NovelToon NovelToon

Dear Jaeden

Tidak Kusangka ... Mereka

Walau masih pagi, pelataran tempat menimba ilmu, yang letaknya tidak lebih dari dua kilo meter dari rumah orang tuaku sudah ramai dipadati pelajar serta pengajar.

Tidak jarang keberadaan ibu-bapak kantin ikut meramaikan area sekitaran yang telah dipenuhi manusia yang muna.

Aku bersama seorang teman yang diberikan mandat untuk pergi keluar dari sekolah oleh seseorang, yang kuyakini seorang pengajar atau sesamanya, ke area yang telah dimandatkan kepada temanku ini.

Dia hangat disapa Neneng dan dia telah membawa perlengkapan di dalam ransel hitam Eiger kesayangannya, atau mungkin milik seseorang yang memberikan mandat kepada Neneng, lalu Neneng membawa serta diriku untuk pergi bersamanya ke tempat yang memang tidak jauh dari area tempat kami menimba ilmu itu.

Tanpa banyak berprasangka buruk, aku menyetujui ucapan Neneng untuk pergi dan meninggalkan jam pembelajaran selama satu hari ini saja. Aku setuju, karena itu dari Neneng, walaupun kami tidak begitu dekat dan akrab sekali pun.

"Kita akan pergi berdua saja. Ada hal yang harus dikembalikan ke tempat itu di dekat sini, Na." Beginilah Neneng, walau sudah meyakinkan aku puluhan kali, kalau belum sebanyak ratusan, dia tidak akan pernah berhenti untuk memberikan penjelasan agar membuatku yakin.

Padahal aku sudah setuju untuk ikut, bukan karena paksaan, tetapi karena permintaannya dari Neneng. Sebab, itu dari Neneng.

"Kita hanya pergi berdua saja, ya," ucapku sambil melamgkah di belakang Neneng.

"Iya, hanya berdua," balasnya. "Setidaknya begitu ucapan Ibu untukmu."

Aku mengernyit. "Untukku?" kataku kurang yakin, sepenuhnya heran. "Kenapa hanya untukku, sementara kamu ... sebenarnya Ibu mana yang kamu maksud, Neng?"

Kulihat Neneng tetap berjalan sambil mengepalkan tangan pada tali ransel yang merangkul pundak ringkihnya.

"Kamu tidak perlu tahu. Kita harus pastikan benda yang dimandatkan ini dikembalikan."

Setelah mengucapkan perihal mandat, Neneng tidak berbicara lagi, bahkan berhenti meyakinkan aku dengan kalimat penuh mandat dan benda yang konon diyakini sebuah pusaka.

"Kita akan lewat gang ini."

Neneng berbelok ke kiri setelah kami menempuh lima ratus meter jalanan besar di area pemukiman ramai ini.

"Hutan?" ujarku. "Kita dimandatkan pergi ke hutan?"

"Hm ... begitulah, Na."

"Kamu aneh, belum lagi mandat nggak jelas itu, Neng!"

"Terus kamu bisa apa?" Neneng setengah berteriak. Dapat aku terka bahwa temanku ini agak frustrasi.

"Kok kamu ... sebenarnya ada apa, Neng?"

Neneng menggeleng. "Kita teruskan dulu, nanti juga kamu akan tahu sendiri, Na."

Aku berani bertaruh dengan namaku sendiri!

Namaku Naya Karkata dan Neneng sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu dariku di balik mandat Ibu.

Kami berjalan di gang setapak yang telah dipagari bambu hidup. Di balik bambu ada jenis tanaman serta pepohonan menjulang yang rindang pula gelap, sehingga dapat aku nikmati suasana sunyi nun mencekam di sekitarku.

Neneng yang berjalan di depanku terus saja berjalan tanpa mau menunggu atau membiarkanku untuk menyamai langkahnya dengan langkahku. Aku menyimpulkan bahwa Neneng sudah kepalang marah terhadapku.

Namun, aku keliru. Neneng ini walaupun tidak mau berjalan berdampingan denganku, ternyata dia masih tetap meyakinkan aku sebaik mungkin.

"Sebenarnya, kita nggak hanya sendirian. Ada orang lain, tapi maaf kalau mereka bikin kamu kesal," ujar Neneng.

"Ada yang lain?" Aku menyeru. "Kita berkelompok, tapi kenapa pergi secara terpisah begini?"

Neneng tidak menjawab, tetapi helaan napas serta langkahnya yang terhenti adalah jawaban yang membuatku melongo tidak mau percaya.

"Neng, aku nggak mau ikut!" Aku menyeru lagi, kali ini menyerukan ketidaksanggupanku terhadap mandat dari Ibu kepada kami.

Ada seorang perempuan yang lebih pendek dari Neneng dan aku. Dia melambai-lambai dengan wajah yang tersenyum menunjukkan deretan gigi kelinci dan gingsulnya. Namanya saja aku tidak tahu, tetapi aku tidak menyukai perempuan itu.

"Hai, Kata dan Nena!"

"Sok kenal, sok dekat banget!" cibir Neneng dengan suara rendah, yang mampu aku dengar jelas.

"Kenapa kalian ada di sini?" Aku berusaha untuk bersabar dan sedikit ramah.

Ada dua laki-laki yang bersama perempuan dengan gigi gingsul itu. Berdiri di kedua sisi si perempuan. Mereka bagaikan penjaga, bukan, lebih kepada pengawal pribadi si perempuan, karena mereka selalu kemana-mana bertiga bahkan mau ke toilet pun musti bertiga. Dua lainnya menunggu di luar tentunya.

"Hai, sori banget kalo lo nggak suka, gua juga nggak suka lo berdua yang ikut kami." Ucapan dari laki-laki yang memiliki perangai congkak dan yang paling berantakan di antara kedua teman lainnya.

"Sial!" Neneng saja sampai mengungkapkan kekesalan yang paling buruk sepanjang aku bersamanya selama dua puluh menit perjalanan kami.

"Udahlah, terima aja kenyataan kalo kita ini ditugaskan sama-sama untuk satu tujuan yang sama," sahut si perempuan dengan segala sisi baiknya.

Aku mendelik tidak suka. "Emangnya yakin kita ditugaskan pergi ke tujuan yang sama?"

"Oh, jelas!" jawab si perempuan sambil menyikut kedua teman laki-lakinya.

"Cih, tukang tipu!" ujar Neneng. "Kalian pergi aja duluan sana!"

"Kami tuh udah dua puluh menit tungguin kalian, kenapa kalian nggak ada rasa terima kasihnya sedikit pun, sih?"

"Kalian kira kami mau tungguin dua perempuan nyusahin dan yang sok pinter seperti kalian di tempat suci ini?"

"Sinting!"

"Nama gua Ginting, bukan sinting, Nenek!"

"Ih, udah aku bilangin namaku Nena Jaida!" Neneng berseru kesal. "Minimal panggil Nena kalo kesusahan panggil Neneng."

"Udahlah, kalo debat terus kapan selesainya tugas kita?" Seorang laki-laki, maksudku salah satu laki-laki dari keduanya mengunjuk suara.

Dia ini walaupun bersama dua temannya yang cukup menjengkelkan, tetapi yang kunilai dari dia itu adalah keanggunan.

"Eh, kalo anggun mah untuk perempuan," ucapku di dalam batin.

Menurutku laki-laki yang baru saja melerai pertengkaran kami adalah yang paling netral, walaupun tidak menepis kenyataan bahwa dia juga salah satu yang cukup menyebalkan di antara dua temannya yang lebih menyebalkan.

"Kalian bertiga aja yang duluan jalan!" Neneng memberikan perintah.

Sontak membuat si menyebalkan Ginting bersorak untuk menolak. "Perempuan lebih didahulukan, terutamanya bagi perempuan alfa seperti kalian berdua."

"Dia juga perempuan." Aku menujuk teman perempuan si menyebalkan paling cerewet itu sebagai sesama jenis denganku dan Neneng.

"Leya di tengah-tengah aja, dia itu nggak setangguh kalian berdua wahai alfa!" Lagi-lagi si menyebalkan Ginting berulah melalui ucapannya.

"Aku keberatan."

"Nena juga keberatan!"

Perempuan sok manis bernama Leya itu juga ikut-ikutan. "Leya punya ide!"

Mungkin ikut-ikutannya si sok manis Leya ada baiknya dipertimbangkan terlebih dahulu.

"Gimana kalo formasinya cowok-cewek-cewek-cowok-cewek?"

"Keberatan!" Neneng cepat menanggapi. "Kalo yang terakhirnya cewek, siapa yang bakalan yang mau bertanggung jawab kalo terjadi sesuatu?"

Seketika Leya murung. "Leya juga nggak mau ada di barisan belakang."

"Kamu sendiri nggak mau, apalagi Nena dan Naya?"

Si menyebalkan Ginting berdecak keras. "Ribet amat logika cewek!"

"Jangan bicara kayak gitu!" Leya menyenggol Ginting.

Si netral angkat bicara. "Di depan cowok, di belakang juga ada cowok, gimana?"

Nena dan aku saling berkomunikasi melalui iris kecokelatan kami. Tidak ada salahya satu tim dengan anggota yang memiliki laki-laki. Dibandingkan hanya berdua dan merasa sendirian.

"Gua nggak mau di belakang, Je!" Ginting menolak usulan laki-laki yang pernah kunilai lebih baik dari dua temannya.

"Biar gua yang di belakang."

"Leya mau barisan kedua!"

Sementara aku dan Neneng pasrah.

"Neng, kamu di depan aja kayak tadi, aku lebih aman kalo kamu yang di depan."

Neneng mendekapku seraya berbisik. "Iya, lagian tujuan kita nggak sama dengan mereka kok. Aku tahu banget, tapi kita butuh mereka untuk bisa mencapai ke sana."

Jadi, sebenarnya kami itu apa?

Bersama-sama seperti tim, tetapi kenyataannya memiliki tujuan yang berbeda.

Aku benar-benar kepalang penasaran. Apa sih yang Neneng sembunyikan dariku terkait mandat dari Ibu?

Hanya Bunga Tidur Yang Busuk

Selama puluhan meter berjalan dengan formasi ala pendaki gunung, aku dengan Neneng tidak banyak bicara, hanya Leya dan Ginting saja yang mengoceh agar tidak mati kutu di tengah keheningan tempat yang menenangkan ini.

Tibalah kami di jalanan yang cukup terjal. Treknya menanjak dengan bebatuan besar.

"Perlu banget kita lewat jalanan bebatuan ini?" Aku memberikan pendapat sekaligus keraguan.

"Kalo lo mau cari jalan lain, gua ikut, tapi lo di depan."

Ucapan Ginting selalu membuatku tak bisa berkutik. Hanya Neneng yang dapat dengan luwes membalas ucapan tajam dari Ginting dengan ucapan yang tak kalah tajam.

"Tahu gini juga mendingan aku sama Naya nggak pergi bareng kalian!"

"Eh, jangan gitu, dong, Kata dan Nena." Lagi-lagi, Leya berusaha menengahi, tetapi usahanya tidak Neneng indahkan.

"Gin, lo jangan nyusahin deh. Udah jelas ada rambu-rambu di samping lo. Trek yang harus kita lalui buka ke arah yang mau kita tuju."

Aku melirik ke belakang. Ke arah laki-laki yang ternyata memiliki suara yang berat, tetapi selaras dengan kepribadian serta perawakan usianya.

Entah mengapa degup jantungku mendadak tidak karuan. Ada yang berdesir namun bukan ombak.

Ginting yang sudah terbukti salah arah hanya terkekeh sambil mengacak rambut Leya di depannya.

"Kita lanjut lagi, ya." Ginting menjadi lebih ramah dari sebelumnya. "Sori, tadi gua cuman mau ngetes aja."

"Iya, Leya sempet dengerin Ginting dan rencananya yang mau bikin kalian terpisah dari kami, tapi nggak beneran mau memisahkan kok."

"Omong kosong apalagi?" Neneng tampaknya sudah muak denga drama trio menyebalkan itu.

"Sabar, Neng." Aku meyakinkan Neneng dengan memegang lengannya, mengusap pelan. Artinya, aku akan selalu ada bersama Neneng.

Setelah drama salah arah, kami melanjutkan perjalanan. Hari semakin terang, sang surya juga tak mau kalah semangat dari kami, sehingga dia memancarkan cahaya panasnya begitu terik.

Di tengah perjalanan, tiga orang yang berada di depanku itu sibuk dengan perdebatan mereka. Aku sampai terkekeh mendengarnya. Sayangnya, hanya Neneng yang disebut oleh dua orang paling depan.

Namun, seseorang yang berada dua langkah dariku di belakang kedapatan berusaha menyamakan langkahnya denganku.

Aku melirik, walau hanya sudut mataku saja yang melihat, karena aku tidak berani bersitatap setelah debaran aneh beberapa saat lalu. "Kenapa dia tiba-tiba mau berjalan di sampingku?"

"Ada baiknya berjalan seperti ini. Supaya nggak merasa sendirian," ujarnya tanpa mengatakan sedikit hal tentang siapa yang tengah dia ajak bicara.

Aku benar-benar menatapnya dari samping secara singkat. "Tidak masalah." Aku tidak keberatan, tetapi debaran aneh ini memberatkan pikiranku.

Aku dapat mendengar dengusan, tetapi tidak berani memastikan bahwa dengusan itu memiliki seulas senyuman yang menawan.

"Aku ini sedang membayangkan apa?" Benar-benar berlebihan!

Tidak seharusnya aku membayangkan senyuman menawan dari si dingin itu. Sialnya dia berada di sampingku kali ini.

"Setelah menyusuri hutan, kita akan berpisah." Ucapannya pelan, sehingga hanya aku yang dapat menikmatinya, maksudku, mendengarnya. "Benar, kan?"

Aku mencuri pandang, karena aku tidak ingin salah melangkah. Aku memberanikan diri menatap orang yang berada di sampingku. "Kalau iya, memangnya kenapa?"

Aku tetap berjalan, sementara dia tampak menghentikan langkahnya.

"Aku menyukainya," katanya, "karena keberadaan kamu menyusahkanku."

Kupikir dia akan mengatakan keberatan karena kebersamaan yang singkat ini. Sepertinya ada yang salah denganku. Kenapa aku berharap kepada si menyebalkan itu?

"Sungguh nggak bisa kupercaya. Nggak ada yang dapat aku percaya selain Neneng."

Beberapa meter di depan sana ada sebuah pos. Seperti sebuah gubuk dengan lentera padam yang menggantung.

"Neng, kita lanjut jalan aja." Aku berbisik, bahkan membawa Neneng menjauh dari ketiga manusia menyebalkan itu di pos.

"Kenapa?"

"Katamu kita cuman butuh mereka sebentar aja." Kulihat Neneng mengerutkan dahi dan mengacaukan wajahnya. Sepertinya aku telah salah meminta. "Kamu udah terlanjur nyaman bersama mereka?"

Neneng menatapku dengan reaksi yang tidak aku inginkan, seperti kebenaran yang dia miliki namun dia ingin menyembunyikannya dariku, sama seperti detail mandat dari Ibu.

Aku ingin menangis ketika Neneng tidak menjawab. Bahkan dengan menunjukkan reaksi seperti itu. Aku kecewa.

"Aku gapapa kok, asalkan ada kamu, karena itu kamu, Nena." Aku memaksakan senyuman agar Neneng yakin bahwa aku baik-baik saja.

Setelah mengatakannya, aku pergi menjauh, baik dari Neneng, maupun ketiga manusia yang sudah membuat Neneng membelot dari ketidaksukaannya.

Kudengar Neneng ikut berbincang bersama mereka, meninggalkan aku yang tengah menenangkan diri. Membuatku benar-benar seperti pecundang yang iri dengan kemenangan sang juara.

"Kenapa juga aku harus percaya sama Nena yang nggak begitu dekat dan akrab?"

Memikirkan berbagai pencapaian seorang Nena Jaida di akademik membuatku merasa aman. Apa mungkin aku terlalu mengandalkan Nena sebagai penghalang amukan Papa?

Papa? Aku bahkan sudah tidak tahu kabarnya semenjak kepergian anak laki-laki kesayangannya.

"Ah, kenapa juga harus keinget mereka?" Aku tidak ingin menunjukkan kesedihanku bahkan ketika aku sendirian. Terlebih merasa iri bukanlah sikapku banget.

Suara derap langkah medekat, tetapi dia membeku di tempat ketika tak sengaja menginjak ranting yang tertutup dedaunan kering di atas tebing, yang dekat dari pos.

Aku melirik sekilas. Ternyata laki-laki menyebalkan itu. Aku berusaha untuk mengembalikan suasana hatiku kembali.

"Omong-omong, siapa nama kamu?" Tanpa menoleh, karena aku belum siap untuk berhadapan kembali dengan orang menyebalkan satu ini.

Kudengar langkahnya lagi, bising seperti kesalahan sebelumnya, entah mendekat atau mengubah posisi saja.

"Emangnya penting, ya?"

Cih, malah balik bertanya. Aku tidak ingin melanjutkan lagi sesi pembicaraan dengan orang ini.

Mungkin dia jengah, karena aku tidak membalas, sehingga dia melanjutkan ucapannya dengan selisih waktu lima puluh detik. "Lagian kita bakalan terpisah setelah ini ... mungkin setelah selesai dari perjalanan ini kamu bisa bertanya untuk ketiga kalinya."

Aku teregun. "Tiga kali?"

"Gua pergi duluan, mereka udah mau berangkat lagi." Dia menatapku dengan tatapan yang sama. Datar tanpa ekspresi yang bersahabat. "Jadi, lo mau pergi sendirian?"

Gagasan yang bagus. Aku bisa pergi sendirian saja. Akan tetapi, bagaimana dengan Nena?

"Pergi aja." Aku tidak ingin menatap kepada objek yang sama. Walaupun begitu, aku masih dapat merasakan kehadirannya di sana. "Kubilang pergi saja!"

"Naya ...."

"Pergi aja seperti ucapannya dia, tinggalin Naya di sini sendirian kalo dia keberatan pergi bareng kita."

Si menyebalkan Ginting itu!

"Baik, Naya bakalan pergi sendirian!" Aku yang berada di bawah tebing rendah bergegas pergi ke arah yang berlawanan dengan tujuan mereka. Aku akan kembali ke trek sebelumnya dan pulang saja.

"Persetan dengan mandat dari Ibu!"

Aku melangkah dengan amarah yang memuncak. Tidak kusangkakan Neneng dapat dengan mudah berpaling.

"Nggak, Neneng nggak salah," ucapku, "aku yang salah di sini, karena aku yang tidak mengerti keadaan, sehingga aku yang ceroboh."

Aku melangkah dengan kepala tertunduk. Tidak dapat aku perhatikan jalanan atau area sekitaran yang merupakan tebing rendah atau perbukitan, sehingga jalanan yang menanjak atau menurun.

Sebab tidak memperhatikan langkah, aku terperosok, sehingga tubuhku terguling pada tebing yang tidak berujung.

Aku berteriak. "Bunda!"

Napasku tersenggal. Kurasakan kakiku seakan ditarik begitu keras, tetapi tak ada siapa pun di kamarku.

"Jadi, itu hanya mimpi." Betapa leganya.

Kulihat refleksi dari cahaya lampu pada jam yang terpampang pada dinding kamarku. "Pukul tiga pagi," ucapku.

"Mimpi itu terasa begitu nyata. Bagaimana mungkin dapat dengan jelas aku mengenali sosok-sosok di dalam mimpiku?"

Aku bersyukur apabila itu mimpi. Akan tetapi, ada gelenyar aneh yang kurasakan ketika mengingat adegan di mana Nena berpihak kepada mereka.

"Naya tenanglah itu hanya mimpi," ujarku menenangkan pikiranku.

The Glimpse of You

Bayangan tentang terjatuh dari tebing masih menghantui pikiranku. Mengusik ketenanganku. Sepertinya aku melamun selama perjalanan menuju tempat yang terdapat teman-teman sebaya, juga jajanan yang empat sehat lima sempurna itu.

Entah sejak kapan aku melamun, karena seingatku aku baru selesai mengenakan sepatu di kursi yang ada di teras rumah. Setelah itu, sungguh aku tidak ingat.

"Ah, kenapa harus terbayang mimpi itu lagi, sih?"

Aku bertaruh demi namaku. Bahwa mimpi terjatuh dari tebing yang kualami tadi malam adalah yang ke---aku bahkan lupa yang ke berapa. "Sial."

Setelah menyadari bahwa ragaku telah tiba di tempat yang kusebutkan di awal, tungkaiku melangkah dengan ragu.

Di sini sudah ramai. Kulihat jam dinding besar yang berada di tengah-tengah gedung, di antara gedung lainnya. Pukul tujuh lewat lima menit.

Aku sendiri baru saja masuk melalui pintu masuk menuju gedung utama, yaitu gedung kelas, sedangkan di pintu sebelumnya adalah jajaran ruangan khusus petinggi sekolah, pengajar, dan koperasi.

Struktur sekolah cukup bergengsi ini berbentuk seperti persegi panjang yang berisi persegi panjang lainnya, sehingga di tengah-tengah terdapat lapangan yang cukup luas. Entah seberapa luasnya lingkungan sekolah ini.

Aku mengedarkan pandangan mulai dari sisi kiri hingga sisi kanan, mereka menatapku dengan raut wajah, serta tatapan yang tidak bisa kutebak artinya.

Awalnya aku hendak melewati lorong kelas sepuluh di sisi kiri pintu masuk, tetapi di sana sangat ramai. Sementara melewati lorong kanan, artinya aku mencari masalah, karena terakhir kali sudah aku putuskan untuk tidak pernah melewati lorong itu.

"Oh, ayolah!" Aku merengek frustrasi ketika menyadari bahwa aku telah menjadi pusat perhatian, seperti halnya yang terjadi kepada pemeran utama dalam komik. "Aku tahu bahwa diriku bukanlah pemeran utamanya di sekolah ini, melainkan ...."

Begitulah. Belum juga kusebutkan, seseorang, bukan, melainkan empat orang yang menjadi objek dalam ucapanku sudah muncul.

"Sial, kenapa aku harus bertemu dengan mereka?"

Kenapa pula mereka menatapku?

Kenapa hari ini aku begitu diperhatikan?

Mereka tidak bersama, tetapi kulihat mereka berada dalam satu bingkai yang tepat dalam manik cokelatku.

Aku tidak ingin bertahan, makanya segeralah aku pergi ke arah lain. Seharusnya aku berjalan lurus, karena ruang kelasku berada di ujung jalanan ini. Sayangnya, aku memlilih untuk memutar arah. Terpaksa aku melanggar ucapanku sendiri kemarin.

"Persetan dengan janji bersama cewek sok jagoan dari jurusan sastra itu!"

Sekolah tempatku menimba ilmu ada di bawah naungan yayasan keluarga konglomerat terpandang, juga memiliki perusahaan raksasa di kota kelahiranku. Keluarga yang memiliki yayasan ini adalah keluarga dengan reputasi sangat baik. Bahkan, pernah kulihat wawancaranya pada kanal televisi berita luar negeri.

Entah mengapa aku mencak-mencak setelah tidak sengaja bersinggungan dengan mereka berempat.

"Nena dan ketiga orang menyebalkan itu!" Entah mengapa ketika menyebutkan namanya, bahkan hanya teringat wajahnya saja, aku merasakan ada sesuatu yang meremat bagian inti tubuhku.

Sontak kupegangi sisi kiri bagian muka badanku. Napasku mulai tidak beraturan. "Sa--kit."

Di ujung lorong ini ada akses jalan menuju area belakang sekolah. Sebuah taman yang terdapat danau buatan yang diisi dengan beragam jenis ikan adalah pemandangannya. Selain itu, nun jauh di sana terdapat pemandangan pepohonan yang menjulang dan rindang.

Tubuhku mulai letih setelah pertemuan dengan banyak manusia di lorong kelas. Bagian tubuhku yang ngilu mulai memberikan reaksi terhadap ingatanku.

Dengan langkahku yang pelan, seakan-akan aku mendekati pepohonan di seberang sana. Tubuhku saat ini tidak dapat kukendalikan. Seolah ada sesuatu yang menarik tubuhku untuk melangkah mendekati area pepohonan di sana.

Mataku memandangi pepohonan di seberang sana. Degup jantungku beraksi cukup cepat dari pada seharusnya. Sementara di dalam ingatanku terputar bayangan yang asing.

Kulihat bayangan seseorang yang wajahnya agak jauh dari pandanganku. Bukan karena jarak kami jauh, melainkan aku yang berada di bawah sosok jangkung itu.

"Naya!" Suaranya tidak dapat kunikmati. Hanya gerakan bibirnya yang dapat kubaca.

Entah apa yang terjadi kepadaku dalam bayangan asing itu, tetapi ada gelenyar menyakitkan mendera dadaku.

Langkahku masih berlanjut. Kepalaku tegak dengan tatapan lurus ke arah pepohonan di seberang sana yang semakin mendekat.

"Naya Karkata!" Suara ini menghentikan langkahku untuk sesaat.

"Berhenti atau lo bakalan nyesel!"

Sedikit pun aku tidak ingin bereaksi. Jadi, aku akan melakukan apa yang kuanggap benar.

Melanjutkan langkahku adalah pilihan yang tepat daripada mendengarkan suara menyebalkan itu lagi.

Tungkaiku hendak menapak, tetapi tarikan kasar pada titik lenganku membuat tubuhku terjungkal.

Akan tetapi, pemilik suara menyebalkan itu berhasil menahan tubuhku. Dia memegangi kedua bahuku, seakan-akan dia tengah memelukku dari belakang.

Hal itu membuatku tidak nyaman. Sontak aku melepaskan diri darinya. Segera kurapikan seragamku yang barusan dia sentuh.

"Lo sebegitu bersemangatnya mau berenang sepagi ini?"

Kutarik sebelah alisku. "Berenang?"

Dia tidak menjawab. Malah menujuk ke arah yang dia kira perairan dengan dagunya. Ke area yang berada di belakang tubuhku.

Kedua manik obsidian kecokelatan milikku menurut untuk diperlihatkan apa yang dimaksudkan oleh orang menyebalkan di hadapanku.

Kedua bola mataku mebelalak. "Danau?"

Kudengar dengusan darinya. "Lo," katanya dengan suara rendah. "Hari ini lo masuk, gua dengar lo cuti sekolah selama dua minggu."

Ah, apa mungkin karena kehadiranku di sekolah setelah cuti itulah penyebab mereka memperhatikanku?

"Lo pasti liburan lagi sama keluarga lo selama itu." Dugaannya sangat menyebalkan. "Pasti karena itu lo pengen nyebur ke danau, ya?"

Setelah mengatakan hal menyebalkan itu, dia dengan santainya tertawa.

"Bukan urusan kamu!" Kuputuskan untuk pergi meninggalkan dia di taman ini.

"Naya, senang bisa bertemu lagi dengan lo."

Sambil melangkah pergi, kusempatkan diri untuk menjawab ucapan dia. "Naya yang nggak senang ketemu sama kalian!"

Setelah itu, aku terkena batu.

Entah apa yang kuinjak. Bukan batu, tetapi berhasil membuat tubuhku tergelincir karena benda tersebut.

Suaranya amat keras. Sakitnya juga tak seberapa. Akan tetapi, harga diriku turut jatuh. Amat memalukan!

Tubuhku terduduk setelah menginjak benda yang belum dapat kutemukan, yang menjadi pelaku utama dari insiden memalukan ini.

Entah datangnya dari mana, aku mendengar sebuah suara disertai bayangan asing. Lagi-lagi bayangan asing. Sebab rasanya, aku seolah telah kehilangan sesuatu.

Bayangan itu datang. Mengenai diriku yang terjatuh. Ada lagi, seseorang yang berdiri dengan wajah penuh kecemasannya.

Wajah itu tampak tidak asing. Tahi lalat di bawah tulang rahang. Bibir tipis merah muda. Hidung  bangir dan ramping. Mata berbinar kehitaman. Wajah itu milik seseorang yang aku tidak suka keberadaannya.

"Naya, lo baik-baik aja, kan?"

Sejenak kuhela napas. Mengatur napasku supaya tenang. "Kenapa bayangan itu merujuk kepada dia?" Ucapanku hanya sebatas dalam benak saja.

Menoleh ke arah laki-laki jangkung setelah mendapat bayangan tentang dirinya adalah salah satu pembuktian. Aku harap diriku telah salah mengenali.

Kutatap wajahnya yang datar. Persis seperti dalam mimpi buruk itu, berlainan dengan bayangan barusan. "Kenapa harus kamu?"

"Ada apa?" tanya dia.

"Bayangan itu, kenapa orang yang mengkhawatirkanku harus kamu?"

Sesaat, raut wajahnya menegang. Dapat kutebak. Soalnya mata tidak pernah berbohong. Kulihat manik obsidian miliknya begetar dan berubah menjadi binar yang sulit kuartikan.

"Bayangan apa?" Dia kembali bertanya.

Kuputuskan untuk diam.

Terlalu lama bersama orang yang tidak disukai akan berdampak buruk bagi emosi. Aku teramat menyayangi diriku, sehingga kuputuskan untuk merapikan diri.

Bangkit dari posisi terjatuh ternyata tidak mudah. Sialnya kakiku keseleo. Sepertinya benda yang kuinjak itu dendam, sehingga dia berhasil membuat pergelangan kakiku sakit.

Kontan aku meringis.

"Lo gapapa?"

"Sakit."

"Biar gua bantu lo berdiri," ujarnya, "boleh, kan?"

Tidak kujawab, hanya kuberikan anggukan pelan sambil menahan sakit pada kakiku.

Dia mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Kemudian, tangannya menuntun tanganku untuk dia rangkulkan pada bahu lebarnya.

"Coba dibawa jalan dulu."

Aku mencobanya, tetapi semakin sakit ketika kupaksakan kaki kanan yang keselo itu untuk menapak.

"Semakin sakit," kataku.

"Nggak ada cara lain."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!