Namun senyum Arman memudar saat seorang tentara Jepang melangkah cepat ke belakang rumah melalui pintu dapur yang terbuka. Saat itu ia panik karena tahu sang ayah menyembunyikan ibu dan adiknya di sana.
Bersamaan dengan itu tangis si bungsu pun makin keras seolah tahu akan terjadi sesuatu yang buruk pada ibu dan kakak perempuannya itu. Arman pun hanya bisa berdoa dalam hati semoga ibu dan adiknya selamat dari aksi penculikan.
Doa Arman pun terjawab. Beberapa saat kemudian tentara Jepang itu kembali sambil menutupi hidungnya. Tentara itu juga menampilkan raut wajah jijik hingga membuat semua rekannya bingung.
Arman hanya menunggu apa yang akan terjadi saat para tentara Jepang itu bicara. Salah seorang nampak bergegas ke belakang rumah dan kembali dengan penampilan yang sama persis dengan rekannya tadi.
Bersamaan dengan itu panggilan dari luar sana memaksa para tentara yang berada di rumah Mardian angkat kaki. Setelah meludah di lantai rumah dan membuat sedikit kekacauan, para tentara Jepang itu bergegas pergi meninggalkan rumah Mardian.
Arman dan Mardian masih bertahan di posisi yang sama untuk beberapa saat. Setelah truk pengangkut tentara Jepang pergi menjauh dan tak terdengar lagi, mereka pun bergegas mendatangi Arti dan Melati di belakang rumah.
"Ibu ... Melati ...!" panggil Mardian dan Arman bersamaan.
Arti menoleh sambil menarik Melati agar keluar dari kubangan lumpur. Lalu keduanya pun tersenyum kearah Mardian dan Arman.
Saat itu Arti sedang duduk di tepi kubangan lumpur sambil memegang ranting. Arti bertingkah seperti orang gila dengan mengorek kotoran ayam. Sedangkan Melati menenggelamkan diri di kubangan lumpur dan menahan nafas untuk beberapa waktu. Dan saat mendengar namanya dipanggil, Melati pun keluar dari dalam kubangan lumpur sambil menghela nafas panjang.
Melihat Arti dan Melati baik-baik saja, Mardian dan Arman pun tertawa. Sedangkan Arti dan Melati nampak kesal.
"Apa mereka udah pergi Yah ?" tanya Melati.
"Udah," sahut Mardian.
"Itu artinya Aku boleh mandi dong sekarang. Aku ga tahan lagi Yah. Ini bau banget," kata Melati sambil meringis.
"Tapi pengorbanan Kalian sepadan Mel. Kamu dan Ibu ga diangkut sama Nippon untuk jadi pemuas naf*u bejat mereka," sela Arman.
Arti dan Melati saling menatap kemudian mengangguk cepat karena tahu ucapan Arman memang benar. Mereka tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika mereka tertangkap oleh tentara Jepang tadi.
Setelahnya mereka berbagi tugas. Arti dan Melati membersihkan diri di sumur, Arman yang menimba air, sedangkan Mardian melanjutkan memasak sambil menggendong si bungsu.
\=\=\=\=\=
Setelah tragedi penculikan para gadis di kampung mereka, Mardian memutuskan membawa keluarganya hijrah ke tempat lain. Itu terjadi sekitar awal bulan September 1943.
"Kita mau kemana sekarang Yah ?" tanya Arman.
Saat itu mereka sedang berada di dalam perjalanan menuju kota Bogor. Perjalanan ditempuh dengan menggunakan dua buah dokar. Satu dokar digunakan untuk mengangkut keluarga Mardian, satu lagi digunakan untuk mengangkut perlengkapan pribadi dan beberapa perabot memasak.
"Kita pergi ke tempat yang dekat dengan markas Jepang," sahut Mardian.
"Itu namanya lepas dari mulut harimau tapi masuk ke mulut buaya dong Yah," kata Arman gusar.
"Mirip tapi ga benar-benar tepat. Sembunyi di tempat musuh adalah yang terbaik untuk menghindari musuh lainnya," sahut Mardian sambil tersenyum penuh arti.
Arman dan Melati saling menatap sejenak kemudian tertawa.
"Ayah emang cerdik," puji Melati sambil mengacungkan jempolnya.
"Tentu dong Mel. Itu yang bikin Ibumu klepek-klepek sama Ayah," sahut Mardian bangga sambil melirik kearah Arti yang sedang menidurkan si bungsu.
Jawaban Mardian membuat Arti melengos sebal namun membuat Arman dan Melati kembali tertawa.
Menjelang sore hari Mardian dan keluarganya tiba di Bogor. Mereka turun di depan sebuah rumah mungil yang terlihat bersih.
"Kita tinggal di sini untuk sementara ya Anak-anak," kata Mardian.
"Iya Yah. Ga masalah dimana pun Kita tinggal, asal sama-sama pasti menyenangkan," sahut Melati sambil tersenyum.
"Di sini rame. Makanya Ayah punya rencana cari pekerjaan di sini. Siapa tau bisa dapet rumah yamg lebih besar biar Kita bisa segera pindah dari sini nanti," kata Mardian sambil membuka pintu rumah.
"Ga perlu pindah kalo di sini aman Yah. Capek juga pindah ke sana ke sini. Kasian Anak-anak," kata Arti sambil mengamati seluruh ruangan.
"Iya Bu. Tapi Kita kan cuma pinjam rumah ini sebentar. Nanti kalo Ayah udah punya uang dan bisa beli rumah, Kita harus pibdah dari sini," sahut Mardian.
"Emangnya ini rumah siapa Yah, kenapa Kita harus pindah segala ?" tanya Arman tak mengerti.
"Rumah teman Ayah. Namanya Pak Efendi. Beliau memang menyediakan rumah untuk para pendatang seperti Kita. Hanya bisa ditempati sebentar karena banyak yang memerlukan tempat untuk singgah sebelum menemukan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak di sini," sahut Mardian cepat.
"Wah hebat. Di jaman sulit kaya gini masih ada aja orang yang berbuat baik tanpa pamrih. Pasti dia orang kaya yang berhati besar ya Yah," kata Arman kagum.
Mardian mengangguk lalu meletakkan barang bawaan mereka di ruang tamu. Setelahnya Mardian keluar untuk membayar ongkos dua dokar yang disewanya tadi.
Malam harinya Mardian dan keluarganya duduk di teras rumah sambil menikmati suasana di rumah baru.
Malam itu langit cerah dan bulan bersinar separuh. Meski pun begitu sinarnya cukup menerangi alam raya.
"Jadi apa rencanamu setelah ini Man ?" tanya Mardian tiba-tiba.
Arman membisu karena yakin jika jawabannya tak akan disetujui oleh sang ayah. Mardian menghela nafas panjang karena tahu apa yang ada di benak anak sulungnya itu.
"Kakak mau jadi tentara Yah," kata Melati mewakili sang kakak.
"Tentara. Kenapa ?" tanya Mardian.
"Aku mau ikut berjuang bersama para tentara untuk merebut kemerdekaan Yah. Aku capek terus menerus lari dan mengungsi tanpa melakukan perlawanan. Kalo Aku jadi tentara, pasti Aku bakal sanggup melindungi keluarga Kita dari bahaya karena tentara dibekali berbagai ilmu agar bisa membaca situasi. Jadi sebelum bahaya itu datang Aku bisa mengungsikan keluarga Kita lebih dulu. Selain itu Aku juga malu karena terus sembunyi di balik ketiak Ayah. Aku merasa bukan laki-laki tapi malah mirip banci," sahut Arman sambil menundukkan kepala.
Jawaban Arman membuat Mardian tertawa keras.
"Ayah lupa kalo Kamu sekarang bukan lagi Anak-anak umur dua belas tahun Man. Kamu sudah besar, sudah sembilan belas tahun. Ayah pikir sudah saatnya Kamu mewujudkan keinginanmu itu," kata Mardian setelah tawanya mereda.
"Maksud Ayah, Aku boleh jadi tentara ?. Jadi Aku ga harus jadi pedagang seperti Ayah ?" tanya Arman.
"Iya. Jadi tentara yang baik ya Nak, yang amanah. Jangan salah gunakan jabatan apa pun yang Kamu peroleh nanti untuk menyakiti orang lain apalagi bangsamu sendiri," kata Mardian sambil tersenyum.
"Makasih Yah. Aku janji bakal jadi tentara yang baik nanti," sahut Arman sambil memeluk sang ayah dengan erat.
Mardian tersenyum sambil menepuk punggung Arman dengan lembut. Di sampingnya Arti juga nampak tengah menatapnya sambil tersenyum. Arti bahagia karena Mardian bisa melepas egonya dan membiarkan Arman memilih jalan hidupnya sendiri.
"Ayah dengar Nippon membuka pendaftaran calon tentara di kota ini. Kalo mau Kamu bisa bergabung Man," kata Mardian setelah mengurai pelukannya.
"Tantara yang katanya dipersiapkan untuk membantu Nippon berperang melawan tentara sekutu itu Yah ?" tanya Arman.
"Mungkin. Tapi Ayah dengar mereka juga membentuk beberapa kesatuan militer. Ada Heiho, PETA dan lainnya. Sebaiknya Kamu pahami dulu sebelum ikut bergabung karena Ayah ga mau Kamu mati konyol gara-gara salah ambil keputusan," kata Mardian.
"Iya Yah. Aku bakal cari informasi dulu besok," sahut Arman antusias.
Mardian pun tersenyum. Entah mengapa melihat semangat Arman membuatnya terharu dan hampir menangis.
\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
neng ade
Semoga keinginan Arman utk menjadi tentara cepat terkabul
2023-10-17
1