...Visualisasi Biondi Sandjaya ...
Ruangan dengan dominasi warna putih berukuran tak kurang dari tiga puluh enam meter persegi itu tampak bersih. Buku- buku berbaris rapi pada sebuah rak memanjang yang lebar dan tingginya hampir memenuhi separuh sisi dinding yang terletak pada sisi kanan pintu masuk ruangan itu. Di sebelah kanan rak buku itu, sebuah meja gambar berwarna putih berukuran satu kali satu meter persegi beserta satu lampu dengan kap berwarna hitam sengaja dipasang menempel di dinding yang apabila dinyalakan, sorotnya hanya mengarah tepat di atas meja itu. Sedikit bergeser ke kiri lagi, keranjang- keranjang kecil berwarna hitam dengan diameter sekitar sepuluh senti dengan pensil di dalamnya, berbaris rapi di atas meja yang tingginya sama dengan tinggi meja gambar sebelumnya. Mistar panjang dan segitiga dengan berbagai macam ukuran, tertumpuk rapi dalam satu kotak hitam tanpa tutup pada bagian atasnya. Gulungan- gulungan kertas yang kesemuanya berwarna putih tertata tak kalah rapinya, hingga tampak seperti sarang lebah apabila dilihat dari samping. Di sudut kiri ruangan itu, terdapat sebuah sofa berwarna abu- abu dengan empat bantal persegi dengan tone warna yang sama. Di atas sofa itu, seorang laki- laki merebahkan tubuhnya yang tampak kelelahan. Telapak kakinya masih berbalut kaus kaki hitam yang hanya mampu menutup hingga mata kakinya. Tangan kanannya tampak sibuk memainkan benda tipis berbentuk persegi panjang berwarna hitam, sementara tangan kirinya menyangga bagian tengkuk kepala yang seolah berat karena beban pikiran.
Laki- laki itu lantas meletakkan ponselnya di atas meja dan berjalan perlahan menuju dinding kosong dekat pintu masuk. Matanya menyusuri jengkal demi jengkal dinding putih yang berisi bingkai- bingkai kaca berbentuk persegi. Bingkai- bingkai yang tak lain adalah piagam penghargaan dan sertifikat keahlian atas nama dirinya. Biondi Sandjaya, M. Ars. Angannya seolah terlempar kembali pada beberapa tahun lalu, saat di mana ia berjuang sedemikian rupa untuk memperoleh semuanya. Waktu, tenaga, dan uang. Semuanya ia korbankan tanpa terkecuali. Ambisinya untuk menjadi seorang ahli tata ruang benar- benar menelan seluruh masa mudanya. Kerja, kerja, kerja, tiga puluh lima. Sebagian orang, bahkan dirinya sendiri menganggap usianya sudah memasuki usia tua. Laki- laki itu menatap bayangan dirinya pada salah satu bingkai kaca itu. Dari pantulan bayangan itu terukir jelas, bahwa tua yang terpancar dari wajahnya itu bukanlah kulit yang keriput, kelopak mata yang mengendur, ataupun jambang yang lebat dan memutih. Tua yang terukir di sana, di wajah itu, adalah garis rahang yang tegas, sorot mata yang mengintimidasi, dan pembawaan yang dewasa dan matang. Soal tampan, jangan ditanya. Darah Korea yang diturunkan dari ayahnya mewariskan kulit yang putih pucat, hidung yang mancung dan meruncing pada ujungnya, serta bibir tipis yang kemerahan. Sementara darah Sunda dari sang ibu, tertinggal pada rambut hitamnya yang tebal yang ia biarkan memanjang sepanjang tengkuk leher. Rambut yang selalu terikat setengahnya, man bun istilah populernya. Ia selalu merasa gaya rambut semacam itu adalah yang paling cocok untuknya, karena garis rahangnya yang tegas akan tergambar jelas di wajahnya dengan gaya rambut itu. Dalam pantulan kaca bingkai itu, tampak terukir senyum getir dari bibirnya. Senyum yang ia peruntukkan bagi dirinya sendiri karena ia adalah saksi hidup, atau bahkan bukti bahwa wajah yang rupawan dan karir yang mapan ternyata masih belum cukup untuk memikat hati perempuan, hingga dirinya pun tak bisa selamat dari pertanyaan kapan ia akan naik ke pelaminan. Pertanyaan yang membuatnya pasrah hingga sang ibu sampai turun tangan memperkenalkan perempuan dari berbagai status sosial. Satu, dua, hingga kelima kalinya. Semuanya berakhir dengan penolakan dari pihak perempuan dengan alasan laki- laki itu tak mengerti bagaimana cara berinteraksi dengan perempuan sehingga terasa membosankan bahkan pada awal pertemuan. Dan ia, laki- laki itu pun mengakuinya. Ia adalah tipikal orang yang sedikit kesulitan melakukan pendekatan dengan lawan jenis karena ambisinya yang terlalu tinggi untk mewujudkan karir impiannya. Namun, sang ibu yang berprofesi sebagai dokter, tak berputus asa. Kali ini yang ke enam. Laki- laki bernama Biondi itu bahkan berani bertaruh dan berjanji pada sang ibu suatu pagi, bahwa ia akan menyetujui perjodohan ini tanpa harus melakukan pendekatan apabila pihak perempuan langsung mengiyakan lamaran pertama yang diwakilkan oleh ibunya tanpa harus mempertemukannya terlebih dahulu. Seolah mencoba melempar dadu dan bermain- main pada takdir kehidupan, Biondi menantang Tuhan hingga berani berjanji demikian di hadapan ibunya.
Suara panggilan dari ponsel yang tergeletak di atas meja membuyarkan lamunan laki- laki yang masih berdiri di depan bingkai- bingkai kaca itu. Dari nada panggil ponsel yang disetelnya, laki- laki itu tahu betul siapa yang menghubunginya kali ini. Dengan bergegas ia berlari kecil untuk mengangkat panggilan itu. Sorot matanya yang semula tajam seketika berbinar seperti sorot mata anak kecil yang mendapatkan hadiah gula- gula. Ya, laki- laki berpembawaan dingin bak kutub utara itu, seketika berubah menjadi sosok kecil yang manja jika mendengar, berbicara, maupun berada di dekat orang yang menghubunginya ini.
“Iya iya eomma, aku menikah besok.” Godanya penuh percaya diri pada seseorang di seberang yang kini terhubung dengannya itu. Eomma, begitu ia menyematkan panggilan sayang untuk ibunya. Panggilan yang seketika benar- benar membuatnya terlihat seperti anak kecil yang manja, bukan pria dewasa yang mapan. Kali ini ia yakin betul bahwa perempuan yang dicalonkan ibunya pasti melakukan hal yang sama seperti perempuan- perempuan sebelumnya. Meminta bertemu, kencan buta, lalu berakhir tanpa berita. Namun suara perempuan di seberang itu terdengar terkekeh, seolah kali ini dialah yang memenangkan pertarungan.
“Dia setuju, Bi. Bahkan tanpa perlu melakukan pertemuan. eomma sangat tidak menduga mendapatkan balasan secepat ini. Eomma dan ayah akan mempersiapkan semuanya.” Jawab perempuan itu penuh semangat sebelum akhirnya memutus panggilan. Biondi yang semula percaya diri karena yakin akan mendapatkan penolakan kembali, kini terperangah. Tangannya terkulai meletakkan kembali ponsel di atas meja. Ia terduduk tak percaya. Bagaimana mungkin? fikirnya. Hari ini, tanggal tiga belas, di usianya yang ke tiga puluh lima. Biondi kalah dalam pertarungan sumpah yang ia lontarkan pada ibunya. Laki- laki itu telah salah melempar dadu, yang membuatnya harus duduk di hadapan papan permainan takdir Tuhan yang akan segera dimulai. Dan perempuan di sana, yang juga memutuskan melempar dadu dan bermain bersama. Ia tak mengerti. Bagaimana mungkin seorang perempuan begitu saja menyetujui lamaran pernikahan bahkan tanpa harus menemui atau mengenal calon suaminya dulu. Perempuan gila di belahan dunia mana yang mau melakukan hal itu? Laki- laki itu menghela nafas dalam. Kini mereka harus duduk berhadapan. Melempar dadu secara bergantian. Menyelesaikan permainan takdir Tuhan hingga akhir.
...***
...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
AzukaJagga
lanjuttttt
2023-10-21
1
Teco
Terus berkarya thor, kelezatan bacaannya bikin ketagihan!
2023-08-20
0
Gemma
Tiap habis baca chapter pasti bikin aku pengen snack sambil lanjut baca!
2023-08-20
0