Sejak hari itu kampung dimana Mardian dan keluarganya tinggal menjadi tak menyenangkan lagi.
Warga dipaksa menerima kehadiran para tentara Jepang yang jauh lebih kejam dibanding tentara Belanda. Para tentara Jepang selalu mengancam warga dengan senjata api yang mereka bawa. Bahkan mereka juga tak segan menyakiti anak-anak dan wanita.
Hal itu tentu membuat Mardian khawatir pada keluarganya terutama Arti dan Melati juga si bungsu. Apalagi Mardian pernah menyaksikan bagaimana seorang remaja perempuan dilecehkan oleh para tentara Jepang.
Saat itu kebetulan Mardian sedang melintas usai menjual hasil ladangnya di pasar. Tiba-tiba Mardian mendengar suara tangis seorang wanita dari balik pepohonan dimana para tentara Jepang sedang duduk. Suara tangis itu tersamar oleh suara tawa tentara Jepang yang mendominasi di sana.
Saat Mardian memberanikan diri menoleh kearah tentara Jepang itu, salah seorang diantaranya menghardik Mardian dengan lantang sambil menodongkan senjata api kearahnya.
"Terus jalan dan jangan berhenti !" kata tentara Jepang itu sambil memberi kode agar Mardian mempercepat langkahnya.
Mardian pun mengangguk dan mempercepat langkahnya. Namun karena penasaran, Mardian pura-pura menjatuhkan keranjang sayurannya yang kosong ke tanah hingga membuatnya terpaksa berhenti untuk meraih keranjang miliknya itu. Dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Mardian untuk mengamati apa yang sedang dilakukan para tentara Jepang di balik pohon.
Darah Mardian pun bergolak, emosinya memuncak melihat apa yang terjadi. Ternyata di balik pohon para tentara Jepang sedang menggagahi seorang gadis di bawah umur. Kondisi gadis itu sangat mengenaskan. Tubuhnya tanpa busana, pakaiannya entah kemana, wajahnya babak belur. Dan saat gadis itu tak sengaja menggeliat, Mardian terkejut karena mengenalinya sebagai teman Melati.
"Astaghfirullah aladziim ..., biadab. Kurang ajar !" maki Mardian sambil bersiap meraih belati dari balik pakaiannya.
Namun upaya Mardian untuk menyelamatkan gadis itu terhenti saat dua orang pria menyeretnya agar menjauh dari tempat itu. Tak hanya itu. Kedua pria itu juga membekap mulut Mardian agar tak bersuara.
Mardian tak berdaya. Beruntung Mardian mengenali dua pria itu yang juga merupakan warga kampung yang sama dengannya.
Ketika telah berada jauh dari pasukan Jepang, kedua pria itu melepaskan Mardian.
"Kenapa Kalian halangi Aku untuk membantu Anak itu ?!" tanya Mardian marah.
"Memangnya Kamu mau ngapain ?. Tau ga resikonya kalo sampe Kamu mengganggu kesenangan mereka ?" tanya salah satu pria yang menyeretnya tadi.
"Kasian Anak itu. Dia masih muda tapi harus menghadapi kebrutalan orang-orang haus se* kaya mereka. Anak itu digilir tadi. Apa Kalian ga ngeliat ?!" tanya Mardian dengan mata berkaca-kaca.
"Kami tau, tapi Kami juga ga bisa berbuat apa-apa. Resikonya terlalu besar. Karena bisa aja mereka berbalik mencelakai keluarga Kami nanti sebagai ganti kesenangan yang diganggu. Kami punya Istri dan Anak perempuan yang harus Kami lindungi, Kamu juga kan ?. Jadi lakukan sesuatu sebelum mereka mengincar Anak gadismu Pak Mardian," kata pria lainnya sambil berlalu.
Mardian terkejut mendengar peringatan kedua pria tadi. Ia pun bergegas pulang karena khawatir pada keluarganya.
Lamunan Mardian buyar saat mendengar suara jeritan di luar rumah. Mardian pun terkejut saat melihat seorang wanita menangis sambil memanggil nama anak perempuannya yang dibawa oleh pasukan tentara Jepang dengan truk. Mardian menatap nanar truk yang melintas di hadapannya itu. Ia melihat truk berisi pasukan tentara Jepang dan beberapa anak perempuan dan gadis remaja yang meronta sambil menangis.
"Ada apa Bu ?!" tanya Mardian.
"Tolong Anakku Pak. Mereka menculik Anakku ...!" sahut wanita itu sambil menangis.
"Untuk apa mereka menculik Anak-anak perempuan Bu ?" tanya Mardian tak mengerti.
"Anakku ... akan dijadikan wanita penghibur Pak. Kasian, dia masih kecil. Umurnya belum genap tiga belas tahun. Kenapa mereka harus membawa Anakku ...," sahut wanita itu sambil menangis.
Mardian terkejut mendengar jawaban wanita itu. Di saat yang sama dia juga melihat tentara Jepang sedang berada di sebuah rumah tak jauh dari rumahnya sambil menarik tangan seorang gadis remaja seusia Melati. Mardian pun paham apa yang terjadi.
Mardian bergegas masuk ke dalam rumah lalu menarik tangan Arti dan Melati yang sedang memasak di dapur. Mardian membawa istri dan anaknya itu ke belakang rumah tepat dimana kandang ayam berada.
"Ada apa Yah ?" tanya Arti.
"Maafin Ayah ya Bu, Mel. Ayah lakukan ini demi keselamatan Kalian," sahut Mardian.
Setelahnya Mardian mengambil kotoran ayam dari kandang lalu melumurinya ke wajah dan leher dua wanita di hadapannya itu. Tentu saja itu mengejutkan Arti dan Melati. Mereka menepis benda bau dan menjijikkan itu hingga membuat Mardian marah.
"Jangan bantah Aku. Menurut lah jika Kalian ingin selamat !" kata Mardian sambil menarik tangan Arti dan Melati lalu mendorongnya ke kubangan lumpur yang ada di dekat kandang.
Arti dan Melati jatuh tersungkur di kubangan lumpur yang bau itu hingga sebagian pakaian mereka kotor.
"Tapi bilang dulu ada apa Yah. Kamu ga bisa giniin Aku sama Melati tanpa sebab !" kata Arti tak kalah marah.
Mardian berhenti melumuri lumpur lalu menatap cemas kearah istrinya.
"Nippon datang ke kampung ini. Mereka sedang mencari wanita dan Anak perempuan untuk dijadikan pelac*r Bu. Di luar sana sudah banyak tetangga Kita yang jadi korban. Aku ga mau mereka mengambil Kalian jadi tolong ikuti perintahku," kata Mardian dengan suara bergetar.
Ucapan Mardian membuat Arti dan Melati terkejut dan saling menatap. Tiba-tiba suara jeritan seorang wanita yang mereka kenal terdengar melengking dan itu berasal dari samping rumah. Bersamaan dengan itu suara tangis si bungsu juga terdengar dari dalam rumah. Nampaknya si bungsu terbangun dari tidurnya karena mendengar suara gaduh di luar rumah.
"Mereka datang !" kata Mardian panik.
"Ayah ke dalam, biar Aku urus ini. Tolong jaga si Adik ya Yah," kata Arti sambil mendorong tubuh suaminya ke dalam rumah.
Mardian pun bingung. Ia tak ingin kehilangan istri dan anak perempuannya. Tapi di satu sisi dia juga khawatir pada si bungsu.
"Ayah ...!" panggil Arman tiba-tiba dari ambang pintu depan.
Mardian menoleh dan melihat wajah Arman yang pucat pasi pertanda ia sangat ketakutan. Apalagi beberapa kali Arman nampak menoleh ke belakang. Seolah mengerti apa yang dimaksud sang anak, Mardian pun mengangguk.
"Iya Man, Ayah tau. Kita berdoa semoga semua baik-baik aja. Sekarang gendong Adikmu, biar Ayah buat sedikit tipuan, " kata Mardian sambil mengeluarkan bara api yang sedang menyala di tungku lalu membuangnya ke sembarang arah.
Arman pun mengangguk lalu bergegas ke kamar untuk menggendong si bungsu. Saat Arman berbalik, beberapa orang tentara Jepang telah berada di belakangnya sambil menodongkan senapan.
Arman pun mematung sambil berusaha menenangkan sang adik.
"Dimana perempuan ?" tanya salah seorang tentara Jepang.
"Ga ada perempuan di sini. Kami semua laki-laki," sahut Arman dengan berani.
"Jangan bohong !" kata tentara Jepang sambil menghunuskan bayonet ke punggung adik Arman yang sedang menangis.
Arman terkejut saat ujung bayonet hampir melukai adiknya. Ia pun mundur sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba terdengar jeritan seorang tentara Jepang hingga membuat rekan-rekannya menoleh. Mereka terkejut melihat rekan mereka sedang meringis sambil mengangkat kaki. Rupanya ia masuk ke dapur dan tak sengaja menginjak bara api yang disebar Mardian tadi.
Sedangkan Mardian nampak sedang duduk sambil memotong sayuran. Di sekelilingnya bumbu dapur tampak berserakan. Kesan yang dibuat Mardian cukup meyakinkan para tentara Jepang jika tak ada perempuan di rumah itu hingga Mardian terpaksa memasak sendiri.
Karena kesal melihat temannya terluka, seorang tentara Jepang menendang Mardian hingga terjengkang di lantai. Arman menatap sang ayah dengan iba. Namun senyum tipis nampak tersungging di bibirnya saat melihat sang ayah mengedipkan sebelah mata kearahnya.
\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
neng ade
Semoga Melati dan ibu nya selamat dari tentara Jepang yg ingin membawa nya
2023-10-17
1