Jadi Istri Ke Dua Cinta Pertamaku
"Cepet dong melati!!!" Gibran berteriak seraya memanggil namaku dengan sebutan 'melati' itu tandanya dia sudah mulai kesal menungguku.
"Sabar dong bang!" Dan aku membalasnya dengan panggilan yang sudah pasti akan membuat Gibran semakin jengkel sambil berlari ke arahnya yang sudah menunggu di atas motornya agar kami bisa berangkat ke sekolah bersama.
"Abang-abang ... Emangnya gue Abang tukang ojek?"
"Ya siapa suruh panggil gue melati? Nama gue kan J.A.S.M.I.N.E a.k.a Jasmine, si cantik jelita yang gak ada dua."
"Bawel... Melati sama Jasmine kan sama aja."
"Beda!"
"Sama!"
"Dih ngotot."
"Bodo! Makanya kalau gak mau gue panggil Melati, gesit dikit dong!"
"Emangnya kalau melati itu lelet? Lo aja yang kecepetan datengnya. Seneng ya gonceng-gonceng cewe cantik kaya gue pagi-pagi gini?"
"Udah lelet, cerewet lagi."
"Biarin!"
"Dah pegangan?"
"Gak mau!"
"Ya udah!"
Aku nyaris terjatuh jika saja tanganku ini tidak cepat menangkap pinggan Gibran yang melajukan motornya dengan lebih cepat dari biasanya. Terkadang aku heran, dia ini pria, tapi suka sekali merajuk layaknya wanita yang sedang PMS dan tentunya aku menghukumnya dengan cubitan cukup kuat yang mampu membuatnya meringis.
"Auchh ... Sakit, Jasmine!"
"Siapa suruh ngebut?"
"Ya, siapa suruh gak mau pegangan?"
"Bukan muhrim!"
"Ya kan kita masih SMA jadi belum boleh nikah..."
Hubungan kami memang seperti ini, dibilang seperti musuh, tapi kami tidak terpisahkan.
Gibran adalah sahabat yang aku kenal mungkin sejak lahir? Karena dia satu tahun lebih tua dari ku, tapi dia selalu mengatakan kalau kami ini seumuran karena itulah dia selalu jengkel saat aku memanggilnya dengan panggilan "Abang", tapi aku juga jengkel setiap kali dia memanggilku "Melati". Ya, mungkin artinya sama dengan namaku, tapi aku lebih suka di panggil Jasmine. Namaku begitu indah dan keren.
Oh, ayolah... Tahun berapa sekarang? Apa dia gak tahu kalau nama Jasmine itu jauh lebih kece daripada Melati? Haha... Tidak, melati juga bagus, aku hanya lebih suka Jasmine karena itu nama pemberian ibuku sebelum ia meninggal setelah melahirkan aku.
Ada kalanya sikap dan ucapan Gibran membuat jantungku berdebar-debar, tapi aku tidak dapat mengartikannya mungkin karena aku masih begitu muda? Atau aku tidak berani untuk mengartikannya karena takut hubungan persahabatan kami akan rusak?
Entahlah, aku hanya ingin terus berada di momen seperti ini selamanya dengannya.
***
Kami tiba di sekolah tidak sampai dua puluh menit, bukan karena Gibran mengendarai motornya dengan kebut-kebutan, tapi karena jarak sekolah dari tempat tinggal kami memang tidak terlalu jauh.
Aku kemudian turun dari atas motor Gibran dan menunggu Gibran turun juga dari motornya agar kami bisa ke kelas bersama. Ya, setidaknya sampai di depan kelasku lebih dulu karena kelas Gibran kebetulan melewati kelasku.
"Masa buka helm aja gak bisa?" Gibran berdecak lagi dengan ketus. Jika saja wajahnya tidak tampan mungkin aku sudah mencubit bibirnya yang pedas itu, tapi aku merasa tidak tega membuat wajah tampan ciptaan Tuhan itu membengkak karena ulahku.
"Helmnya kegedean jadi susah."
"Makanya kalau punya muka jangan terlalu mungil."
"Kan imut ... " Aku sengaja mengedipkan mataku saat mengatakannya dan Gibran menanggapinya dengan ekspresi bergidik ngeri. Dasar! Padahal sudah banyak yang mengatakan kalau wajah ku ini imut, selalu terlihat lebih muda daripada usiaku sebenarnya, tapi Gibran tidak pernah mau mengakuinya.
"Dah, ayo!" ajak Gibran setelah selesai membuka helmku, tidak lupa ia juga menggandeng tanganku. Sempat ada masanya aku menolak digandeng dengannya. Selain karena aku sudah bukan lagi gadis berusia lima tahun yang akan tersesat di keramaian, salah satu alasannya karena dia memiliki banyak penggemar gila yang selalu diam-diam melirikku sinis bahkan bergunjing. Alasan lainnya, terkadang hatiku merasakan sensasi aneh yang sulit untuk aku jabarkan. Namun, Gibran akan sangat marah jika aku menolak menggandeng tangannya, dia bisa mengadu pada nenekku dan membuatku kena omel.
Kami kemudian melangkah bersama, momen-momen seperti ini membuatku terkadang merasa bangga karena memiliki sahabat tampan dan populer seperti Gibran karena aku juga ikut menjadi populer. Ya, walaupun dalam sisi negatifnya, tapi mereka tidak pernah berani benar-benar menggangguku karena Gibran tidak pernah meninggalkanku sendirian kecuali ketika kami berada di kelas masing-masing saat jam pelajaran telah dimulai. Tidak jarang, Gibran bahkan menungguku di depan pintu toilet dan melarang gadis-gadis lain masuk ke dalam toilet hingga aku selesai.
Pikirnya itu toilet pribadi!
Tingkahnya kadang berlebihan, tapi mau bagaimana lagi, aku terbiasa dengan segala tindakan posesifnya.
Itu berlangsung bahkan setelah dia lulus terlebih dahulu, tapi dia masih terus saja mengantarku ke sekolah meskipun kami masih sering bertengkar sepanjang jalan karena aku yang selalu lelet baginya padahal dia yang selalu datang lebih pagi ke rumahku agar bisa menyantap nasi goreng buatan nenekku.
Tidak jarang Gibran juga menjemput saat dia tidak sibuk dengan kuliahnya seperti sekarang ini.
"Lo kok gak bilang kalau mau jemput?" tanyaku yang terkejut melihatnya duduk menunggu di depan gerbang sekolah padahal aku sudah berjanji akan pulang bersama dengan temanku, Ruby. Kami berniat mampir ke toko buku sebentar untuk mencari bahan tugas yang sudah menumpuk mengingat ini tahun terakhirku menjadi murid SMA.
"Emangnya kapan gue pernah bilang kalau mau jemput lo?" Gibran menyahut tidak kalah galak dengan pertanyaan ku sebelumnya.
"Iya juga sih...," cicit ku pelan.
"Dia siapa? Pacar kamu?"
Aku dan Gibran sama-sama menoleh saat Ruby bertanya. Aku sampai lupa kalau dia bersamaku karena tidak pernah ada orang lain diantara aku dan Gibran sebelumnya.
"Bukan, dia cuma tetangga yang suka numpang makan di rumah nenek," jawab ku bergurau, tapi itu justru membuatku menerima tampilan di kepala dari Gibran.
"Sakit tau!" Aku protes, tapi Gibran tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun dan itu malah membuat Ruby tertawa.
"Kalian lucu deh, awas nanti jatuh cinta...," goda Ruby. Dia dengan mudahnya masuk ke dalam pembicaraan kami tanpa rasa canggung sedikitpun.
"Gak mungkin!" Gibran menjawab dengan cepat dan tegas membuatku cukup terkejut karena jawabannya membuat hatiku tiba-tiba saja merasa sesak.
"Gue Gibran, tetangga cewe gila ini."
"Aku Ruby, temen sebangku Jasmine."
Rasanya aneh, menyaksikan kedua sahabatku berkenalan sambil berjabat tangan di hadapanku seperti ini. Aku tidak mengerti, harusnya tidak ada yang salah dari perkenalan mereka hanya saja dadaku terus merasa sesak apalagi melihat mereka saling berbagi tatapan yang rasanya aku tidak pernah mendapatkan tatapan seperti itu dari Gibran.
***
Mereka dekat dengan mudah, aku tidak perlu berusaha untuk membuat mereka menjadi akrab karena mereka memiliki banyak kesamaan. Namun, hari liburku yang biasanya hanya ada Gibran kini menambah anggota baru yaitu Ruby.
Terkadang ada perasaan iri karena aku dan Gibran selalu memiliki minat yang bertentangan seperti dia menyukai sepak bola sementara aku suka bulutangkis, dia menyukai menggambar dan aku lebih suka menulis, dan dia lebih banyak diam sedangkan aku lebih banyak bicara. Karena kehadiran Ruby diantara kami, aku jadi semakin sadar kalau aku dan Gibran nyaris tidak cocok satu sama lain.
Namun, hubungan aku dan Gibran bertahan sejak kecil, kan? Aku tidak ingin merasa terganggu dengan hubungan mereka yang semakin dekat, tapi setiap kali kami kumpul bertiga, aku selalu merasa terasingkan karena topik pembicaraan yang tidak aku ketahui seperti sekarang mereka sedang membicarakan pemain bola yang baru saja di transfer ke klub lain dan aku hanya diam tanpa tahu siapa pemain yang mereka bicarakan.
Karena terus menerus merasa tidak diajak dalam pembicaraan mereka, aku memilih untuk ke dapur dengan alasan menyiapkan buah untuk camilan.
"Kamu kenapa, Nak?"
Aku menoleh saat mendengar suara nenekku yang kini berjalan mendekatiku, biasanya dia tidak pernah menghampiriku saat aku menghabiskan waktu seharian dengan Gibran, tapi kali ini nenek tidak pergi kemanapun dan terus berada di sekitar kami dan sesekali mengajakku bicara saat aku mulai merasa kesepian diantara percakapan Gibran dan Ruby yang tidak aku mengerti.
Apa mungkin karena selama ini aku hanya hidup dengan nenekku, dia jadi tahu kalau aku tidak merasa baik-baik saja sekarang?
Bahkan aku sudah menangis sebelum sempat menjawab.
"Kayaknya, Gibran nemuin sahabat yang lebih baik daripada aku, Nek ..."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Novita Dewi
posisi aku duluh juga seperti di cerita ini
2024-01-26
1
Mrlyn
Siapa yang sekarang lagi di posisi jasmine 😭😭😭😭
2023-10-26
0
Navalerie
relate sama cerita persahabatan sama sekarang
2023-10-26
1