Jihan menarik tangannya cepat, beralih menutup mulutnya. Lelaki itu sedang memunggunginya, terduduk dengan bahu lemas memegang ponselnya yang hancur tak berbentuk.
“Ganti! Aku tidak mau tahu, Kau harus ganti ponselku yang remuk ini sekarang juga!” Dika menoleh cepat, bicara dengan nada tinggi dan mata berkilat-kilat emosi.
“Ganti rugi?!” Jihan terkejut bukan main, ia tampak kebingungan mendengar ucapan Dika yang menuntut ganti rugi padanya. “Kok, Aku. Kenapa Aku yang harus ganti rugi ponselmu?”
“Ya, iyalah! Kamu yang salah, tentu saja Kamu yang harus ganti rugi. Gara-gara Kamu tabrak, ponselku jadi hancur berantakan kayak gini!” sentak Dika sambil bangkit berdiri, memperlihatkan ponselnya yang sudah tidak berbentuk itu ke depan wajah Jihan.
Jihan tersentak, menepis tangan Dika cepat. Ia melirik sekilas, dari penampakan kepingan merek ponselnya yang hancur itu saja otak Jihan langsung mulai bekerja dan terbayang angka tujuh digit di kepalanya.
Jihan berusaha terlihat tenang, sambil berpikir mencari cara agar lelaki itu tidak menuntut ganti rugi padanya. Memikirkan uang pengobatan nenek setiap bulannya saja, Jihan harus kerja keras setiap harinya. Itu pun belum tentu terkumpul dengan cepat semua. Kini ditambah lagi ia harus mengganti ponsel lelaki di hadapannya itu yang hancur akibat insiden tabrakan yang tak di sengaja olehnya.
Pandangannya lalu tertuju pada kotak makanan miliknya yang berserakan jatuh ke jalan, sebagian rusak di bagian tepinya, juga lecet di bagian motornya. Sepertinya itu bisa jadi alasan untuk balas meminta ganti rugi, pikir Jihan cepat.
“Kamu pikir, cuma Kamu saja yang butuh ganti rugi. Coba Kamu lihat, semua kotak makanan milikku ini juga rusak. Jumlahnya bukan hanya satu tapi lusinan. Motor Aku juga lecet, karena jatuh kena aspal jalan. Belum lagi luka di kaki Aku karena tertindih badan motor, tapi Aku gak minta ganti rugi sama Kamu. Apa Kamu gak mikir itu semua?” kata Jihan panjang lebar.
Dika mengikuti arah yang ditunjuk tangan Jihan, dahinya langsung berkerut dalam. Semua hanya barang plastik murahan yang harganya tak seberapa, sangat jauh sekali dibandingkan dengan ponsel mahal miliknya yang hancur. Dan wanita itu juga terlihat baik-baik saja, tak ada luka sedikit pun.
“Jangan mencari-cari alasan untuk menghindar dari tanggung jawabmu, Kau justru terlihat baik-baik saja. Mungkin hanya bibirmu saja yang perlu mendapat perawatan!” dengus Dika kesal karena Jihan terus bersilat lidah di depannya, alih-alih berusaha menghindar dari tanggung jawab atas kerugian yang sudah dialaminya.
Bukan hanya itu saja, lengan Dika juga terluka akibat tergores aspal jalan. Melihat itu membuat emosinya naik lagi. “Pokoknya Kau harus ganti rugi ponselku yang hancur ini, titik!”
“Aku tidak mau! Kalau begitu caranya, Kau juga harus ganti rugi barang-barang milikku yang rusak.” Balas Jihan.
“Oke, kalau Kamu mau itung-itungan denganku. Kalau Aku harus mengganti semua kerugian yang Kamu alami, akan Aku lakukan. Tapi Kamu juga harus ganti rugi ponsel Aku, se ka rang!” sentak Dika berang, sudah tak sabar menghadapi sikap Jihan yang menurutnya terlalu banyak bicara dan hanya ingin menghindar saja dari tanggung jawab.
“Heii, denger ya, Mas! Mas juga yang salah, jalan gak hati-hati main selonong aja. Udah gitu nyebrang sambil nelpon lagi!” Balas Jihan tak kalah lantang.
Dika tersentak kaget, tak mengira Jihan akan balas membentaknya. Wanita itu kini berdiri menantang dengan kedua tangan berada di pinggang.
Dika memijit pelipisnya yang berdenyut, wanita ini terus saja melawan ucapannya. Ia menatap ke arah kotak makanan yang berserakan di jalan, lalu mengernyit begitu sadar kalau Jihan keluar dari arah bangunan resto keluarganya. Tiba-tiba saja satu ide terbit di kepalanya. Mungkin ini bisa membungkam mulut pedas wanita di depannya itu, pikirnya tersenyum miring.
“Aku lihat Kau tadi keluar dari arah belakang sana, apa Kau yang menyuplai makan siang untuk para pekerja di proyek bangunan resto Hutama?” tanya Dika dengan pandangan menyelidik.
“Ya, kedaiku yang menyuplai makan siang di sana. Apa urusannya semua itu denganmu?”
“Kau ingin tahu, dengan siapa Kau berhadapan saat ini?”
“Memang siapa, Kamu?” Jihan balik bertanya. Sekilas ia melirik, dan wajah lelaki di depannya itu tiba-tiba saja mengingatkannya pada seorang pesohor yang dikenal banyak orang.
“Proyek pembangunan resto Hutama itu milik keluargaku. Aku bisa saja menyuruh orang lain untuk menyuplai makan siang para pekerjaku di sini dan menghentikan suplai makan siang dari tempatmu,” jawab Dika dengan nada bicara berbau ancaman.
“Apa maksudmu, Kau tidak bisa berbuat seenaknya seperti itu padaku!” Jihan mulai takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada bisnis kulinernya.
“Aku mau Kau ganti ponsel Aku yang rusak tadi, kalau tidak ...”
“Kalau tidak ... Kalau Aku tidak mau menuruti keinginanmu, Kau akan melakukannya bukan. Menghentikan suplai makan siang dari kedaiku, dan perlahan mematikan usaha kuliner Aku yang baru saja mulai jalan. Kau benar-benar jahat! Orang kaya yang hanya mementingkan hartanya saja tanpa memikirkan kepentingan orang lain.”
Dika terlihat marah sekali mendengar Jihan menyebut dirinya jahat. Ia sedang dapat masalah dan panik, ia baru saja bertengkar dengan Ayra dan wanita itu membuktikan ancamannya dengan pergi begitu saja menghilang saat itu juga dari hidupnya.
Di saat bersamaan datang berita dari adiknya Al kalau kedua orang tua mereka ingin bertemu dengan Ayra. Lalu Jihan muncul dan menabraknya, membuat kesempatannya untuk bicara dengan Ayra musnah begitu saja.
“Aku hanya ingin Kau mengganti ponselku yang hancur ini, itu saja!” sahut Dika, tak ingin berpanjang kata lagi.
“Aku tidak mungkin bisa memenuhi keinginanmu itu saat ini,” sahut Jihan, merasa terancam. Membayangkan bagaimana perasaan neneknya saat usaha mereka tiba-tiba mandek, tentu akan membuatnya sedih dan bisa berdampak pada kesehatannya.
“Gara-gara Kamu tabrak, Aku gak bisa terima telepon dari Ayra. Aku juga gak bisa dengar kabar terbaru dari adik Aku.” Ungkap Dika dengan wajah marah. “Kau membuat semuanya kacau dan usahaku jadi sia-sia!”
“Aku minta maaf, semua di luar kendaliku. Kau muncul tiba-tiba di depanku dan Aku tidak bisa mengendalikan motorku,” sahut Jihan dengan nada sedikit melemah karena merasa bersalah.
Jihan melangkah mundur, duduk di trotoar jalan dan melepas helmnya. Rambut panjang keritingnya seketika langsung terlihat mekar begitu terlepas dari helm yang membungkus kepalanya.
Cuaca siang itu memang sedang panas terik, ditambah insiden tabrakan barusan makin membuat suasana hati keduanya panas. Begitu juga dengan kepala Jihan semakin bertambah panas.
“Pokoknya Aku gak mau tahu, Kamu tetap harus gan ti ...” Dika seketika bengong, tak dapat meneruskan kata-katanya. “Kamu ...”
Jihan mengernyit, menatap Dika yang tampak seperti orang linglung. Tadi marah-marah padanya, dan sekarang malah bengong melihatnya. “Apa, Kamu mau suruh Aku ganti rugi ponsel Kamu yang rusak itu lagi?”
“Rambut Kamu ...” Dika menunjuk rambut Jihan yang mengembang.
“Rambut Aku kenapa?” Jihan balik bertanya dengan mimik wajah heran sembari mengusap rambutnya.
Suasana tegang yang terjadi di antara mereka sebelumnya langsung lenyap, berganti dengan suasana yang membingungkan keduanya.
Sebelum Jihan sempat memikirkan apa yang akan dikatakan laki-laki itu lagi tentang rambut keritingnya, tahu-tahu Dika sudah berjalan mendekat dan menyentuhkan ujung jarinya ke rambutnya.
“Coba Kau ikat rambutmu, Aku ingin melihat wajahmu lebih jelas lagi.” Pinta Dika pada Jihan.
Meski heran dengan tingkah laku Dika, tak urung Jihan menurut dan mengikat rambutnya.
“OMG!” seru Dika, menggeleng tak percaya. Lalu sejurus kemudian menatap Jihan lekat, seperti sedang menilai dirinya. “Kalian sangat mirip sekali dengannya.”
Kerutan di kening Jihan makin dalam, penasaran! “Siapa yang Kau maksud itu, apa dia Ayra yang Kau sebutkan namanya tadi?” tanya Jihan hati-hati.
Dika tidak menjawab, hanya diam dan terus menatap Jihan. Ia menghela napas dan mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya di keningnya sambil sesekali menatap Jihan.
Tiba-tiba saja mata Jihan melihat siku lengan baju Dika berdarah, ia tersadar dan langsung berdiri. “Kau tunggu di sini dulu, Aku akan membeli obat untukmu.”
Jihan berlari menyeberang jalan. Dika terkejut dan spontan memutar tubuhnya. Dilihatnya Jihan masuk ke apotek dan tak lama kemudian keluar dengan membawa kotak obat ukuran kecil.
“Biar Aku obati dulu lenganmu itu,” kata Jihan, dan tanpa meminta persetujuan Dika ia menarik lengannya dan langsung membersihkan lukanya.
Dika tak bisa menolak, ia biarkan Jihan mengobati lukanya dan membalut lengannya dengan perban. Ia terus menatap Jihan, semakin lama dilihat wajah wanita di depannya itu sangat mirip dengan Ayra.
Tiba-tiba saja ponsel di saku Jihan berdering, membuat Dika menarik lengannya dan membiarkan Jihan menjawab panggilan telepon untuknya.
“Aku lagi di jalan bareng teman, lagi ada urusan sedikit.” Sahut Jihan sambil melirik Dika yang tengah duduk diam di sampingnya. “Ada kabar apa ya, Bik?”
Wajah Jihan tiba-tiba berubah pias, ia terdiam beberapa saat dan langsung berdiri. Hampir saja ponsel di tangannya terlepas, namun berhasil ditahannya. “Apa Bik, nenek pingsan?”
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Moba Analog
😎😎😎
2023-08-21
1
Brav Movie
semangat
2023-08-20
1
Yulia k
hati panas cuaca panas, bisa bisa kebakar itu hati 🤭😅😅
2023-08-20
1