Beruang kutub itu memberiku waktu tujuh hari untuk menyelesaikan pekerjaan ini. Hari pertama dia mengantarku ke toko furniture yang bekerja sama dengan perusahaan ayahnya.
Seperti biasa dia tak mengatakan apapun dan bahkan ketika berjalan di mall pun, kami seperti tidak datang bersama. Aku mengikutinya dari belakang dan sebisa mungkin aku tak kehilangan jejaknya diantara orang-orang yang berlalu lalang.
Ketika hendak menuruni eskalator, aku tak sengaja melihat Arka yang tampak sedang menggandeng seorang perempuan. Tak ada pikiran lain selain, aku turun dan juga menggandeng lengan atasanku.
Kak Iyash menoleh dan menatapku tajam. “Kenapa kamu?”
Aku tersenyum kering seraya tengadah menatapnya. Lalu aku pura-pura bersandar di bahunya.
“Ih.” Kak Iyash hendak melepaskan gandenganku. Namun, aku menahannya. Tiba-tiba saja ketika kami sudah berada di bawah, Arka menyadari keberadaanku.
“Icha?”
“Hei,” sapaku kaku.
“Udah ganti lagi?” Arka kemudian menatap Kak Iyash.
Aku tersenyum sinis mendengar pertanyaan Arka.
“Kenalin, Mitha calon istriku.”
“Oh, hai.” Aku mengulurkan tangan dan berkenalan dengan wanita itu.
“Kenalin juga, namanya Iyash,” kataku sembari menatap Arka. “Dia–”
“Pacar baru kamu?” tebak Arka.
“Iya,” jawabku cepat. “Pacar baru.”
Arka tersenyum menatapku.
“Kenapa?” Aku mengernyit.
“Aku masih nggak nyangka aja. Kamu terlalu cepat menetapkan hati, aku harap kamu nggak mengulang kesalahan yang sama.”
Jantungku mencelus. “Urusan kita sudah selesai. Aku ikut senang kamu sudah punya calon.”
Arka menarik napas, kemudian mengangguk. “Semoga kamu bahagia.”
“Kamu juga.”
“Makasih. Aku duluan,” kata Arka.
Perlahan saat Arka pergi dengan wanita itu, aku melepaskan gandengan tanganku dari Kak Iyash. Dadaku berdegup ngilu melihat Arka pergi. Bukan karena aku masih cinta, tapi karena ada hal lain yang membuatku masih merasa bersalah pada pria itu.
Dua tahun aku berpacaran dengannya dan enam bulan lalu kami mengakhiri semuanya. Ada masalah besar diantara kami, meski begitu Arka tetap berbesar hati memaafkanku.
Aku kembali berjalan dan mengikuti Kak Iyash seraya tertunduk. Aku tidak ingin orang lain, termasuk pria itu melihat wajah sedihku.
Kakiku terasa berat untuk melangkah sampai akhirnya Kak Iyash menggenggam tanganku, lalu menarikku pergi. Dia seperti baru saja membawa lari kesedihanku. Dia terus menggenggam sampai kami berhenti di toko furniture. Aku terpegun beberapa detik hingga kudengar suara baritonnya lagi.
“Jangan lupakan tujuan kamu,” kata pria itu.
“Maaf harusnya aku nggak bilang kalau kita pacaran,” kataku.
“Harusnya kamu bilang, kalau saya calon suami kamu, biar dia–”
“Iyash.”
Kalimat Kak Iyash terpotong oleh seseorang yang tiba-tiba memanggilnya dari arah lain.
Kak Iyash pun segera melepaskan genggaman tangannya dariku, lalu pergi menghampiri pemilik suara tersebut yang hanya berjarak dua langkah dari keberadaan kami.
“Kok nggak dikenalin?” tanya pria itu. Aku tak tahu dia siapa, tapi aku merasa suaranya tidak asing di telinga.
Aku segera masuk ke dalam toko sebelum Kak Iyash memanggilku dan mengenalkanku pada pria itu. Cukup aku yang pura-pura menyebutnya sebagai pacar baru.
“Cari apa, Mbak?” tanya salah seorang pegawai.
“Saya datang sama ….” Aku menoleh ke belakang.
“Oh, Pak Iyash?” tukas wanita itu.
Aku mengangguk.
“Silakan, Mbak.”
Ketika sibuk memilih beberapa alat untuk mendekor, Kak Iyash datang mendekat. “Saya harus pergi. Kamu pulang naik taksi dan barang-barang ini akan diantar besok pagi. Untuk cat, kamu hanya boleh menambahkan sedikit. Biarkan yang lainnya tetap abu muda.”
Aku menghela napas. “Baru saja aku berpikir untuk mengubah warna catnya, biar nggak dingin kayak pemiliknya.”
“Jangan coba-coba. Itu baru dicat beberapa hari yang lalu.”
“Iya, terserah.”
Akhirnya tanpa berkata apa-apa lagi, dia pergi dan meninggalkanku sendiri. Kurasa aku baru saja terbebas dari pengawasannya. Aku bisa memilih sambil mengobrol dengan pegawai wanita yang tadi bertanya padaku.
“Mbak, Kak Iyash sering ke sini?”
“Sering. Biasanya dia akan membeli beberapa perlengkapan rumah.”
“Oh. Biasanya dia datang sama siapa?”
“Kadang sendiri, kadang sama Pak Hasa, atau sama Ando.”
“Hmmm.”
“Rin, kamu bantu calon istrinya Iyash, dia tamu istimewa kita.”
“Baik, Pak.”
Jantungku berdegup kaget dan aku langsung menoleh pada asal suara. “Saya bukan–”
“Icha?”
Aku menatap wajah itu lama, sampai lupa untuk menyangkal sangkaannya barusan.
“Kamu lupa sama Om?” tanyanya tiba-tiba.
Aku masih termenung dan mencoba mengingat siapa pria paruh baya itu sebenarnya.
“Ini Om, sahabat Mama kamu.”
Aku tersenyum kering dan masih tak kutemukan siapa sosok pria di depanku itu.
“Om sudah lama tidak bertemu kalian, mungkin kamu lupa karena terakhir kita bertemu saat Mama minta bantuan untuk dicarikan rumah.”
“Oh, Om Rudi?” Akhirnya aku mengingatnya, meski dari wajah aku tak dapat mengenalinya. “Aku kira bukan, Om. Pangling banget soalnya dulu Om nggak ada brewoknya.”
Om Rudi tertawa. “Padahal cuma beda di sini aja.” Dia meraba pipi dan dagunya sendiri.
“Nggak ah, Om beda banget. Sekarang berjenggot, ada kumisnya, di kacamata pula.”
Om Rudi kembali tertawa. “Gendutan lagi.”
“Iya, lagi.” Aku tersenyum kering.
“Kalau Mama bertemu Om, apa dia juga akan lupa.”
“Kayaknya sih, coba aja ke rumah.”
“Mama kamu sibuk apa?”
“Jualan online.”
“Oh gitu.”
Om Rudi masih menyisakan senyum di wajahnya. “Jadi, calon istrinya Iyash itu kamu? Baguslah kalau Hasa besanan sama Restu?”
“Hah? Ng-nggak kok, Om,” sanggahku cepat.
Om Restu menggeleng pelan. “Om kaget. Dunia sempit banget.”
“Om.”
“Mmm, malu-malu.” Dia mencubit daguku.
“Beneran, Om salah paham. Aku sama Kak Iyash cuma–”
“Sebentar.” Om Hasa mengacungkan telapak tangannya dan memangkas penjelasanku. “Om nggak tahan kalau belum bicarakan ini sama Hasa.”
Kedua mataku membola saat Om Rudi merogoh ponsel, padahal aku mau bilang kalau aku sama Kak Iyash cuma sebatas atasan sama bawahan.
“Om, jangan, Om.”
“Hasa,” teriak Om Rudi di telepon genggam. “Selamat. Kamu nggak bilang kalau kamu sama Restu akan besanan.”
Kedua mataku membola.
“Kalau Restu masih ada, dia pasti senang banget.”
“Ada, tadi Iyash ke sini anterin Icha, gandengan tangan, suka aku lihat pasangan muda. Cepat nikahkan, Sa. Jangan dibiarin lama-lama pacaran, nggak baik.”
“Om.” Aku masih merengek berharap kalau aku bisa menjelaskan kesalahpahaman ini.
Om Rudi tertawa sembari menatapku. “Giliran kepergok aja, malu-malu.”
“Boleh, sebentar.”
Om Rudi menyodorkan ponselnya padaku. “Hasa mau bicara.”
Aku termenung.
“Cepat.”
Aku membasahi tenggorokan sembari menerima ponselnya. Lalu menjawab panggilan Om Hasa.
“Cha, kamu sama Iyash.”
“Tadi. Kak Iyash udah pergi lagi. Kenapa, Om?”
“Kayaknya Om dapat ide deh.”
“Om, Om Rudi jangan ditanggepin, dia cuma ngasal.”
“Nggak-nggak. Bukan itu, Cha.”
Aku menghela napas lega. “Kirain.” Aku mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.
“Gimana?” tanya Om Rudi sembari meraih ponselnya.
“Nggak gimana-gimana. Udah ah, aku mau belanja, nanti kena marah lagi.” Aku melenggang pergi dan membiarkan Om Rudi, terserah dia mau berpikir apapun tentang aku dan Kak Iyash. Biar nanti Kak Iyash sendiri yang akan menyanggah anggapan Om Rudi tentang kami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments