Pejaman mataku terbuka. Sejenak aku mengedarkan pandanganku pada tiap sudut ruangan saat ini. Dinding gelap dengan pencahayaan yang redup, persis seperti di dalam kamarku. Kuputuskan untuk memastikan keberadaanku dengan menatap ke samping kiri. Ada nakas beserta lampu tidur menyala di sana.
Kupejamkan kembali kedua manik obsidian kecokelatan milikku. “Syukurlah, aku berada di kamarku.”
Meski aku berada di kamarku sendiri, ada hal yang ganjil. Kupaksakan diri bangkit dari posisi terlentang di atas kasur, lalu menyambar jam di atas nakas. “Sebelumnya aku ada di ruang kelas. Gimana bisa ada di kamarku?”
Pukul tiga pagi. “Seperti sebelumnya,” kataku. “Apa mungkin itu juga hanya mimpi?”
Sontak kepalaku menggeleng. Menolak keras kesimpulanku sendiri. “Tenang, Naya … tenang.” Hembusan napasku keluar dengan teratur. Pokoknya aku berusaha menenangkan diriku.
Jika ini hanya kebetulan, maka kondisikulah yang sedang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, apabila kejadian tentang Radi yang marah kepadaku hanya mimpi, artinya semua kejadian buruk itu bukanlah apa-apa.
Kudengar ketukan pada kaca jendela dari arah balkon kamarku. Siapa gerangan pada sepertiga malam begini?
Aku teringat cerita horor, yang mana seorang arwah meneror pemilik rumah atau siapa pun yang mengusiknya mengalami kejadian ini. Sial, kenapa pikiranku sesempit ini?
“Nay, tenang … bisa aja itu hanya ranting pohon yang terkena angin malam, kan?”
Ketukan itu kembali terdengar bersama suara samar yang kukenali.
Kusibak selimut yang menutupi sebagian tubuhku, terutama pada kaki. Melupakan rasa takut atau sugesti mengenai teror arwah, kuputuskan untuk mengecek sendiri siapa yang berada di balkon kamarku pada sepertiga malam begini.
Baru saja kuturunkan kedua kakiku ke lantai, rasa ngilu itu mengguncang tubuhku. Belum ada selangkah aku berjalan, tubuhku telah limbung, kembali terduduk di atas kasur dengan tema tanaman berwarna biru.
Ringisan dapat kudengarkan seiring rasa sakit itu benar-benar mengusik seluruh kesadaranku. Menurunkan pandangan pada kedua kaki, memeriksa apa yang terjadi. Seketika aku tertegun.
“Keseleo,” kataku. “Jadi, itu bukan mimpi. Terus kenapa aku tiba-tiba ada di kamarku?”
“Nay, Naya?” Suara Radi terdengar dari arah balkon.
Memang sudah dapat aku duga bahwa itu Radi. Kenapa Radi menghampiriku malam-malam begini?
Aku menggumam sambil menahan rasa sakit. “Bukannya Radi ngambek sama Naya?”
Radi kembali bersuara. “Nay, tolongin Radi.” Kedengarannya dia putus asa. “Lo kebangun, kan?” lanjutnya dengan pertanyaan konyol. Kalau dia tahu ini pukul berapa, seharusnya dia sadar diri.
Aku tidak mungkin berjalan seperti hantu perawat rumah sakit untuk mencapai pintu ke arah balkon. Akan tetapi, kondisi kakiku juga tidak prima. “Kenapa harus keselo segala, sih?”
Aku menyalahkan keadaan atas kondisiku saat ini. Kaki yang terkilir karena tidak sengaja menginjak benda keras yang bersembunyi di balik dedaunan kering, sungguh menggelikan.
Aku tertatih berjalan mendekati pintu menuju balkon. Sebelum membuka pintu, kusibak tirai cokelat muda, menatap Radi yang berpakaian rapi, tetapi wajahnya agak kacau. Setelah itu, aku benar-benar membuka kunci pintu.
“Ada apa malam-malam begini ke kamar Naya?”
Radi mendekatiku. Iris matanya tampak berkaca-kaca sambil menatap lamat iris mata milikku. “Lo baik-baik aja, kan?” Suara Radi tidak seperti terakhir kali.
Aku mengulas senyuman terbaikku. “Naya sedang menderita. Kaki Naya sakit. Gara-gara Radi juga ….” Radi menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
“Apa lo ingat apa yang terjadi setelah gua tinggalin lo di kelas?”
“Nggak. Naya pikir itu cuman mimpi.”
Radi melepas pelukannya. “Sori, datang malam-malam begini. Boleh Radi masuk?”
Aku persilakan sepupuku ini untuk masuk. Dia juga membantuku untuk berjalan masuk. Sejenak aku mulai tenang. Radi tidak benar-benar marah kepadaku.
“Naya tanya, loh,” ucapku menagih jawaban. “Kenapa malam-malam begini … ke balkon pula?”
Radi menunjukkan deretan giginya. Dia berjalan menjauh dariku setelah berhasil membawaku ke sofa di depan kasurku. Radi berjalan menuju sakelar lampu utama.
“Lo sendiri nggak penasaran kenapa tiba-tiba kebangun di kamar lo setelah pertengkaran kita?”
Aku penasaran, tetapi setelah kuingat lagi, terakhir kali aku mendapatkan bayangan itu lagi. Lantas aku menjawab, “Emangnya apa yang udah terjadi kepada Naya?”
“Lo nggak sadarkan diri. Tante tahu dan bawa lo ke rumah alih-alih ke rumah sakit.”
“Ah, jadi karena itu Naya ada di rumah.” Aku menatap lurus kepada Radi. “Kenapa wajah kamu kacau begitu? Habis berantem sama siapa?”
“Mama.”
“Kok bisa?”
“Gua nggak salahin lo kok, Nay. Cuman gua berantem sama Mama karena lo,” ungkap Radi. “Gua nggak becus jagain lo. Maaf.”
Sebenarnya, bukan kali pertama Radi datang kepadaku tengah malam begini. Tiap kali dia berseteru dengan orang tuanya, maka Radi akan mendatangi rumah orang tuaku, langsung ke kamarku. “Diusir lagi dari rumah?”
Radi menggeleng. “Nggak juga. Cuman kesepian aja di rumah sendirian.”
“Kamu berantem sama tante Bia tuh biasanya diusir dari rumah.”
Radi terkekeh. “Sebenernya, nyaris diusir sih,” ungkap Radi, “karena bikin anak orang diopname di rumah sakit.”
“Apa?” Tidak kusangka Radi melakukan kejahatan seperti itu. “Siapa dan kenapa kamu lakukan itu, Radi?”
“Gua lakukan itu karena lo,” ucap Radi. “Si kulkas adalah orang yang bikin lo nggak sadarkan diri, kan?”
Jaeden.
“Memang iya, tapi Naya nggak ketemu dia lagi setelah di UKS, sih.”
Radi menceritakan apa yang terjadi kepadaku secara mendetail. Setelah pertengkaran kami, lalu mendapati Jaeden tengah membopong tubuhku menuju ruang kesehatan, sehingga Radi diliputi kemarahan.
“Gua hajar dia berkali-kali dan melupakan keadaan lo yang seharusnya ada di ruang perawatan, Nay.” Radi menunduk. Dia benar-benar tengah putus asa.
“Naya yang salah. Radi nggak salah.”
“Nggak, Nay.” Radi kembali menatapku. “Naya, tolong jangan lakukan itu, ya?”
Radi mulai mengungkit hal yang membuat kami bertengkar kemarin. Aku sendiri sudah membulatkan tekadku untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Akan tetapi, keadaan Radi yang kacau begini membuatku takut.
“Naya takut, Radi.” Aku tidak kuasa menahan rasa takut kehilangan. “Naya nggak mau kehilangan apa-apa lagi, termasuk ingatan Naya sendiri.”
“Lo nggak kehilangan apa-apa, Nay.”
“Naya kehilangan Kak Nopan. Naya kehilangan kasih sayang Papa.” Suaraku bergetar ketika mengungkapkannya. “Naya nggak mau kehilangan siapa-siapa lagi. Juga nggak mau kehilangan momen … apa pun itu. Baik maupun buruk.”
“Lo memang kehilangan momen selama beberapa bulan terakhir, Nay,” ungkap Radi, “tapi semuanya akan kembali lagi kalau lo nggak buru-buru. Pelan-pelan aja, karena itu akan bikin lo rileks.”
Aku terpikirkan satu hal. “Apa mungkin kalau Naya memaksakan diri akan sering terjadi hal kayak gini?” tanyaku. “Naya yang kehilangan kesadaran kapan pun.”
Radi tidak menjawab. Dia juga bergeming.
"Kalo lo nggak mau kehilangan siapa pun lagi, maka lo harus mau nurut dengan permintaan gua, Nay."
"Naya harus apa?"
"Jangan memaksakan diri untuk inget semuanya saat ini juga, Nay. Gua pasti bakalan bantu lo, tapi nggak sekarang."
"Terus kapan, Radi?"
"Kapan pun, asalkan lo jangan pernah ketemuan sama si kulkas atau yang lain."
Aku terkekeh. "Mustahil. Kita satu sekolah."
"Bisa, Nay. Asalkan lo selalu sama gua, kalian nggak akan pernah saling ketemu."
Bersama-sama dengan Radi kemana pun. "Artinya Naya juga harus ikut kumpul dengan teman-teman kamu yang berisik itu?"
"Iya."
Tidak bertemu dengan Jaeden dan tiga lainnya. "Baik."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments