Promise To Love Her

Promise To Love Her

Bab 1. Kemarahan Ayra

Bandara Internasional HN, kota Banjar.

Siang itu tepatnya pukul 11.00 WITA, di bagian kedatangan bandara telah ramai dipenuhi oleh para awak media yang tengah menunggu kedatangan Pradika Nugraha bersama kekasihnya Ayra.

Bukan hal aneh lagi jika hal yang berkaitan dengan Dika, begitu orang memanggilnya, sang pewaris utama kerajaan bisnis Nugraha Hutama yang berusia 27 tahun itu selalu saja menarik untuk dibahas.

Kaya dan terkenal, dipuja banyak orang. Pradika Nugraha menjadi magnet tersendiri untuk para pemburu berita. Bukan hanya memiliki paras rupawan, tapi juga paket komplit yang menjadi incaran para wanita yang berlomba-lomba menarik perhatiannya.

Ketika orang yang ditunggu-tunggu muncul, ramai wartawan mendekat. Dika tampak menggandeng tangan Ayra, tersenyum seraya melambaikan sebelah tangannya yang bebas pada wartawan yang terus mengambil gambarnya.

“Tuan Dika.” Denis sang asisten sekaligus orang kepercayaan Dika, bersama beberapa pengawal bertubuh tegap yang menggunakan jas lengkap warna hitam bergerak cepat di sekeliling Dika.

“Tuan Dika, satu kata untuk liburan Anda di luar negeri sana?” tanya salah seorang wartawan yang berdiri paling dekat dengan mereka.

Dika tersenyum menanggapi, “Menyenangkan,” jawabnya singkat sambil mengangkat tangan Ayra yang berada dalam genggaman tangannya lalu mengecupnya lembut.

Cahaya yang berasal dari kamera wartawan langsung menghujani keduanya, seolah tak ingin kehilangan momen manis yang diperlihatkan Dika bersama kekasihnya.

“Bagaimana dengan Nona Ayra, komentarnya menanggapi pernyataan kekasih Anda?” lanjut wartawan lainnya.

Ayra tersenyum, melayangkan tatapan mesra pada Dika. “Bahagia.” Ucapnya pelan namun terdengar jelas di telinga sang wartawan.

Keduanya saling bertatapan, dan semua itu tak lepas dari jepretan wartawan.

“Saya rasa cukup untuk kali ini, terima kasih untuk perhatian kalian semua.” Denis menangkupkan tangan di dada, ia dan dua pengawal bertahan sejenak untuk menghadang para awak media. Sementara pengawal lain segera membawa Dika dan Ayra pergi dari sana.

“Tuan, silakan ikut bersama kami.” Kata salah satu pengawal, membawa Dika dan Ayra menuju mobil yang sudah menunggu mereka sejak tadi.

Mereka berhasil melewati kerumunan banyak orang melalui sebuah jalan rahasia. Saat tak lagi terlihat banyak mata yang mengenal keduanya, dengan cepat Dika melepas pegangan tangannya pada Ayra, sikapnya berubah dingin seketika.

Mereka sampai di dekat mobil di mana sudah ada sopir yang menunggu. Denis bergegas membukakan pintu untuk Dika, “Silakan, Tuan.”

Dika masuk ke dalam mobilnya, Denis segera menutup pintunya lalu berputar membukakan pintu satunya lagi untuk Ayra. Setelah memastikan sang atasan sudah berada di mobilnya, para pengawal segera masuk ke dalam mobil lainnya yang berada tidak jauh dari mobil yang dinaiki Dika.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, saat itu suasana jalan raya tampak ramai padat. Tapi mereka terhindar dari kemacetan yang terjadi di depan, karena di mobilnya para pengawal tak berhenti memberikan arahan.

Di dalam mobil suasana tampak tegang, sepertinya hubungan Dika dan Ayra tak juga membaik meski keduanya telah melakukan liburan bersama. Sikap hangat yang ditunjukkan Dika pada Ayra hanya terjadi di hadapan wartawan saja, selebihnya saat mereka duduk berdua sikap Dika kembali dingin.

“Denis, tolong berikan tas yang kutitipkan padamu tadi,” pinta Dika pada Denis, yang duduk di samping sopir.

“Siap. Yang ini, Tuan.” Denis memiringkan badannya, memberikan tas yang diminta Dika lalu kembali ke posisi semula. Duduk dengan punggung tegak menatap jalanan di depannya.

“Apa itu?” tanya Ayra, tertarik melihat kotak mungil yang berada di tangan Dika.

Tanpa banyak bicara, Dika memberikannya pada Ayra yang langsung membuka isinya. Seketika matanya melebar, melihat sebuah kalung indah dengan batu berlian berbentuk hati di bagian tengahnya.

“Indah sekali, Aku tidak mengira Kau akan memberikannya untukku. Kalung ini cantik sekali, Aku sangat menyukainya.” Kata Ayra dengan mata berbinar.

“Aku tidak mengatakan kalung ini untukmu, ini milik ibuku. Aku membelinya untuk ibuku,” jawab Dika, lalu mengambil kembali kotak perhiasan dari tangan Ayra.

“Kau!” Ayra mendengkus sebal.

Denis yang mendengar ucapan Dika, berusaha menahan tawanya. Ia tahu bagaimana malunya Ayra saat ini. Wajah wanita itu tampak memerah, Ayra langsung memalingkan muka menghadap kaca jendela mobil di sampingnya.

Sepanjang perjalanan ia terus merutuki sikap dingin Dika padanya, sementara Dika hanya tersenyum tipis dan kembali menyimpan kotak mungil itu ke dalam saku jasnya.

Mereka melewati kampung nelayan di mana seorang gadis cantik berpenampilan sederhana tampak sibuk melayani para pelanggannya yang berbelanja makanan di kedai kecil miliknya.

“Tuan, sudah waktunya makan siang. Apa Tuan ingin kita berhenti di salah satu rumah makan di dekat sini?” tanya Denis, melirik arloji di tangannya yang sudah menunjukkan angka 12 tepat.

“Kita singgah di resto biasanya saja,” sahut Dika.

“Siap, Tuan.” Jawab Denis, dan mobil kembali melaju ke tempat yang dituju.

Di kampung nelayan, Jihan sedang membungkus pepes ikan yang sudah ia sisihkan sebelumnya untuk diberikan pada tetangga sebelah rumahnya. Anak kecil perempuan yang berdiri di depannya itu tersenyum gembira begitu mengendus bau sedap makanan di depannya. Matanya berbinar begitu dua bungkus pepes ikan sudah berpindah ke tangannya.

“Terima kasih, Kak.” Bocah perempuan itu langsung berbalik dan berlari cepat menuju rumahnya yang berada tak jauh dari kedai Jihan.

“Hati-hati!” seru Jihan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Jihan mengembuskan napas lega, hari ini semua masakan olahannya terjual habis. Lelah yang dirasakannya seakan lenyap berganti suka cita.

Ia melirik arloji di tangannya, lalu tersenyum lebar ketika mendengar suara teriakan nyaring neneknya dari arah dapur rumahnya.

“Jihan, cucuku. Waktunya makan siang!”

“Aku datang, Nek!” sahut Jihan tak kalah nyaring.

“Ayo, cepat sedikit. Kau juga harus segera mengantar makan siang untuk para pekerja.”

“Siap, Nek.”

☆■ ☆■ ☆■

Di resto, Dika tampak menikmati makanannya. Berbeda dengan Ayra, yang hanya makan sedikit sekali.

“Ada apa, kenapa Kau makan sedikit sekali. Apa Kau diet? Kalau Kau tak suka menunya, Kau boleh memesan menu yang lain.” Dika bertanya, heran melihat Ayra yang tak menyentuh makanannya.

“Aku rasa salad ini sudah cukup buatku,” sahut Ayra yang masih kesal dengan sikap Dika saat di mobil tadi.

“Oh, ya? Aku baru mengetahuinya.” Dika menaikkan satu alisnya dan kembali meneruskan makannya.

“Aku tak suka makan olahan ikan apa pun itu,” kata Ayra menatap Dika, lalu beralih menatap makanan di depannya. “Kau pasti sudah tahu alasannya.”

Dika pun langsung menghentikan makannya, selera makannya lenyap begitu saja.

“Kita sudah berhubungan lama, tapi hanya sedikit yang Aku tahu tentangmu. Apa yang Kau suka, dan apa yang tak Kau suka.”

Dika hanya menoleh sekilas, malas menanggapi ucapan Ayra. Wajahnya tampak datar, tak tampak senyum sedikit pun di bibirnya seperti saat ia berhadapan dengan wartawan tadi. Tapi Ayra terus saja melanjutkan bicaranya.

“Kau tak pernah memberiku kesempatan untuk lebih mengenalmu. Tapi Kau perlihatkan pada dunia, sikap manis seorang kekasih seolah-olah kita pasangan yang saling mencintai. Meski pada kenyataannya, Kau sama sekali tak pernah peduli padaku.” Ungkap Ayra, status tunangan hanya sebuah titel buatnya.

“Kau sudah tahu jawabannya. Apa Aku perlu menjelaskannya lagi padamu?” tanya Dika, menyela ucapan Ayra.

“Apa maksudmu?” Ayra balik bertanya, tak mengerti maksud ucapan Dika padanya.

“Hubungan di antara kita hanya hubungan bisnis semata. Kau dapat apa yang Kau mau, kemewahan dan gaya hidup. Sementara Aku, tak perlu lagi dipusingkan dengan banyak pertanyaan tentang pasangan hidupku. Kita tak perlu waktu dan kesempatan lebih hanya untuk bisa saling mengenal, karena bagiku itu hanya buang-buang waktu saja.” Balas Dika panjang lebar.

“Kau tak pernah menganggapku sama sekali, rasanya percuma Aku ada di sini.” Balas Ayra kecewa.

Dika mengedikkan bahunya. “Kau boleh pergi kapan saja, dan Aku tak akan menghalangi.”

Ayra tidak bisa lagi menahan kekesalan hatinya, ia bangkit berdiri dan menunjuk wajah Dika. “Aku akan pergi dan menghilang dari hidupmu, dan jangan pernah mengemis memintaku kembali. Kau akan menyesal Pradika Nugraha, dan Aku pastikan keluargamu akan menanggung malu karena putra kebanggaannya telah berlaku buruk pada tunangannya sendiri.”

Ayra pergi dengan hati marah, setelah mengancam akan menghilang dan membuat malu Dika dan keluarganya. Tapi Dika hanya menanggapi dingin ucapannya.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Terpopuler

Comments

Citoz

Citoz

hadir kk

2023-09-04

0

Moba Analog

Moba Analog

Hadir

2023-08-21

1

Brav Movie

Brav Movie

Hadir thor

2023-08-20

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!