Dear Jaeden
Walau masih pagi, pelataran tempat menimba ilmu, yang letaknya tidak lebih dari dua kilo meter dari rumah orang tuaku sudah ramai dipadati pelajar serta pengajar.
Tidak jarang keberadaan ibu-bapak kantin ikut meramaikan area sekitaran yang telah dipenuhi manusia yang muna.
Aku bersama seorang teman yang diberikan mandat untuk pergi keluar dari sekolah oleh seseorang, yang kuyakini seorang pengajar atau sesamanya, ke area yang telah dimandatkan kepada temanku ini.
Dia hangat disapa Neneng dan dia telah membawa perlengkapan di dalam ransel hitam Eiger kesayangannya, atau mungkin milik seseorang yang memberikan mandat kepada Neneng, lalu Neneng membawa serta diriku untuk pergi bersamanya ke tempat yang memang tidak jauh dari area tempat kami menimba ilmu itu.
Tanpa banyak berprasangka buruk, aku menyetujui ucapan Neneng untuk pergi dan meninggalkan jam pembelajaran selama satu hari ini saja. Aku setuju, karena itu dari Neneng, walaupun kami tidak begitu dekat dan akrab sekali pun.
"Kita akan pergi berdua saja. Ada hal yang harus dikembalikan ke tempat itu di dekat sini, Na." Beginilah Neneng, walau sudah meyakinkan aku puluhan kali, kalau belum sebanyak ratusan, dia tidak akan pernah berhenti untuk memberikan penjelasan agar membuatku yakin.
Padahal aku sudah setuju untuk ikut, bukan karena paksaan, tetapi karena permintaannya dari Neneng. Sebab, itu dari Neneng.
"Kita hanya pergi berdua saja, ya," ucapku sambil melamgkah di belakang Neneng.
"Iya, hanya berdua," balasnya. "Setidaknya begitu ucapan Ibu untukmu."
Aku mengernyit. "Untukku?" kataku kurang yakin, sepenuhnya heran. "Kenapa hanya untukku, sementara kamu ... sebenarnya Ibu mana yang kamu maksud, Neng?"
Kulihat Neneng tetap berjalan sambil mengepalkan tangan pada tali ransel yang merangkul pundak ringkihnya.
"Kamu tidak perlu tahu. Kita harus pastikan benda yang dimandatkan ini dikembalikan."
Setelah mengucapkan perihal mandat, Neneng tidak berbicara lagi, bahkan berhenti meyakinkan aku dengan kalimat penuh mandat dan benda yang konon diyakini sebuah pusaka.
"Kita akan lewat gang ini."
Neneng berbelok ke kiri setelah kami menempuh lima ratus meter jalanan besar di area pemukiman ramai ini.
"Hutan?" ujarku. "Kita dimandatkan pergi ke hutan?"
"Hm ... begitulah, Na."
"Kamu aneh, belum lagi mandat nggak jelas itu, Neng!"
"Terus kamu bisa apa?" Neneng setengah berteriak. Dapat aku terka bahwa temanku ini agak frustrasi.
"Kok kamu ... sebenarnya ada apa, Neng?"
Neneng menggeleng. "Kita teruskan dulu, nanti juga kamu akan tahu sendiri, Na."
Aku berani bertaruh dengan namaku sendiri!
Namaku Naya Karkata dan Neneng sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu dariku di balik mandat Ibu.
Kami berjalan di gang setapak yang telah dipagari bambu hidup. Di balik bambu ada jenis tanaman serta pepohonan menjulang yang rindang pula gelap, sehingga dapat aku nikmati suasana sunyi nun mencekam di sekitarku.
Neneng yang berjalan di depanku terus saja berjalan tanpa mau menunggu atau membiarkanku untuk menyamai langkahnya dengan langkahku. Aku menyimpulkan bahwa Neneng sudah kepalang marah terhadapku.
Namun, aku keliru. Neneng ini walaupun tidak mau berjalan berdampingan denganku, ternyata dia masih tetap meyakinkan aku sebaik mungkin.
"Sebenarnya, kita nggak hanya sendirian. Ada orang lain, tapi maaf kalau mereka bikin kamu kesal," ujar Neneng.
"Ada yang lain?" Aku menyeru. "Kita berkelompok, tapi kenapa pergi secara terpisah begini?"
Neneng tidak menjawab, tetapi helaan napas serta langkahnya yang terhenti adalah jawaban yang membuatku melongo tidak mau percaya.
"Neng, aku nggak mau ikut!" Aku menyeru lagi, kali ini menyerukan ketidaksanggupanku terhadap mandat dari Ibu kepada kami.
Ada seorang perempuan yang lebih pendek dari Neneng dan aku. Dia melambai-lambai dengan wajah yang tersenyum menunjukkan deretan gigi kelinci dan gingsulnya. Namanya saja aku tidak tahu, tetapi aku tidak menyukai perempuan itu.
"Hai, Kata dan Nena!"
"Sok kenal, sok dekat banget!" cibir Neneng dengan suara rendah, yang mampu aku dengar jelas.
"Kenapa kalian ada di sini?" Aku berusaha untuk bersabar dan sedikit ramah.
Ada dua laki-laki yang bersama perempuan dengan gigi gingsul itu. Berdiri di kedua sisi si perempuan. Mereka bagaikan penjaga, bukan, lebih kepada pengawal pribadi si perempuan, karena mereka selalu kemana-mana bertiga bahkan mau ke toilet pun musti bertiga. Dua lainnya menunggu di luar tentunya.
"Hai, sori banget kalo lo nggak suka, gua juga nggak suka lo berdua yang ikut kami." Ucapan dari laki-laki yang memiliki perangai congkak dan yang paling berantakan di antara kedua teman lainnya.
"Sial!" Neneng saja sampai mengungkapkan kekesalan yang paling buruk sepanjang aku bersamanya selama dua puluh menit perjalanan kami.
"Udahlah, terima aja kenyataan kalo kita ini ditugaskan sama-sama untuk satu tujuan yang sama," sahut si perempuan dengan segala sisi baiknya.
Aku mendelik tidak suka. "Emangnya yakin kita ditugaskan pergi ke tujuan yang sama?"
"Oh, jelas!" jawab si perempuan sambil menyikut kedua teman laki-lakinya.
"Cih, tukang tipu!" ujar Neneng. "Kalian pergi aja duluan sana!"
"Kami tuh udah dua puluh menit tungguin kalian, kenapa kalian nggak ada rasa terima kasihnya sedikit pun, sih?"
"Kalian kira kami mau tungguin dua perempuan nyusahin dan yang sok pinter seperti kalian di tempat suci ini?"
"Sinting!"
"Nama gua Ginting, bukan sinting, Nenek!"
"Ih, udah aku bilangin namaku Nena Jaida!" Neneng berseru kesal. "Minimal panggil Nena kalo kesusahan panggil Neneng."
"Udahlah, kalo debat terus kapan selesainya tugas kita?" Seorang laki-laki, maksudku salah satu laki-laki dari keduanya mengunjuk suara.
Dia ini walaupun bersama dua temannya yang cukup menjengkelkan, tetapi yang kunilai dari dia itu adalah keanggunan.
"Eh, kalo anggun mah untuk perempuan," ucapku di dalam batin.
Menurutku laki-laki yang baru saja melerai pertengkaran kami adalah yang paling netral, walaupun tidak menepis kenyataan bahwa dia juga salah satu yang cukup menyebalkan di antara dua temannya yang lebih menyebalkan.
"Kalian bertiga aja yang duluan jalan!" Neneng memberikan perintah.
Sontak membuat si menyebalkan Ginting bersorak untuk menolak. "Perempuan lebih didahulukan, terutamanya bagi perempuan alfa seperti kalian berdua."
"Dia juga perempuan." Aku menujuk teman perempuan si menyebalkan paling cerewet itu sebagai sesama jenis denganku dan Neneng.
"Leya di tengah-tengah aja, dia itu nggak setangguh kalian berdua wahai alfa!" Lagi-lagi si menyebalkan Ginting berulah melalui ucapannya.
"Aku keberatan."
"Nena juga keberatan!"
Perempuan sok manis bernama Leya itu juga ikut-ikutan. "Leya punya ide!"
Mungkin ikut-ikutannya si sok manis Leya ada baiknya dipertimbangkan terlebih dahulu.
"Gimana kalo formasinya cowok-cewek-cewek-cowok-cewek?"
"Keberatan!" Neneng cepat menanggapi. "Kalo yang terakhirnya cewek, siapa yang bakalan yang mau bertanggung jawab kalo terjadi sesuatu?"
Seketika Leya murung. "Leya juga nggak mau ada di barisan belakang."
"Kamu sendiri nggak mau, apalagi Nena dan Naya?"
Si menyebalkan Ginting berdecak keras. "Ribet amat logika cewek!"
"Jangan bicara kayak gitu!" Leya menyenggol Ginting.
Si netral angkat bicara. "Di depan cowok, di belakang juga ada cowok, gimana?"
Nena dan aku saling berkomunikasi melalui iris kecokelatan kami. Tidak ada salahya satu tim dengan anggota yang memiliki laki-laki. Dibandingkan hanya berdua dan merasa sendirian.
"Gua nggak mau di belakang, Je!" Ginting menolak usulan laki-laki yang pernah kunilai lebih baik dari dua temannya.
"Biar gua yang di belakang."
"Leya mau barisan kedua!"
Sementara aku dan Neneng pasrah.
"Neng, kamu di depan aja kayak tadi, aku lebih aman kalo kamu yang di depan."
Neneng mendekapku seraya berbisik. "Iya, lagian tujuan kita nggak sama dengan mereka kok. Aku tahu banget, tapi kita butuh mereka untuk bisa mencapai ke sana."
Jadi, sebenarnya kami itu apa?
Bersama-sama seperti tim, tetapi kenyataannya memiliki tujuan yang berbeda.
Aku benar-benar kepalang penasaran. Apa sih yang Neneng sembunyikan dariku terkait mandat dari Ibu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments