"Lo kenapa sih?"
Aku menoleh begitu mendengar suara Gibran setelah kami selesai mengantarkan Ruby pulang entah untuk yang keberapa kalinya karena Ruby bilang jika supir yang dulu selalu mengantar-jemput dirinya sudah lama sembuh, tapi dia masih tetap berangkat dan pulang sekolah bersama kami.
"Gue gak kenapa-kenapa kok," jawabku dengan malas. Iya, malas ... Gibran hanya bicara padaku setelah tidak ada Ruby padahal sebelumnya ia lebih sering mengajak Ruby bicara bahkan bercanda, dia mengikutsertakan aku dalam pembicaraan hanya ketika ia membutuhkan seseorang untuk membuat ucapannya lebih terdengar menyakinkan.
"Kalau gak kenapa-kenapa, kenapa lo diem aja?"
"Emangnya kita mau ngomongin apa sih? Kan kita gak punya hobi atau apapun yang sama-sama kita suka."
"Jangan cari ribut deh, Melati ..."
Aku menghela nafas saat dia mulai memanggilku dengan sebutan Melati, mungkin dulu aku akan menyalak dan protes padanya, tapi tidak untuk kali ini. Aku lelah, aku merasa dia hanya bicara denganku agar tidak jenuh.
Dan tepat saat mobil yang dikendarai Gibran berhenti di depan rumahku, aku langsung turun dari dalam mobil tanpa mengatakan apapun padanya.
"Jasmine ..."
Gibran memanggilku, tapi aku tidak menghiraukan panggilannya dan terus melangkah masuk.
"Jasmine, kamu kenapa? Mas Gibran manggil kamu kok jalan terus?" tegur Nenekku sambil menahan langkahku memasuki kamar.
"Aku cuma lagi gak mood, Nek ... Biarin aja Gibran, dia juga udah sering cuekin aku kok belakang ini."
Aku langsung memasuki kamarku dan membuang tasku ke sembarang arah. Dari luar aku mendengar suara Gibran dan Nenekku berbincang.
"Jasmine belakangan ini kok sering murung ya, Nek?"
Aku mendengarnya dengan hati-hati dari balik pintu. Apa dia sedang khawatir sekarang?
"Mungkin lagi PMS ..." Terdengar Nenekku menjawab, dia sudah menganggap Gibran adalah cucu pertamanya padahal aku adalah cucu satu-satunya dan terdengar jelas jika Nenek tidak ingin Gibran risau.
Tidak lama setelah itu terdengar suara ketukan pintu, dengan cepat aku berlari ke atas tempat tidurku dan menutupi setengah tubuhku dengan selimut.
"Jasmine, gue masuk ya?"
Aku tidak menjawab, tapi Gibran sudah sering masuk ke dalam kamarku dan mengambil buku-buku komik yang sengaja aku beli agar dia bisa membacanya karena kedua orangtua Gibran melarangnya membaca buku komik. Dan benar saja, terdengar suara pintu terbuka dan setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang mendekat.
Aku sengaja berbaring miring membelakangi jadi Gibran tidak akan bisa melihat ekspresiku sekarang.
Kurasakan Gibran duduk di tepi ranjangku, dia terdiam untuk sesaat lalu setelah itu dia membelai rambutku dengan lembut seperti apa yang selalu ia lakukan selama ini hanya saja sejak dia dan Ruby menjadi semakin dekat, dia tidak lagi melakukannya.
Sejujurnya aku merindukan tangannya yang mengusap-usap kepalaku seperti ini. Bukan tanpa alasan aku menyukai Gibran melakukannya karena dulu saat kecil aku selalu merasa iri saat melihat anak yang mendapat perhatian dari ayahnya. Bukan berarti aku tidak menginginkan perhatian dari ibuku, tapi karena dia meninggal sejak aku kecil, tahu kalau itu memang takdirku dan aku menerimanya dengan ikhlas. Hanya saja ayahku sudah tidak lagi menemui diriku sejak aku berusia lima tahun karena dia telah menikah lagi dan memiliki keluarga baru dan aku bukan bagian dari keluarganya dan disaat itulah Gibran selalu ada untukku, dia memelukku lalu mengusap puncak kepalaku setiap kali aku merasa buruk.
Seperti sekarang, dia melakukannya dan membuatku merasa lebih baik walaupun masih ada perasaan yang mengganjal dalam hati ku.
"Jasmine ..." Gibran memanggil lagi sambil terus mengusap-usap puncak kepala ku dan aku menjawab dengan singkat tanpa keramahan, "Apa?"
"Makan bareng yuk, laper nih ... Tuh, cium masakan nenek aromanya lezat banget."
"Lo makan aja sendiri."
"Gak asik kalau makan sendiri."
"Ya minta temenin aja sama Nenek ..."
Atau sama Ruby, ingin sekali aku menyindirnya seperti itu tapi aku takut membawa namanya akan membuat perasaanku semakin buruk.
"Jasmine ..." Sekarang Gibran mulai mengacak-acak rambut ku karena aku terus mengabaikannya.
"Nanti rambut gue kusut, Gibran!"
"Ya makanya ayo makan."
"Gue gak laper..."
"Bohong, Ruby tadi kirim pesan katanya lo gak makan apapun pas jam istirahat."
Oh, mereka bahkan sudah saling mengirim pesan di belakang ku? Padahal ada grup pesan kami bertiga, tapi tidak ada pesan masuk sama sekali di sana, aku mengira mungkin mereka sibuk dengan urusan masing-masing, tapi ternyata mereka sibuk saling berbalas pesan tanpaku.
"Gibran, gue cape. Tolong jangan ganggu gue."
Tangan Gibran tiba-tiba saja berhenti mengusap kepalaku, dia terdengar menghela nafas berat lalu aku merasakan dia beranjak bangun dari atas tempat tidurku.
"Nanti telepon gue ya kalau udah ngerasa baikan,"
"Hem ..."
Aku tidak berani menolak karena takut dia marah dan akan membuat hubungan kami semakin menjauh, tapi aku juga tidak bisa mengiyakannya langsung karena hatiku merasa kacau sekarang.
"Gue pulang ya,"
Terdengar Gibran berkata sebelum ia menutup pintu kamarku.
Aku segera duduk dan turun dari atas tempat tidurku untuk mengintip kepergian Gibran dari balik jendela kamarku.
"Lo kenapa sih, Jasmine?" Aku mengeluh pada diriku sendiri sambil memukul-mukul dadaku yang terasa sesak.
***
Aku gelisah sepanjang hari dan memilih mengurung diri di dalam kamarku. Aku merasa tidak baik-baik saja, tapi aku menolak untuk mengakui jika penyebab kekacauan hatiku adalah kedekatan antara Gibran dan Ruby.
Bahkan menulis pun aku tidak bisa, pikiranku kacau. Aku menoleh ke arah kue dan susu yang sudah menjadi dingin pemberian Nenekku sore tadi yang tidak aku sentuh sama sekali.
"Tok ... tok ... tok ..."
Terdengar suara ketukan pintu, aku menoleh berbarengan dengan Gibran yang bergerak masuk.
"Masih sakit? Nenek bilang lo gak keluar kamar sama sekali," tanya Gibran sambil melangkah menghampiri, ia datang membawa piring berisi menu makan malam.
"Gue gak sakit kok cuma gak mood aja," jawabku yang memilih kembali fokus pada tulisanku walaupun aku tidak tahu apa yang sedang aku tulis.
Gibran kemudian duduk di sebelahku dan meletakkan piring yang ia bawa di atas meja belajarku.
"Masih aja coret-coret gak jelas kaya anak SD," cibir Gibran setelah mengintip ke dalam buku ku sehingga aku dengan cepat menutupnya.
"Kenapa sih?" tanya Gibran sekali lagi, tapi kali ini suaranya terdengar khawatir.
"Kenapa? Emangnya gue kenapa?"
"Gue kenal lo dari orok jadi gue tau banget kalo elo lagi gak baik-baik aja," ucap Gibran sambil mengacak-acak rambutku.
Aku hanya bisa menepis tangannya tanpa mengatakan apapun. Aku takut kalau aku tidak bisa menahan air mataku.
"Lagi PMS?" tanya Gibran lagi.
"Gak ..." Aku menjawab dengan singkat dan ketus.
"Terus kenapa? Lo kangen sama bapak lo?"
"Gibran sebenernya gue..."
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments