Beberapa hari tinggal di kota yang dijuluki kota hujan itu tak membuat Mardian dan keluarganya kesulitan beradaptasi. Dengan mudah mereka berinteraksi dengan warga yang tinggal di sekitar rumah yang mereka tempati.
Dan siang itu Mardian baru saja kembali ke rumah usai menemui Efendi yang berjanji membantunya mencari pekerjaan.
"Assalamualaikum ...," sapa Mardian saat membuka pintu.
"Wa alaikumsalam. Gimana Yah, apa Kamu ketemu sama Pak Efendi ?" tanya Arti.
"Iya Bu. Tapi sayang, lowongan kerja yang dijanjikan udah terlanjur diisi orang lain. Aku kalah cepet," sahut Mardian sambil menerima gelas berisi air yang disodorkan istrinya.
"Ya Allah. Terus gimana Yah ?. Kalo Ayah ga dapet kerjaan, masa Kita balik lagi ke tempat yang lama ?" tanya Arti gusar.
"Tunggu dulu Bu. Ayah kan belom selesai cerita. Pekerjaan yang dijanjikan Pak Efendi emang ga ada. Tapi ada kerjaan lain di kantor yang sama dan Ayah udah setuju untuk kerja di bagian itu," kata Mardian.
"Kerja bagian apaan Yah ?" tanya Arti.
"Jadi kurir pengantar pesan dan barang Bu," sahut Mardian cepat.
"Kurir pengantar pesan dan barang ?. Itu kan bahaya Yah. Aku ga mau ya kalo Kamu jadi kurir !" kata Arti sambil menggelengkan kepala.
"Tapi cuma itu lowongan yang ada Bu," kata Mardian sambil mencekal tangan istrinya dengan lembut.
"Kamu tau bahayanya jadi kurir kan Yah. Jaman kaya gini jadi kurir itu dianggap mata-mata. Kamu ingat kan berapa banyak tetangga Kita yang mati saat menjalankan pekerjaannya. Ada yang mati di tangan penjajah, tapi ada juga yang mati di tangan bangsa sendiri. Dan Aku ga mau itu terjadi sama Kamu Yah. Kita hijrah ke sini untuk menghindari musuh bukan untuk bersinggungan dengan musuh. Biar lah Aku dianggap egois. Tapi Aku cuma mau Anak dan Suamiku berada di tempat yang aman. Apa Aku ga boleh punya harapan kaya gitu !" kata Arti dengan suara bergetar.
Mendengar ucapan istrinya membuat Mardian iba. Ia pun menarik istrinya dan memeluknya dengan erat.
"Jangan takut Bu. Aku bakal hati-hati nanti. Ini cuma sementara aja kok. Aku berniat jadi pedagang aja. Kita buka usaha kecil-kecilan nanti. Tapi itu semua butuh modal. Jadi biar Aku kerja dulu jadi kurir untuk ngumpulin modal. Setelahnya modal terkumpul, Aku berhenti kerja dan Kita bisa mulai usaha. Gimana Bu ?" tanya Mardian.
"Tapi Yah ...," ucapan Arti terputus karena Mardian memotong cepat.
"Ga ada pekerjaan yang ga punya resiko Bu. Kita memang terjajah, tapi Kita ga boleh lemah dan menyerah. Kita harus jadi tuan di negeri sendiri, jangan biarkan mereka terus menindas Kita dan membuat Kita ketakutan. Kalo Kita bisa melakukan banyak hal untuk maju, kenapa ga !" kata Mardian.
"Ayah betul Bu !" kata Arman tiba-tiba.
Mardian dan Arti menoleh ke ambang pintu. Di sana Arman berdiri sambil membawa gulungan kertas.
"Arman ...," panggil Arti lirih.
"Iya Bu. Biarin Ayah kerja jadi kurir. Itu pekerjaan yang lebih baik daripada Ayah kerja jadi romusha," kata Arman.
"Romusha ...?" tanya Arti.
"Iya Bu. Romusha yang sering didengungkan Nippon sebagai prajurit ekonomi yang statusnya lebih tinggi dari pekerjaan lainnya itu ternyata bohong. Asal Ibu tau, warga sini yang mendaftar jadi Romusha karena diiming-imingi gaji besar dan beras tiap bulan itu, belum ada satu pun yang kembali hingga detik ini. Kabar terakhir yang beredar sebagian dari mereka justru tewas di lokasi pekerjaan. Apa Ibu mau Ayah kaya gitu ?" tanya Arman sambil mendekati kedua orangtuanya.
"Kamu kata siapa Man ?" tanya Arti.
"Banyak yang bilang Bu. Aku baru aja ketemu sama para pemuda yang juga sedang mencari pekerjaan seperti Aku. Nah, beberapa diantaranya mau mendaftar jadi Romusha tapi dilarang oleh rekan lainnya. Bahkan ada Kakaknya yang pergi berbulan-bulan lalu tapi sampe sekarang ga ada kabarnya. Jangan kan kabar, uang dan beras yang dijanjikan ga ada satu pun yang sampe ke rumah," sahut Arman.
Arti menatap anak dan suaminya bergantian. Sesaat kemudian ia menghela nafas panjang karena tahu upayanya menentang keinginan mereka akan sulit.
"Ya udah kalo kaya gitu. Ibu setuju Ayah jadi kurir. Tapi janji hati-hati ya Yah," pinta Arti.
"Iya Bu," sahut Mardian sambil tersenyum.
"Terus gimana Man, apa Kamu udah dapat info tentang pendaftaran calon tentara ?" tanya Mardian.
"Udah Yah. Aku dan beberapa rekanku juga udah daftar jadi tentara bentukan Nippon Yah. Namanya PETA," sahut Arman sambil memperlihatkan gulungan kertas yang dibawanya.
"Apalagi itu ?" tanya Arti.
"PETA itu tentara yang dilatih untuk membantu Nippon mempertahankan Indonesia dari serangan sekutu Bu. Aku daftar karena Aku rasa tujuannya sama dengan keinginanku selama ini," sahut Arman sambil tersenyum penuh arti.
"Kenapa Ibu merasa Kamu menyembunyikan sesuatu Man. Jangan bilang Kamu merencanakan sesuatu yang membahayakan dirimu ?" tanya Arti sambil menatap sang anak dengan lekat.
"Yang Aku butuhkan doa Ibu saat ini. Tolong percaya sama Aku ya Bu," pinta Arman sambil menggenggam jemari sang ibu dengan erat.
"Jangan beratkan langkahku dan Arman Bu. Doamu dan keikhlasanmu ibarat jimat ampuh yang akan menjaga Kami nanti," sela Mardian.
"Baik lah. Aku cuma perempuan yang ga ngerti apa-apa. Tapi Aku punya restu untuk Kalian. Pergi lah, kejar cita-citamu Arman. Dan Ayah, hati-hati ya ...," kata Arti sambil tersenyum.
Arman dan Mardian saling menatap sambil tersenyum lalu menghambur memeluk Arti bersamaan. Arti pun tertawa lalu membalas pelukan anak dan suaminya itu.
"Tolong lindungi Anak dan Suamiku dimana pun mereka berada ya Allah. Jadikan mereka tetap hidup dan sehat saat kembali padaku...," batin Arti penuh harap.
\=\=\=\=\=
Hari-hari berikutnya Arman mulai sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi tentara. Ia sering berlatih memperkuat fisik bersama beberapa rekannya yang juga mendaftar jadi tentara.
Seperti pagi itu Arman dan empat temannya telah membuat janji untuk bertemu di suatu tempat. Rencananya pagi itu mereka akan berlatih lari sejauh sepuluh kilo meter.
Empat teman Arman yang bernama Buyung, Komarudin, Ujang dan Surya nampak telah tiba di lokasi.
"Mana si Arman ?" tanya Buyung tak sabar.
"Ga tau. Mungkin lagi sibuk merayu Ibunya," sahut Ujang asal.
"Ck, kalo Aku sih mending ngerayu si Melati daripada Ibunya," kata Komarudin sambil mencibir.
"Ini merayu untuk minta ijin Markom, bukan merayu untuk menyatakan cinta," sahut Ujang kesal.
"Markom Markom !. Namaku Komarudin, kenapa jadi Markom sih ?!" kata Komarudin marah namun justru membuat ketiga temannya tertawa.
"Tapi Adiknya Arman emang cantik kok. Jujur Aku juga tertarik sama dia," kata Surya tiba-tiba.
Ucapan Surya tentu saja mengejutkan Buyung, Komarudin dan Ujang. Ketiganya menoleh cepat kearah Surya.
"Terus si Aini gimana ?" tanya Buyung.
"Ya ga gimana-gimana. Kan Aku sama dia cuma temenan," sahut Surya cepat.
"Tapi Aini udah bilang sama semua orang kalo Kamu pacarnya Sur !" kata Komarudin.
"Itu kan kata dia. Aku sih ga nganggep gitu kok," sahut Surya lagi.
Pembicaraan mereka terhenti saat Arman datang. Yang mengejutkan karena Arman menggunakan sepeda berboncengan dengan Melati. Tentu saja itu membuat Surya dan Komarudin senang.
"Eh ada Melati. Mau ikutan lari juga sama Kita ya ?" sapa Komarudin.
"Ga Kak. Aku mau ke pasar. Kakak yang minta diantar ke sini," sahut Melati sambil melirik kearah Arman.
"Daripada Kakak capek-capek jalan kaki sendirian, kan mendingan numpang sama Kamu. Lagian kan Kita searah Mel," kata Arman meluruskan.
Melati hanya menggedikkan bahunya. Setelahnya ia mengayuh sepedanya meninggalkan tempat itu sambil melambaikan tangan.
Komarudin yang masih terkesima menatap Melati pun tanpa sadar berlari mengejar Melati. Namun langkahnya terhenti saat Arman menarik belakang kaosnya dan membawanya kearah lain.
"Arah Kita ke sana Kom, bukan ke sana !" kata Arman kesal disambut tawa Buyung, Ujang dan Surya.
\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments