BAB 5: AKAD

Dekorasi serba putih mendominasi halaman rumah Gifta pagi ini. Beberapa meja makan berukuran besar tampak berjajar rapi dan telah dipenuhi berbagai menu makanan khas acara pernikahan. Beberapa meja berukuran lebih kecil ditata melingkar dengan dikelilingi beberapa kursi berbalut kain putih yang senada dengan penutup meja. Di sebelah kanan tepatnya di depan pintu masuk depan rumah Gifta, tertata sebuah meja persegi dengan empat kursi saling berhadapan. Dua kursi menghadap dua kursi lainnya. Seperti permintaan kedua keluarga mempelai, akad nikah antara Gifta dan Biondi dilangsungkan secara tertutup dan hanya dihadiri oleh keluarga inti, tanpa adanya pesta pernikahan. Meskipun sebenarnya keluarga kedua belah pihak berasal dari keluarga yang cukup mampu untuk melangsungkan perayaan, namun kali ini privasi kedua mempelai menjadi pertimbangan utama. Waktu menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit. Tamu- tamu dari keluarga inti kedua belah pihak sudah mulai berdatangan. Sementara Gifta, sang calon mempelai wanita masih tertegun berdiri melihat pantulan dirinya di hadapan cermin dalam kamarnya. Gaun putih dengan detail renda yang sangat cantik menutup sempurna tubuh indahnya yang bersih. Rambutnya bergelombang indah menggantung menutupi sebagian punggungnya. Bola matanya yang bulat terlihat sempurna, namun ia mendapati kehampaan di sana. Sang ibu yang rupanya sedari tadi mengamati anaknya dari depan pintu, berjalan mendekat.

“Kamu sangat cantik, Nak.” Ujar sang ibu yang hanya dibalas dengan senyum singkat oleh Gifta.

“Biondi sudah datang, apakah kamu sudah siap?” celetuk sang Ibu yang seketika membuat jantung Gifta berdegup kencang. Gifta mengangguk sembari menarik nafas panjang. Hari ini adalah kesempatan terakhir yang Tuhan berikan seandainya Gifta ingin menggagalkan semuanya. Namun setiap kali ia melihat sang Ibu, ego itu seketika sirna tak bersisa. Gifta berjalan keluar kamar yang kemudian diiringi oleh sang Ibu yang mengantarkannya menuju meja akad. Di meja putih itu sudah ada penghulu, Om Hery sebagai wali nikah yang tak lain adalah adik laki- laki dari almarhum ayah Gifta, dan mempelai laki- laki yang duduk membelakangi backdrop yang dipenuhi dengan bunga bunga berwarna putih yang sangat harum. Di sebelah kanan tempat mempelai pria itu terdapat sebuah kursi kosong yang tak lain adalah tempat terakhir penentu nasib Gifta di sisa hidupnya. Sang ibu menuntunnya perlahan untuk duduk mengisi kursi kosong itu, bersanding di samping mempelai pria yang tak menoleh sedikitpun manakala segenap tamu undangan riuh memuji kecantikan Gifta yang muncul dari dalam rumahnya. Setelah memastikan sang anak duduk dengan tenang, sang ibu berjalan menuju tempat duduk yang terletak tak jauh di sisi kanan dari meja akad bersama Dokter Budi, Dokter Ratna, serta dua orang petugas pencatatan nikah yang tampak sudah siap melaksanakan semuanya. Gifta hanya tertunduk tak berdaya manakala penghulu memastikan bahwa akad nikah sudah bisa segera dilaksanakan. Terjulur tangan kanan Om Hery yang segera disambut jabatan tangan laki- laki yang duduk di samping Gifta. Hanya tangan itu yang mampu terjangkau dalam pandangan mata Gifta karena ia sudah tak sanggup mengangkat dagunya. Tangan yang putih bersih hingga nampak urat- urat nadinya yang hijau, menandakan betapa calon suaminya ini adalah seorang pekerja keras seperti yang dikatakan oleh mertuanya. Baru sepatah dua patah kata Om Hery membuka kalimat akad, tiba- tiba terdengar gemuruh dari sisi kanan meja di mana akad tengah berlangsung. Gifta sontak terkejut karena melihat ibunya jatuh bersimpuh yang segera dipapah oleh Dokter Budi dan Dokter Ratna. Ijab qabul terhenti, semua yang ada di halaman itu riuh dalam kepanikan. Segera Gifta berlari menghampiri ibunya yang tengah dipapah ke dalam rumah. Dokter Budi dan Dokter Ratna membaringkannya di ruang tamu dan segera memberinya pertolongan pertama untuk menyadarkan sang Ibu.

“Apakah kamu masih punya persediaan ansiolitik?” tanya sang dokter. Tanpa berpikir panjang Gifta bergegas menuju kamar sang ibu untuk menemukan obat anti cemas yang diminta oleh sang dokter. Di tengah kepanikan yang dialaminya, Gifta semakin kesulitan menemukan obat itu hingga ia mengobrak abrik seluruh isi laci yang ada di kamar sang ibu. Perempuan bermata bulat itu mencoba menarik napas dalam- dalam untuk menenangkan diri dan kembali dicarinya obat itu dengan hati- hati. Tak berapa lama, ia berhasil menemukan obat itu di bawah tumpukan buku milik sang ibu. Dengan segera Gifta meraih obat itu, berlari kembali menuju ruang tamu dan menyerahkan obat itu kepada Dokter Budi untuk segera diminumkan. Samar- samar suara riuh seluruh undangan yang hadir di acara itu masih terdengar dari dalam ruang tamu, yang membuat Gifta semakin panik. Dokter Ratna masih sibuk menggosokkan minyak kayu putih pada telapak kaki sang ibu. Sementara Gifta hanya berdiri mematung dengan kekhawatiran yang semakin memuncak atas kondisi kesehatan ibunya. Selang beberapa menit kemudian, sang ibu membuka mata perlahan. Ada perasaan lega dalam dada Gifta hingga ia memeluk sang ibu dengan penuh ketakutan. Air matanya pecah mendapati sang ibu yang sudah lama sembuh dari traumanya, tiba- tiba pingsan. Dokter Budi dan Dokter Ratna perlahan mendudukkan sang ibu untuk memberinya obat, sementara Gifta menggenggam erat tangan sang ibu sembari terisak. Sang ibu yang telah selesai minum obat lantas mengelus kepala Gifta perlahan.

“Apa yang terjadi, Ibu?” tanya Gifta sesenggukan. Belum sampai sang ibu menjawab, Om Hery datang seraya memohon ijin kepada dokter Budi untuk menanyakan perihal kelanjutan akad nikah karena penghulu hendak menikahkan pengantin di lain tempat. Mendengar hal itu, sang ibu menjawab perlahan.

“Lanjutkan akad nikahnya, aku sudah tidak apa- apa. Aku hanya teringat suamiku tatkala menyaksikanmu membuka akad untuk Gifta.” Ujar sang Ibu pada Om Hery yang tak lain adalah adik iparnya. Air mata Gifta semakin tak terbendung melihat sang Ibu bersikukuh untuk tetap menikahkan anaknya saat kondisi tubuhnya lemah tak berdaya. Ia meminta Gifta untuk segera kembali ke kursi pelaminan melanjutkan prosesi akad nikah, namun ia menolak karena memilih mendampingi ibunya.

“Lakukan sebagaimana seharusnya, Om. Aku tetap di sini mendampingi ibu. Tanpa aku di meja pelaminan itu, pernikahan tetap sah bukan?” tanya Gifta kemudian. Setelah berdiskusi selama beberapa saat, Dokter Budi dan Om Hery meyakinkan sang ibu untuk melanjutkan prosesi itu tanpa kehadiran Gifta di sisi mempelai pria. Om Hery segera kembali ke meja akad dan menyelesaikan prosesi ijab qabul yang sempat tertunda. Sayup- sayup terdengar suara berat seorang laki- laki menerima akad pernikahan yang baru saja diucapkan oleh Om Hery yang kemudian diikuti suara ‘sah’ oleh semua undangan yang hadir di halaman rumah itu. Suara yang menandai berakhirnya perjalanan hidup Gifta dalam usahanya menemukan takdirnya sendiri. Suara yang menjadi saksi bahwa kini dirinya adalah seorang istri dari laki-laki yang bahkan belum sempat ia lihat wajahnya di meja akad. Gifta menangis tersedu dalam pelukan sang ibu, tanpa memahami apakah itu tangis karena ia khawatir akan kondisi kesehatan ibunya ataukah tangis karena takdir yang telah meminangnya seumur hidup.

...***

...

Terpopuler

Comments

lie2k

lie2k

gmn rasanya ya...nikah tp g tau mplainya....

2023-10-22

0

Arisya R

Arisya R

sudah masuk favorit, semangat kak.. 🫶

2023-08-21

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!