... Visualisasi Gifta Rafalisa ...
Jika takdir, jodoh, rejeki, dan maut sudah diatur di atas langit oleh Sang Pemberi Penghidupan dan jika ruh manusia mengingat perjanjian dengan Penciptanya atas ketiga hal itu sebelum memutuskan lahir ke dunia, mungkin ia memilih untuk membatalkan perjanjian itu sehingga ia tidak pernah terlahir ke dunia ini. Dunia yang seakan tidak pernah membawanya bertemu takdir baik bahkan hingga detik ini, dan mungkin seterusnya.
Perempuan cantik bermata bulat itu memarkir mobilnya di halaman dan melangkah gontai menuju rumahnya. Perselisihan yang terjadi di tempat kerjanya semenjak beberapa waktu lalu, hari ini mencapai puncaknya hingga berakhir dengan sepucuk surat pemutusan hubungan kerja sepihak lantaran ia tak bersedia melakukan penyelewengan pajak atas perintah pimpinannya sendiri. Sebagai akuntan perpajakan yang kompeten, kejujuran adalah prinsip utama yang harus ia pegang teguh di manapun ia ditempatkan, meskipun ia sudah memperkirakan resiko terburuk kehilangan pekerjaan seperti yang terjadi padanya hari ini. Entah seperti merayakan kejujuran atau ketidakberuntungannya, pagar rumah yang biasa tertutup rapat hingga ia kembali dari bekerja, hari ini terbuka lebar seolah mengerti bahwa perempuan itu sudah tidak memiliki kekuatan untuk membukanya. Seandainya pagar besi tua itu bisa berkata, mungkin ia akan bertanya mengenai kesialan apalagi yang menimpanya hari ini hingga perempuan itu begitu berat melangkahkan kaki. Dilihatnya arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul tiga belas lebih tiga belas menit, tanggal tiga belas. Bahkan arloji itupun seolah sudah memberi isyarat akan nasib malangnya hari ini. Seakan enggan melangkah lagi memasuki rumah yang tinggal beberapa jengkal, perempuan itu dibuat terkejut karena ia mendapati sebuah mobil terparkir di halaman rumahnya. Mobil putih yang sangat ia kenal siapa pemiliknya, yang membuatnya segera bergegas setengah berlari dengan wajah penuh kekhawatiran. Langkahnya terhenti sesampainya di depan pintu karena ia melihat seorang laki- laki separuh baya keluar dari rumahnya, diikuti oleh dua orang perempuan yang salah satunya adalah ibunya. Laki- laki itu tak lain adalah Dokter Budi dan sang istri, dua dokter yang membantu perempuan itu menyembuhkan ibunya yang menderita Post Traumatic Stress Disorder setelah mengalami kecelakaan dan menyaksikan sang ayah meninggal di lokasi kejadian tepat di depan mata ibunya. Pasangan dokter itu adalah sahabat sang ibu semenjak duduk di bangku SMA dan merekalah yang paling tulus membantu kesembuhan sang ibu, hingga perempuan itu sudah menganggap mereka seperti orang tuanya sendiri. Dengan kuasa Sang Pencipta melalui tangan Dokter Budi dan sang istri inilah penyakit yang diderita sang ibu selama bertahun- tahun bisa tertangani dengan baik dalam waktu enam bulan. Tanpa berlama- lama, perempuan itu mengulurkan tangan, mencium punggung tangan sang ibu dan dua pasangan dokter itu secara bergantian sebagai tanda penghormatan.
“Ada apa dengan Ibu, Dok?” tanya perempuan itu penuh kekhawatiran yang lantas diiringi senyum beliau dan istrinya.
“Ibumu sehat. Jangan khawatir. Kami datang hanya berkunjung, bukan untuk mengecek kondisi ibumu.” Pungkas Dokter Budi sembari menepuk pundak perempuan itu sehingga ia merasa lebih lega. Pasangan dokter itu kemudian berpamitan sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan perempuan itu dan ibunya. Sang ibu kemudian menarik lengannya perlahan mengisyaratkan untuk segera masuk rumah. Dengan tenaga yang masih tersisa, perempuan itu melangkahkan kaki menuju dapur untuk mengambil segelas air. Dibukanya pintu lemari pendingin yang ada di sisi kanan dapur itu dan diraihnya botol minuman isotonik kemudian menenggaknya beberapa tegukan. Sang ibu yang mendapati anak perempuannya sedang kehausan, berjalan mendekati tempat di mana ia duduk.
“Tidak biasanya Dokter Budi datang berkunjung, Bu. Ada apa?” tanya perempuan itu kemudian sembari menatap sang ibu yang kini duduk di sampingnya. Sesekali ia kembali menenggak minuman isotonik karena rasa hausnya tak kunjung reda.
“Mereka mau melamar kamu, nak.” Kata sang ibu lirih yang sontak membuat perempuan itu tersedak hingga cairan isotonik yang belum sempat masuk ke kerongkongannya keluar dari mulutnya.
“Apa maksud ibu?” tanya perempuan itu tak mengerti. Sang ibu membelai lembut rambut anaknya, berusaha menenangkan sembari memikirkan kata- kata yang tepat untuk menyampaikan maksudnya.
“Nak, usiamu sudah memasuki kepala tiga dan ibu sudah baik- baik saja. Sudah saatnya kamu memikirkan kebahagiaanmu yang dulu sempat tertunda karena kamu memilih menemani dan merawat ibu.” Ucap sang ibu dengan lembut yang membuat dada perempuan itu seketika sesak.
“Ibu, aku baik- baik saja. Bahkan jika aku tidak menikah seumur hidupku, aku tetap baik- baik saja asalkan bersama Ibu. Jangan mengkhawatirkanku, Ibu.” Ujarnya berusaha menolak permintaan sang ibu dengan dalih baik- baik saja.
“Kamu tahu, tidak ada perempuan yang baik- baik saja ketika ia memilih hidup sendiri, Nak.” Sang ibu menggenggam tangan anak perempuannya, berusaha meyakinkan agar sang anak menyetujui permintaannya.
“Lagipula, Dokter Budi dan istrinya adalah teman Ibu. Kamu mengenal keduanya dengan sangat baik bahkan mereka juga sudah menganggapmu seperti anak perempuan mereka sendiri.” Ujar sang ibu. “Menikahlah.” Lanjutnya kemudian. Perempuan itu lantas menenggak minuman isotoniknya hingga habis karena dadanya terasa semakin sakit. Ia menarik nafas dalam- dalam kemudian menghembuskannya perlahan.
“Ibu, aku akan menikah. Aku pasti akan menikah. Tapi tidak dengan perjodohan seperti ini. Aku akan menikah dengan laki- laki yang aku cintai. Lagipula aku …,” ia tak melanjutkan perkataannya karena teringat ucapan Dokter Budi bahwa sang ibu harus selalu bahagia agar penyakit traumanya tidak muncul kembali.
“Beri aku waktu ibu, aku lelah. Aku ingin istirahat.” Ucapnya lemas sembari beranjak dari tempat duduk meninggalkan sang ibu. Langkahnya pasrah menuju kamar tidur lantas menguncinya rapat- rapat. Perempuan itu terduduk di balik pintu kamarnya. Dikeluarkannya secarik kertas yang menjadi simbol berakhir statusnya sebagai seorang akuntan perpajakan. Gifta Rafalisa, S. Ak. Nama yang tercetak tebal seolah menegaskan bahwa mulai hari ini, ia resmi menjadi seorang tunakarya. Seakan lengkap sudah takdir buruk yang menghampirinya, tanggal tiga belas, pukul tiga belas lebih tiga belas menit, di usainya yang ke tiga puluh satu. Perempuan cantik ini kehilangan pekerjaannya dan dalam waktu yang bersamaan ia terancam akan kehilangan masa depan serta sisa hidupnya karena harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Kerongkongannya tercekat, air matanya tak terbendung meratapi ketidakberuntungannya untuk yang kesekian kali. Di sisi lain, ia teringat betapa besar jasa Dokter Budi dan sang istri yang telah membersamainya menyembuhkan sang Ibu, bahkan tanpa pamrih apapun. Seperti inikah sakitnya balas budi? Bahkan ia merasa tidak memiliki hak atas hidupnya sendiri. Seolah semesta tak pernah memberinya wewenang untuk menentukan ke arah mana ia harus melangkah. Keadilan seperti apa yang kini ia harapkan dari semesta? Bagaimana ia akan menghadapi takdirnya kali ini? Mampukah ia menolak permintaan sang Ibu yang baru saja sembuh dari penyakitnya? Apa yang akan terjadi pada sang Ibu jika ia memilih egois mengambil keputusannya sendiri?
...Visualisasi Biondi Sandjaya ...
Ruangan dengan dominasi warna putih berukuran tak kurang dari tiga puluh enam meter persegi itu tampak bersih. Buku- buku berbaris rapi pada sebuah rak memanjang yang lebar dan tingginya hampir memenuhi separuh sisi dinding yang terletak pada sisi kanan pintu masuk ruangan itu. Di sebelah kanan rak buku itu, sebuah meja gambar berwarna putih berukuran satu kali satu meter persegi beserta satu lampu dengan kap berwarna hitam sengaja dipasang menempel di dinding yang apabila dinyalakan, sorotnya hanya mengarah tepat di atas meja itu. Sedikit bergeser ke kiri lagi, keranjang- keranjang kecil berwarna hitam dengan diameter sekitar sepuluh senti dengan pensil di dalamnya, berbaris rapi di atas meja yang tingginya sama dengan tinggi meja gambar sebelumnya. Mistar panjang dan segitiga dengan berbagai macam ukuran, tertumpuk rapi dalam satu kotak hitam tanpa tutup pada bagian atasnya. Gulungan- gulungan kertas yang kesemuanya berwarna putih tertata tak kalah rapinya, hingga tampak seperti sarang lebah apabila dilihat dari samping. Di sudut kiri ruangan itu, terdapat sebuah sofa berwarna abu- abu dengan empat bantal persegi dengan tone warna yang sama. Di atas sofa itu, seorang laki- laki merebahkan tubuhnya yang tampak kelelahan. Telapak kakinya masih berbalut kaus kaki hitam yang hanya mampu menutup hingga mata kakinya. Tangan kanannya tampak sibuk memainkan benda tipis berbentuk persegi panjang berwarna hitam, sementara tangan kirinya menyangga bagian tengkuk kepala yang seolah berat karena beban pikiran.
Laki- laki itu lantas meletakkan ponselnya di atas meja dan berjalan perlahan menuju dinding kosong dekat pintu masuk. Matanya menyusuri jengkal demi jengkal dinding putih yang berisi bingkai- bingkai kaca berbentuk persegi. Bingkai- bingkai yang tak lain adalah piagam penghargaan dan sertifikat keahlian atas nama dirinya. Biondi Sandjaya, M. Ars. Angannya seolah terlempar kembali pada beberapa tahun lalu, saat di mana ia berjuang sedemikian rupa untuk memperoleh semuanya. Waktu, tenaga, dan uang. Semuanya ia korbankan tanpa terkecuali. Ambisinya untuk menjadi seorang ahli tata ruang benar- benar menelan seluruh masa mudanya. Kerja, kerja, kerja, tiga puluh lima. Sebagian orang, bahkan dirinya sendiri menganggap usianya sudah memasuki usia tua. Laki- laki itu menatap bayangan dirinya pada salah satu bingkai kaca itu. Dari pantulan bayangan itu terukir jelas, bahwa tua yang terpancar dari wajahnya itu bukanlah kulit yang keriput, kelopak mata yang mengendur, ataupun jambang yang lebat dan memutih. Tua yang terukir di sana, di wajah itu, adalah garis rahang yang tegas, sorot mata yang mengintimidasi, dan pembawaan yang dewasa dan matang. Soal tampan, jangan ditanya. Darah Korea yang diturunkan dari ayahnya mewariskan kulit yang putih pucat, hidung yang mancung dan meruncing pada ujungnya, serta bibir tipis yang kemerahan. Sementara darah Sunda dari sang ibu, tertinggal pada rambut hitamnya yang tebal yang ia biarkan memanjang sepanjang tengkuk leher. Rambut yang selalu terikat setengahnya, man bun istilah populernya. Ia selalu merasa gaya rambut semacam itu adalah yang paling cocok untuknya, karena garis rahangnya yang tegas akan tergambar jelas di wajahnya dengan gaya rambut itu. Dalam pantulan kaca bingkai itu, tampak terukir senyum getir dari bibirnya. Senyum yang ia peruntukkan bagi dirinya sendiri karena ia adalah saksi hidup, atau bahkan bukti bahwa wajah yang rupawan dan karir yang mapan ternyata masih belum cukup untuk memikat hati perempuan, hingga dirinya pun tak bisa selamat dari pertanyaan kapan ia akan naik ke pelaminan. Pertanyaan yang membuatnya pasrah hingga sang ibu sampai turun tangan memperkenalkan perempuan dari berbagai status sosial. Satu, dua, hingga kelima kalinya. Semuanya berakhir dengan penolakan dari pihak perempuan dengan alasan laki- laki itu tak mengerti bagaimana cara berinteraksi dengan perempuan sehingga terasa membosankan bahkan pada awal pertemuan. Dan ia, laki- laki itu pun mengakuinya. Ia adalah tipikal orang yang sedikit kesulitan melakukan pendekatan dengan lawan jenis karena ambisinya yang terlalu tinggi untk mewujudkan karir impiannya. Namun, sang ibu yang berprofesi sebagai dokter, tak berputus asa. Kali ini yang ke enam. Laki- laki bernama Biondi itu bahkan berani bertaruh dan berjanji pada sang ibu suatu pagi, bahwa ia akan menyetujui perjodohan ini tanpa harus melakukan pendekatan apabila pihak perempuan langsung mengiyakan lamaran pertama yang diwakilkan oleh ibunya tanpa harus mempertemukannya terlebih dahulu. Seolah mencoba melempar dadu dan bermain- main pada takdir kehidupan, Biondi menantang Tuhan hingga berani berjanji demikian di hadapan ibunya.
Suara panggilan dari ponsel yang tergeletak di atas meja membuyarkan lamunan laki- laki yang masih berdiri di depan bingkai- bingkai kaca itu. Dari nada panggil ponsel yang disetelnya, laki- laki itu tahu betul siapa yang menghubunginya kali ini. Dengan bergegas ia berlari kecil untuk mengangkat panggilan itu. Sorot matanya yang semula tajam seketika berbinar seperti sorot mata anak kecil yang mendapatkan hadiah gula- gula. Ya, laki- laki berpembawaan dingin bak kutub utara itu, seketika berubah menjadi sosok kecil yang manja jika mendengar, berbicara, maupun berada di dekat orang yang menghubunginya ini.
“Iya iya eomma, aku menikah besok.” Godanya penuh percaya diri pada seseorang di seberang yang kini terhubung dengannya itu. Eomma, begitu ia menyematkan panggilan sayang untuk ibunya. Panggilan yang seketika benar- benar membuatnya terlihat seperti anak kecil yang manja, bukan pria dewasa yang mapan. Kali ini ia yakin betul bahwa perempuan yang dicalonkan ibunya pasti melakukan hal yang sama seperti perempuan- perempuan sebelumnya. Meminta bertemu, kencan buta, lalu berakhir tanpa berita. Namun suara perempuan di seberang itu terdengar terkekeh, seolah kali ini dialah yang memenangkan pertarungan.
“Dia setuju, Bi. Bahkan tanpa perlu melakukan pertemuan. eomma sangat tidak menduga mendapatkan balasan secepat ini. Eomma dan ayah akan mempersiapkan semuanya.” Jawab perempuan itu penuh semangat sebelum akhirnya memutus panggilan. Biondi yang semula percaya diri karena yakin akan mendapatkan penolakan kembali, kini terperangah. Tangannya terkulai meletakkan kembali ponsel di atas meja. Ia terduduk tak percaya. Bagaimana mungkin? fikirnya. Hari ini, tanggal tiga belas, di usianya yang ke tiga puluh lima. Biondi kalah dalam pertarungan sumpah yang ia lontarkan pada ibunya. Laki- laki itu telah salah melempar dadu, yang membuatnya harus duduk di hadapan papan permainan takdir Tuhan yang akan segera dimulai. Dan perempuan di sana, yang juga memutuskan melempar dadu dan bermain bersama. Ia tak mengerti. Bagaimana mungkin seorang perempuan begitu saja menyetujui lamaran pernikahan bahkan tanpa harus menemui atau mengenal calon suaminya dulu. Perempuan gila di belahan dunia mana yang mau melakukan hal itu? Laki- laki itu menghela nafas dalam. Kini mereka harus duduk berhadapan. Melempar dadu secara bergantian. Menyelesaikan permainan takdir Tuhan hingga akhir.
...***
...
Ruang makan dengan dominasi warna putih itu tampak penuh. Meja berukuran sekitar lima meter panjangnya dipenuhi dengan beberapa menu hidangan makan malam yang hanya tinggal sisa. Berkeliling di meja panjang itu, duduk sekitar enam belas orang. Delapan orang di sisi kanan meja, adalah keluarga inti dari Biondi. Sementara delapan lagi di seberangnya, tak lain adalah keluarga Gifta. Sedikit mendongak ke atas meja makan itu, tiga buah lampu gantung bergelayut indah. Sinar putihnya yang terang namun tak terlalu menyilaukan membuat ruang makan itu tampak semakin elegan dan berkelas. Malam ini adalah malam penentuan tanggal pernikahan yang disepakati oleh kedua belah pihak keluarga. Pihak laki- laki sudah tentu diwakili oleh ayah dan ibunya. Sementara pihak perempuan diwakili oleh ibu dan sang paman, karena sang ayah telah tiada. Suara riuh rendah dua belah pihak keluarga yang berbincang ringan sembari menikmati hidangan penutup makan malam itu membuat suasana terlihat semakin hangat. Gelak tawa sesekali terdengar lantaran bapak- bapak tengah memperbincangkan berita politik yang menggelitik. Tak mau kalah, ibu- ibu bergerombol dari satu kursi ke kursi lain untuk berswafoto. Semua tampak bahagia dengan hasil penentuan tanggal pernikahan itu, namun tidak dengan Gifta. Hatinya tetap dingin, sedingin hidangan penutup yang kini tersaji di hadapannya.
Perempuan cantik bermata bulat itu menyendok puding cokelat di hadapannya. Sang ibu yang duduk di sampingnya tengah asyik mengobrol dengan Dokter Ratna yang tak lain adalah istri Dokter Budi, yang tak lama lagi akan menjadi ayah dan ibu mertuanya. Anggota dari keluarga inti kedua belah pihak satu per satu mulai berpamitan karena acara telah usai. Dari segenap keluarga undangan makan malam yang hadir, kini menyisakan Gifta, sang Ibu, Dokter Budi beserta sang istri, serta beberapa orang lagi yang masih asyik berbagi foto. Bahkan calon mempelai laki- laki yang seharusnya diperkenalkan kepada pihak kerabat keluarga perempuan pun tidak menampakkan batang hidungnya hingga acara usai. Alasan pekerjaan, dalihnya. Dari ketidakhadiran laki- laki itu, Gifta sudah bisa menyimpulkan dengan siapa ia akan menghabiskan sisa hidupnya. Namun tampaknya Gifta sudah pasrah dan tak peduli lagi terhadap takdir Tuhan yang akan menuntunnya.
“Nanti selepas akad, Biondi sudah memutuskan untuk tinggal di rumah Angsana. Kami harap kalian bisa saling mengenal lebih baik tanpa campur tangan ibu dan ayah disini.” Pungkas Dokter Ratna yang sontak menghentikan mulut Gifta yang masih mengunyah. Sudah memutuskan? Seketika muncul pertanyaan itu dalam benak Gifta. Apakah berarti laki- laki itu sudah menyetujui pernikahan ini? Laki- laki macam apa dia hingga dengan pasrahnya menerima perjodohan kolot macam ini? Gifta menggelengkan kepala pertanda tak mengerti dengan siapa ia akan tinggal.
“Rumah Angsana?” tanya Gifta tak mengerti.
“Biondi menamainya rumah Angsana. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di sana setiap kali ada pekerjaan karena merasa lebih tenang.” Pungkas Dokter Budi.
“Tidak perlu khawatir, Nak. Biondi tak banyak bicara. Kamu hanya perlu sedikit lebih bersabar untuk menyesuaikan diri dengannya.” Ujar Dokter Ratna berusaha meyakinkan Gifta yang terlihat ragu- ragu.
“Dokter,” ucap Gifta hendak mengajukan pertanyaan.
“Panggil kami ayah dan ibu.” Pungkas Dokter Budi yang diiringi senyum kecil di antara mereka berdua.
“A … ayah, bolehkah aku bertanya sesuatu?” sambung Gifta kemudian diikuti anggukan kepala oleh Dokter Budi.
“Mengapa Dokter, maksudku ayah dan ibu menjodohkan kami?” ujar Gifta yang seketika membuat sang Ibu terkejut dan langsung memegang punggung tangan Gifta mengisyaratkan untuk tidak bertanya lebih jauh lagi. Kedua pasangan dokter itu kembali tersenyum menatap Gifta yang masih diselimuti tanda tanya.
“Sebagaimana kami melihat kamu begitu sabar merawat ibumu, kami yakin kamu adalah orang yang tepat untuk Biondi,” ujar dokter Ratna dengan penuh keyakinan. Gifta menarik nafas berusaha mengajukan pertanyaan lain namun sang Ibu kembali menggenggam erat tangannya pertanda tak menghendaki ada pertanyaan lagi. Kedua pasang dokter itu tersenyum kemudian mengisyaratkan untuk menghabiskan puding cokelat milik Gifta yang masih tersisa. Selang beberapa saat sang Ibu dan Gifta serta beberapa perwakilan keluarga yang tersisa berpamitan pulang. Gifta mencium punggung tangan kedua calon mertuanya itu kemudian bergegas masuk ke mobil untuk pulang. Dalam perjalanan, pertanyaan demi pertanyaan kembali muncul di benak Gifta. Sepanjang acara makan malam pemutusan hari akad yang baru saja berlangsung tadi, tak satupun dilihatnya foto calon mempelai laki- laki yang akan menjadi suaminya. Calon mertuanya pun sama sekali tidak menunjukkan foto atau identitas apapun atas permintaan sang anak.
“Ibu, seperti apa dia?” tanya Gifta kepada sang Ibu sembari mengemudikan mobilnya. Sang ibu tersenyum mendengar pertanyaan itu.
“Kamu tidak akan menyesal menikah dengannya, Nak. Dia arsitek yang pintar dan sopan.” Pungkas sang Ibu.
“Jadi Ibu sudah bertemu dengannya?” Tanya Gifta semakin tak mengerti, yang hanya dibalas senyum tipis oleh sang ibu. Perempuan bermata bulat itu menghela napas karena tak mengerti lagi sejak kapan dan seberapa jauh sang ibu beserta dua teman SMA nya itu telah merencanakan perjodohan ini. Seperti benar- benar sudah kehilangan hak hidup, Gifta mulai mengikuti permainan takdir yang diberikan Tuhan dan dikendalikan sepenuhnya oleh mereka bertiga. Bahkan jika ternyata Biondi adalah seorang duda tua sekalipun, ia sudah tak peduli. Yang ada di benaknya hanyalah bagaimana menjaga mental ibunya tetap sehat dan balas budi terhadap dua pasangan dokter yang telah menyelamatkan ibunya, satu- satunya keluarga yang tersisa yang ia miliki.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!