Bayangan tentang terjatuh dari tebing masih menghantui pikiranku. Mengusik ketenanganku. Sepertinya aku melamun selama perjalanan menuju tempat yang terdapat teman-teman sebaya, juga jajanan yang empat sehat lima sempurna itu.
Entah sejak kapan aku melamun, karena seingatku aku baru selesai mengenakan sepatu di kursi yang ada di teras rumah. Setelah itu, sungguh aku tidak ingat.
"Ah, kenapa harus terbayang mimpi itu lagi, sih?"
Aku bertaruh demi namaku. Bahwa mimpi terjatuh dari tebing yang kualami tadi malam adalah yang ke---aku bahkan lupa yang ke berapa. "Sial."
Setelah menyadari bahwa ragaku telah tiba di tempat yang kusebutkan di awal, tungkaiku melangkah dengan ragu.
Di sini sudah ramai. Kulihat jam dinding besar yang berada di tengah-tengah gedung, di antara gedung lainnya. Pukul tujuh lewat lima menit.
Aku sendiri baru saja masuk melalui pintu masuk menuju gedung utama, yaitu gedung kelas, sedangkan di pintu sebelumnya adalah jajaran ruangan khusus petinggi sekolah, pengajar, dan koperasi.
Struktur sekolah cukup bergengsi ini berbentuk seperti persegi panjang yang berisi persegi panjang lainnya, sehingga di tengah-tengah terdapat lapangan yang cukup luas. Entah seberapa luasnya lingkungan sekolah ini.
Aku mengedarkan pandangan mulai dari sisi kiri hingga sisi kanan, mereka menatapku dengan raut wajah, serta tatapan yang tidak bisa kutebak artinya.
Awalnya aku hendak melewati lorong kelas sepuluh di sisi kiri pintu masuk, tetapi di sana sangat ramai. Sementara melewati lorong kanan, artinya aku mencari masalah, karena terakhir kali sudah aku putuskan untuk tidak pernah melewati lorong itu.
"Oh, ayolah!" Aku merengek frustrasi ketika menyadari bahwa aku telah menjadi pusat perhatian, seperti halnya yang terjadi kepada pemeran utama dalam komik. "Aku tahu bahwa diriku bukanlah pemeran utamanya di sekolah ini, melainkan ...."
Begitulah. Belum juga kusebutkan, seseorang, bukan, melainkan empat orang yang menjadi objek dalam ucapanku sudah muncul.
"Sial, kenapa aku harus bertemu dengan mereka?"
Kenapa pula mereka menatapku?
Kenapa hari ini aku begitu diperhatikan?
Mereka tidak bersama, tetapi kulihat mereka berada dalam satu bingkai yang tepat dalam manik cokelatku.
Aku tidak ingin bertahan, makanya segeralah aku pergi ke arah lain. Seharusnya aku berjalan lurus, karena ruang kelasku berada di ujung jalanan ini. Sayangnya, aku memlilih untuk memutar arah. Terpaksa aku melanggar ucapanku sendiri kemarin.
"Persetan dengan janji bersama cewek sok jagoan dari jurusan sastra itu!"
Sekolah tempatku menimba ilmu ada di bawah naungan yayasan keluarga konglomerat terpandang, juga memiliki perusahaan raksasa di kota kelahiranku. Keluarga yang memiliki yayasan ini adalah keluarga dengan reputasi sangat baik. Bahkan, pernah kulihat wawancaranya pada kanal televisi berita luar negeri.
Entah mengapa aku mencak-mencak setelah tidak sengaja bersinggungan dengan mereka berempat.
"Nena dan ketiga orang menyebalkan itu!" Entah mengapa ketika menyebutkan namanya, bahkan hanya teringat wajahnya saja, aku merasakan ada sesuatu yang meremat bagian inti tubuhku.
Sontak kupegangi sisi kiri bagian muka badanku. Napasku mulai tidak beraturan. "Sa--kit."
Di ujung lorong ini ada akses jalan menuju area belakang sekolah. Sebuah taman yang terdapat danau buatan yang diisi dengan beragam jenis ikan adalah pemandangannya. Selain itu, nun jauh di sana terdapat pemandangan pepohonan yang menjulang dan rindang.
Tubuhku mulai letih setelah pertemuan dengan banyak manusia di lorong kelas. Bagian tubuhku yang ngilu mulai memberikan reaksi terhadap ingatanku.
Dengan langkahku yang pelan, seakan-akan aku mendekati pepohonan di seberang sana. Tubuhku saat ini tidak dapat kukendalikan. Seolah ada sesuatu yang menarik tubuhku untuk melangkah mendekati area pepohonan di sana.
Mataku memandangi pepohonan di seberang sana. Degup jantungku beraksi cukup cepat dari pada seharusnya. Sementara di dalam ingatanku terputar bayangan yang asing.
Kulihat bayangan seseorang yang wajahnya agak jauh dari pandanganku. Bukan karena jarak kami jauh, melainkan aku yang berada di bawah sosok jangkung itu.
"Naya!" Suaranya tidak dapat kunikmati. Hanya gerakan bibirnya yang dapat kubaca.
Entah apa yang terjadi kepadaku dalam bayangan asing itu, tetapi ada gelenyar menyakitkan mendera dadaku.
Langkahku masih berlanjut. Kepalaku tegak dengan tatapan lurus ke arah pepohonan di seberang sana yang semakin mendekat.
"Naya Karkata!" Suara ini menghentikan langkahku untuk sesaat.
"Berhenti atau lo bakalan nyesel!"
Sedikit pun aku tidak ingin bereaksi. Jadi, aku akan melakukan apa yang kuanggap benar.
Melanjutkan langkahku adalah pilihan yang tepat daripada mendengarkan suara menyebalkan itu lagi.
Tungkaiku hendak menapak, tetapi tarikan kasar pada titik lenganku membuat tubuhku terjungkal.
Akan tetapi, pemilik suara menyebalkan itu berhasil menahan tubuhku. Dia memegangi kedua bahuku, seakan-akan dia tengah memelukku dari belakang.
Hal itu membuatku tidak nyaman. Sontak aku melepaskan diri darinya. Segera kurapikan seragamku yang barusan dia sentuh.
"Lo sebegitu bersemangatnya mau berenang sepagi ini?"
Kutarik sebelah alisku. "Berenang?"
Dia tidak menjawab. Malah menujuk ke arah yang dia kira perairan dengan dagunya. Ke area yang berada di belakang tubuhku.
Kedua manik obsidian kecokelatan milikku menurut untuk diperlihatkan apa yang dimaksudkan oleh orang menyebalkan di hadapanku.
Kedua bola mataku mebelalak. "Danau?"
Kudengar dengusan darinya. "Lo," katanya dengan suara rendah. "Hari ini lo masuk, gua dengar lo cuti sekolah selama dua minggu."
Ah, apa mungkin karena kehadiranku di sekolah setelah cuti itulah penyebab mereka memperhatikanku?
"Lo pasti liburan lagi sama keluarga lo selama itu." Dugaannya sangat menyebalkan. "Pasti karena itu lo pengen nyebur ke danau, ya?"
Setelah mengatakan hal menyebalkan itu, dia dengan santainya tertawa.
"Bukan urusan kamu!" Kuputuskan untuk pergi meninggalkan dia di taman ini.
"Naya, senang bisa bertemu lagi dengan lo."
Sambil melangkah pergi, kusempatkan diri untuk menjawab ucapan dia. "Naya yang nggak senang ketemu sama kalian!"
Setelah itu, aku terkena batu.
Entah apa yang kuinjak. Bukan batu, tetapi berhasil membuat tubuhku tergelincir karena benda tersebut.
Suaranya amat keras. Sakitnya juga tak seberapa. Akan tetapi, harga diriku turut jatuh. Amat memalukan!
Tubuhku terduduk setelah menginjak benda yang belum dapat kutemukan, yang menjadi pelaku utama dari insiden memalukan ini.
Entah datangnya dari mana, aku mendengar sebuah suara disertai bayangan asing. Lagi-lagi bayangan asing. Sebab rasanya, aku seolah telah kehilangan sesuatu.
Bayangan itu datang. Mengenai diriku yang terjatuh. Ada lagi, seseorang yang berdiri dengan wajah penuh kecemasannya.
Wajah itu tampak tidak asing. Tahi lalat di bawah tulang rahang. Bibir tipis merah muda. Hidung bangir dan ramping. Mata berbinar kehitaman. Wajah itu milik seseorang yang aku tidak suka keberadaannya.
"Naya, lo baik-baik aja, kan?"
Sejenak kuhela napas. Mengatur napasku supaya tenang. "Kenapa bayangan itu merujuk kepada dia?" Ucapanku hanya sebatas dalam benak saja.
Menoleh ke arah laki-laki jangkung setelah mendapat bayangan tentang dirinya adalah salah satu pembuktian. Aku harap diriku telah salah mengenali.
Kutatap wajahnya yang datar. Persis seperti dalam mimpi buruk itu, berlainan dengan bayangan barusan. "Kenapa harus kamu?"
"Ada apa?" tanya dia.
"Bayangan itu, kenapa orang yang mengkhawatirkanku harus kamu?"
Sesaat, raut wajahnya menegang. Dapat kutebak. Soalnya mata tidak pernah berbohong. Kulihat manik obsidian miliknya begetar dan berubah menjadi binar yang sulit kuartikan.
"Bayangan apa?" Dia kembali bertanya.
Kuputuskan untuk diam.
Terlalu lama bersama orang yang tidak disukai akan berdampak buruk bagi emosi. Aku teramat menyayangi diriku, sehingga kuputuskan untuk merapikan diri.
Bangkit dari posisi terjatuh ternyata tidak mudah. Sialnya kakiku keseleo. Sepertinya benda yang kuinjak itu dendam, sehingga dia berhasil membuat pergelangan kakiku sakit.
Kontan aku meringis.
"Lo gapapa?"
"Sakit."
"Biar gua bantu lo berdiri," ujarnya, "boleh, kan?"
Tidak kujawab, hanya kuberikan anggukan pelan sambil menahan sakit pada kakiku.
Dia mengulurkan tangannya terlebih dahulu. Kemudian, tangannya menuntun tanganku untuk dia rangkulkan pada bahu lebarnya.
"Coba dibawa jalan dulu."
Aku mencobanya, tetapi semakin sakit ketika kupaksakan kaki kanan yang keselo itu untuk menapak.
"Semakin sakit," kataku.
"Nggak ada cara lain."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments