Puisi Tentang Maya

Puisi Tentang Maya

Juni

Pagi sekali tapi bukan subuh, saya melihat pemandangan luar berkabut cukup tebal. Dingin ugal-ugalan merasuk sampai ke dalam tulang. Saya pikir, dingin ini bisa menyebabkan kulit saya ruam bahkan bentol-bentol menyerang. Kali ini tidak. Saya juga heran faktor apa yang membuat kulit ini bisa tahan dingin. Apa karena ada Aa Fais, biduran pun tidak mampu untuk mengganggu saya lagi?

Kami baru saja tiba pukul satu malam dini hari. Karena waktu memang secepat kertas terbakar, maka saya sudah mengerjapkan mata pada waktu subuh tiba. Saya sudah melaksanakan kewajiban sebagai hamba, kemudian bersiap-siap diri untuk bertemu Aa Fais di.... Saya bahkan lupa untuk menanyakan dimana kami akan bertemu di pagi harinya.

Saya meraih ponsel, lalu ingin bertanya soal dimana saya akan bertemu Aa Fais. Dan ternyata di beranda sudah terpampang pop up pesan dari Aa pakai emot love. Menggemaskan sekali, membuat saya jadi mesem-mesem sendiri. Sebuah kebetulan yang benar-benar sempurna untuk mengatakan kalau Saya dan Aa Fais sehati. Hahaha..

.......

"May, semalam tidurnya nyenyak nggak?" Aa Fais menanyakan itu pada saya, seakan lelaki yang saya sayangi ini merasakan apa yang saya rasakan. Jujur, semalam saya mimpi--saya tidak tahu itu buruk ataupun tidak.

"Maya tidurnya kurang nyenyak a" kata saya. Praktis merebut atensi Aa Fais.

"Kenapa? Karena nggak di peluk Aa ya?"

"Kok tau?"

Kami tergelak cukup renyah. Padahal menurut saya, obrolan barusan tidak ada lucunya sama sekali. Tapi tidak apa-apa, saya suka melihat wajah Aa Fais ketika tertawa. Menenangkan. Setelahnya saya merasakan ada sentuhan hangat pada bagian tangan, dan itu mujarab sekali membuat saya berdegup kencang meskipun kami sering seperti ini. Dan pernah lebih dari ini.

"May" panggilnya.

"Iya a, ada apa?"

"Maya capek nggak pacaran sama Aa?" Tanya Aa Fais.

"Maya nggak akan pernah capek a, selagi pacar Maya itu Aa Fais." Saya jawab begitu. Sumpah, itu adalah kejujuran yang saya miliki.

"Yaaah, bilang capek dong. Kalau kamu capek pacaran sama Aa, nanti Aa langsung nikahin kamu. Biar gak pacaran-pacaran lagi yang udah bikin kamu capek."

Saya jadi tersenyum mendengarnya. Kalimatnya sangat manis seukuran saya mencintai dia begitu dalam. Dengan perasaan yang masih berdebar-debar saya menjawab pernyataan yang mengandung madu tersebut.

"Nggak mesti capek dulu buat melangkah ke jenjang pernikahan. Kalau emang Aa udah serius, Maya siap-siap aja meskipun besok kita harus menikah."

Karena rasa yang saya miliki hanya mentok di kamu a. Nggak pernah sedikitpun membayangkan gimana seandainya nanti tanpa Aa.

"Uhuuuyy.." Aa Fais menyugar rambutnya. " Kalau gitu, tunggu Aa kelar kuliah ya. Sebentar lagi Aa wisuda. Abis itu kita mulai satu persatu merealisasikan mimpi-mimpi kita May. Yang utama nih, Aa mau ketemu dulu sama Bapak kamu. Mau minta ijin buat ngambil anaknya."

"Iya A. Nih bentar lagi kita sampai di rumah Bapak. Tapi..."

"Tapi apa?"

Mobil yang saya tumpangi berhenti di samping pos penjaga. Memang saya yang memberikan instruksi berhenti tepat saat Aa bertanya 'tapi apa?'. Saya pikir ini sudah cukup untuk menjelaskan situasi apa yang sedang ingin saya utarakan. Dan Aa pun memahami maksudnya, yang hanya saya balas dengan seulas senyum.

Pohon-pohon Kamboja tumbuh dengan rindang diatas banyaknya kematian. Menghalangi setiap cahaya matahari yang menyinari pada apapun yang membutuhkan cahaya. Sampai pada akhirnya, saya melihat siluet indah dari cahaya yang berhasil menerobos lewat celah yang ada. Terbias oleh tubuh Aa Fais yang tak kalah indahnya untuk di pandang.

"Assalamualaikum Bapak"

Kami tertunduk dalam. Waktu telah lama berlalu dan ada banyak hal yang telah saya lewati. Saya tidak ingin meratapi kehilangan lebih dahsyat dari porsinya. Hanya saja ketika saya datang ke tempat ini, lalu memberi salam yang mungkin saja Bapak bisa merasakannya, saya selalu merasakan kesedihan. Meskipun kesedihan itu tidak mampu menurunkan air mata saya.

"Pak, ini Aa Fais. Laki-laki yang sudah Maya pilih buat ngejagain Maya seutuhnya. Lelaki yang Maya pilih untuk Maya sayangi sebaik-baiknya." Dan pada akhirnya saya bersusah payah menahan rasa haru. Kalimat yang saya ucapkan barusan seperti kutipan romansa dari sebuah hubungan. Tapi bagi saya, maknanya lebih dalam daripada itu.

Saya dengan keharuan yang saya punya, sementara Aa Fais masih bergeming menatap lekat epitaf dengan tatapan sulit. Saya hanya menebak, pikirannya sedang menjelajah pada waktu yang di habiskan ketika Aa membenci Ayahnya. Saat itu Aa sempat ingin menjadi anak Yatim saking terlalu kecewa dengan apa yang telah terjadi.

Saya termenung saat itu. Hal itu telah membuat saya tidak enak makan dan tidur. Apakah dengan berdiam diri saya sudah melakukan hal yang tepat? Ternyata Itu saja tidak cukup. Ada yang harus saya beritahu bahwa kehilangan seorang Bapak lebih menyakitkan dari rasa kecewa. Dan apa yang terjadi saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memberitahu.

"Aa baik-baik aja?"

"Iya. Aa cuma lagi memanjatkan do'a dalam hati yang Aa bisa."

"Untuk?"

"Bapak kamu dan juga Bapak Aa May. Aa kira kamu masih memiliki orang tua lengkap dan hanya terpisah dengan jarak. Tapi ternyata... Ah Aa memang tidak banyak tahu tentang kamu." Yang dilakukan Aa Fais setelahnya adalah tertawa sumbang.

"May, ini ada dua praduga. Antara kamunya yang pintar menyembunyikan kesedihan. Atau Aa'nya yang nggak kenal kamu dengan baik."

Seketika saya menghela nafas. Apa yang keluar dari mulut saya setelah ini harus benar-benar dipikirkan dengan baik. Saya mencoba menyelami apa yang Aa Fais rasakan. Agar sesuatunya tidak berantakan seperti kotak make up saya yang bejejalan dalam tas.

"Yang benar itu hanya soal waktu yang belum tepat. Maya bukan orang yang pandai menyembunyikan kesedihan seperti apa yang Aa bilang. Dan Aa adalah orang yang paling baik mengenal Maya seperti apa. Semuanya hanya soal waktu a, soal belum atau sudahnya waktu yang tepat akan datang."

"Aa, Maya mau bilang, kehilangan seorang Bapak lebih sakit daripada rasa kecewa."

Terdengar hela nafas ringan kemudian di lanjuti dengan berdirinya lelaki di samping saya. Dia menggenggam tangan saya, menatap saya dengan sama teduhnya seperti hujan bulan Juni. Langit yang cerah berubah menjadi teduh, mengusir yang tadi sempat memberikan kehangatan. Kami akhirnya pergi dari sana dengan saling bertukar pikiran di sepanjang perjalanan.

"May, mumpung di Kuningan, kita jalan-jalan nyok? gak ada penolakan ya. Karena Aa gak suka di tolak." Katanya dengan gayanya yang otoriter. Tapi saya menyukainya.

"Dih maksa. Untung sayang, jadi Maya mau-mau aja di paksa hehe. Ayoook kita jalan-jalan a. Maya akan tunjukan destinasi yang indah buat kita datangi."

"Nah ini yang paling bener. Kamu selalu mengerti apa yang Aa butuhkan May. Love you sayangku, cintaku, manisku." Begitu kata Aa Fais disudahi dengan tangan saya yang ia beri kecuphan.

Kuningan, 18 Juni 2023.

"Bagus a.." saya mengomentari hasil jepretan Aa Fais. Hujan sudah turun sejak kami beranjak dari pemakaman. Dan kami akan menorehkan cerita lebih apa adanya--yang mungkin saja banyak tersimpan kisah yang kami tidak tahu. Bisa jadi membuat kami utuh seutuh utuhnya, ataupun harus belajar untuk bisa melepaskan. Karena melepaskan adalah ketidak sanggupan yang dipaksakan. Begitulah kutipan novel yang yang pernah saya baca.

.

.

.

Bersambung...

Zenun: ini ceritanya ringan ya. No berat-berat.

Netizen: Preeetttt...

Zenun: 😄

.

.

.

Terpopuler

Comments

Alkenzie

Alkenzie

Awal yg menarik Kak, semangat terus ya 💪💪

2023-09-21

0

pensi

pensi

pucuk dicinta, AA fais pun tiba 😍

Zed mampir kak 🙏

2023-09-02

0

Maya●●●

Maya●●●

aku mampir kaka

2023-08-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!