“Jasmine!!!” Teriakan itu terdengar lantang hingga membuatku terkejut. Aku kemudian mengangkat kepalaku dan melihat ke arah suara itu. Gibran datang dengan nafas yang terengah-engah dan raut wajah yang khawatir.
“Gue kira lo diculik Alien!” Itu adalah kalimat pertama yang ia ucapkan setelah berada di hadapanku. Sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan, Gibran duduk di kursi depan mejaku. Dia menghadap ke arahku dan menatapku walaupun ia terlihat ingin mengatakan banyak hal, tapi ia masih terus mengatur nafasnya.
“Kenapa lo pergi tanpa bilang? Lo tau gak, Nenek sama gue tuh panik nyariin lo!” Gibran langsung memarahiku setelah itu.
“Gue udah bilang kok sama Nenek kalo hari ini gue mau jalan lebih pagi.”
“Terus kenapa lo gak bilang sama gue?”
“Kenapa gue harus bilang?”
Gibran seketika tertegun mendengar jawabanku yang balik bertanya padanya dengan nada dingin.
Suasana menjadi semakin hening sekarang, bahkan suara angin yang berembus di luar jendela dapat terdengar memenuhi kekosongan kelas dimana hanya ada aku dan Gibran.
“Lo kenapa sih?” Sekali lagi Gibran bertanya, tapi kali ini tidak ada kemarahan di intonasi suaranya.
“Gak kenapa-napa kok,” jawabku yang merasa enggan menatap wajahnya.
“Jasmine …” Gibran menyentuh tanganku dan menggenggamnya erat, dia mungkin tidak sadar jika sentuhan kecilnya membuat hatiku bergetar pilu. Semakin pilu bila aku ingat perlakuannya padaku belakangan ini.
Asing, aku merasa kami perlahan-lahan menjadi orang asing, kedekatan yang terjalin sepanjang hidup kami seolah tidak pernah terjadi.
Aku malu untuk mengakuinya, harga diriku rasanya hancur jika aku harus mengatakan kalau, "Aku merasa kamu mengabaikanku semenjak ada Ruby".
Aku tidak bisa mengatakannya dan itu menyiksaku sekarang. Andai saja kamu tidak membuangku setelah mengenalnya maka jarak diantara kita tidak akan sebesar ini.
“Loh Gibran!”
Gibran segera menarik tangannya, dia melepaskan tangan ku begitu saja ketika Ruby datang. Sekali lagi aku merasakan itu, rasa sesak yang tidak bisa aku deskripsikan saat aku berada diantara mereka.
“Kok, kak Gibran bisa ada di kelas sih? Aku kira gak datang jemput karena ada kuliah pagi banget,” tanya Ruby yang langsung duduk di tempatnya, tepat di sebelahku dan langsung mengalihkan perhatian Gibran padanya.
Ada satu hal lagi yang menggangguku karena panggilan Ruby pada Gibran kini telah berubah menjadi, “Kak Gibran”. Panggilan itu terdengar manis, tapi membuat hatiku perih.
“Kenapa sih?” tanya Ruby lagi yang menyadari jika ada sesuatu yang berbeda dengan sikapku dan Gibran sekarang.
“Gak kenapa-napa kok,” jawabku tersenyum tipis pada Ruby.
“Kirain aku ganggu kalian. Beneran gak ganggu kan?” ucap Ruby memastikan dan aku menjawab dengan singkat, “Gak kok!”
“Terus kenapa kak Gibran yang ganteng ini diem aja? Kakak marah karena kemarin aku tiba-tiba batalin janji?”
Janji? Mereka memiliki janji tanpaku?
Rasanya aku tertarik kebelakang, ke sisi yang sangat gelap meninggalkan mereka berdua dalam cahaya yang sulit untuk aku masuki.
“Bukan kok, aku ngerti," jawab Gibran tersenyum lembut, nada suaranya juga terdengar lembut berbeda ketika ia sedang bicara padaku, selalu terdengar seperti sedang marah.
“Iya, padahal aku udah rapih. Eh Papa tiba-tiba pulang dari dinas jadinya aku gak bisa pergi soalnya Papa kan jarang pulang jadi kami manfaatin banget waktu selagi Papa di rumah,” jelas Ruby bercerita.
Ada sedikit rasa iri ketika Ruby menyinggung soal kedekatannya dengan ayahnya, dia memiliki hidup yang hampir sempurna, wajah cantik, kehidupan yang sejahtera bahkan terbilang kaya dengan keluarga yang hangat dan utuh, otak yang cerdas dan pria tampan yang menaruh perhatian padanya.
Aku menatap Gibran ketika memikirkan pria tampan yang memperhatikan Ruby karena gambaran itu terlihat jelas dari cara Gibran menatap Ruby sekarang.
Tanpa sengaja kedua mataku dan Gibran bertemu pandang. Dia terlihat merasa bersalah, tapi pandangannya dengan cepat segera teralihkan pada Ruby ketika Ruby tanpa ragu menyentuh punggung tangannya. “Lain kali aja ya?”
Gibran tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Sepertinya mereka berdua tidak berniat untuk mengajakku bergabung, tapi aku juga tidak bisa menghindari situasi yang menyesakkan ini karena tidak ingin terlihat menyedihkan jadi dengan hati yang berat, aku tetap berada di tengah-tengah mereka.
Setelah itu, Gibran berpamitan pergi karena dia tidak bisa terus menerus berada di sekolah meskipun ini adalah sekolah almamaternya.
“Nanti gue jemput, jangan pulang duluan sebelum gue jemput,” pesan Gibran padaku sebelum pergi dan Ruby dengan senang hati mengantar kepergiannya. Ruby terlihat seperti sedang mengantar suaminya yang akan pergi bekerja, dia tersenyum sangat manis hingga banyak siswa di kelas melirik Gibran dengan tatapan iri begitu juga sebaiknya.
Harus aku akui jika mereka berdua sangatlah serasi.
***
Waktu pulang akhirnya tiba, aku merasa malas keluar dari dalam kelas, tapi Ruby dengan sabar menunggu ku bahkan membantuku merapihkan alat tulisku dan memasukkannya ke dalam tasku.
“Terima kasih,” ucapku tersenyum tipis meskipun aku tidak menyukai kedekatannya dengan Gibran, tapi aku juga tidak bisa membenci Ruby, ini membuatku merasa semakin sulit.
“Kamu kenapa sih? Dari kemarin aku liat kamu gak semangat banget?” tanya Ruby saat kami mulai melangkah keluar kelas secara bersamaan.
“Gak kenapa-napa kok, cuma lagi males aja.”
“Bukan karena aku deket sama Gibran, kan?”
Langkah kakiku seketika terhenti ketika Ruby mengatakan hal yang rasanya langsung menusuk jantungku.
“Ngomong apa sih?” tanyaku yang berusaha untuk tetap terlihat tenang dan melanjutkan langkahku.
“Syukurlah, soalnya aku takut banget kalau gara-gara aku persahabatan kalian jadi rusak.”
“Kenapa bisa rusak? Kecuali lo manipulasi dia, hubungan gue sama Gibran akan tetep baik-baik aja.”
“Kamu kok ngomongnya gitu sih, aku janjian sama Gibran tanpa ngajak kamu soalnya kamu pernah bilang mau masuk universitas lain pas kuliah nanti terus aku emang udah ada rencana masuk universitas yang sama dengan Gibran jadi dia bilang bisa ajak aku liat-liat kampus sekalian cari-cari informasi,” jelas Ruby yang terlihat sedih ketika menjelaskan semuanya. Ia terlihat tidak ingin aku salah paham dan itu justru membuatku merasa bersalah karena sudah bersikap dingin padanya.
“Ya, makanya jangan tanya terus, gue kan udah bilang kalau gue gak kenapa-napa.”
Ruby seketika terdiam, aku tidak bisa mengekspresikan rasa bersalahku dengan benar sehingga aku malah bicara padanya dengan nada tinggi hingga semua siswa lain yang juga berada di lorong yang sama bersama kami langsung menatap ke arah kami dan memberikan tatapan sinis padaku yang sudah membentak Ruby. Gadis idola sekolah ini.
“Maaf, belakangan ini gue lagi cape karena harus persiapan ujian beasiswa,” ucapku menunduk menyesal dan menjadikan ujian beasiswa yang masih akan dimulai beberapa bulan lagi menjadi alasan karena aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya yang hanya akan menyakiti Ruby jika aku berkata dengan jujur kalau aku tidak menyukai kehadirannya di persahabatan ku dan Gibran.
Ruby kemudian melangkah mendekat, dia memelukku setelah itu membuatku merasa sangat terkejut. “Maaf ya, aku gak pengertian.”
Maaf, Ruby. Kamu terlalu baik untuk menerima kebencian tidak berdasar dariku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments