"Cepet dong melati!!!" Gibran berteriak seraya memanggil namaku dengan sebutan 'melati' itu tandanya dia sudah mulai kesal menungguku.
"Sabar dong bang!" Dan aku membalasnya dengan panggilan yang sudah pasti akan membuat Gibran semakin jengkel sambil berlari ke arahnya yang sudah menunggu di atas motornya agar kami bisa berangkat ke sekolah bersama.
"Abang-abang ... Emangnya gue Abang tukang ojek?"
"Ya siapa suruh panggil gue melati? Nama gue kan J.A.S.M.I.N.E a.k.a Jasmine, si cantik jelita yang gak ada dua."
"Bawel... Melati sama Jasmine kan sama aja."
"Beda!"
"Sama!"
"Dih ngotot."
"Bodo! Makanya kalau gak mau gue panggil Melati, gesit dikit dong!"
"Emangnya kalau melati itu lelet? Lo aja yang kecepetan datengnya. Seneng ya gonceng-gonceng cewe cantik kaya gue pagi-pagi gini?"
"Udah lelet, cerewet lagi."
"Biarin!"
"Dah pegangan?"
"Gak mau!"
"Ya udah!"
Aku nyaris terjatuh jika saja tanganku ini tidak cepat menangkap pinggan Gibran yang melajukan motornya dengan lebih cepat dari biasanya. Terkadang aku heran, dia ini pria, tapi suka sekali merajuk layaknya wanita yang sedang PMS dan tentunya aku menghukumnya dengan cubitan cukup kuat yang mampu membuatnya meringis.
"Auchh ... Sakit, Jasmine!"
"Siapa suruh ngebut?"
"Ya, siapa suruh gak mau pegangan?"
"Bukan muhrim!"
"Ya kan kita masih SMA jadi belum boleh nikah..."
Hubungan kami memang seperti ini, dibilang seperti musuh, tapi kami tidak terpisahkan.
Gibran adalah sahabat yang aku kenal mungkin sejak lahir? Karena dia satu tahun lebih tua dari ku, tapi dia selalu mengatakan kalau kami ini seumuran karena itulah dia selalu jengkel saat aku memanggilnya dengan panggilan "Abang", tapi aku juga jengkel setiap kali dia memanggilku "Melati". Ya, mungkin artinya sama dengan namaku, tapi aku lebih suka di panggil Jasmine. Namaku begitu indah dan keren.
Oh, ayolah... Tahun berapa sekarang? Apa dia gak tahu kalau nama Jasmine itu jauh lebih kece daripada Melati? Haha... Tidak, melati juga bagus, aku hanya lebih suka Jasmine karena itu nama pemberian ibuku sebelum ia meninggal setelah melahirkan aku.
Ada kalanya sikap dan ucapan Gibran membuat jantungku berdebar-debar, tapi aku tidak dapat mengartikannya mungkin karena aku masih begitu muda? Atau aku tidak berani untuk mengartikannya karena takut hubungan persahabatan kami akan rusak?
Entahlah, aku hanya ingin terus berada di momen seperti ini selamanya dengannya.
***
Kami tiba di sekolah tidak sampai dua puluh menit, bukan karena Gibran mengendarai motornya dengan kebut-kebutan, tapi karena jarak sekolah dari tempat tinggal kami memang tidak terlalu jauh.
Aku kemudian turun dari atas motor Gibran dan menunggu Gibran turun juga dari motornya agar kami bisa ke kelas bersama. Ya, setidaknya sampai di depan kelasku lebih dulu karena kelas Gibran kebetulan melewati kelasku.
"Masa buka helm aja gak bisa?" Gibran berdecak lagi dengan ketus. Jika saja wajahnya tidak tampan mungkin aku sudah mencubit bibirnya yang pedas itu, tapi aku merasa tidak tega membuat wajah tampan ciptaan Tuhan itu membengkak karena ulahku.
"Helmnya kegedean jadi susah."
"Makanya kalau punya muka jangan terlalu mungil."
"Kan imut ... " Aku sengaja mengedipkan mataku saat mengatakannya dan Gibran menanggapinya dengan ekspresi bergidik ngeri. Dasar! Padahal sudah banyak yang mengatakan kalau wajah ku ini imut, selalu terlihat lebih muda daripada usiaku sebenarnya, tapi Gibran tidak pernah mau mengakuinya.
"Dah, ayo!" ajak Gibran setelah selesai membuka helmku, tidak lupa ia juga menggandeng tanganku. Sempat ada masanya aku menolak digandeng dengannya. Selain karena aku sudah bukan lagi gadis berusia lima tahun yang akan tersesat di keramaian, salah satu alasannya karena dia memiliki banyak penggemar gila yang selalu diam-diam melirikku sinis bahkan bergunjing. Alasan lainnya, terkadang hatiku merasakan sensasi aneh yang sulit untuk aku jabarkan. Namun, Gibran akan sangat marah jika aku menolak menggandeng tangannya, dia bisa mengadu pada nenekku dan membuatku kena omel.
Kami kemudian melangkah bersama, momen-momen seperti ini membuatku terkadang merasa bangga karena memiliki sahabat tampan dan populer seperti Gibran karena aku juga ikut menjadi populer. Ya, walaupun dalam sisi negatifnya, tapi mereka tidak pernah berani benar-benar menggangguku karena Gibran tidak pernah meninggalkanku sendirian kecuali ketika kami berada di kelas masing-masing saat jam pelajaran telah dimulai. Tidak jarang, Gibran bahkan menungguku di depan pintu toilet dan melarang gadis-gadis lain masuk ke dalam toilet hingga aku selesai.
Pikirnya itu toilet pribadi!
Tingkahnya kadang berlebihan, tapi mau bagaimana lagi, aku terbiasa dengan segala tindakan posesifnya.
Itu berlangsung bahkan setelah dia lulus terlebih dahulu, tapi dia masih terus saja mengantarku ke sekolah meskipun kami masih sering bertengkar sepanjang jalan karena aku yang selalu lelet baginya padahal dia yang selalu datang lebih pagi ke rumahku agar bisa menyantap nasi goreng buatan nenekku.
Tidak jarang Gibran juga menjemput saat dia tidak sibuk dengan kuliahnya seperti sekarang ini.
"Lo kok gak bilang kalau mau jemput?" tanyaku yang terkejut melihatnya duduk menunggu di depan gerbang sekolah padahal aku sudah berjanji akan pulang bersama dengan temanku, Ruby. Kami berniat mampir ke toko buku sebentar untuk mencari bahan tugas yang sudah menumpuk mengingat ini tahun terakhirku menjadi murid SMA.
"Emangnya kapan gue pernah bilang kalau mau jemput lo?" Gibran menyahut tidak kalah galak dengan pertanyaan ku sebelumnya.
"Iya juga sih...," cicit ku pelan.
"Dia siapa? Pacar kamu?"
Aku dan Gibran sama-sama menoleh saat Ruby bertanya. Aku sampai lupa kalau dia bersamaku karena tidak pernah ada orang lain diantara aku dan Gibran sebelumnya.
"Bukan, dia cuma tetangga yang suka numpang makan di rumah nenek," jawab ku bergurau, tapi itu justru membuatku menerima tampilan di kepala dari Gibran.
"Sakit tau!" Aku protes, tapi Gibran tidak terlihat merasa bersalah sedikitpun dan itu malah membuat Ruby tertawa.
"Kalian lucu deh, awas nanti jatuh cinta...," goda Ruby. Dia dengan mudahnya masuk ke dalam pembicaraan kami tanpa rasa canggung sedikitpun.
"Gak mungkin!" Gibran menjawab dengan cepat dan tegas membuatku cukup terkejut karena jawabannya membuat hatiku tiba-tiba saja merasa sesak.
"Gue Gibran, tetangga cewe gila ini."
"Aku Ruby, temen sebangku Jasmine."
Rasanya aneh, menyaksikan kedua sahabatku berkenalan sambil berjabat tangan di hadapanku seperti ini. Aku tidak mengerti, harusnya tidak ada yang salah dari perkenalan mereka hanya saja dadaku terus merasa sesak apalagi melihat mereka saling berbagi tatapan yang rasanya aku tidak pernah mendapatkan tatapan seperti itu dari Gibran.
***
Mereka dekat dengan mudah, aku tidak perlu berusaha untuk membuat mereka menjadi akrab karena mereka memiliki banyak kesamaan. Namun, hari liburku yang biasanya hanya ada Gibran kini menambah anggota baru yaitu Ruby.
Terkadang ada perasaan iri karena aku dan Gibran selalu memiliki minat yang bertentangan seperti dia menyukai sepak bola sementara aku suka bulutangkis, dia menyukai menggambar dan aku lebih suka menulis, dan dia lebih banyak diam sedangkan aku lebih banyak bicara. Karena kehadiran Ruby diantara kami, aku jadi semakin sadar kalau aku dan Gibran nyaris tidak cocok satu sama lain.
Namun, hubungan aku dan Gibran bertahan sejak kecil, kan? Aku tidak ingin merasa terganggu dengan hubungan mereka yang semakin dekat, tapi setiap kali kami kumpul bertiga, aku selalu merasa terasingkan karena topik pembicaraan yang tidak aku ketahui seperti sekarang mereka sedang membicarakan pemain bola yang baru saja di transfer ke klub lain dan aku hanya diam tanpa tahu siapa pemain yang mereka bicarakan.
Karena terus menerus merasa tidak diajak dalam pembicaraan mereka, aku memilih untuk ke dapur dengan alasan menyiapkan buah untuk camilan.
"Kamu kenapa, Nak?"
Aku menoleh saat mendengar suara nenekku yang kini berjalan mendekatiku, biasanya dia tidak pernah menghampiriku saat aku menghabiskan waktu seharian dengan Gibran, tapi kali ini nenek tidak pergi kemanapun dan terus berada di sekitar kami dan sesekali mengajakku bicara saat aku mulai merasa kesepian diantara percakapan Gibran dan Ruby yang tidak aku mengerti.
Apa mungkin karena selama ini aku hanya hidup dengan nenekku, dia jadi tahu kalau aku tidak merasa baik-baik saja sekarang?
Bahkan aku sudah menangis sebelum sempat menjawab.
"Kayaknya, Gibran nemuin sahabat yang lebih baik daripada aku, Nek ..."
***
"Kayaknya Gibran nemuin sahabat yang lebih baik dari aku, Nek ..."
Hatiku pilu mengatakannya, tapi nenekku menenangkanku dengan pelukannya sambil mengusap-usap punggungku.
"Nak, kamu mungkin hanya belum terbiasa ada orang lain di antara kamu dan mas Gibran," ucap nenekku yang berusaha menenangkan.
"Tapi Gibran gak ajak aku bicara dari tadi, Nek. Dia terus asik bicara sama Ruby, kalau Ruby gak coba ajak aku ngomong aku cuma bisa diam aja diantara mereka." Dan aku menanggapinya dengan sebuah rengekan menyesakan dada.
Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya, merasa menjadi seperti anak kecil yang terabaikan karena biasanya Gibran selalu mengisi kekosongan itu tiap kali aku merasa diabaikan.
"Coba kamu cari topik lain yang bisa kalian bahas bertiga." Nenekku memberi saran. Aku kemudian melepaskan pelukannya dan menyeka air mataku.
Sepertinya nenek benar, aku mungkin terlalu sensitif karena belum terbiasa dengan kehadiran Ruby, tapi Ruby adalah gadis yang baik, aku menyukainya hanya saja aku merasa terganggu setiap kali ia dan Gibran terlihat akrab.
Apa ini yang namanya cemburu? Tapi apa kata cemburu bisa ada dalam sebuah persahabatan?
Aku kemudian kembali ke ruang tamu di mana Gibran dan Ruby berada dengan membawa sekeranjang jeruk, tapi suara mereka tidak terdengar lagi atau mungkin aku terlalu lama di dapur? Aku hanya menunggu sebentar sampai kedua mataku tidak memerah lagi agar mereka tidak menyadari kalau aku habis menangis sekaligus mencari topik yang pas agar kami bertiga bisa mengobrol akrab tanpa ada yang merasa tersingkirkan.
Sekeranjang jeruk sudah aku letakkan di atas meja, anehnya mereka yang berisik kini menjadi sangat damai. Aku kemudian menoleh ke arah mereka berada tadi dan aku baru sadar jika mereka tertidur dengan posisi saling bersandar satu sama lain.
Kedua mataku memanas lagi, kenapa rasanya aku ingin menangis melihat pemandangan yang harusnya terlihat manis? Apa karena biasanya bahu itu adalah tempatku dan kini Ruby menempatinya?
Apa aku sungguh merasa cemburu? Tapi kenapa aku cemburu pada persahabatan sahabat-sahabat ku sendiri?
Aku berusaha untuk tidak mengikuti perasan ku yang kacau, aku berusaha untuk mengabaikan rasa sesak dalam hati ku yang terus mendesak ku untuk menangis.
Tapi kenapa tangan ku sampai gemetaran saat merapikan buku-buku kami diatas meja? Kenapa aku terguncang seperti ini?
Air mataku akhirnya menetes saat melihat buku gambar milik Gibran, biasanya satu sisi bukunya akan di isi oleh tulisanku sementara sisi yang lain akan di isi dengan gambar yang Gibran buat tapi tempat itu kini di isi oleh lukisan bunga dengan logo R sebagai penanda jika pelukis itu adalah Ruby.
"Jasmine?"
Aku langsung menyeka air mataku cepat-cepat, sebisa mungkin agar Gibran tidak menyadarinya.
"Apa?" Jawabku dengan nada ketus hanya agar suaraku tidak terdengar bergetar.
"Duduklah, di sini ..."
"Gak mau ah, sempit."
Aku hanya berusaha menghindar karena sepertinya Ruby masih tertidur sementara suara Gibran juga seperti orang yang sedang mengigau. Aku kemudian beranjak bangun, aku memutuskan untuk pergi tapi Gibran mencekal pergelangan tangan ku dan menahan langkah ku.
"Jangan bandel, lo kan selalu sakit kepala kalau gak tidur siang."
"Gue udah bukan bayi lagi."
Hanya dengan menjadi ketus aku bisa bertahan dari rasa sesak ini tapi Gibran tetap memaksa ku. Dia menarik pergelangan tanganku hingga akhirnya aku terjatuh duduk di sebelahnya.
"Ayo tidur ..." Gibran merangkulku, dia menyentuh kepalaku agar aku bersandar di bahunya lalu tangannya bergerak mengusap-usap puncak kepalaku.
Semua ini tidak terasa nyaman seperti hari-hari libur sebelumnya yang pernah kami lewati. Gibran mungkin mengusap-usap kepalaku dan menunjukkan kepeduliannya tapi kepalanya condong pada Ruby, itu artinya ia lebih menyukai dekat dengan Ruby kan?
Air mataku menetes lagi, aku menangis dalam diam. Aku ingin hari ini cepat berlalu agar aku hanya berdua dengan Gibran, berbicara sambil bertengkar di atas motornya dan memperebutkan masakan nenek saat kami pulang.
***
Sayangnya setelah hari Minggu itu, selalu ada Ruby dimanapun ada aku dan Gibran. Aku mencoba terbiasa dengan situasi ini dan seperti yang nenekku saran kan, aku selalu mencari topik pembicaraan yang cocok untuk kami bertiga tapi Gibran mulai mengganti motornya dengan mobil.
"Wow ... Wow ... Wow ... Sudah bukan Abang tukang ojek lagi tapi Abang tukang taksi?" Aku sengaja mengejek Gibran saat ia tiba di depan rumah ku dengan mobil barunya.
"Jangan bawel deh, dah ayo naik tar telat gue yang di salahin."
"Dih, siapa yang telat dateng emang?" cibirku, meskipun kami bertetangga tapi rumah Gibran berbeda blok dengan rumah ku jadi aku tidak bisa benar-benar memastikan dia sudah berangkat atau belum hanya saja dia akan selalu mengabari ku jika dia tidak sempat mengantar ku ke sekolah dan hari ini dia datang lebih telat tapi dia tidak mengatakan tidak bisa mengantar ku hari ini jadi aku tetap menunggunya walaupun aku nyaris telat.
"Eh ..."
Aku tertegun saat Gibran melarang ku membuka pintu depan.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Duduk di belakang aja ya ..."
"Dih, bener-bener mau jadi supir ya bang?"
Gibran hanya berdecak mendengar ucapan ku tapi karena ini adalah mobil Gibran aku tidak bisa memaksa untuk duduk di sebelahnya.
Aku kemudian memasuki mobil dan duduk di kursi belakang.
"Kejutan!!!"
Aku tertegun, aku mungkin terkejut, tapi kejutan ini tidak terasa menyenangkan bagiku.
"Ruby ..."
Aku sungguh kebingungan karena rumah Ruby berlawanan arah dengan komplek perumahan ini tapi dia sudah berada di dalam mobil Gibran dan duduk di sebelah Gibran. Apa itu artinya Gibran menjemput Ruby lebih dulu?
"Kasian Ruby katanya supir yang biasa anter dia lagi sakit jadi daripada dia naik angkot mending sekalian kita kan?"
Wow, aku tidak tahu Gibran bisa mengucapkan kalimat sepanjang itu dan bukan sebuah omelan melainkan sebuah ucapan yang terdengar penuh perhatian.
"Ya, gak apa-apa lah ..." aku menjawab dengan tersenyum, walaupun ada perasaan lain yang mengganjal hati ku tapi aku tetap menunjukkan senyuman ku, Ruby tidak bersalah atas apapun kegelisahan yang aku rasakan sekarang.
"Ayo kita berangkat!" Aku melihat Gibran bergerak mendekati Ruby, dia dulu selalu membantuku memasangkan pengait helm, tapi kini dia membantu Ruby memasangkan sabuk pengamannya.
Hatiku, sakit ...
Apa dalam persahabatan ada perasaan seperti ini juga?
Mereka berdua adalah dua orang sahabat terbaikku, tapi aku tidak suka ketika mereka bersama dan terlihat dekat seperti ini.
Namun, mereka terus menjadi dekat, hari ini adalah awal saat aku merasa Gibran menggeser posisiku, seperti posisi dudukku yang berada di belakang. Aku merasa Gibran mulai lebih mengutamakan Ruby daripada diriku.
Apa aku berbuat salah pada Gibran tanpa aku sadari hingga rasanya Gibran hanya melihat Ruby?
Retak, yang retak itu persahabatan kami atau justru perasaanku?
***
"Lo kenapa sih?"
Aku menoleh begitu mendengar suara Gibran setelah kami selesai mengantarkan Ruby pulang entah untuk yang keberapa kalinya karena Ruby bilang jika supir yang dulu selalu mengantar-jemput dirinya sudah lama sembuh, tapi dia masih tetap berangkat dan pulang sekolah bersama kami.
"Gue gak kenapa-kenapa kok," jawabku dengan malas. Iya, malas ... Gibran hanya bicara padaku setelah tidak ada Ruby padahal sebelumnya ia lebih sering mengajak Ruby bicara bahkan bercanda, dia mengikutsertakan aku dalam pembicaraan hanya ketika ia membutuhkan seseorang untuk membuat ucapannya lebih terdengar menyakinkan.
"Kalau gak kenapa-kenapa, kenapa lo diem aja?"
"Emangnya kita mau ngomongin apa sih? Kan kita gak punya hobi atau apapun yang sama-sama kita suka."
"Jangan cari ribut deh, Melati ..."
Aku menghela nafas saat dia mulai memanggilku dengan sebutan Melati, mungkin dulu aku akan menyalak dan protes padanya, tapi tidak untuk kali ini. Aku lelah, aku merasa dia hanya bicara denganku agar tidak jenuh.
Dan tepat saat mobil yang dikendarai Gibran berhenti di depan rumahku, aku langsung turun dari dalam mobil tanpa mengatakan apapun padanya.
"Jasmine ..."
Gibran memanggilku, tapi aku tidak menghiraukan panggilannya dan terus melangkah masuk.
"Jasmine, kamu kenapa? Mas Gibran manggil kamu kok jalan terus?" tegur Nenekku sambil menahan langkahku memasuki kamar.
"Aku cuma lagi gak mood, Nek ... Biarin aja Gibran, dia juga udah sering cuekin aku kok belakang ini."
Aku langsung memasuki kamarku dan membuang tasku ke sembarang arah. Dari luar aku mendengar suara Gibran dan Nenekku berbincang.
"Jasmine belakangan ini kok sering murung ya, Nek?"
Aku mendengarnya dengan hati-hati dari balik pintu. Apa dia sedang khawatir sekarang?
"Mungkin lagi PMS ..." Terdengar Nenekku menjawab, dia sudah menganggap Gibran adalah cucu pertamanya padahal aku adalah cucu satu-satunya dan terdengar jelas jika Nenek tidak ingin Gibran risau.
Tidak lama setelah itu terdengar suara ketukan pintu, dengan cepat aku berlari ke atas tempat tidurku dan menutupi setengah tubuhku dengan selimut.
"Jasmine, gue masuk ya?"
Aku tidak menjawab, tapi Gibran sudah sering masuk ke dalam kamarku dan mengambil buku-buku komik yang sengaja aku beli agar dia bisa membacanya karena kedua orangtua Gibran melarangnya membaca buku komik. Dan benar saja, terdengar suara pintu terbuka dan setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
Aku sengaja berbaring miring membelakangi jadi Gibran tidak akan bisa melihat ekspresiku sekarang.
Kurasakan Gibran duduk di tepi ranjangku, dia terdiam untuk sesaat lalu setelah itu dia membelai rambutku dengan lembut seperti apa yang selalu ia lakukan selama ini hanya saja sejak dia dan Ruby menjadi semakin dekat, dia tidak lagi melakukannya.
Sejujurnya aku merindukan tangannya yang mengusap-usap kepalaku seperti ini. Bukan tanpa alasan aku menyukai Gibran melakukannya karena dulu saat kecil aku selalu merasa iri saat melihat anak yang mendapat perhatian dari ayahnya. Bukan berarti aku tidak menginginkan perhatian dari ibuku, tapi karena dia meninggal sejak aku kecil, tahu kalau itu memang takdirku dan aku menerimanya dengan ikhlas. Hanya saja ayahku sudah tidak lagi menemui diriku sejak aku berusia lima tahun karena dia telah menikah lagi dan memiliki keluarga baru dan aku bukan bagian dari keluarganya dan disaat itulah Gibran selalu ada untukku, dia memelukku lalu mengusap puncak kepalaku setiap kali aku merasa buruk.
Seperti sekarang, dia melakukannya dan membuatku merasa lebih baik walaupun masih ada perasaan yang mengganjal dalam hati ku.
"Jasmine ..." Gibran memanggil lagi sambil terus mengusap-usap puncak kepala ku dan aku menjawab dengan singkat tanpa keramahan, "Apa?"
"Makan bareng yuk, laper nih ... Tuh, cium masakan nenek aromanya lezat banget."
"Lo makan aja sendiri."
"Gak asik kalau makan sendiri."
"Ya minta temenin aja sama Nenek ..."
Atau sama Ruby, ingin sekali aku menyindirnya seperti itu tapi aku takut membawa namanya akan membuat perasaanku semakin buruk.
"Jasmine ..." Sekarang Gibran mulai mengacak-acak rambut ku karena aku terus mengabaikannya.
"Nanti rambut gue kusut, Gibran!"
"Ya makanya ayo makan."
"Gue gak laper..."
"Bohong, Ruby tadi kirim pesan katanya lo gak makan apapun pas jam istirahat."
Oh, mereka bahkan sudah saling mengirim pesan di belakang ku? Padahal ada grup pesan kami bertiga, tapi tidak ada pesan masuk sama sekali di sana, aku mengira mungkin mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tapi ternyata mereka sibuk saling berbalas pesan tanpaku.
"Gibran, gue cape. Tolong jangan ganggu gue."
Tangan Gibran tiba-tiba saja berhenti mengusap kepalaku, dia terdengar menghela nafas berat lalu aku merasakan dia beranjak bangun dari atas tempat tidurku.
"Nanti telepon gue ya kalau udah ngerasa baikan,"
"Hem ..."
Aku tidak berani menolak karena takut dia marah dan akan membuat hubungan kami semakin menjauh, tapi aku juga tidak bisa mengiyakannya langsung karena hatiku merasa kacau sekarang.
"Gue pulang ya,"
Terdengar Gibran berkata sebelum ia menutup pintu kamarku.
Aku segera duduk dan turun dari atas tempat tidurku untuk mengintip kepergian Gibran dari balik jendela kamarku.
"Lo kenapa sih, Jasmine?" Aku mengeluh pada diriku sendiri sambil memukul-mukul dadaku yang terasa sesak.
***
Aku gelisah sepanjang hari dan memilih mengurung diri di dalam kamarku. Aku merasa tidak baik-baik saja, tapi aku menolak untuk mengakui jika penyebab kekacauan hatiku adalah kedekatan antara Gibran dan Ruby.
Bahkan menulis pun aku tidak bisa, pikiranku kacau. Aku menoleh ke arah kue dan susu yang sudah menjadi dingin pemberian Nenekku sore tadi yang tidak aku sentuh sama sekali.
"Tok ... tok ... tok ..."
Terdengar suara ketukan pintu, aku menoleh berbarengan dengan Gibran yang bergerak masuk.
"Masih sakit? Nenek bilang lo gak keluar kamar sama sekali," tanya Gibran sambil melangkah menghampiri, ia datang membawa piring berisi menu makan malam.
"Gue gak sakit kok cuma gak mood aja," jawabku yang memilih kembali fokus pada tulisanku walaupun aku tidak tahu apa yang sedang aku tulis.
Gibran kemudian duduk di sebelahku dan meletakkan piring yang ia bawa di atas meja belajarku.
"Masih aja coret-coret gak jelas kaya anak SD," cibir Gibran setelah mengintip ke dalam buku ku sehingga aku dengan cepat menutupnya.
"Kenapa sih?" tanya Gibran sekali lagi, tapi kali ini suaranya terdengar khawatir.
"Kenapa? Emangnya gue kenapa?"
"Gue kenal lo dari orok jadi gue tau banget kalo elo lagi gak baik-baik aja," ucap Gibran sambil mengacak-acak rambutku.
Aku hanya bisa menepis tangannya tanpa mengatakan apapun. Aku takut kalau aku tidak bisa menahan air mataku.
"Lagi PMS?" tanya Gibran lagi.
"Gak ..." Aku menjawab dengan singkat dan ketus.
"Terus kenapa? Lo kangen sama bapak lo?"
"Gibran sebenernya gue..."
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!