Setelah dari kantor Om Hasa aku pulang, sesampainya di rumah aku disambut dengan ucapan selamat dari Mama. Kerut senyum di wajahnya membuatku merasa sedih. Kalau saja Mama tahu apa yang terjadi pagi tadi, mungkin aku tak akan melihat senyum bahagianya siang ini.
“Gimana tadi? Cerita dong,” kata Mama antusias.
Aku mematung di depannya.
“Kok wajahnya gitu, kamu mau ngerjain Mama?” tuduhnya.
Perlahan kucoba untuk menyunggingkan bibir.
“Besok Mama mau masak yang banyak dan membagikannya ke tetangga, ah.”
Keningku mengernyit. “Dalam rangka apa?” tanyaku heran.
“Syukuran, ‘kan kamu udah dapat kerja.” Mama merangkul bahuku.
“Icha nggak diterima kerja di sana, Ma.”
Seketika kulihat senyum di wajah Mama memudar.
“Maksudnya gimana?”
“Ma, Om Hasa nggak ada, digantiin sama karyawannya dan Icha ditolak,” aduku kesal.
“Kenapa bisa?” Mama mulai panik. “Hasa udah janji sama Mama.”
“Orang itu kayaknya dendam banget sama Icha, Ma.” Aku masuk ke dalam dan duduk di sofa.
“Kok bisa?” Mama duduk di sebelahku.
Aku mengedikkan bahu.
“Nggak-nggak. Mama harus bilang sama Hasa soal ini.”
“Udah nggak apa-apa, Icha bisa cari kerja ditempat lain,” kataku yakin. Kali ini aku tidak akan main-main. Aku akan membuat surat lamaranku dengan baik sampai perusahaan manapun tak ada yang berani menolakku.
Mama terdiam dan menatap ke arah lain. “Kamu mau kerja di mana? Memang cari kerja mudah?”
“Icha baru lulus kuliah, wajar kalau harus sedikit berjuang untuk mendapat pekerjaan.”
“Terus kenapa kemarin main-main? Bikin surat lamaran kok asal-asalan?”
“‘Kan Om Hasa yang bilang, itu cuma untuk formalitas karena sebenarnya tanpa surat lamaran pun Icha tetap bisa kerja di sana.”
“Walaupun cuma formalitas, harusnya kamu kerjakan dengan baik.”
Aku termenung menatap kerut kesal di wajah Mama. “Ma, sambil Icha cari kerjaan, Icha bisa bantuin Mama jualan kok.” Aku menyandarkan kepala di bahunya.
“Nggak-nggak usah, udah ada Utami yang bantu Mama.”
“Mama mah gitu. Padahal Mama nggak perlu bayar Icha. Kalau Utami, ‘kan harus dibayar.”
Mama terdiam beberapa detik. “Mama mau kamu punya penghasilan sendiri.”
“Iya, tapi bisa dari tempat lain, nggak harus di tempat Om Hasa juga, ‘kan?”
“Mama sudah wanti-wanti agar kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Mama kenapa sih, perusahaan, ‘kan banyak.”
“Ih, kamu ini, Mama tahu kamu bisa kerja dimanapun, bahkan di perusahaan yang lebih besar dari perusahaan milik Om Hasa. Tapi, masalahnya bukan cuma itu, Cha. Harusnya kamu bilang aja sama karyawan itu kalau dulu Papa kamu kerja di sana sampai bertaruh nyawa, sampai akhirnya Papa meninggal di proyek karena kelalaian mereka.”
Aku termenung menatap wajah lembut Mama. Meski, berwajah lembut seperti itu, sikap Mama bisa lebih keras dari almarhum Papa dan kadang lebih cerewet dari biasanya.
Waktu Papa meninggal aku baru kelas dua SMP. Papa adalah arsitek di perusahaan Om Hasa. Setelah Papa meninggal, pekerjaan Papa ditangani oleh anaknya Om Hasa. Meski cukup dekat dengan keluarga Om Hasa dan Tante Ira, tapi aku belum pernah bertemu dengan anaknya yang konon kuliah di Valencia Spanyol dan menjadi lulusan terbaik di sana.
Sejak kepergian Papa, Om Hasa mengambil alih tanggung jawab Papa untuk membiayai sekolahku sampai lulus.
“Mama pikir ini jalan yang paling benar.” Mama menepuk lututku. “Jangan kecewakan Om Hasa. Papa juga pasti bangga dan akan berterima kasih pada Om Hasa jika tahu kalau selama ini Om Hasa sudah menepati janjinya. Dulu sebelum meninggal Papa sudah menitipkan Icha sama Om Hasa dan Tante Ira. Kamu sudah seperti anak perempuan mereka.”
“Ini semua yang terbaik buat kamu. Mungkin menjadi penyanyi mungkin bukan takdir kamu, Cha.”
“Nggak usah dibahas, Ma.”
Jujur aku paling malas kalau Mama sudah membahas ini. Setiap Mama mengungkit hal itu aku jadi ingat Papa. Papa tidak ingin aku menjadi penyanyi, meski sewaktu SD aku pernah mengikuti ajang bernyanyi, tapi itu hanya sebagai tantangan dari Papa untuk Mama, Mama ingin membuktikan kalau aku bisa. Namun, Papa sudah bersumpah tidak akan mengakuiku sebagai anaknya kalau aku menjadi artis. Papa cuma takut aku terlibat pergaulan bebas, Papa bilang dunia keartisan tak seperti yang ditampilkan di depan layar televisi.
“Mama nggak mau kamu susah-susah cari kerja. Mama sudah tua, Cha, Mama takut nggak bisa bantuin Icha lagi.”
Aku menghela napas panjang. “Tapi, harga diri Icha diinjak-injak, Ma.”
“Apalagi di perusahaan lain. Mama sering dengar karyawan yang diajak staycation sama atasannya. Mama nggak mau itu terjadi sama kamu,” tutur Mama lembut.
Jantungku mencelus.
“Mama nggak mau kejadian Kak Nana terulang sama kamu. Sekarang yang Mama punya cuma kamu, Cha. Kalau Kak Nana ada mungkin–”
Aku menghentikan ucapan Mama dengan memeluknya erat. Aku tak sanggup mendengar itu lagi.
Kak Nana adalah anak pertama Mama dan Papa, tapi ada satu kejadian yang membuat Kak Nana pergi dari hidup kami. Aku hanya bisa mendengar ceritanya saja dan membayangkan seperti apa wajahnya, apakah mirip Mama atau Papa. Ketika aku lahir Kak Nana sudah tidak ada.
“Mama akan menelepon Ira,” kata Mama seraya melepas pelukannya dariku.
“Nggak usah, Ma. Icha nggak enak,” tahanku pelan.
“Kenapa harus nggak enak. Biasa aja, ini sebagai bentuk tanggung jawab Om Hasa.”
“Selama ini Icha rasa sudah cukup. Waktunya kita berhenti bergantung pada Om Hasa.”
“Nggak bisa.” Mama bangkit dan menunggu panggilannya di terima.
“Ma.”
Mama berbalik dan menatapku. “Apa?”
“Waktu di nikahan Ashilla aku ketemu sama karyawan Om Hasa.”
Mama mengurungkan niatnya untuk melakukan panggilan pada Tante Ira, sepertinya dia mulai tertarik dengan ceritaku.
“Terus gimana?” tanya Mama seraya duduk kembali di sebelahku. “Maksud kamu Ashilla ponakan Om Ben?”
Aku mengangguk.
“Hmmm, Mama sering dengar tentang dia dari Tante Mila.”
“Jadi, waktu itu aku tabrakan sama dia terus nggak sengaja numpahin kopi ke bajunya.”
“Aduuh, kok bisa?”
“Iya, kayaknya dia jadi dendam, makanya sekarang aku nggak diterima di kantor Om Hasa.”
“Dia siapa sih, Mama jadi penasaran?”
“Nggak tahu.”
“Ganteng nggak?”
“Ahhhh.” Aku segera bangkit. “Malah nanyain itu,” dengkusku seraya pergi meninggalkan kursi.
Aku mendengar kekehan Mama sebelum aku pergi ke kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments