Dia segera melepaskan rangkulan tanganku. Kemudian, berjongkok di hadapanku, juga menunjukkan punggung tingginya. "Ayo, naik saja, Nay."
"Kenapa aku harus?"
"Katamu barusan, kakimu semakin sakit kalo dibawa jalan."
"Aku nggak ingin."
"Jangan tinggikan egomu. Kakimu harus segera diobati, Nay."
"Pergi dan tolong panggilkan Radi untukku."
Radi. Hanya dia satu-satunya orang yang dapat aku percaya.
"Oke, gua akan panggil Radi, tapi setelah membawa lo ke UKS!"
Aku tidak setuju. Akan tetapi, laki-laki dengan wajah datar itu tiba-tiba menarik tanganku, lalu dia kalungkan pada lehernya. Dia memaksaku untuk digendongnya di punggung.
"Kamu ini ngapain, sih?" Aku berusaha berontak, tetapi langkahnya yang lebar, nyaris seperti berlari, membuatku kesulitan untuk melepaskan diri.
Mana dia tidak menjawab. Semakin bertambah kesal diriku kepada laki-laki ini.
"Kak, tolong periksa kakinya," ucap laki-laki jangkung itu kepada perawat ruang kesehatan.
"Kenapa kakinya?"
"Kakinya terkilir." Dia menatapku dengan tatapan yang tajam. "Gua pergi."
Dia menepati ucapannya. Setelah membawaku ke ruang kesehatan, Radi datang. Sayangnya, tidak tampak keberadaan laki-laki itu.
"Nay, lo baik-baik aja, kan?" Radi memeriksa wajah dan bagian tubuhku. "Si kulkas apain lo sampai dibawa ke UKS, hm?"
Aku tersenyum tipis. "Tadi di taman belakang, Naya injek sesuatu sampai jatuh. Naya nggak menduga kalau sampai keselo, Radi."
"Ya, ampun, Nay!" Radi terlihat sangat khawatir. "Si kulkas nggak apa-apain lo, kan?"
"Si kulkas siapa?"
"Si Jaeden-lah. Siapa lagi?" Radi menaikkan oktaf bicaranya. Artinya, Radi kesal. "Dia tiba-tiba gebrak pintu kelas kita dan panggil gua. Katanya lo ada di UKS."
"Naya cuman keseleo kok, Radi." Aku berhenti berbicara. Menatap Radi dengan serius. "Nama cowok itu Jaeden?"
Radi mengangguk, lalu dia meringis. "Ah, gua lupa!" Tiba-tiba dia berteriak seperti orang yang telah menyesal.
"Kenapa?"
"Seharusnya gua nggak sebut nama orang yang nggak lo suka. Salah satunya si kulkas." Radi meraih tanganku. "Sori, Nay. Radi janji nggak akan lupa lagi."
"Ada kesepakatan kayak gitu, ya?"
Radi tidak menjawab. Dia lamat menatapku dalam bisu. Namun, jemarinya tak henti berinteraksi dengan punggung tanganku. Dia mengusap lembut tanganku.
"Radi."
"Iya, Nay?"
"Tadi Naya tanya kenapa nggak dijawab?"
Radi menunduk. "Ada. Ada kesepakatan seperti itu di antara kita, Nay." Radi mengulas senyuman.
Aku terdiam. "Kenapa rasanya ada banyak yang Naya lewatin, ya?"
"Maksudnya apa?"
"Bukan apa-apa."
Radi mengenggam tanganku. "Selama dua minggu ini lo bolos dan nggak ada di rumah. Bunda bilang kalian liburan. Kenapa gua nggak diajak?"
Liburan. Tidak pernah ada yang seperti itu selama ini.
"Naya nggak tahu, Radi."
Kulihat mata Radi berkaca-kaca.
"Nay, sori. Radi nggak patuh sama permintaan Bang Nopan untuk jagain lo."
Aku mengusap kepala Radi. "Ih, Radi. Jangan bahas orang yang udah nggak ada dong. Naya nggak suka kalo Radi sedih, apalagi karena permintaan dari orang yang nggak bisa jagain Naya, karena dia pergi untuk selamanya."
"Nay, pokoknya jangan sampai lo kenapa-kenapa lagi. Mulai sekarang, kalo mau kemana-mana, lo harus sama gua."
"Naya nggak mau."
"Kenapa?"
"Radi sama temen-temen Radi tuh berisik!"
Radi menggaruk kepalanya. Mungkin dia tiba-tiba canggung.
"Naya gapapa kok. Radi nggak usah repot-repot bawa Naya kemana pun."
Setelah ucapanku, Radi tidak berbicara lagi.
"Radi, semalam Naya mimpiin itu lagi."
"Jatuh dari tebing?"
Aku mengangguk. "Selain itu, setelah mimpiin itu, Naya … bayangan tentang si kulkas."
"Apa?"
"Ada bayangan yang muncul dalam ingatan Naya tentang si kulkas."
Radi meremat tanganku. "Nay, nggak perlu diambil hati. Palingan bayangan itu cuman bagian dari mimpi buruk."
Radi benar.
"Hari ini jam kosong. Guru pada rapat untuk persiapan ujian kenaikan kelas."
"Kok udah kenaikan kelas?"
Rasanya baru kemarin aku masuk sebagai kelas sebelas.
"Lo sih yang banyak bolosnya, tapi yang gua herankan adalah …," ujar Radi.
Aku penasaran. "Apa?"
"Lo jarang masuk sekolah, tapi nilai lo nggak pernah anjlok. Nama lo selalu ada di urutan sepuluh besar, Nay."
"Udah, ah. Bahas rangking bikin Naya muak!"
Radi terkekeh. "Maafkan Radi, ya, Nay."
Setelah diobati dengan salep lebam, perawat sekolah segera membungkus pergelangan kakiku dengan perban. Usai sudah sesi pengobatannya.
Radi membawaku ke kelas kami. Dia satu-satunya orang yang dapat aku andalkan. Hanya Radi, karena dialah yang menangis untukku setelah ….
Ah, ingatan apa itu?
Kenapa Radi menangis untukku?
"Radi." Kuberanikan diri untuk berbicara kepada Radi tentang ingatanku. "Kenapa kamu menangis setelah sesuatu terjadi kepada Naya waktu itu?"
Radi yang membopong tubuhku seketika menghentikan langkahnya. Sontak aku juga menghentikan langkah.
"Naya?"
"Iya, Radi."
"Lo inget?"
Aku menggeleng. "Naya nggak tahu. Spontan aja teringat Radi yang menangis waktu itu."
"Waktu itu tepatnya kapan, Nay?"
Benar. Kapan Radi menangis untukku?
"Mungkin waktu Kak Nopan dimakamkan, kamu menangis untuk Naya," ucapku dengan ragu. "Apa mungkin Radi menangis untuk Kak Nopan?"
Radi terdiam. Dia juga kembali membopong tubuhku untuk berjalan.
Aku dan Radi sekelas. Hubungan kami lebih dekat dari sekadar teman sekelas. Ada hubungan darah, walau tidak ada darah Papa atau Bunda di tubuh Radi. Secara mudahnya, Radi adalah abang sepupuku. Kami bersepupu satu buyut.
"Terakhir kali Radi menangis untuk Naya itu belum lama kok." Tiba-tiba Radi berbicara.
Setelah berhasil membuatku duduk nyaman di bangku milikku, Radi berbicara. Kemudian, duduk di bangku yang ada di hadapanku.
"Radi menangis karena apa?"
"Bahagia."
Kucoba untuk mengingatnya. Nihil.
"Radi bohong, ya?"
Radi tersenyum, tetapi matanya memancarkan kesedihan. "Iya. Radi berbohong, karena kalau Radi jujur … takut, Nay."
"Kenapa harus takut?"
Radi menggeleng.
"Radi, apa yang terjadi sama Naya?"
"Lo belum diperbolehkan untuk ingat, Nay. Tuhan nggak mau lo ingat, makanya Tuhan ambil ingatan lo waktu itu."
"Kenapa juga Tuhan lakukan itu, Radi?"
"Lo inget nggak waktu kecil, kalo sesuatu yang terjadi sama kita tuh atas kehendak siapa?"
Tentu saja aku ingat. "Atas kehendak Tuhan." Namun, kurasa kali ini keterlaluan. "Walaupun Naya inget semua dan menderita karenanya, bukan berarti Tuhan berhak ngambil lagi apa yang udah dia berikan dong, Radi."
"Nay, Tuhan memberi, Tuhan mengambil. Ini semua tentang ujian. Kalo Tuhan ngasih berarti Dia tahu lo sanggup, maka sebaliknya."
Sungguh tidak adil!
"Naya pengen inget semuanya, Radi. Kenapa kayak ada sesuatu yang Naya lewatkan?"
Radi meraih tanganku seperti halnya ketika di ruang kesehatan. "Sabar, Nay."
Sepertinya, mimpi dan bayangan tentang Jaeden bukanlah kebetulan atau mimpi belaka.
Lantas, apa yang telah aku lewatkan?
Apa yang telah aku lupakan?
Teringat namanya yang begitu rupawan, membuat gemuruh aneh dalam ragaku.
Jaeden … Jaeden … Jaeden.
"Nena, Ginting, Leya, dan Jaeden." Ingatanku tiba-tiba menampilkan kejadian dalam mimpi buruk.
Tentang perjalanan di hutan belakang sekolah. Pepohonan rindang dan tinggi. Terjatuh dari jurang, dan Jaeden yang tampak mengkhawatirkanku.
"Radi, Naya bakalan berusaha untuk ingat lagi semuanya."
"Jangan memaksakan diri, Nay."
"Naya nggak peduli!" ungkapku agak marah. "Pokoknya Radi harus bantuin Naya!"
Kutatap Radi yang terlihat pasrah dengan rencanaku. Kemudian, dia bersuara lagi. "Radi nggak mau bilang hal ini, karena bakalan memengaruhi kamu, Nay."
Dahiku berkerut. Tanpa berkata, Radi sudah hapal dengan gelagatku. Penuh dengan tanya. Maka, Radi berkewajiban untuk menjelaskan kepadaku.
"Sayangnya, kamu sendiri yang paksa Radi untuk ungkap hal ini, Nay," tambahnya. Radi memasang raut wajah yang serius. Tidak seperti biasanya. Bahkan mungkin otot wajahnya membeku pada ekspresi wajah yang serupa dengan Jaeden. Datar.
"Kamu pernah alami kecelakaan sampai anfal, yang menyebabkan jati dirimu hilang."
Kuharap Radi berbohong. Dia pasti tengah bercanda.
"Bayangan tentang si kulkas yang seolah tolongin kamu di jurang?" ucapnya dengan tanda tanya di akhir. "Benar. Bukan sekedar mimpi belaka, Nay. Kalian bahkan lebih dari sekedar saling membenci."
"Apa maksud dari ucapan kamu barusan?" Ada gelenyar aneh dalam diriku. "Lebih dari sekedar saling membenci apanya? Siapa?"
"Radi udah cukup dalam berbicara. Sekarang giliran Radi yang tanya." Nada bicara Radi lebih tegas dari sebelumnya. "Ketika berhadapan sama si kulkas, Naya merasakan sesuatu, kan?"
Jelas aku tahu jawabannya, tetapi kenapa begitu berat untuk mengungkapkannya kepada Radi?
"Jadi, bayangan itu benaran pernah terjadi, ya, Radi?"
"Jangan mengalihkan topik pembicaraan kita, Nay!"
"Naya nggak berkenan untuk menjawab pertanyaan kamu, Radi!"
"Seharusnya kamu nggak bergaul dengan dia demi benda itu!"
"Apa yang Radi maksud?"
Laki-laki yang memiliki perawakan jangkung dan sedikit kurus itu beranjak dari bangku, lalu pergi meninggalkanku di kelas sepi ini.
Setelah kepergian Radi, aku sendirian di kelas.
Tiba-tiba, bayangan itu kembali muncul. Tentang Jaeden yang berusaha menyadarkanku dari sekarat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Diana Amalia
semangat up ya thor😃
mampir juga yuk ke novelku😁
2023-08-22
1