Pagi sekali tapi bukan subuh, saya melihat pemandangan luar berkabut cukup tebal. Dingin ugal-ugalan merasuk sampai ke dalam tulang. Saya pikir, dingin ini bisa menyebabkan kulit saya ruam bahkan bentol-bentol menyerang. Kali ini tidak. Saya juga heran faktor apa yang membuat kulit ini bisa tahan dingin. Apa karena ada Aa Fais, biduran pun tidak mampu untuk mengganggu saya lagi?
Kami baru saja tiba pukul satu malam dini hari. Karena waktu memang secepat kertas terbakar, maka saya sudah mengerjapkan mata pada waktu subuh tiba. Saya sudah melaksanakan kewajiban sebagai hamba, kemudian bersiap-siap diri untuk bertemu Aa Fais di.... Saya bahkan lupa untuk menanyakan dimana kami akan bertemu di pagi harinya.
Saya meraih ponsel, lalu ingin bertanya soal dimana saya akan bertemu Aa Fais. Dan ternyata di beranda sudah terpampang pop up pesan dari Aa pakai emot love. Menggemaskan sekali, membuat saya jadi mesem-mesem sendiri. Sebuah kebetulan yang benar-benar sempurna untuk mengatakan kalau Saya dan Aa Fais sehati. Hahaha..
.......
"May, semalam tidurnya nyenyak nggak?" Aa Fais menanyakan itu pada saya, seakan lelaki yang saya sayangi ini merasakan apa yang saya rasakan. Jujur, semalam saya mimpi--saya tidak tahu itu buruk ataupun tidak.
"Maya tidurnya kurang nyenyak a" kata saya. Praktis merebut atensi Aa Fais.
"Kenapa? Karena nggak di peluk Aa ya?"
"Kok tau?"
Kami tergelak cukup renyah. Padahal menurut saya, obrolan barusan tidak ada lucunya sama sekali. Tapi tidak apa-apa, saya suka melihat wajah Aa Fais ketika tertawa. Menenangkan. Setelahnya saya merasakan ada sentuhan hangat pada bagian tangan, dan itu mujarab sekali membuat saya berdegup kencang meskipun kami sering seperti ini. Dan pernah lebih dari ini.
"May" panggilnya.
"Iya a, ada apa?"
"Maya capek nggak pacaran sama Aa?" Tanya Aa Fais.
"Maya nggak akan pernah capek a, selagi pacar Maya itu Aa Fais." Saya jawab begitu. Sumpah, itu adalah kejujuran yang saya miliki.
"Yaaah, bilang capek dong. Kalau kamu capek pacaran sama Aa, nanti Aa langsung nikahin kamu. Biar gak pacaran-pacaran lagi yang udah bikin kamu capek."
Saya jadi tersenyum mendengarnya. Kalimatnya sangat manis seukuran saya mencintai dia begitu dalam. Dengan perasaan yang masih berdebar-debar saya menjawab pernyataan yang mengandung madu tersebut.
"Nggak mesti capek dulu buat melangkah ke jenjang pernikahan. Kalau emang Aa udah serius, Maya siap-siap aja meskipun besok kita harus menikah."
Karena rasa yang saya miliki hanya mentok di kamu a. Nggak pernah sedikitpun membayangkan gimana seandainya nanti tanpa Aa.
"Uhuuuyy.." Aa Fais menyugar rambutnya. " Kalau gitu, tunggu Aa kelar kuliah ya. Sebentar lagi Aa wisuda. Abis itu kita mulai satu persatu merealisasikan mimpi-mimpi kita May. Yang utama nih, Aa mau ketemu dulu sama Bapak kamu. Mau minta ijin buat ngambil anaknya."
"Iya A. Nih bentar lagi kita sampai di rumah Bapak. Tapi..."
"Tapi apa?"
Mobil yang saya tumpangi berhenti di samping pos penjaga. Memang saya yang memberikan instruksi berhenti tepat saat Aa bertanya 'tapi apa?'. Saya pikir ini sudah cukup untuk menjelaskan situasi apa yang sedang ingin saya utarakan. Dan Aa pun memahami maksudnya, yang hanya saya balas dengan seulas senyum.
Pohon-pohon Kamboja tumbuh dengan rindang diatas banyaknya kematian. Menghalangi setiap cahaya matahari yang menyinari pada apapun yang membutuhkan cahaya. Sampai pada akhirnya, saya melihat siluet indah dari cahaya yang berhasil menerobos lewat celah yang ada. Terbias oleh tubuh Aa Fais yang tak kalah indahnya untuk di pandang.
"Assalamualaikum Bapak"
Kami tertunduk dalam. Waktu telah lama berlalu dan ada banyak hal yang telah saya lewati. Saya tidak ingin meratapi kehilangan lebih dahsyat dari porsinya. Hanya saja ketika saya datang ke tempat ini, lalu memberi salam yang mungkin saja Bapak bisa merasakannya, saya selalu merasakan kesedihan. Meskipun kesedihan itu tidak mampu menurunkan air mata saya.
"Pak, ini Aa Fais. Laki-laki yang sudah Maya pilih buat ngejagain Maya seutuhnya. Lelaki yang Maya pilih untuk Maya sayangi sebaik-baiknya." Dan pada akhirnya saya bersusah payah menahan rasa haru. Kalimat yang saya ucapkan barusan seperti kutipan romansa dari sebuah hubungan. Tapi bagi saya, maknanya lebih dalam daripada itu.
Saya dengan keharuan yang saya punya, sementara Aa Fais masih bergeming menatap lekat epitaf dengan tatapan sulit. Saya hanya menebak, pikirannya sedang menjelajah pada waktu yang di habiskan ketika Aa membenci Ayahnya. Saat itu Aa sempat ingin menjadi anak Yatim saking terlalu kecewa dengan apa yang telah terjadi.
Saya termenung saat itu. Hal itu telah membuat saya tidak enak makan dan tidur. Apakah dengan berdiam diri saya sudah melakukan hal yang tepat? Ternyata Itu saja tidak cukup. Ada yang harus saya beritahu bahwa kehilangan seorang Bapak lebih menyakitkan dari rasa kecewa. Dan apa yang terjadi saat ini merupakan waktu yang tepat untuk memberitahu.
"Aa baik-baik aja?"
"Iya. Aa cuma lagi memanjatkan do'a dalam hati yang Aa bisa."
"Untuk?"
"Bapak kamu dan juga Bapak Aa May. Aa kira kamu masih memiliki orang tua lengkap dan hanya terpisah dengan jarak. Tapi ternyata... Ah Aa memang tidak banyak tahu tentang kamu." Yang dilakukan Aa Fais setelahnya adalah tertawa sumbang.
"May, ini ada dua praduga. Antara kamunya yang pintar menyembunyikan kesedihan. Atau Aa'nya yang nggak kenal kamu dengan baik."
Seketika saya menghela nafas. Apa yang keluar dari mulut saya setelah ini harus benar-benar dipikirkan dengan baik. Saya mencoba menyelami apa yang Aa Fais rasakan. Agar sesuatunya tidak berantakan seperti kotak make up saya yang bejejalan dalam tas.
"Yang benar itu hanya soal waktu yang belum tepat. Maya bukan orang yang pandai menyembunyikan kesedihan seperti apa yang Aa bilang. Dan Aa adalah orang yang paling baik mengenal Maya seperti apa. Semuanya hanya soal waktu a, soal belum atau sudahnya waktu yang tepat akan datang."
"Aa, Maya mau bilang, kehilangan seorang Bapak lebih sakit daripada rasa kecewa."
Terdengar hela nafas ringan kemudian di lanjuti dengan berdirinya lelaki di samping saya. Dia menggenggam tangan saya, menatap saya dengan sama teduhnya seperti hujan bulan Juni. Langit yang cerah berubah menjadi teduh, mengusir yang tadi sempat memberikan kehangatan. Kami akhirnya pergi dari sana dengan saling bertukar pikiran di sepanjang perjalanan.
"May, mumpung di Kuningan, kita jalan-jalan nyok? gak ada penolakan ya. Karena Aa gak suka di tolak." Katanya dengan gayanya yang otoriter. Tapi saya menyukainya.
"Dih maksa. Untung sayang, jadi Maya mau-mau aja di paksa hehe. Ayoook kita jalan-jalan a. Maya akan tunjukan destinasi yang indah buat kita datangi."
"Nah ini yang paling bener. Kamu selalu mengerti apa yang Aa butuhkan May. Love you sayangku, cintaku, manisku." Begitu kata Aa Fais disudahi dengan tangan saya yang ia beri kecuphan.
Kuningan, 18 Juni 2023.
"Bagus a.." saya mengomentari hasil jepretan Aa Fais. Hujan sudah turun sejak kami beranjak dari pemakaman. Dan kami akan menorehkan cerita lebih apa adanya--yang mungkin saja banyak tersimpan kisah yang kami tidak tahu. Bisa jadi membuat kami utuh seutuh utuhnya, ataupun harus belajar untuk bisa melepaskan. Karena melepaskan adalah ketidak sanggupan yang dipaksakan. Begitulah kutipan novel yang yang pernah saya baca.
.
.
.
Bersambung...
Zenun: ini ceritanya ringan ya. No berat-berat.
Netizen: Preeetttt...
Zenun: 😄
.
.
.
Apa yang terjadi pada dirimu...
Apa yang terjadi pada hatimu...
Na... Na.. Na.. Na.. Na..
Abaikan Zenun yang lagi nyanyi.
Sentuhan itu terasa kembali menjelajah bibir saya yang kelu. Saya hanya bisa terdiam merasakan setiap gerakan lembut yang Aa Fais lakukan untuk membuat saya terbang. Di awang-awang saya menjumpai kolonial kupu-kupu beterbangan di atas rimbunnya bunga mawar putih. Mereka menyapa saya dengan riang gembira.
Mawar putih adalah bunga kesukaan saya. Karena itu, Aa selalu memberikan mawar putih pada saat moment penting kami. Hemm.. Apa? Kalian tanya moment penting itu apa aja? Baiklah, malam minggu bagi kami termasuk kategori moment penting itu hehe. Lebay ya? Gak apa-apa. Yang penting Aa dan saya senang.
Di tengah pagutan kami yang semakin mendalam, tangan Aa menyibak bagian kerah baju saya. Ini tidak benar, saya harus menghentikan sebelum terjadi hal di luar dugaan. Tetapi ketika saya mau mendorong pelan tubuh Aa Fais, dia sudah melepaskan saya duluan lalu menatap nyalang pada leher dan baju milik saya.
"Eh, enak banget lu semut!, gerayangiin cewek gua sampe kesitu. Gua aja belom!" Hardik Aa pada seekor semut yang katanya bergerilya di tubuh saya. Saya terhenyak, ini benar-benar hal di luar dugaan.
"Aa"
"Iya My, maaf Aa lagi ngelabrak semut ini. Sebelum dia gigit kamu, Aa amankan terlebih dahulu. " Kata Aa dengan tangannya yang sibuk mencomot semut. Rasa-rasanya semut itu pun sudah pingsan di tangannya.
Saya merapikan penampilan. Dari mulai bibir saya yang basah serta perasaan saya yang tidak karuan. Ketika memasak nasi di magicom tiba-tiba listrik padam, maka tidak ada aliran panas yang dapat mematangkan nasinya. Bisa sih saya memindahkannya ke mode masak manual menggunakan kompor agar nasinya bisa matang sempurna. Tetapi prosesnya akan menjadi lebih ribet, dan saya tidak tahu tingkat kematangan sudah sampai mana. Hampir matang kah? Masih berupa aron kah? Atau mungkin saja mentah belum mencapai aron. Dan saya bukan berbicara tentang memasak nasi.
Perasaan kikuk sempat hinggap memonopoli saya. Saya betul-betul bingung harus apa agar situasi kembali kondusif. Yang saya lakukan hanya mengalihkan perasaan tidak enak, dan seraya mengajak Aa Fais untuk bergegas siap-siap perjalanan pulang ke Bekasi. Tetapi yang saya dapatkan justru tubuh saya limbung jatuh ke dalam pelukannya.
"Maafkan Aa sayang."
"Maaf untuk apa a?"
"Untuk rasa gak nyaman ini? Mau di ulang?"
Ya ampun, saya berdecak dalam hati. Kenapa musti di tanya seperti itu yang semakin membuat pipi saya memanas? Mau diulang? Apanya yang mau di ulang hahaha. Saya terlalu malu untuk mengaku bahwa saya sempat kecewa karena jatuh dari ketinggian. Biarkan itu menjadi rahasia yang akan saya simpan rapat. Lagi-lagi agar situasi kembali kondusif maka saya pura-pura tidak tahu soal apa yang akan diulang.
"Apanya yang mau di ulang? Hayo a, geura atuh kita balik ke Bekasi."
Sengaja saya sisipkan senyum-senyum ramah agar pengalihan saya berjalan dengan sempurna. Tetapi yang namanya keberuntungan tidak mau hinggap barang sebentar saja. Pepatah mengatakan "sesak berundur-undur, hendak lari malu, hendak lambat tak berlalu". Artinya sudah tidak sanggup melawan, tetapi pura-pura masih sanggup bertahan.
Sama seperti saya. Biarpun sudah ketahuan, tapi apa salahnya bertahan untuk berpura-pura. Aa masih menatap yang semakin membuat saya gusar. Kemudian dia berkata seperti ini: "My, kalau nanti kamu ngerasa nggak baik-baik aja, tolong bilang ke Aa. Jangan kamu tutupi seolah gak ada masalah. Seakan kamu membuat senang orang lain secara semu."
Tapi... Tapi.. Eummph..
Benar kan, nasinya kembali dimasak ulang. Dan ini bukan lagi tentang memasak nasi.
............. ...
Di sepanjang perjalanan pulang, yang saya lakukan ada tiga macam. Mengobrol dengan Aa, berdiam diri sambil melempar pandangan keluar melihat jalanan yang seakan sedang berlari, dan yang terakhir bernyanyi dengan suara pas-pasan. Lagu yang sering di request Aa judulnya Not You dari Alan Walker. Saya menyanyi untuknya tanpa pernah bosan.
Di tengah keseruan saya, mata ini tidak sengaja membaca papan petunjuk jalan dengan nama kota Bekasi timur. Itu artinya, kami sedikit lagi sampai di rumah. Dan benar, kami sudah keluar tol lalu memasuki jalan umum. Pada jalan yang seharusnya lurus saja menuju rumah, Aa membanting setir ke kanan masuk ke rumah makan. Ah iya, saya lupa kalau kami berdua belum makan siang. Saya yang tidak pernah meminta apapun pada sang pacar, sering kali mengabaikan kebutuhan kita sebagai manusia.
"Kita makan siang dulu ya Neng Maya, karena buat menghadapi kenyataan gak cukup pake cinta aja. Kudu pake nasi juga" Kata Aa dibubuhi gelak kecil.
"Hehehe iya a, My juga laper ternyata. My mau ke indomaret sana dulu, mau beli sesuatu." Pamit saya. Karena saya mau membeli lipgloss yang tiba-tiba hilang entah kemana. Sedangkan saya harus tampil prima di depan Aa Fais.
"Jangan lama-lama, nanti Aa kangen."
"Iya siap"
Butuh menempuh jarak lima puluh meter untuk sampai di tempat tujuan. Sementara Aa fais sudah hilang ditelan keramaian demi memesan makan siang kami. Kami berdua sedang berpisah dalam jarak yang tidak jauh, tapi perasaan ini malah terasa tidak karuan. Saat langkah kaki ini sudah ada di pertengahan jalan,
"Awaas.."
JDEERR...
Gemetar berderap cepat menyerbu seluruh tubuh tanpa terkecuali. Rasanya, Saya tidak sanggup lagi untuk berdiri.
.
.
.
.
Bersambung....
Kerumunan orang mulai datang memadati tempat saya terjatuh. Sedangkan saya, yang terlintas di benak adalah cepat-cepat mencari tas yang entah kemana terlempar jatuhnya. Di saat saya telah menemukan slempang coklat berbentuk anyaman teronggok, kepala saya pusing dan perut ini seperti bergolak.
"Kamu nggak apa-apa?" ini saya yang bertanya, pada seorang yang hampir tertabrak motor karena kehilangan kendali. Orang itu memegangi kepalanya. Mungkin saja terbentur sesuatu yang menyebabkan dia limbung seperti ini.
"Gapapa, terimakasih." Ujarnya.
Keadaan saya juga tak luput dari perhatian orang-orang. Akhirnya, saya memutuskan untuk pergi dari sana. Membiarkan kerumunan orang-orang dengan segala riuhnya memeriksa kecelakaan yang baru saja terjadi. Pesepeda motor dengan seseorang yang hampir bertubrukan kalau saja saya tidak refleks mendorong.
Selepas saya mengatakan bahwa keadaan saya baik-baik saja, langkah kaki ini benar-benar pergi untuk-- melanjutkan misi utama. Memoles yang telah pudar demi menjaga tampilan di hadapan laki-laki kesayangan. Benar-benar tidak sangka, ketika hati menyayangi seseorang hanya tentang dia yang selalu di usahakan.
Dan,
"Sayang"
Mata saya terpaku pada laki-laki tegap bersorot mata teduh.
"Aa"
Tanpa berkata-kata lagi, dia memeluk saya. Terasa hangat dan menenangkan. Kemudian Aa bertanya, "Kamu mau cari ini?" tangan Aa memegang lipgloss saya yang hilang.
"Itu, kok bisa ada di Aa?"
Aa hanya tersenyum.
"Sini, Aa mau periksa keadaanmu dulu. Tadi kamu habis jatuh nolongin orang." Di bolak-balik ke samping, ke depan ke belakang rasanya itu senang sekali karena saya merasa di perhatikan sedemikian rupa. Sampai akhirnya kami tergelak dengan nyanyian perut-perut yang lapar.
Disinilah saya,
Senyam-senyum di dalam kamar mengingat hari itu yang kami lalui. Kejadian apapun rasanya tidak melunturkan kebersamaan yang manis. Selalu ada tawa jika bersama dengan dia. Selalu ada rasa dimana saya tidak ingin waktu berlalu dengan cepat.
Sampai ingatan saya tertuju pada waktu tiba di rumah. Aa bahkan terlihat enggan untuk beranjak dari kursi depan. Kalau Aa sedang begitu, membuat saya tidak ingin membiarkannya pulang.
"My tau nggak, Aa udah bayar penuh dekor tenda sama pelaminan. Udah nyicil-nyicil seserahan juga bareng Mamah." Praktis saya terkaget-kaget.
"Serius?"
"Iya sayang. Biar kamu tahu aja. Kalau sewaktu-waktu ada yang terjadi pada Aa, setidaknya ada yang sedang Aa usahakan buat kamu. Tidur gih, udah malam. Aa juga mau pulang. Pasti kamu lelah banget abis ngajak Aa keliling Kuningan."
Senyam-senyum yang hinggap, kini berubah menjadi kegusaran. Saya jadi kepikiran, apakah ucapan Aa malam itu adalah sebuah pertanda? Saya menggelengkan kepala cepat, mengusir pikiran tidak baik yang terlintas di benak. Aa nggak pa-pa, hubungan ini baik-baik saja. Tapi kenapa? sampai sejauh ini Aa menghindari saya dengan segala cara.
Setiap WA balasnya hanya satu kata 'Lembur'. Telepon jarang sekali pernah di angkat. Sekalinya terhubung, hanya saya yang aktif bertanya. Sisanya hanya Aa yang menjawab tanpa timpal balik.
Karena saya tidak menyerah, malam ini tidak ada salahnya mengirimkan kembali pesan kepada Aa. Dan pemilihan pesan kali ini saya ubah dari yang biasanya hanya menanyakan kabar menjadi lebih bar-bar. Eitss, jangan berpikiran saya akan minta pap. Karena saya tidak memiliki keberanian untuk itu.
Maya: Aa, My dapat job nyiar radio jam dua belas malam.
Sudah selesai mengirim pesan, hp nya saya letakan di atas nakas saja. Sebab pesannya akan terbalas dua hari kemudian. Bisa jadi lebih. Meskipun begitu, pesannya tetap akan selalu saya tunggu.
Tring.. suara notif pesan masuk. Alangkah terkejutnya hati ini. Buru-buru saya buka harta karun itu.
Aa: Silahkan, kalau kamu ngerasa bukan manusia.
Deg...
Apakah ini benar yang mengirim pesan Aa Fais? malam ini, bolehkah saya menangis?
............... ...
Pagi harinya, saya awali dengan menyapu teras rumah lanjut dengan halaman. Tidak ada kata-kata kiasan untuk pagi yang cerah ini. Seperti pagi menjemput senyuman mentari, atau kicauan burung bernyanyi di bawah pohong yang riang. Segalanya saya jalani dengan biasa saja seperti kemarin-kemarin. Tanpa drama galau langsung ambil alih pekerjaan rumah. Karena dengan cara itu, saya bisa mengatasi kesedihan tanpa membuang-buang waktu. Semakin saya sedih semakin bersih rumah hehe. Ketawa dikit gapapa ya, biar jadi semangat.
Perasaan saya sedikit getir mengingat hubungan saya dengan Aa agak berubah. Saya tidak tahu alasan bisa berubah karena apa. Seperti apa yang saya jabarkan di atas. Terakhir kali kami baru kembali dari Kuningan, Aa masih bersikap manis. Sangat manis malah. Dan selepas dia pulang dari rumah saya, segalanya menjadi situasi yang asing.
"May, si Aa kok teu main-main ke rumah? Kamu teh lagi berantem ya?"
Nah, itu juga yang menjadi beban pikiran. Emang saya lagi berantem ya?
"Nggak berantem Bu. Cuma lagi sibuk aja Aa nya. Katanya sih lemburan di PT."
"Oh kitu. Pantesan. Emang kamu gak kangen Neng?" Ibu cengengesan saat melemparkan pertanyaan itu. Saya hanya tersenyum, lalu bilang 'lumayan kangen'. Sengaja saya nyapu lebih bersemangat, agar suara seok-seok sapu lidi yang bertempur dengan tanah menjadi saksi betapa kangen sekalinya hati ini.
Aa, kamu kenapa sih?
"Widih, rajin amat neng Maya." sapa bapak tetangga.
"Hehe iya Mang"
"Kebeneran nih, mumpung saya ingat dan ketemu Maya. Waktu senin minggu kemaren, di tabunan deket kandang kambing saya ada sebuket mawar putih. Saya keingetan Neng Maya yang suka di bawain Fais setiap malam minggu."
"Bunga mawar putih Mang? masih ada nggak? Maya mau lihat dong." Saya mulai gusar.
"Ada kayanya. Bentar dulu ya."
Sambil menunggu, saya langsung berfikir. Senin minggu kemarin, itu artinya dua minggu yang lalu. Dua minggu adalah waktu dimana Aa mulai berubah. Jadi Aa sebenernya datang kesini tapi tidak menemui saya?
Saya jadi ingin cepat-cepat mengambil hp. Penasaran apa ada balasan pesan, dimana pesan Aa semalam saya balas subuh tadi. Isinya begini, "Ngerasa masih manusia sih a, berarti My gak ambil job nya nih😁.
Pesan saya sudah terbalas. Langsung saya buka.
Aa: Kamu kenapa? kamu kan emang manusia My. Kamu lagi ngomongin apa nih? itu job, emangnya job apaan?"
Laaah, saya kaget. Saya seperti sedang menghadapi dua orang berbeda. Satu-satunya petunjuk lagi-- Bunga mawar itu. Mana nih Mang Juki. Lama beneer.
.
.
.
Ini kisah tentang Saya dan Aa. Tentang sejauh mana saya bisa memahami laki-laki yang saya cintai.
.
.
.
Bersambung...
Jangan lupa bahagia kaya Maya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!