Susah payah aku mencari cara agar Kak Edgar mau pergi denganku. Akhirnya sore tadi dia datang ke rumah memakai kaos abu misty dibalut jaket dan celana jeans warna biru. Kulihat senyumnya sore itu begitu manis. Semoga aku tidak mengecewakannya. Aku sudah berjanji akan mengajaknya ke suatu tempat yang mungkin saja bisa menjadi inspirasi untuk buku dia selanjutnya.
Cita-citaku untuk bisa dekat dengan penulis buku yang kubaca adalah suatu hal yang membanggakan. Kalau saja Kak Edgar bukan keponakan suami kakaknya Mama, mungkin aku tidak akan akan bisa dekat dengannya seperti ini.
Dia menyapa Mama dengan sangat ramah. Kuharap Mama terkesan dengan sikap baiknya.
“Tante, saya mau pinjam Marissa sebentar, dia sudah janji akan menunjukkan tempat yang bagus.”
Kulihat kening Mama mengernyit. Kurasa dia tidak suka dengan cara penyampaian Kak Edgar. “Icha bukan barang.”
Kak Edgar tersenyum.
“Intinya Kak Edgar minta izin, Ma,” tukasku.
“Mama tahu.”
Kak Edgar kembali tersenyum, dia kemudian menatapku. Setiap dia tersenyum, aku merasa seperti ada cupid yang menembakkan anak panahnya tepat di dadaku.
“Cha, kamu mau ajak Edgar kemana?” tanya Mama.
“Ke SMA ku.” Seketika kulihat keduanya terdiam. “Oops, kejutan.”
“Cha.” Mama mengernyit.
Aku hanya bisa tersenyum kering. “Pokoknya ke tempat yang bagus, Ma.”
“Jauh nggak?”
Aku tahu Mama khawatir karena sebelumnya aku belum pernah pergi dengan pria manapun. Bisa dibilang Kak Edgar adalah pria pertama yang kuajak pergi. Catat, yang kuajak, bukan yang mengajak. Intinya, pria yang mengajakku banyak, tapi aku tidak pernah seminat ini pada laki-laki. Mungkin aku baru saja menyukai pria yang sepuluh tahun lebih tua dariku, meski Kak Edgar sudah berusia tiga puluh dua tahun, tapi, dia seperti terlihat tujuh tahun lebih muda dari usianya. Saat ibunya menyebutkan usia Kak Edgar, aku justru tidak percaya sama sekali. Namun, setelah aku melihat pria itu, aku baru percaya kalau umur hanyalah angka.
“Ya udah, Icha berangkat, Ma. Icha janji jam delapan udah pulang.”
“Malam banget. Jam tujuh.”
Aku dan Kak Edgar bersitatap sampai beberapa detik. Duniaku teralihkan sampai aku lupa harus menyangkal perintah Mama.
“Mama nggak mau tahu, pokoknya jam tujuh kamu harus sudah ada di rumah.”
Aku mengerjap dan lekas menatap Mama. “Nggak bisa, Ma, jam delapan aja udah aku usahain. Sekarang berangkat pun pasti kena macet.”
“Ya udah nggak usah berangkat. Kalau cuma mau ngabisin waktu di jalan. Apa serunya kejebak macet.”
“Mama. Aku udah janji sama Kak Edgar.”
“Kenapa harus janji-janji segala?”
Aku lekas menatap pria yang masih berdiri di depan pintu. Bahkan Mama tak mengizinkannya masuk. “Ini buat buku baru Kak Edgar, Ma. Aku akan merasa berjasa banget karena bisa terlibat dengan buku barunya.”
Cupid itu kembali menancapkan panah cintanya di dadaku. Senyumnya kali ini membuat jantungku menggelepar.
Mama menatapku lama. “Ya sudah cepat pulang.”
Aku malah ingin tertawa. “Berangkat juga belum, Ma,” kataku sembari meraih tangan dan mengecupnya. “Ayo, Ka,” ajakku pada Kak Edgar.
“Berangkat dulu, Tante.” Kak Edgar mengecup punggung tangan Mama. Dia kemudian mengucap salam.
Aku hanya bisa tersenyum seraya bergumam dalam hati, seharusnya Mama tahu kalau pria itu adalah calon menantu idamannya.
Tak berapa lama setelah Kak Edgar mengucap salam, dia memintaku masuk ke dalam mobilnya. Jujur mobil sedan tahun sembilan puluhan itu membuatku merasa seperti dibawa ke tahun itu. Mungkin waktu itu inilah mobil yang paling mewah.
Kak Edgar masuk dan duduk di depan kemudi. “Ini mobil kesayangan Opa,” katanya seraya menoleh padaku. “Diam-diam aku coba mobilnya, sayang kalau hanya didiemin di garasi.”
“Tapi, sudah dapat izin, ‘kan?”
“Iya dong.”
“Syukurlah.”
“Kenapa?”
“Takutnya aku ikut jadi tersangka perampokan mobil antik,” kekehku.
Kak Edgar tergelak. Itu membuatku terdiam dan hanya ingin mendengar tawanya lebih lama.
Perlahan mobil pergi meninggalkan perumahan tempatku tinggal. Rumahku ada di perumahan rakyat bersubsidi. Lima tahun lalu aku dan Mama pindah dari rumah peninggalan Papa karena satu dan lain hal. Kami sepakat untuk menjual rumah tersebut dan pindah ke rumah yang lebih kecil, sisanya Mama membelikan aku motor agar bisa pulang pergi dengan mudah dari kampus. Sejak Papa meninggal kami terbiasa hidup sederhana.
“Kak?”
Kak Edgar menoleh. “Iya?”
“Apa aku orang pertama yang Kak Edgar ajak naik mobil ini?”
“Kenapa, kamu takut mobil ini mogok?”
Aku tersenyum kikuk.
“Tenang, ini nggak akan mogok. Kata Opa walaupun ini mobil tua, tapi sering dirawat kok.”
“Kenapa Opa masih simpan mobilnya?”
“Kenangan. Bagi Opa setiap barang ada kenangannya, termasuk rumah. Isi rumah itu barang vintage semua, bahkan nggak ada satupun yang boleh mengganti dekorasinya.”
“Oh.”
“Kalau aku sama Mama menjauhkan setiap kenangan yang bisa mengingatkan kami pada Almarhum Papa dan Kak Nana.”
Kak Edgar seketika menoleh.
“Bukan apa-apa. Bagi kami kalau barang itu bisa bermanfaat bagi orang lain, akan kami berikan, setidaknya ada pahala yang mengalir untuk si pemilik barang tersebut,” tambahku.
“Termasuk foto?”
“Ya nggaklah. Kalau itu masih kami simpan sampai sekarang. Buat apa orang menyimpan foto yang nggak mereka kenal.”
“Iya, ya, bahkan buat nakutin tikus juga nggak ada gunanya.”
Kami tergelak bersama.
“Yuri jadi ikut?” tanyanya.
“Oh, aku lupa bilang, dia nggak jadi ikut, katanya sejak pagi perutnya sakit,” bohongku. Yuri tidak tahu aku pergi dengan Kak Edgar. Dia hanya kujadikan alat agar bisa mengajak Kak Edgar jalan. Hahaha!
“Hmm.”
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Nggak apa-apa. Jadi, kita bisa langsung ke tempat itu, kan?”
Kupikir dia akan berkata kalau kita bisa berduaan. Aliran darahku seperti berhenti setiap memikirkan dirinya.
“Cha?” panggil Kak Edgar.
Aku mengerjap dan lekas menegakkan tubuh. “Iya, Kak?”
“Nggak, cuma mau mastiin kamu nggak tidur.”
Aku merengut, tapi bibirku ingin tersungging. Hatiku girang dan bahkan ingin bergelayut manja di dada bidangnya. Tuhan, maafkan aku sepertinya aku jatuh cinta pada makhluk ciptaanMu ini.
“Jangan banyak melamun, aku jadi bingung ngajak ngobrolnya.”
“Nggak, aku cuma lagi mikir aja kalau gajah bisa terbang kira-kira yang kelihatan apanya ya, Kak?”
Kak Edgar tergelak. Dan itu membuat ribuan cupid kembali menggelitik dada ini sampai tak mampu berkutik, bahkan waktu pun rasanya berhenti karena ikut menyaksikan tawa renyah pria tampan itu.
Kak Edgar menepikan mobilnya. “Memangnya kalau gajah terbang kelihatan apanya?” kekeh Kak Edgar seraya menghadap padaku.
Aku tersenyum. “Kelihatan bohongnya lah, Kak.”
Kak Edgar kembali tergelak, bahkan kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Sumpah demi apapun, aku hanya ingin melihat senyum dan tawanya setiap hari.
“Aku nggak nyangka kamu selucu ini.” Dia mengacak puncak kepalaku.
Kulihat seluruh wajahnya tersenyum. Kerut senyumnya bahkan tak hanya ada diantara sisi kiri dan kanan hidungnya, tapi juga di kedua sudut mata dan juga garis pipinya.
Aku tersenyum kikuk, bahkan mungkin wajahku memerah dibuatnya.
“Aku tak perlu mencari tempat indah di belahan bumi manapun, karena aku sudah menemukan keindahan itu tepat di depan mataku.” Aku membacakan salah satu dialog dalam buku Kak Edgar.
“Dan itu kamu,” sambung Kak Edgar usai menghentikan gelak tawanya.
Aku lekas menatap ke arah lain untuk menyembunyikan binar di kedua mataku. Sementara dada ini tak hentinya berdegup.
“Makasih,” kata Kak Edgar seraya kembali mengemudi.
Seketika aku menatapnya. “Untuk?”
“Karena hari ini aku bisa tertawa.”
Dari setiap kata yang tertoreh di bukunya kupikir dia seorang penyendiri. Dan mungkin itu memang benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments