NovelToon NovelToon

Promise To Love Her

Bab 1. Kemarahan Ayra

Bandara Internasional HN, kota Banjar.

Siang itu tepatnya pukul 11.00 WITA, di bagian kedatangan bandara telah ramai dipenuhi oleh para awak media yang tengah menunggu kedatangan Pradika Nugraha bersama kekasihnya Ayra.

Bukan hal aneh lagi jika hal yang berkaitan dengan Dika, begitu orang memanggilnya, sang pewaris utama kerajaan bisnis Nugraha Hutama yang berusia 27 tahun itu selalu saja menarik untuk dibahas.

Kaya dan terkenal, dipuja banyak orang. Pradika Nugraha menjadi magnet tersendiri untuk para pemburu berita. Bukan hanya memiliki paras rupawan, tapi juga paket komplit yang menjadi incaran para wanita yang berlomba-lomba menarik perhatiannya.

Ketika orang yang ditunggu-tunggu muncul, ramai wartawan mendekat. Dika tampak menggandeng tangan Ayra, tersenyum seraya melambaikan sebelah tangannya yang bebas pada wartawan yang terus mengambil gambarnya.

“Tuan Dika.” Denis sang asisten sekaligus orang kepercayaan Dika, bersama beberapa pengawal bertubuh tegap yang menggunakan jas lengkap warna hitam bergerak cepat di sekeliling Dika.

“Tuan Dika, satu kata untuk liburan Anda di luar negeri sana?” tanya salah seorang wartawan yang berdiri paling dekat dengan mereka.

Dika tersenyum menanggapi, “Menyenangkan,” jawabnya singkat sambil mengangkat tangan Ayra yang berada dalam genggaman tangannya lalu mengecupnya lembut.

Cahaya yang berasal dari kamera wartawan langsung menghujani keduanya, seolah tak ingin kehilangan momen manis yang diperlihatkan Dika bersama kekasihnya.

“Bagaimana dengan Nona Ayra, komentarnya menanggapi pernyataan kekasih Anda?” lanjut wartawan lainnya.

Ayra tersenyum, melayangkan tatapan mesra pada Dika. “Bahagia.” Ucapnya pelan namun terdengar jelas di telinga sang wartawan.

Keduanya saling bertatapan, dan semua itu tak lepas dari jepretan wartawan.

“Saya rasa cukup untuk kali ini, terima kasih untuk perhatian kalian semua.” Denis menangkupkan tangan di dada, ia dan dua pengawal bertahan sejenak untuk menghadang para awak media. Sementara pengawal lain segera membawa Dika dan Ayra pergi dari sana.

“Tuan, silakan ikut bersama kami.” Kata salah satu pengawal, membawa Dika dan Ayra menuju mobil yang sudah menunggu mereka sejak tadi.

Mereka berhasil melewati kerumunan banyak orang melalui sebuah jalan rahasia. Saat tak lagi terlihat banyak mata yang mengenal keduanya, dengan cepat Dika melepas pegangan tangannya pada Ayra, sikapnya berubah dingin seketika.

Mereka sampai di dekat mobil di mana sudah ada sopir yang menunggu. Denis bergegas membukakan pintu untuk Dika, “Silakan, Tuan.”

Dika masuk ke dalam mobilnya, Denis segera menutup pintunya lalu berputar membukakan pintu satunya lagi untuk Ayra. Setelah memastikan sang atasan sudah berada di mobilnya, para pengawal segera masuk ke dalam mobil lainnya yang berada tidak jauh dari mobil yang dinaiki Dika.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, saat itu suasana jalan raya tampak ramai padat. Tapi mereka terhindar dari kemacetan yang terjadi di depan, karena di mobilnya para pengawal tak berhenti memberikan arahan.

Di dalam mobil suasana tampak tegang, sepertinya hubungan Dika dan Ayra tak juga membaik meski keduanya telah melakukan liburan bersama. Sikap hangat yang ditunjukkan Dika pada Ayra hanya terjadi di hadapan wartawan saja, selebihnya saat mereka duduk berdua sikap Dika kembali dingin.

“Denis, tolong berikan tas yang kutitipkan padamu tadi,” pinta Dika pada Denis, yang duduk di samping sopir.

“Siap. Yang ini, Tuan.” Denis memiringkan badannya, memberikan tas yang diminta Dika lalu kembali ke posisi semula. Duduk dengan punggung tegak menatap jalanan di depannya.

“Apa itu?” tanya Ayra, tertarik melihat kotak mungil yang berada di tangan Dika.

Tanpa banyak bicara, Dika memberikannya pada Ayra yang langsung membuka isinya. Seketika matanya melebar, melihat sebuah kalung indah dengan batu berlian berbentuk hati di bagian tengahnya.

“Indah sekali, Aku tidak mengira Kau akan memberikannya untukku. Kalung ini cantik sekali, Aku sangat menyukainya.” Kata Ayra dengan mata berbinar.

“Aku tidak mengatakan kalung ini untukmu, ini milik ibuku. Aku membelinya untuk ibuku,” jawab Dika, lalu mengambil kembali kotak perhiasan dari tangan Ayra.

“Kau!” Ayra mendengkus sebal.

Denis yang mendengar ucapan Dika, berusaha menahan tawanya. Ia tahu bagaimana malunya Ayra saat ini. Wajah wanita itu tampak memerah, Ayra langsung memalingkan muka menghadap kaca jendela mobil di sampingnya.

Sepanjang perjalanan ia terus merutuki sikap dingin Dika padanya, sementara Dika hanya tersenyum tipis dan kembali menyimpan kotak mungil itu ke dalam saku jasnya.

Mereka melewati kampung nelayan di mana seorang gadis cantik berpenampilan sederhana tampak sibuk melayani para pelanggannya yang berbelanja makanan di kedai kecil miliknya.

“Tuan, sudah waktunya makan siang. Apa Tuan ingin kita berhenti di salah satu rumah makan di dekat sini?” tanya Denis, melirik arloji di tangannya yang sudah menunjukkan angka 12 tepat.

“Kita singgah di resto biasanya saja,” sahut Dika.

“Siap, Tuan.” Jawab Denis, dan mobil kembali melaju ke tempat yang dituju.

Di kampung nelayan, Jihan sedang membungkus pepes ikan yang sudah ia sisihkan sebelumnya untuk diberikan pada tetangga sebelah rumahnya. Anak kecil perempuan yang berdiri di depannya itu tersenyum gembira begitu mengendus bau sedap makanan di depannya. Matanya berbinar begitu dua bungkus pepes ikan sudah berpindah ke tangannya.

“Terima kasih, Kak.” Bocah perempuan itu langsung berbalik dan berlari cepat menuju rumahnya yang berada tak jauh dari kedai Jihan.

“Hati-hati!” seru Jihan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

Jihan mengembuskan napas lega, hari ini semua masakan olahannya terjual habis. Lelah yang dirasakannya seakan lenyap berganti suka cita.

Ia melirik arloji di tangannya, lalu tersenyum lebar ketika mendengar suara teriakan nyaring neneknya dari arah dapur rumahnya.

“Jihan, cucuku. Waktunya makan siang!”

“Aku datang, Nek!” sahut Jihan tak kalah nyaring.

“Ayo, cepat sedikit. Kau juga harus segera mengantar makan siang untuk para pekerja.”

“Siap, Nek.”

☆■ ☆■ ☆■

Di resto, Dika tampak menikmati makanannya. Berbeda dengan Ayra, yang hanya makan sedikit sekali.

“Ada apa, kenapa Kau makan sedikit sekali. Apa Kau diet? Kalau Kau tak suka menunya, Kau boleh memesan menu yang lain.” Dika bertanya, heran melihat Ayra yang tak menyentuh makanannya.

“Aku rasa salad ini sudah cukup buatku,” sahut Ayra yang masih kesal dengan sikap Dika saat di mobil tadi.

“Oh, ya? Aku baru mengetahuinya.” Dika menaikkan satu alisnya dan kembali meneruskan makannya.

“Aku tak suka makan olahan ikan apa pun itu,” kata Ayra menatap Dika, lalu beralih menatap makanan di depannya. “Kau pasti sudah tahu alasannya.”

Dika pun langsung menghentikan makannya, selera makannya lenyap begitu saja.

“Kita sudah berhubungan lama, tapi hanya sedikit yang Aku tahu tentangmu. Apa yang Kau suka, dan apa yang tak Kau suka.”

Dika hanya menoleh sekilas, malas menanggapi ucapan Ayra. Wajahnya tampak datar, tak tampak senyum sedikit pun di bibirnya seperti saat ia berhadapan dengan wartawan tadi. Tapi Ayra terus saja melanjutkan bicaranya.

“Kau tak pernah memberiku kesempatan untuk lebih mengenalmu. Tapi Kau perlihatkan pada dunia, sikap manis seorang kekasih seolah-olah kita pasangan yang saling mencintai. Meski pada kenyataannya, Kau sama sekali tak pernah peduli padaku.” Ungkap Ayra, status tunangan hanya sebuah titel buatnya.

“Kau sudah tahu jawabannya. Apa Aku perlu menjelaskannya lagi padamu?” tanya Dika, menyela ucapan Ayra.

“Apa maksudmu?” Ayra balik bertanya, tak mengerti maksud ucapan Dika padanya.

“Hubungan di antara kita hanya hubungan bisnis semata. Kau dapat apa yang Kau mau, kemewahan dan gaya hidup. Sementara Aku, tak perlu lagi dipusingkan dengan banyak pertanyaan tentang pasangan hidupku. Kita tak perlu waktu dan kesempatan lebih hanya untuk bisa saling mengenal, karena bagiku itu hanya buang-buang waktu saja.” Balas Dika panjang lebar.

“Kau tak pernah menganggapku sama sekali, rasanya percuma Aku ada di sini.” Balas Ayra kecewa.

Dika mengedikkan bahunya. “Kau boleh pergi kapan saja, dan Aku tak akan menghalangi.”

Ayra tidak bisa lagi menahan kekesalan hatinya, ia bangkit berdiri dan menunjuk wajah Dika. “Aku akan pergi dan menghilang dari hidupmu, dan jangan pernah mengemis memintaku kembali. Kau akan menyesal Pradika Nugraha, dan Aku pastikan keluargamu akan menanggung malu karena putra kebanggaannya telah berlaku buruk pada tunangannya sendiri.”

Ayra pergi dengan hati marah, setelah mengancam akan menghilang dan membuat malu Dika dan keluarganya. Tapi Dika hanya menanggapi dingin ucapannya.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Bab 2. Meminta ganti rugi

Jihan baru saja selesai mengantarkan kotak makan siang untuk para pekerja bangunan. Ia berbincang sejenak dan bertanya, apakah mereka suka dengan masakan dari kedainya.

Acungan jempol dan senyum puas tampak dari raut wajah para pekerja, mereka memuji hasil masakan kedainya. Selain harganya terbilang murah, rasanya pun tidak kalah dengan makanan resto ternama. Itu kata para pekerja padanya.

“Terima kasih, terima kasih.” Jihan membungkukkan setengah badannya, lalu melambaikan tangannya dan bergegas pulang ke rumahnya. Rasanya senang luar biasa karena masakannya disukai dan cocok dengan lidah para pekerja.

“Kalau terus-terusan seperti ini, Aku bisa menabung untuk biaya berobat nenek.” Pikir Jihan, berjalan menuju motornya terparkir, sambil tersenyum membayangkan rupiah yang mengalir masuk ke dompetnya karena usaha kulinernya berjalan lancar.

Di tempat berbeda, Dika masih berada di resto. Ia melambaikan tangan pada Denis yang duduk tak jauh darinya, sedari tadi memperhatikan pertengkaran dirinya dengan Ayra.

“Kita pulang sekarang,” ajak Dika kemudian setelah ia mengeluarkan kartu miliknya dan Denis menyelesaikan pembayaran.

Di dalam mobil hanya tinggal Dika dan Denis yang mengambil alih tugas untuk mengantar Dika pulang.

“Kau masih saja terus bertahan dengannya, padahal yang Kau lakukan bersamanya jelas-jelas membuatmu tak suka dan semakin membencinya.” Kata Denis ketika melihat Dika merebahkan kepalanya sembari memejamkan rapat matanya.

Dika mendengkus sebal, ia membuka matanya dan menepuk keras bahu Denis yang langsung mengaduh. Meski di kantor mereka terlihat sebagai atasan dan bawahan, tapi di luar kantor mereka adalah sahabat.

“Aku benci dengan perjodohan ini.” Dika mengembuskan napas kasar. “Kau tahu bagaimana mama memperlakukan dirinya. Meski papa terkesan tak peduli, tapi Aku tahu sekali mereka berdua sangat senang melihatku memiliki pasangan.”

“Apa yang terjadi pada kalian tadi, sudah cukup membuktikan kalau kalian memang pasangan paling sensasional saat ini. Apa Kau tak menyadari banyak pasang mata yang melihat perdebatan kalian?” tanya Denis lagi.

“Dan besok akan tersebar berita kalau Dika dan kekasihnya terlibat cekcok satu jam setelah kepulangan mereka dari liburan bersama di luar negeri.” Dika tergelak, membayangkan apa yang terjadi esok.

Denis hanya menggelengkan kepalanya melihat Dika yang menanggapi santai masalahnya, ia kembali fokus menatap jalanan di depannya hingga tak lama kemudian terdengar ponsel Dika berbunyi.

“Ya, Al. Aku masih di jalan dalam perjalanan pulang. Ada apa?” Dika memberi isyarat jari di bibirnya pada Denis, menyuruhnya untuk diam.

“What!” Dika terlonjak di kursinya, lalu mengepalkan tangan kuat di depan wajahnya.

Denis spontan menoleh, terkejut mendengar teriakan Dika. Ia segera menepikan mobilnya. “Ada apa?”

“Al bilang kalau besok malam di rumah akan ada pesta, mama dan papa mengundang banyak orang dan akan mengumumkan pertunanganku dengan Ayra.” Jelas Dika, sembari mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi di belakangnya.

“Lalu apa masalahnya?” Satu alis Denis terangkat, heran menatap Dika yang terlihat kebingungan. “Kau hanya tinggal menghubungi Ayra dan bilang padanya kalau kedua orang tuamu ingin bertemu dengannya dan mereka akan mengadakan pesta untuk kalian besok malam. Beres kan?” imbuh Denis lagi.

Dika menyugar rambutnya kasar, ia mendelik sebal pada Denis. “Apa Kau pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan Ayra padaku tadi?”

“Aku memang tidak mendengar, yang Aku tahu Ayra pergi dalam keadaan marah setelah bertengkar denganmu tadi. Itu saja,” jawab Denis. “Sekarang lebih baik Kau coba telepon dia.”

Dengan berat hati Dika menuruti ucapan Denis, ia menghubungi nomor telepon Ayra tapi tak diangkat. “Tidak diangkat.”

“Coba lagi, mungkin sedang sibuk.”

Dika menurut, ia mencoba menghubungi Ayra lagi. Tapi tetap saja tak diangkat. “Bagaimana ini,” Dika mengingat ancaman Ayra. “Sepertinya ia benar-benar membuktikan ucapannya.”

“Tenang, setiap masalah pasti ada solusinya. Kita harus tetap tenang biar bisa berpikir dengan jernih dan tidak melakukan tindakan ge ga bah,” kata Denis sengaja memanjangkan nada bicaranya di ujung kalimat.

“Oke, oke. Aku akan bersikap tenang!” kata Dika seraya menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. “Sekarang kita cari tempat yang tenang, sambil memikirkan bagaimana caranya agar Ayra bisa Aku ajak ke pesta besok malam!”

Denis memutar arah, melajukan mobilnya melewati proyek pembangunan resto milik keluarga Hutama yang baru.

“Stop! Kita berhenti di sini saja,” perintah Dika pada Denis, yang langsung menepikan mobilnya di depan pintu utama bagian resto yang masih berupa rangka baja.

Dika bergegas turun, sementara Denis memilih menunggu di mobil. Dika terus mencoba menghubungi nomor Ayra lagi, tapi tetap saja tak diangkat. Tak berapa lama, adiknya Al menelepon dan menanyakan keberadaannya saat ini.

“Abang di mana, mereka bilang Abang sudah pulang sejak tadi. Tapi sampai sekarang, kenapa belum datang juga. Mama sama papa pingin ketemu sama kak Ayra, dari tadi nanyain terus.” Kata Al, yang membuat Dika panik tak keruan.

“Iya, nanti Abang pulang. Kalian tunggu saja, toh acara pestanya juga besok malam. Sekarang Abang lagi antar Ayra ke salon. Mau rileks dulu katanya, capek habis perjalanan jauh.” Kata Dika beralasan, ia hampir saja muntah membayangkan dirinya menunggu Ayra di salon.

“Ya udah, kabari Al kalau kak Ayra sudah selesai,” sahut Al, dan Dika menutup teleponnya.

“Huuh!” Dika mengusap kasar wajahnya, ia lalu duduk di pinggir trotoar dekat pintu keluar.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Dika tersentak dan sontak berdiri sambil menutup mulutnya begitu melihat nomor Ayra menghubunginya.

“Halo,” kata Dika sambil berjalan menyeberang jalan tanpa melihat kiri dan kanan dengan ponsel menempel di telinga, tak menyadari ada motor Jihan yang sedang melaju ke arahnya.

Jihan yang terkejut melihat Dika secara tiba-tiba muncul di depannya, tak mampu lagi menahan laju motornya.

Bruaak!

Tabrakan tak dapat dihindari. Dika terguling ke lantai beton, ponsel dalam genggaman tangannya terlempar jatuh dan hancur berantakan. Sementara kaki Jihan tertindih badan motornya sendiri.

“Ya, Tuhan!” Jihan berusaha bangkit, ia berhasil keluar dan mendirikan motornya lagi lalu berlari mendatangi Dika yang terduduk di tengah jalan tengah meringis kesakitan.

“Bisa nyetir gak, sih. Gak liat apa, orang segede gaban lewat main tabrak aja!” sembur Dika marah, melirik sekilas pada Jihan yang masih menggunakan helm.

“Ya, maaf. Aku juga gak sengaja nabrak Kamu. Lagian Kamu nyebrang jalan sambil telponan gitu,” sahut Jihan sambil melirik lelaki di hadapannya itu, melihat apakah ada luka serius di tubuhnya. Syukurlah, sepertinya tak ada luka serius. Jihan sedikit lega.

“Kalau mau minta maaf itu minta maaf aja, gak usah pake banyak alasan!” balas Dika lagi, ia berusaha berdiri dan mencari ponselnya yang terlepas dari tangannya.

“OMG!” seru Dika mendapati ponsel miliknya hancur berantakan. Ia terduduk lemas bertumpu pada lututnya, musnah sudah harapannya bisa bicara dengan Ayra dan membujuk wanita itu agar mau datang ke pesta bersamanya.

“Astaga, kenapa bisa hancur begitu?”

Dika menoleh cepat ke asal suara di belakangnya, wajahnya berkilat-kilat marah. Ditatapnya tajam mata Jihan yang balas menatapnya sambil menunjuk ponsel di tangannya yang sudah tak berbentuk itu.

“Ganti! Aku gak mau tau, Kamu harus ganti ponselku yang remuk ini!”

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Bab 3. Mirip sekali dengannya

Jihan menarik tangannya cepat, beralih menutup mulutnya. Lelaki itu sedang memunggunginya, terduduk dengan bahu lemas memegang ponselnya yang hancur tak berbentuk.

“Ganti! Aku tidak mau tahu, Kau harus ganti ponselku yang remuk ini sekarang juga!” Dika menoleh cepat, bicara dengan nada tinggi dan mata berkilat-kilat emosi.

“Ganti rugi?!” Jihan terkejut bukan main, ia tampak kebingungan mendengar ucapan Dika yang menuntut ganti rugi padanya. “Kok, Aku. Kenapa Aku yang harus ganti rugi ponselmu?”

“Ya, iyalah! Kamu yang salah, tentu saja Kamu yang harus ganti rugi. Gara-gara Kamu tabrak, ponselku jadi hancur berantakan kayak gini!” sentak Dika sambil bangkit berdiri, memperlihatkan ponselnya yang sudah tidak berbentuk itu ke depan wajah Jihan.

Jihan tersentak, menepis tangan Dika cepat. Ia melirik sekilas, dari penampakan kepingan merek ponselnya yang hancur itu saja otak Jihan langsung mulai bekerja dan terbayang angka tujuh digit di kepalanya.

Jihan berusaha terlihat tenang, sambil berpikir mencari cara agar lelaki itu tidak menuntut ganti rugi padanya. Memikirkan uang pengobatan nenek setiap bulannya saja, Jihan harus kerja keras setiap harinya. Itu pun belum tentu terkumpul dengan cepat semua. Kini ditambah lagi ia harus mengganti ponsel lelaki di hadapannya itu yang hancur akibat insiden tabrakan yang tak di sengaja olehnya.

Pandangannya lalu tertuju pada kotak makanan miliknya yang berserakan jatuh ke jalan, sebagian rusak di bagian tepinya, juga lecet di bagian motornya. Sepertinya itu bisa jadi alasan untuk balas meminta ganti rugi, pikir Jihan cepat.

“Kamu pikir, cuma Kamu saja yang butuh ganti rugi. Coba Kamu lihat, semua kotak makanan milikku ini juga rusak. Jumlahnya bukan hanya satu tapi lusinan. Motor Aku juga lecet, karena jatuh kena aspal jalan. Belum lagi luka di kaki Aku karena tertindih badan motor, tapi Aku gak minta ganti rugi sama Kamu. Apa Kamu gak mikir itu semua?” kata Jihan panjang lebar.

Dika mengikuti arah yang ditunjuk tangan Jihan, dahinya langsung berkerut dalam. Semua hanya barang plastik murahan yang harganya tak seberapa, sangat jauh sekali dibandingkan dengan ponsel mahal miliknya yang hancur. Dan wanita itu juga terlihat baik-baik saja, tak ada luka sedikit pun.

“Jangan mencari-cari alasan untuk menghindar dari tanggung jawabmu, Kau justru terlihat baik-baik saja. Mungkin hanya bibirmu saja yang perlu mendapat perawatan!” dengus Dika kesal karena Jihan terus bersilat lidah di depannya, alih-alih berusaha menghindar dari tanggung jawab atas kerugian yang sudah dialaminya.

Bukan hanya itu saja, lengan Dika juga terluka akibat tergores aspal jalan. Melihat itu membuat emosinya naik lagi. “Pokoknya Kau harus ganti rugi ponselku yang hancur ini, titik!”

“Aku tidak mau! Kalau begitu caranya, Kau juga harus ganti rugi barang-barang milikku yang rusak.” Balas Jihan.

“Oke, kalau Kamu mau itung-itungan denganku. Kalau Aku harus mengganti semua kerugian yang Kamu alami, akan Aku lakukan. Tapi Kamu juga harus ganti rugi ponsel Aku, se ka rang!” sentak Dika berang, sudah tak sabar menghadapi sikap Jihan yang menurutnya terlalu banyak bicara dan hanya ingin menghindar saja dari tanggung jawab.

“Heii, denger ya, Mas! Mas juga yang salah, jalan gak hati-hati main selonong aja. Udah gitu nyebrang sambil nelpon lagi!” Balas Jihan tak kalah lantang.

Dika tersentak kaget, tak mengira Jihan akan balas membentaknya. Wanita itu kini berdiri menantang dengan kedua tangan berada di pinggang.

Dika memijit pelipisnya yang berdenyut, wanita ini terus saja melawan ucapannya. Ia menatap ke arah kotak makanan yang berserakan di jalan, lalu mengernyit begitu sadar kalau Jihan keluar dari arah bangunan resto keluarganya. Tiba-tiba saja satu ide terbit di kepalanya. Mungkin ini bisa membungkam mulut pedas wanita di depannya itu, pikirnya tersenyum miring.

“Aku lihat Kau tadi keluar dari arah belakang sana, apa Kau yang menyuplai makan siang untuk para pekerja di proyek bangunan resto Hutama?” tanya Dika dengan pandangan menyelidik.

“Ya, kedaiku yang menyuplai makan siang di sana. Apa urusannya semua itu denganmu?”

“Kau ingin tahu, dengan siapa Kau berhadapan saat ini?”

“Memang siapa, Kamu?” Jihan balik bertanya. Sekilas ia melirik, dan wajah lelaki di depannya itu tiba-tiba saja mengingatkannya pada seorang pesohor yang dikenal banyak orang.

“Proyek pembangunan resto Hutama itu milik keluargaku. Aku bisa saja menyuruh orang lain untuk menyuplai makan siang para pekerjaku di sini dan menghentikan suplai makan siang dari tempatmu,” jawab Dika dengan nada bicara berbau ancaman.

“Apa maksudmu, Kau tidak bisa berbuat seenaknya seperti itu padaku!” Jihan mulai takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada bisnis kulinernya.

“Aku mau Kau ganti ponsel Aku yang rusak tadi, kalau tidak ...”

“Kalau tidak ... Kalau Aku tidak mau menuruti keinginanmu, Kau akan melakukannya bukan. Menghentikan suplai makan siang dari kedaiku, dan perlahan mematikan usaha kuliner Aku yang baru saja mulai jalan. Kau benar-benar jahat! Orang kaya yang hanya mementingkan hartanya saja tanpa memikirkan kepentingan orang lain.”

Dika terlihat marah sekali mendengar Jihan menyebut dirinya jahat. Ia sedang dapat masalah dan panik, ia baru saja bertengkar dengan Ayra dan wanita itu membuktikan ancamannya dengan pergi begitu saja menghilang saat itu juga dari hidupnya.

Di saat bersamaan datang berita dari adiknya Al kalau kedua orang tua mereka ingin bertemu dengan Ayra. Lalu Jihan muncul dan menabraknya, membuat kesempatannya untuk bicara dengan Ayra musnah begitu saja.

“Aku hanya ingin Kau mengganti ponselku yang hancur ini, itu saja!” sahut Dika, tak ingin berpanjang kata lagi.

“Aku tidak mungkin bisa memenuhi keinginanmu itu saat ini,” sahut Jihan, merasa terancam. Membayangkan bagaimana perasaan neneknya saat usaha mereka tiba-tiba mandek, tentu akan membuatnya sedih dan bisa berdampak pada kesehatannya.

“Gara-gara Kamu tabrak, Aku gak bisa terima telepon dari Ayra. Aku juga gak bisa dengar kabar terbaru dari adik Aku.” Ungkap Dika dengan wajah marah. “Kau membuat semuanya kacau dan usahaku jadi sia-sia!”

“Aku minta maaf, semua di luar kendaliku. Kau muncul tiba-tiba di depanku dan Aku tidak bisa mengendalikan motorku,” sahut Jihan dengan nada sedikit melemah karena merasa bersalah.

Jihan melangkah mundur, duduk di trotoar jalan dan melepas helmnya. Rambut panjang keritingnya seketika langsung terlihat mekar begitu terlepas dari helm yang membungkus kepalanya.

Cuaca siang itu memang sedang panas terik, ditambah insiden tabrakan barusan makin membuat suasana hati keduanya panas. Begitu juga dengan kepala Jihan semakin bertambah panas.

“Pokoknya Aku gak mau tahu, Kamu tetap harus gan ti ...” Dika seketika bengong, tak dapat meneruskan kata-katanya. “Kamu ...”

Jihan mengernyit, menatap Dika yang tampak seperti orang linglung. Tadi marah-marah padanya, dan sekarang malah bengong melihatnya. “Apa, Kamu mau suruh Aku ganti rugi ponsel Kamu yang rusak itu lagi?”

“Rambut Kamu ...” Dika menunjuk rambut Jihan yang mengembang.

“Rambut Aku kenapa?” Jihan balik bertanya dengan mimik wajah heran sembari mengusap rambutnya.

Suasana tegang yang terjadi di antara mereka sebelumnya langsung lenyap, berganti dengan suasana yang membingungkan keduanya.

Sebelum Jihan sempat memikirkan apa yang akan dikatakan laki-laki itu lagi tentang rambut keritingnya, tahu-tahu Dika sudah berjalan mendekat dan menyentuhkan ujung jarinya ke rambutnya.

“Coba Kau ikat rambutmu, Aku ingin melihat wajahmu lebih jelas lagi.” Pinta Dika pada Jihan.

Meski heran dengan tingkah laku Dika, tak urung Jihan menurut dan mengikat rambutnya.

“OMG!” seru Dika, menggeleng tak percaya. Lalu sejurus kemudian menatap Jihan lekat, seperti sedang menilai dirinya. “Kalian sangat mirip sekali dengannya.”

Kerutan di kening Jihan makin dalam, penasaran! “Siapa yang Kau maksud itu, apa dia Ayra yang Kau sebutkan namanya tadi?” tanya Jihan hati-hati.

Dika tidak menjawab, hanya diam dan terus menatap Jihan. Ia menghela napas dan mengetuk-ngetukkan kepalan tangannya di keningnya sambil sesekali menatap Jihan.

Tiba-tiba saja mata Jihan melihat siku lengan baju Dika berdarah, ia tersadar dan langsung berdiri. “Kau tunggu di sini dulu, Aku akan membeli obat untukmu.”

Jihan berlari menyeberang jalan. Dika terkejut dan spontan memutar tubuhnya. Dilihatnya Jihan masuk ke apotek dan tak lama kemudian keluar dengan membawa kotak obat ukuran kecil.

“Biar Aku obati dulu lenganmu itu,” kata Jihan, dan tanpa meminta persetujuan Dika ia menarik lengannya dan langsung membersihkan lukanya.

Dika tak bisa menolak, ia biarkan Jihan mengobati lukanya dan membalut lengannya dengan perban. Ia terus menatap Jihan, semakin lama dilihat wajah wanita di depannya itu sangat mirip dengan Ayra.

Tiba-tiba saja ponsel di saku Jihan berdering, membuat Dika menarik lengannya dan membiarkan Jihan menjawab panggilan telepon untuknya.

“Aku lagi di jalan bareng teman, lagi ada urusan sedikit.” Sahut Jihan sambil melirik Dika yang tengah duduk diam di sampingnya. “Ada kabar apa ya, Bik?”

Wajah Jihan tiba-tiba berubah pias, ia terdiam beberapa saat dan langsung berdiri. Hampir saja ponsel di tangannya terlepas, namun berhasil ditahannya. “Apa Bik, nenek pingsan?”

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!