Sesampainya di kantor Om Hasa, aku langsung menemui resepsionis.
“Cari siapa, Mbak?” tanya wanita berbaju marun.
Aku sedikit mencondongkan tubuh pada wanita pemilik rambut pendek tersebut. “Om Hasa.”
“Oh, siapanya Pak Hasa?”
“Nggak perlu tahu, saya cuma mau ketemu Om Hasa. Bilang sama dia kalau Marissa sudah di sini,” bisikku.
Bukannya langsung menelepon Om Hasa, dia malah mengernyitkan dahi dan menatapku lama. Dia mungkin heran, kenapa aku berbisik. Biarkan saja, aku memang lebih suka begini.
“Om Hasa ada, ‘kan?”
“Iya. Sebentar saya telpon dulu.”
Aku mengangguk dan menunggu beberapa detik sembari mengedarkan pandangan. Dalam hati tak hentinya kulantunkan doa, agar Tuhan tak mempertemukanku lagi dengan pria congkak itu.
“Mbak.”
“Iya?”
“Mbak diminta langsung ke ruangannya Pak Hasa.”
“Di mana?”
“Di lantai lima.”
“Terus?”
“Mbak cari aja. Pokoknya keluar dari lift, Mbak ke kanan.”
“Oh, oke.”
Aku segera pergi dan masuk ke dalam lift. Awalnya aku merasa tenang dan seperti bersembunyi di dalam benda kapsul tersebut. Namun, saat lift berhenti dan pintunya terbuka jantungku mencelus, pria congkak itu melangkah masuk ke dalam lift.
Aku segera tertunduk dan sedikit mundur. Kuharap dia tidak menyadari keberadaanku. Beberapa kali aku meliriknya dengan ekor mataku, nampaknya tak ada hal yang lebih menarik selain isi ponselnya. Syukurlah.
Kulihat hari ini wajahnya tak segahar kemarin. Semoga saja setelah melihatku nanti dia tak berubah menjadi gorila.
Ponselnya berdering. Dia menjawab panggilan dengan nada yang datar dan kurasa dia memang bukan pria yang ramah.
Tiba-tiba lift berhenti di lantai lima. Dia melangkah keluar sembari terus berbincang dengan seseorang dibalik telepon. Kurasa dia hanya menerima panggilan mendesak saja, itupun soal pekerjaan. Biar kutebak, dia mungkin tak memiliki teman sama sekali. Lagi pula siapa yang mau berteman dengan pria angkuh sepertinya.
Untunglah dia mengambil sisi kiri setelah keluar dari lift, sehingga aku bisa pergi ke arah kanan dan langsung menuju ruangan Om Hasa. Jujur aku merasa risih dengan tatapan orang-orang terhadapku, tapi aku sadar mungkin mereka melihat bagaimana pria congkak itu menyeretku kemarin.
Aku mengetuk pintu sebuah ruangan yang terdapat papan nama Om Hasa di sana.
“Masuk,” kudengar sebuah suara yang menginstruksi dari dalam. Aku lekas mendorong pintu kaca tersebut.
“Cha.” Om Hasa bangkit dan meninggalkan kursinya. Perlahan aku mendekat, lalu membungkukkan tubuh dan mengecup punggung tangannya. “Om minta maaf untuk kejadian kemarin,” katanya sembari membelai puncak kepalaku.
Aku membasahi tenggorokan kemudian mundur perlahan.
“Duduk, yuk, duduk.” Om Hasa memintaku duduk di sofa, bukan di kursi depan mejanya.
“Kemarin Om ada urusan.” kata Om Hasa seraya duduk.
Aku hanya mengangguk.
“Terus gimana?” tanya pria berbadan tegap itu, meski kutahu usianya sudah tak lagi muda.
“Gimana apanya?”
“Nggak kapok, ‘kan, masih mau kerja di sini?”
“Udah kapok sih, Om. Rencananya mau lamar kerja di perusahaan lain aja.”
“Kok gitu. Kamu yakin? Cari kerja susah loh.”
“Om, lagian yang kemarin siapa sih? Songong banget?”
“Iya-iya, Om sudah cek CCTV. Om minta maaf kalau dia memperlakukan kamu dengan kasar. Om sudah tanya katanya surat lamaran kamu berantakan.”
“Ya nggak berantakan gimana, orang dia lempar ke muka aku.”
“Bukan itu. Tapi–”
“Iya, aku tahu, aku memang membuatnya asal-asalan,” akuku.
“Iya, Om juga minta maaf, kamu, ‘kan baru, harusnya Om kasih tahu kriteria seperti apa yang perusahaan inginkan.”
“Terus Om mau palsukan dataku?”
“Kenapa nggak?”
“Masa gitu.”
“Iya, ‘kan tadinya mau Om yang periksa, jadi kamu aman. Tahunya Om ada urusan, jadi minta dia. Om nggak bilang sama kamu, kalau dia akan menerima sesuai dengan kriteria perusahaan.”
“Memang kriteria perusahaan itu seperti apa?”
“Setidaknya punya pengalaman di bidang yang sama minimal satu tahun.”
“Om, tapi, ‘kan Om tahu aku baru lulus.”
“Iya. Kamu, ‘kan tahu kalau sebelumnya di sini memang tidak ada jasa desain interior. Jadi, Iyash nggak mau ambil resiko dengan mempekerjakan orang yang tidak memiliki pengalaman. Begitu maksud dia.”
Aku menghela napas. “Oh, jadi, namanya Iyash. Maaf, Om, aku nggak bisa kerja sama orang kayak dia, aku bisa cari kerja di tempat lain kok, Om, beneran.”
“Nggak-nggak.” Om Hasa meraih tanganku. “Bagaimanapun caranya Om akan tetap usahakan kamu untuk bisa bergabung di perusahaan ini.”
Tiba-tiba pintu terbuka dan kedua mataku langsung tertuju pada pria berpakaian semi formal dengan rambut hitam mengkilap.
“Aku kira hanya ada satu perempuan,” katanya tiba-tiba.
Jantungku mencelus. Om Hasa langsung melepaskan genggaman tangannya dariku. Lalu dia bangkit dengan sedikit panik. “Kamu salah paham.”
Perlahan aku pun ikut bangkit.
“Pantas Papa ngotot ingin terima dia di sini.”
Papa? Astaga, jadi, dia?
“Ini Icha, Yash, yang sering Papa ceritakan sama kamu. Anaknya Om Restu sama Tante Rahma.”
“Siapa mereka? Aku nggak ingat.” Lagi-lagi kudengar nada bicaranya yang sombongnya.
“Pemilik tiga puluh persen saham di perusahaan ini.”
“Papa jangan bohong. Aku tahu siapa saja pemilik saham di perusahaan ini.”
“Yash, kamu telepon Mama kamu, tanyakan kebenarannya,” titah Om Hasa.
“Kasihan Mama, dia memintaku menerima wanita yang jelas-jelas sudah menjadi selingkuhan suaminya sendiri.”
Dadaku bergejolak dipenuhi amarah. “Cukup!” pekikku kesal, awalnya memang aku tidak paham apa yang pria itu tuduhkan, namun setelah tuduhannya barusan semua tampak jelas.
“Perlu kamu tahu, tujuh tahun lalu papa meninggal dalam proyek kalian. Sebagai tanggung jawabnya, Om Hasa membesarkanku seperti anaknya sendiri.”
Pria congkak itu terdiam. Kurasa kalimatku cukup membungkamnya.
“Semuanya benar, Yash. Papa sudah sering memberitahu kamu tentang Icha dan keluarganya.”
“Aku tahu, Pa. Aku cuma bercanda,” kata pria itu dengan wajah datarnya. Kurasa dia hanya kehilangan cara untuk menjatuhkanku sehingga dia berpura-pura menarik semua perkataan dan tuduhannya dengan satu kata, ‘bercanda’.
Om Hasa tertawa kikuk. Kurasa dia tahu kalau anaknya tak bisa bercanda, sehingga dia pun pura-pura tertawa untuk menyenangkan sang anak.
“Kamu ini, Papa pikir sudah lupa caranya bikin orang tertawa,” kata Om Hasa seraya merangkul bahu anaknya.
Bagiku ini sama sekali tidak lucu. Perbuatannya kemarin juga tidak bisa disebut sebagai lelucon karena dia sudah menghinaku.
Pria itu menatapku. “Jadi, karena kamu anak Om Restu, kamu bisa begitu yakin akan diterima di sini?”
Aku membasahi tenggorokan. “Ditolak pun tidak masalah, aku bisa cari pekerjaan lain. Perusahaan seperti ini banyak. Bahkan yang lebih besar dari perusahaan ini juga jauh lebih banyak.”
“Yakin sekali kamu akan diterima di perusahaan yang lebih besar dari ini. Di perusahaan ini saja kamu ditolak, apalagi di perusahaan besar,” cibirnya.
“Tapi, Om Hasa sudah janji.”
“Janji apa, Pa?”
Om Hasa tersenyum. “Janji pada Om Restu, Yash. Janji untuk menjaga anaknya dan menyekolahkannya sampai lulus.”
“Tapi, bukan berarti dia harus kerja di sini, ‘kan?”
Jantungku mencelus. Tak Sedikitpun aku mengira kalau pria congkak itu anaknya Om Hasa.
“Papa harap kamu bisa bekerja sama dengannya.”
“Aku nggak bisa. Kembalikan saja sahamnya dan biarkan dia membuka bisnis baru.”
“Kamu pikir gampang?” Kali ini kulihat Om Hasa kesal. Wajar saja, siapa yang tidak kesal melihat anak sendiri bersikap seenaknya, sombong dan sok mengatur.
“Papa harap kamu bisa membantu Icha. Papa sudah janji sama Om Restu, Yash.”
“Itu janji Papa, bukan janji aku.” Dia melenggang pergi dan meninggalkan ruangan Om Hasa.
Sungguh dadaku tak hentinya bergemuruh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments