ucapan Kusnadi.
Sesaat kemudian Arman pun mengangguk lalu kembali merengkuh Melati agar tak berada jauh darinya. Sesekali Arman mengedarkan pandangannya untuk mengamati situasi. Saat tatap matanya bertemu dengan tentara Jepang yang tadi menyiksanya, Arman pun meradang. Ia melihat seringai licik di wajah sang tentara dan itu membuatnya kesal.
"Kenapa Kak ?" tanya Melati.
"Gapapa. Ayo lebih cepat Mel," ajak Arman.
Tak lama kemudian Arman dan Melati tiba di rumah begitu pun warga lainnya.
Malam itu suasana kampung menjadi sangat mencekam karena kehadiran kelompok tentara Jepang yang berhasil menduduki kampung.
\=\=\=\=\=
Sejak hari itu kampung dimana Mardian dan keluarganya tinggal menjadi tak menyenangkan lagi.
Warga dipaksa menerima kehadiran para tentara Jepang yang jauh lebih kejam dibanding tentara Belanda. Para tentara Jepang selalu mengancam warga dengan senjata api yang mereka bawa. Bahkan mereka juga tak segan menyakiti anak-anak dan wanita.
Hal itu tentu membuat Mardian khawatir pada keluarganya terutama Arti dan Melati juga si bungsu. Apalagi Mardian pernah menyaksikan bagaimana seorang remaja perempuan dilecehkan oleh para tentara Jepang.
Saat itu kebetulan Mardian sedang melintas usai menjual hasil ladangnya di pasar. Tiba-tiba Mardian mendengar suara tangis seorang wanita dari balik pepohonan dimana para tentara Jepang sedang duduk. Suara tangis itu tersamar oleh suara tawa tentara Jepang yang mendominasi di sana.
Saat Mardian memberanikan diri menoleh kearah tentara Jepang itu, salah seorang diantaranya menghardik Mardian dengan lantang sambil menodongkan senjata api kearahnya.
"Terus jalan dan jangan berhenti !" kata tentara Jepang itu sambil memberi kode agar Mardian mempercepat langkahnya.
Mardian pun mengangguk dan mempercepat langkahnya. Namun karena penasaran, Mardian pura-pura menjatuhkan keranjang sayurannya yang kosong ke tanah hingga membuatnya terpaksa berhenti untuk meraih keranjang miliknya itu. Dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mardian untuk mengamati apa yang sedang dilakukan para tentara Jepang di balik pohon.
Darah Mardian pun bergolak, emosinya memuncak melihat apa yang terjadi. Ternyata di balik pohon para tentara Jepang sedang menggagahi seorang gadis di bawah umur. Kondisi gadis itu sangat mengenaskan. Tubuhnya tanpa busana, pakaiannya entah kemana, wajahnya babak belur. Dan saat gadis itu tak sengaja menggeliat, Mardian terkejut karena mengenalinya sebagai teman Melati.
"Astaghfirullah aladziim ..., biadab. Kurang ajar !" maki Mardian sambil bersiap meraih belati dari balik pakaiannya.
Namun upaya Mardian untuk menyelamatkan gadis itu terhenti saat dua orang pria menyeretnya agar menjauh dari tempat itu. Tak hanya itu. Kedua pria itu juga membekap mulut Mardian agar tak bersuara.
Mardian tak berdaya. Beruntung Mardian mengenali dua pria itu yang juga merupakan warga kampung yang sama dengannya.
Ketika telah berada jauh dari pasukan Jepang, kedua pria itu melepaskan Mardian.
"Kenapa Kalian halangi Aku untuk membantu Anak itu ?!" tanya Mardian marah.
"Memangnya Kamu mau ngapain ?. Tau ga resikonya kalo sampe Kamu mengganggu kesenangan mereka ?" tanya salah satu pria yang menyeretnya tadi.
"Kasian Anak itu. Dia masih muda tapi harus menghadapi kebrutalan orang-orang haus se* kaya mereka. Anak itu digilir tadi. Apa Kalian ga ngeliat ?!" tanya Mardian dengan mata berkaca-kaca.
"Kami tau, tapi Kami juga ga bisa berbuat apa-apa. Resikonya terlalu besar. Karena bisa aja mereka berbalik mencelakai keluarga Kami nanti sebagai ganti kesenangan yang diganggu. Kami punya Istri dan Anak perempuan yang harus Kami lindungi, Kamu juga kan ?. Jadi lakukan sesuatu sebelum mereka mengincar Anak gadismu Pak Mardian," kata pria lainnya sambil berlalu.
Mardian terkejut mendengar peringatan kedua pria tadi. Ia pun bergegas pulang karena khawatir pada keluarganya.
Lamunan Mardian buyar saat mendengar suara jeritan di luar rumah. Mardian pun terkejut saat melihat seorang wanita menangis sambil memanggil nama anak perempuannya yang dibawa oleh pasukan tentara Jepang dengan truk. Mardian menatap nanar truk yang melintas di hadapannya itu. Ia melihat truk berisi pasukan tentara Jepang dan beberapa anak perempuan dan gadis remaja yang meronta sambil menangis.
"Ada apa Bu ?!" tanya Mardian.
"Tolong Anakku Pak. Mereka menculik Anakku ...!" sahut wanita itu sambil menangis.
"Untuk apa mereka menculik Anak-anak perempuan Bu ?" tanya Mardian tak mengerti.
"Anakku ... akan dijadikan wanita penghibur Pak. Kasian, dia masih kecil. Umurnya belum genap tiga belas tahun. Kenapa mereka harus membawa Anakku ...," sahut wanita itu sambil menangis.
Mardian terkejut mendengar jawaban wanita itu. Di saat yang sama dia juga melihat tentara Jepang sedang berada di sebuah rumah tak jauh dari rumahnya sambil menarik tangan seorang gadis remaja seusia Melati. Mardian pun paham apa yang terjadi.
Mardian bergegas masuk ke dalam rumah lalu menarik tangan Arti dan Melati yang sedang memasak di dapur. Mardian membawa istri dan anaknya itu ke belakang rumah tepat dimana kandang ayam berada.
"Ada apa Yah ?" tanya Arti.
"Maafin Ayah ya Bu, Mel. Ayah lakukan ini demi keselamatan Kalian," sahut Mardian.
Setelahnya Mardian mengambil kotoran ayam dari kandang lalu melumurinya ke wajah dan leher dua wanita di hadapannya itu. Tentu saja itu mengejutkan Arti dan Melati. Mereka menepis benda bau dan menjijikkan itu hingga membuat Mardian marah.
"Jangan bantah Aku. Menurut lah jika Kalian ingin selamat !" kata Mardian sambil menarik tangan Arti dan Melati lalu mendorongnya ke kubangan lumpur yang ada di dekat kandang.
Arti dan Melati jatuh tersungkur di kubangan lumpur yang bau itu hingga sebagian pakaian mereka kotor.
"Tapi bilang dulu ada apa Yah. Kamu ga bisa giniin Aku sama Melati tanpa sebab !" kata Arti tak kalah marah.
Mardian berhenti melumuri lumpur lalu menatap cemas kearah istrinya.
"Nippon datang ke kampung ini. Mereka sedang mencari wanita dan Anak perempuan untuk dijadikan pelac*r Bu. Di luar sana sudah banyak tetangga Kita yang jadi korban. Aku ga mau mereka mengambil Kalian jadi tolong ikuti perintahku," kata Mardian dengan suara bergetar.
Ucapan Mardian membuat Arti dan Melati terkejut dan saling menatap. Tiba-tiba suara jeritan seorang wanita yang mereka kenal terdengar melengking dan itu berasal dari samping rumah. Bersamaan dengan itu suara tangis si bungsu juga terdengar dari dalam rumah. Nampaknya si bungsu terbangun dari tidurnya karena mendengar suara gaduh di luar rumah.
"Mereka datang !" kata Mardian panik.
"Ayah ke dalam, biar Aku urus ini. Tolong jaga si Adik ya Yah," kata Arti sambil mendorong tubuh suaminya ke dalam rumah.
Mardian pun bingung. Ia tak ingin kehilangan istri dan anak perempuannya. Tapi di satu sisi dia juga khawatir pada si bungsu.
"Ayah ...!" panggil Arman tiba-tiba dari ambang pintu depan.
Mardian menoleh dan melihat wajah Arman yang pucat pasi pertanda ia sangat ketakutan. Apalagi beberapa kali Arman nampak menoleh ke belakang. Seolah mengerti apa yang dimaksud sang anak, Mardian pun mengangguk.
"Iya Man, Ayah tau. Kita berdoa semoga semua baik-baik aja. Sekarang gendong Adikmu, biar Ayah buat sedikit tipuan, " kata Mardian sambil mengeluarkan bara api yang sedang menyala di tungku lalu membuangnya ke sembarang arah.
Arman pun mengangguk lalu bergegas ke kamar untuk menggendong si bungsu. Saat Arman berbalik, beberapa orang tentara Jepang telah berada di belakangnya sambil menodongkan senapan.
Arman pun mematung sambil berusaha menenangkan sang adik.
"Dimana perempuan ?" tanya salah seorang tentara Jepang.
"Ga ada perempuan di sini. Kami semua laki-laki," sahut Arman dengan berani.
"Jangan bohong !" kata tentara Jepang sambil menghunuskan bayonet ke punggung adik Arman yang sedang menangis.
Arman terkejut saat ujung bayonet hampir melukai adiknya. Ia pun mundur sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang tentara Jepang hingga membuat rekan-rekannya menoleh. Mereka terkejut melihat rekan mereka sedang meringis sambil mengangkat kaki. Rupanya ia masuk ke dapur dan tak sengaja menginjak bara api yang disebar Mardian tadi.
Sedangkan Mardian nampak sedang duduk sambil memotong sayuran. Di sekelilingnya bumbu dapur tampak berserakan. Kesan yang dibuat Mardian cukup meyakinkan para tentara Jepang jika tak ada perempuan di rumah itu hingga Mardian terpaksa memasak sendiri.
Karena kesal melihat temannya terluka, seorang tentara Jepang menendang Mardian hingga terjengkang di lantai. Arman menatap sang ayah dengan iba. Namun senyum tipis nampak tersungging di bibirnya saat melihat sang ayah mengedipkan sebelah mata kearahnya.
\=\=\=\=\=
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!