Selama puluhan meter berjalan dengan formasi ala pendaki gunung, aku dengan Neneng tidak banyak bicara, hanya Leya dan Ginting saja yang mengoceh agar tidak mati kutu di tengah keheningan tempat yang menenangkan ini.
Tibalah kami di jalanan yang cukup terjal. Treknya menanjak dengan bebatuan besar.
"Perlu banget kita lewat jalanan bebatuan ini?" Aku memberikan pendapat sekaligus keraguan.
"Kalo lo mau cari jalan lain, gua ikut, tapi lo di depan."
Ucapan Ginting selalu membuatku tak bisa berkutik. Hanya Neneng yang dapat dengan luwes membalas ucapan tajam dari Ginting dengan ucapan yang tak kalah tajam.
"Tahu gini juga mendingan aku sama Naya nggak pergi bareng kalian!"
"Eh, jangan gitu, dong, Kata dan Nena." Lagi-lagi, Leya berusaha menengahi, tetapi usahanya tidak Neneng indahkan.
"Gin, lo jangan nyusahin deh. Udah jelas ada rambu-rambu di samping lo. Trek yang harus kita lalui buka ke arah yang mau kita tuju."
Aku melirik ke belakang. Ke arah laki-laki yang ternyata memiliki suara yang berat, tetapi selaras dengan kepribadian serta perawakan usianya.
Entah mengapa degup jantungku mendadak tidak karuan. Ada yang berdesir namun bukan ombak.
Ginting yang sudah terbukti salah arah hanya terkekeh sambil mengacak rambut Leya di depannya.
"Kita lanjut lagi, ya." Ginting menjadi lebih ramah dari sebelumnya. "Sori, tadi gua cuman mau ngetes aja."
"Iya, Leya sempet dengerin Ginting dan rencananya yang mau bikin kalian terpisah dari kami, tapi nggak beneran mau memisahkan kok."
"Omong kosong apalagi?" Neneng tampaknya sudah muak denga drama trio menyebalkan itu.
"Sabar, Neng." Aku meyakinkan Neneng dengan memegang lengannya, mengusap pelan. Artinya, aku akan selalu ada bersama Neneng.
Setelah drama salah arah, kami melanjutkan perjalanan. Hari semakin terang, sang surya juga tak mau kalah semangat dari kami, sehingga dia memancarkan cahaya panasnya begitu terik.
Di tengah perjalanan, tiga orang yang berada di depanku itu sibuk dengan perdebatan mereka. Aku sampai terkekeh mendengarnya. Sayangnya, hanya Neneng yang disebut oleh dua orang paling depan.
Namun, seseorang yang berada dua langkah dariku di belakang kedapatan berusaha menyamakan langkahnya denganku.
Aku melirik, walau hanya sudut mataku saja yang melihat, karena aku tidak berani bersitatap setelah debaran aneh beberapa saat lalu. "Kenapa dia tiba-tiba mau berjalan di sampingku?"
"Ada baiknya berjalan seperti ini. Supaya nggak merasa sendirian," ujarnya tanpa mengatakan sedikit hal tentang siapa yang tengah dia ajak bicara.
Aku benar-benar menatapnya dari samping secara singkat. "Tidak masalah." Aku tidak keberatan, tetapi debaran aneh ini memberatkan pikiranku.
Aku dapat mendengar dengusan, tetapi tidak berani memastikan bahwa dengusan itu memiliki seulas senyuman yang menawan.
"Aku ini sedang membayangkan apa?" Benar-benar berlebihan!
Tidak seharusnya aku membayangkan senyuman menawan dari si dingin itu. Sialnya dia berada di sampingku kali ini.
"Setelah menyusuri hutan, kita akan berpisah." Ucapannya pelan, sehingga hanya aku yang dapat menikmatinya, maksudku, mendengarnya. "Benar, kan?"
Aku mencuri pandang, karena aku tidak ingin salah melangkah. Aku memberanikan diri menatap orang yang berada di sampingku. "Kalau iya, memangnya kenapa?"
Aku tetap berjalan, sementara dia tampak menghentikan langkahnya.
"Aku menyukainya," katanya, "karena keberadaan kamu menyusahkanku."
Kupikir dia akan mengatakan keberatan karena kebersamaan yang singkat ini. Sepertinya ada yang salah denganku. Kenapa aku berharap kepada si menyebalkan itu?
"Sungguh nggak bisa kupercaya. Nggak ada yang dapat aku percaya selain Neneng."
Beberapa meter di depan sana ada sebuah pos. Seperti sebuah gubuk dengan lentera padam yang menggantung.
"Neng, kita lanjut jalan aja." Aku berbisik, bahkan membawa Neneng menjauh dari ketiga manusia menyebalkan itu di pos.
"Kenapa?"
"Katamu kita cuman butuh mereka sebentar aja." Kulihat Neneng mengerutkan dahi dan mengacaukan wajahnya. Sepertinya aku telah salah meminta. "Kamu udah terlanjur nyaman bersama mereka?"
Neneng menatapku dengan reaksi yang tidak aku inginkan, seperti kebenaran yang dia miliki namun dia ingin menyembunyikannya dariku, sama seperti detail mandat dari Ibu.
Aku ingin menangis ketika Neneng tidak menjawab. Bahkan dengan menunjukkan reaksi seperti itu. Aku kecewa.
"Aku gapapa kok, asalkan ada kamu, karena itu kamu, Nena." Aku memaksakan senyuman agar Neneng yakin bahwa aku baik-baik saja.
Setelah mengatakannya, aku pergi menjauh, baik dari Neneng, maupun ketiga manusia yang sudah membuat Neneng membelot dari ketidaksukaannya.
Kudengar Neneng ikut berbincang bersama mereka, meninggalkan aku yang tengah menenangkan diri. Membuatku benar-benar seperti pecundang yang iri dengan kemenangan sang juara.
"Kenapa juga aku harus percaya sama Nena yang nggak begitu dekat dan akrab?"
Memikirkan berbagai pencapaian seorang Nena Jaida di akademik membuatku merasa aman. Apa mungkin aku terlalu mengandalkan Nena sebagai penghalang amukan Papa?
Papa? Aku bahkan sudah tidak tahu kabarnya semenjak kepergian anak laki-laki kesayangannya.
"Ah, kenapa juga harus keinget mereka?" Aku tidak ingin menunjukkan kesedihanku bahkan ketika aku sendirian. Terlebih merasa iri bukanlah sikapku banget.
Suara derap langkah medekat, tetapi dia membeku di tempat ketika tak sengaja menginjak ranting yang tertutup dedaunan kering di atas tebing, yang dekat dari pos.
Aku melirik sekilas. Ternyata laki-laki menyebalkan itu. Aku berusaha untuk mengembalikan suasana hatiku kembali.
"Omong-omong, siapa nama kamu?" Tanpa menoleh, karena aku belum siap untuk berhadapan kembali dengan orang menyebalkan satu ini.
Kudengar langkahnya lagi, bising seperti kesalahan sebelumnya, entah mendekat atau mengubah posisi saja.
"Emangnya penting, ya?"
Cih, malah balik bertanya. Aku tidak ingin melanjutkan lagi sesi pembicaraan dengan orang ini.
Mungkin dia jengah, karena aku tidak membalas, sehingga dia melanjutkan ucapannya dengan selisih waktu lima puluh detik. "Lagian kita bakalan terpisah setelah ini ... mungkin setelah selesai dari perjalanan ini kamu bisa bertanya untuk ketiga kalinya."
Aku teregun. "Tiga kali?"
"Gua pergi duluan, mereka udah mau berangkat lagi." Dia menatapku dengan tatapan yang sama. Datar tanpa ekspresi yang bersahabat. "Jadi, lo mau pergi sendirian?"
Gagasan yang bagus. Aku bisa pergi sendirian saja. Akan tetapi, bagaimana dengan Nena?
"Pergi aja." Aku tidak ingin menatap kepada objek yang sama. Walaupun begitu, aku masih dapat merasakan kehadirannya di sana. "Kubilang pergi saja!"
"Naya ...."
"Pergi aja seperti ucapannya dia, tinggalin Naya di sini sendirian kalo dia keberatan pergi bareng kita."
Si menyebalkan Ginting itu!
"Baik, Naya bakalan pergi sendirian!" Aku yang berada di bawah tebing rendah bergegas pergi ke arah yang berlawanan dengan tujuan mereka. Aku akan kembali ke trek sebelumnya dan pulang saja.
"Persetan dengan mandat dari Ibu!"
Aku melangkah dengan amarah yang memuncak. Tidak kusangkakan Neneng dapat dengan mudah berpaling.
"Nggak, Neneng nggak salah," ucapku, "aku yang salah di sini, karena aku yang tidak mengerti keadaan, sehingga aku yang ceroboh."
Aku melangkah dengan kepala tertunduk. Tidak dapat aku perhatikan jalanan atau area sekitaran yang merupakan tebing rendah atau perbukitan, sehingga jalanan yang menanjak atau menurun.
Sebab tidak memperhatikan langkah, aku terperosok, sehingga tubuhku terguling pada tebing yang tidak berujung.
Aku berteriak. "Bunda!"
Napasku tersenggal. Kurasakan kakiku seakan ditarik begitu keras, tetapi tak ada siapa pun di kamarku.
"Jadi, itu hanya mimpi." Betapa leganya.
Kulihat refleksi dari cahaya lampu pada jam yang terpampang pada dinding kamarku. "Pukul tiga pagi," ucapku.
"Mimpi itu terasa begitu nyata. Bagaimana mungkin dapat dengan jelas aku mengenali sosok-sosok di dalam mimpiku?"
Aku bersyukur apabila itu mimpi. Akan tetapi, ada gelenyar aneh yang kurasakan ketika mengingat adegan di mana Nena berpihak kepada mereka.
"Naya tenanglah itu hanya mimpi," ujarku menenangkan pikiranku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments