Biar Aku Obati Lukamu

Biar Aku Obati Lukamu

BAB 1: TIGA BELAS, TIGA SATU

... Visualisasi Gifta Rafalisa ...

Jika takdir, jodoh, rejeki, dan maut sudah diatur di atas langit oleh Sang Pemberi Penghidupan dan jika ruh manusia mengingat perjanjian dengan Penciptanya atas ketiga hal itu sebelum memutuskan lahir ke dunia, mungkin ia memilih untuk membatalkan perjanjian itu sehingga ia tidak pernah terlahir ke dunia ini. Dunia yang seakan tidak pernah membawanya bertemu takdir baik bahkan hingga detik ini, dan mungkin seterusnya.

Perempuan cantik bermata bulat itu memarkir mobilnya di halaman dan melangkah gontai menuju rumahnya. Perselisihan yang terjadi di tempat kerjanya semenjak beberapa waktu lalu, hari ini mencapai puncaknya hingga berakhir dengan sepucuk  surat pemutusan hubungan kerja sepihak lantaran ia tak bersedia melakukan penyelewengan pajak atas perintah pimpinannya sendiri. Sebagai akuntan perpajakan yang kompeten, kejujuran adalah prinsip utama yang harus ia pegang teguh di manapun ia ditempatkan, meskipun ia sudah memperkirakan resiko terburuk kehilangan pekerjaan seperti yang terjadi padanya hari ini. Entah seperti merayakan kejujuran atau ketidakberuntungannya, pagar rumah yang biasa tertutup rapat hingga ia kembali dari bekerja, hari ini terbuka lebar seolah mengerti bahwa perempuan itu sudah tidak memiliki kekuatan untuk membukanya. Seandainya pagar besi tua itu bisa berkata, mungkin ia akan bertanya mengenai kesialan apalagi yang menimpanya hari ini hingga perempuan itu begitu berat melangkahkan kaki. Dilihatnya  arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul tiga belas lebih tiga belas menit, tanggal tiga belas. Bahkan arloji itupun seolah sudah memberi isyarat akan nasib malangnya hari ini. Seakan enggan melangkah lagi memasuki rumah yang tinggal beberapa jengkal, perempuan itu dibuat terkejut karena ia mendapati sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya. Mobil putih yang sangat ia kenal siapa pemiliknya, yang membuatnya segera bergegas setengah berlari dengan wajah penuh kekhawatiran. Langkahnya terhenti sesampainya di depan pintu karena ia melihat seorang laki- laki separuh baya keluar dari rumahnya, diikuti oleh dua orang perempuan yang salah satunya adalah ibunya. Laki- laki itu tak lain adalah Dokter Budi dan sang istri, dua dokter yang membantu perempuan itu menyembuhkan ibunya yang menderita Post Traumatic Stress Disorder setelah mengalami kecelakaan dan menyaksikan sang  ayah meninggal di lokasi kejadian tepat di depan mata ibunya. Pasangan dokter itu adalah sahabat sang ibu semenjak duduk di bangku SMA dan merekalah yang paling tulus membantu kesembuhan sang ibu, hingga perempuan itu sudah menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri. Dengan kuasa Sang Pencipta melalui tangan Dokter Budi dan sang istri inilah penyakit yang diderita sang ibu selama bertahun- tahun bisa tertangani dengan baik dalam waktu enam bulan. Tanpa berlama- lama, perempuan itu mengulurkan tangan, mencium punggung tangan sang ibu dan dua pasangan dokter itu secara bergantian sebagai tanda penghormatan.

“Ada apa dengan Ibu, Dok?” tanya perempuan itu penuh kekhawatiran yang lantas diiringi senyum beliau dan istrinya.

“Ibumu sehat. Jangan khawatir. Kami datang hanya berkunjung, bukan untuk mengecek kondisi ibumu.” Pungkas Dokter Budi sembari menepuk pundak perempuan itu sehingga ia merasa lebih lega. Pasangan dokter itu kemudian berpamitan sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan perempuan itu dan ibunya. Sang ibu kemudian menarik lengannya perlahan mengisyaratkan untuk segera masuk rumah. Dengan tenaga yang masih tersisa, perempuan itu melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil segelas air. Dibukanya pintu lemari pendingin yang ada di sisi kanan dapur itu dan diraihnya botol minuman isotonik kemudian menenggaknya beberapa tegukan. Sang ibu yang mendapati anak perempuannya sedang kehausan, berjalan mendekati tempat di mana ia duduk.

“Tidak biasanya Dokter Budi datang berkunjung, Bu. Ada apa?” tanya perempuan itu kemudian sembari menatap sang ibu yang kini duduk di sampingnya. Sesekali ia kembali menenggak minuman isotonik karena rasa hausnya tak kunjung reda.

“Mereka mau melamar kamu, nak.” Kata sang ibu lirih yang sontak membuat perempuan itu tersedak hingga cairan isotonik yang belum sempat masuk ke kerongkongannya keluar dari mulutnya.

“Apa maksud ibu?” tanya perempuan itu tak mengerti. Sang ibu membelai lembut rambut anaknya, berusaha menenangkan sembari memikirkan kata- kata yang tepat untuk menyampaikan maksudnya.

“Nak, usiamu sudah memasuki kepala tiga dan ibu sudah baik- baik saja. Sudah saatnya kamu memikirkan kebahagiaanmu yang dulu sempat tertunda karena kamu memilih menemani dan merawat ibu.” Ucap sang ibu dengan lembut yang membuat dada perempuan itu seketika sesak.

“Ibu, aku baik- baik saja. Bahkan jika aku tidak menikah seumur hidupku, aku tetap baik- baik saja asalkan bersama Ibu. Jangan mengkhawatirkanku, Ibu.” Ujarnya berusaha menolak permintaan sang ibu dengan dalih baik- baik saja.

“Kamu tahu, tidak ada perempuan yang baik- baik saja ketika ia memilih hidup sendiri, Nak.” Sang ibu menggenggam tangan anak perempuannya, berusaha meyakinkan agar sang anak menyetujui permintaannya.

“Lagipula, Dokter Budi dan istrinya adalah teman Ibu. Kamu mengenal keduanya dengan sangat baik bahkan mereka juga sudah menganggapmu seperti anak perempuan mereka sendiri.” Ujar sang ibu. “Menikahlah.” Lanjutnya kemudian. Perempuan itu lantas menenggak minuman isotoniknya hingga habis karena dadanya terasa semakin sakit. Ia menarik nafas dalam- dalam kemudian menghembuskannya perlahan.

“Ibu, aku akan menikah. Aku pasti akan menikah. Tapi tidak dengan perjodohan seperti ini. Aku akan menikah dengan laki- laki yang aku cintai. Lagipula aku …,” ia tak melanjutkan perkataannya karena teringat ucapan Dokter Budi bahwa sang ibu harus selalu bahagia agar penyakit traumanya tidak muncul kembali.

“Beri aku waktu ibu, aku lelah. Aku ingin istirahat.” Ucapnya lemas sembari beranjak dari tempat duduk meninggalkan sang ibu. Langkahnya pasrah menuju kamar tidur lantas menguncinya rapat- rapat. Perempuan itu terduduk di balik pintu kamarnya. Dikeluarkannya secarik kertas yang menjadi simbol berakhir statusnya sebagai seorang akuntan perpajakan. Gifta Rafalisa, S. Ak. Nama yang tercetak tebal seolah menegaskan bahwa mulai hari ini, ia resmi menjadi seorang tunakarya. Seakan lengkap sudah takdir buruk yang menghampirinya, tanggal tiga belas, pukul tiga belas lebih tiga belas menit, di usainya yang ke tiga puluh satu. Perempuan cantik ini kehilangan pekerjaannya dan dalam waktu yang bersamaan ia terancam akan kehilangan masa depan serta sisa hidupnya karena harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Kerongkongannya tercekat, air matanya tak terbendung meratapi ketidakberuntungannya untuk yang kesekian kali. Di sisi lain, ia teringat betapa besar jasa Dokter Budi dan sang istri yang telah membersamainya menyembuhkan sang Ibu, bahkan tanpa pamrih apapun. Seperti inikah sakitnya balas budi? Bahkan ia merasa tidak memiliki hak atas hidupnya sendiri. Seolah semesta tak pernah memberinya wewenang untuk menentukan ke arah mana ia harus melangkah. Keadilan seperti apa yang kini ia harapkan dari semesta? Bagaimana ia akan menghadapi takdirnya kali ini? Mampukah ia menolak permintaan sang Ibu yang baru saja sembuh dari penyakitnya? Apa yang akan terjadi pada sang Ibu jika ia memilih egois mengambil keputusannya sendiri?

Terpopuler

Comments

lie2k

lie2k

mampir thor....jgn sk lgs nething ah...sm jln hidup....

2023-10-22

1

AzukaJagga

AzukaJagga

enak banget dibacanya.. romannya power woman 🥰

2023-10-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!