Alunan lagu “Rayuan Perempuan Gila” mendayu- dayu dengan merdu. Gadis cantik yang membawakan lagu itu tampak menghayati setiap makna syair yang terucap dari mulutnya. Di belakangnya, beberapa musisi lokal yang mengiringi irama lagu terlihat tak kalah bahagia menikmati melodi yang menyatu dengan sempurna. Sabtu malam yang cukup ramai di kafe ini. Kafe yang khusus menyediakan gelato dengan berbagai rasa dan beberapa menu makanan ringan. Ukurannya tidak terlalu besar, namun konsep penataan kafe yang setengah terbuka dan senantiasa diiringi dengan live music setiap Sabtu malam mampu menarik perhatian para muda- mudi untuk menghabiskan malamnya di sini. Tak terkecuali Gifta, yang sedari tadi membiarkan gelato yang telah ia pesan mulai mencair. Tatapan matanya kosong memandangi perempuan yang masih asyik bernyanyi di sana. Dua hari lagi adalah hari dimana ia akan menikah. Pikirannya kalut, berharap Tuhan masih menyediakan jalan keluar di menit-menit terakhir hari penentuan takdir hidupnya. Sengaja ia datang ke tempat ini seorang diri untuk menenangkan pikirannya. Namun alih- alih pikirannya tenang, malam ini justru ia kedatangan sosok yang tak ia harapkan.
“Gifta? Kamu sendirian?” ujar seorang laki- laki berusia sekitar empat puluh tahunan yang tak lain adalah Pak Danu. Laki- laki tambun dengan kepala botaknya ini tak lain adalah tangan kanan Pak Wisnu Budiman, pimpinan yang memaksa Gifta untuk menyelewengkan pajak lantas memecatnya secara sepihak beberapa hari lalu. Tanpa basa- basi laki- laki itu duduk di depan Gifta sembari terkekeh kecil. Pipi perempuan cantik itu menggembung lantas ia meniupkan udara yang memenuhi rongga mulutnya ke atas hingga menyibakkan anak rambut yang menutupi keningnya.
“Apa kesibukanmu sekarang?” tanya laki- laki itu penuh basa basi. Gifta yang malas menanggapi hanya melemparkan senyum sinis. Perempuan itu sangat mengenal bagaimana karakter laki- laki yang ada di hadapannya hingga ia mampu menebak apa yang akan dikatakan oleh laki- laki menyebalkan itu.
“Saya baru saja bertemu Pak Wisnu. Dia masih mempersilakanmu untuk kembali jika kamu bersedia diajak bekerja sama seperti yang telah kita bicarakan waktu itu,” ujar laki- laki itu setengah berbisik yang seketika membuat suasana hati Gifta menjadi semakin tak menyenangkan. “Coba pertimbangkan sekali lagi, selagi Pak Wisnu memberi kesempatan. Lagipula, jaman sekarang tidak mudah bagi perempuan dengan usia sepertimu untuk mencari pekerjaan lagi,” selorohnya setengah meremehkan. Gifta yang semakin tak nyaman akhirnya buka suara.
“Tolong ya Pak, tolong sekali. Saya sedang tidak ingin membicarakan hal ini. Lagipula, saya sudah resmi diberhentikan dari tempat itu, dan saya tidak akan pernah kembali lagi ke tempat itu,” ujarnya sembari menahan amarah. “Satu lagi, saya tidak pernah menyesal berhenti bekerja dengan orang- orang semacam itu. Permisi.” Ujar Gifta sembari beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan laki- laki menyebalkan itu. Gelato yang sudah sepenuhnya mencair pun tak sempat dicicipi olehnya.Perempuan itu berjalan dengan langkah sedikit terhentak karena menahan kesal. Ia membanting pintu mobil lantas mengemudikannya meninggalkan kafe itu.
Pikiran perempuan itu semakin kacau dan ia sama sekali belum ingin kembali ke rumah. Mobil yang dikendarainya melaju kencang membelah jalan raya tak tahu harus ke mana, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berbelok pada salah satu mall yang cukup terkenal di kota itu. Pusat perbelanjaan itu mengusung sistem ruang terbuka hingga pengujung dapat berbelanja, wisata kuliner, atau sekedar jalan- jalan menikmati keindahan lampu- lampu malam. Gifta sama sekali tak ingin berbelanja. Ia hanya ingin memperbaiki suasana hatinya yang semakin dikacaukan oleh laki- laki tambun menyebalkan itu. Perlahan ia menyusuri walking area pusat perbelanjaan yang ternyata cukup ramai oleh pengunjung. Beberapa pasangan muda tampak berbincang santai sembari duduk berdampingan. Anak- anak kecil tengah bergembira berlarian kesana- kemari, dan beberapa remaja berswafoto sembari berpose lucu. Mereka tampak bahagia, namun tidak dengan Gifta. Ia menggeleng keheranan, mengapa sangat sulit bagi dirinya untuk memperoleh kebahagiaan- kebahagiaan sederhana seperti yang tengah terpampang di hadapannya itu. Hidupnya terasa begitu dingin, sunyi, dan rumit. Ia berjalan menyusuri area itu dengan setengah melamun hingga akhirnya ia tersadar manakala bahu kanannya bertabrakan cukup keras dengan seseorang yang melintas di hadapannya. Sialnya, benang lengan sweter rajut warna lavender yang dipakai oleh Gifta tersangkut pada gantungan kunci tas seorang laki- laki yang menabraknya itu.
“Maaf,” ujar Gifta sembari mencoba melepas benang lengan sweternya yang ternyata tersangkut cukup kusut di gantungan kunci itu hingga ia kesulitan untuk melepasnya. Gifta yang semakin tak sabaran melepas benang itu, menarik lengan sweternya yang justru membuat helaian benangnya terjulur semakin panjang. Tolonglah Tuhan, jangan membuat hidupku semakin penuh drama hanya karena sehelai benang, batinnya kesal sembari tetap berusaha menguraikan benag yang tersangkut itu. Si pemilik tas yang sempat mematung beberapa saat mengamati Gifta yang emosi karena tak kunjung berhasil melepas benang kusutnya, dengan cekatan membuka tasnya, mengambil sebuah cutter kecil, dan ‘krek’. Pisau kecil itu dengan mudahnya menyelesaikan masalah dalam sepersekian detik, melepaskan kekusutan itu, namun menyisakan lubang sebesar biji kemiri pada lengan kanan sweter Gifta. Mulut perempuan itu sedikit menganga karena terkejut mendapati sweter lavender pemberian mendiang ayahnya kini berlubang pada bagian lengan kanannya. Laki- laki yang bertabrakan dengannya itu berlalu begitu saja tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“Hei!” teriak Gifta pada laki- laki itu sembari menarik lengan kirinya, namun seketika ditangkis oleh laki- laki itu hingga Gifta hampir terjatuh. Seketika laki- laki itu berbalik, menatap Gifta tajam sembari memegangi lengan kirinya. Perempuan itu tak dapat menangkap wajahnya dengan begitu jelas, hanya bentuk rahang yang tegas, hidung yang mancung, serta kulit putih pucat yang tampak di sana.
“Bagaimana bisa anda sekasar itu pada seorang perempuan?” ujar Gifta setelah tangannya ditangkis dengan cukup kuat oleh laki- laki itu. Ia menatap Gifta dengan tatapan yang dingin lantas pergi meninggalkan Gifta yang masih kecewa mendapati lubang pada lengan sweternya.
“Hei tunggu!” teriak Gifta namun laki- laki itu sama sekali tak menggubrisnya. Sungguh seperti hari- hari sebelumnya, Gifta benar- benar merasa Tuhan sama sekali tidak berpihak kepadanya. Pernikahan yang tinggal menghitung hari, pertemuan tanpa sengaja dengan atasannya yang menyebalkan, hingga lengan sweter kesayangan pemberian mendiang ayahnya yang dengan mudahnya dirobek oleh seseorang, seolah cukup menjadi pertanda buruk mengenai hari- harinya di masa yang akan datang. Perempuan itu menelungkupkan telapak tangan pada wajahnya, menarik napas dalam dan menghebuskannya dengan kuat. Semuanya seolah menjadi salah di mata perempuan itu. Ia tak tahu lagi bagaimana ia harus melalui hari- hari ke depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
AzukaJagga
Aku sih, dah aku tinggalin asli 🙄
2023-10-21
1