Dia-log Skripsi
Anggita Dahniah, nama yang diberikan oleh ayahku. Ayah meninggal dunia ketika aku masih sekolah dasar. Ibuku tidak mencari sosok ayah baru untukku, karena menurutnya ayah selalu berada disisinya saat melakukan kewajiban jadi tulang punggung keluarga.
Ibu memperlakukanku dengan tegas, baik dari segi pendidikan, budi pekerti, agama dan sosial budaya. Saking tegasnya dengan pendidikan, aku mendapatkan beasiswa di Universitas Bintang Utara Yogyakarta dengan jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Beasiswa ini didapatkan ketika pihak sekolah mengajukan pendapat untuk masuk di universitas ternama melalui jalur undangan. Dibilang prestasiku cukup untuk masuk kesana hanya dengan nilai rapotku, dan bersyukurnya, aku di izinkan oleh ibu untuk melanjutkan pendidikan disana.
Satu hal yang aku pikirkan, bagaimana dengan ekonomi ibuku? Apakah cukup untuk berpendidikan disana?. Ibuku bukanlah manusia yang bergelimang harta, sedangkan untuk bertahan hidup, ibuku sampai banting tulang, apa aku tega dengan semua ini.
Suatu hari, rezeki tidak disangka-sangka datang. Pihak sekolah dengan antusias memberikan bantuan agar aku mahu melanjutkan pendidikan di pulau sebrang, dengan catatan jangan sampai putus sekolah, tanpa ragu aku menerima tantangan tersebut.
Aku harus meninggalkan ibu sendirian di tanah Karo. Perjuanganku harus bisa dibuktikan, bahwa ibuku hanya seorang petani biasa yang mampu membimbingku sampai sukses. Kenangan aktivitas hari-hariku terlintas saat ingin meninggalkan rumah, apakah aku akan mendapatkan rumah senyaman ini disana? See you again, rumah ku tercinta, tutur batinku.
Aku tidak tahu ada apa disana, apakah bara api yang akan aku genggam atau seperti untaian emas berlian yang aku harapkan. Tidak ada yang bisa diprediksikan tentang kehidupan seseorang, apalagi seseorang yang baru saja mulai berjalan keluar dari kandang rumahnya.
Masa orientasi pengenalan universitas diadakan tidak lama setelah aku datang ke Yogyakarta. Seperti biasa, para senior membentak junior untuk melakukan yang mereka inginkan, bernyanyi, meragakan binatang, diperintahkan akting, terdengarku suara lantam dari mereka. Padahal drama para senior itu hanyalah gertakan bagi yang tidak nurut dengan perkataan mereka dan itu semua adalah sketsa permainan mereka. Adiwijaya Pramuda, ketua panitia yang ketus saat berbicara, hidung mancung, alis tebal, mata tajam, perawakan yang wibawa. Satu fakultas mungkin mengenal dia sangat baik, tapi bagiku dia hanyalah manusia kulkas 7 pintu, karena dari tatapan mata tajamnya membuatku merinding.
Kirana Larisa, panggil dia Risa, dia adalah teman pertama serta teman sekamarku, dia kelahiran tanah minang dan juga merupakan mahasiswi yang sama sepertiku. Sejauh ini dia sangat baik padaku, perawakan yang dewasa seperti kakak bagiku. Ketika aku terkena culture shock, Risa-lah yang bisa membuat aku percaya diri lagi bahwa aku bisa berjuang sampai perasaan emas berlian itu aku genggam dengan tanganku sendiri. Aku dipersatukan dengan mahasiswa/i yang dominan tinggal sekitaran kota Yogyakarta, perawakan mereka sangat sopan santun, ramah tamah dan berhati lembut.
Hijab syar'i, Hidung mancung, mata lebar, kulit putih bersinar bagai pantulan sinar matahari yang menghiasi wajahnya. Meinizar Stefani, Aku terkecoh saat dia mendatangiku, di pikiranku apakah aku ada salah dengannya, apakah aku telah menyakiti hatinya dengan akhlakku, ternyata tidak, dia hanya ingin berteman denganku, menyapaku, dan berdialog denganku. Dia kelahiran tanah jawa asli Yogyakarta, dia sudah menikah namun belum dikaruniai anak, usia pernikahan mereka baru setahun. Aku terheran, mengapa dia sudah menikah ingin kuliah, bukankah sudah menikah itu lebih baik dirumah mengurus kenyamanan rumah tangga, bukankah permasalahan berumah tangga itu lebih sulit, tidak!, wanita ini tidak menganggapnya seperti itu, melainkan menikah atau belum menikah, bila kehendak ini diizinkan oleh Allah, dia dengan ikhlas akan menerima semua ujian apapun yang disanggupi dia. Bukankah Allah akan meletakkan ujian kepada hambanya sesuai dengan porsinya masing-masing?, Itulah jawaban yang terdengar ketika aku bertanya kepadanya. Sungguh mulia bukan?, Wanita berhati lembut, wajah dingin bagai pantulan air yang jernih, mata indah bagai pecahan beling kaca, bagaimana perasaan laki-laki yang bisa mendapatkan wanita sholehah ini?, Pasti dia adalah manusia yang paling bahagia didunia ini.
Hari pertama kuliah, aku dibanjiri dengan pertanyaan kenapa kamu bisa terdampar sampai sini? Apakah di tanah Karo semua orang disana suku karo? Kamu punya margakah?, Pertanyaan yang tidak perlu aku jawab, cukup senyumin dan menggeleng pelan tanpa berkata kebenaran disana seperti apa.
Langkah menyisir pria santai tepat didepan mataku, menyelipkan tas hitam diantara lengan kiri dengan punggung belakang, jaket jeans biru, tinggi semampai bagai pintu 2 m, hampir, tinggi dia sekitar 189 cm, kulit putih bersih, bola mata coklat berkaca, serta tangkai lolipop diantara dua bibirnya menambah kesan misterius, setiap mata mahasiswa/i dikelas tertuju padanya. Adiwijaya Arkhan, itulah namanya seperti golongan orang yang identik dengan orang berada dan terpandang.
Kesan pertama kali kuliah bukanlah hal yang mudah, aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kepada diriku sendiri. Aku bukannya tidak bisa, melainkan apakah aku akan bertahan hingga peluang emas itu aku genggam? Apakah aku baik-baik saja disini tanpa adanya sanak saudara satupun? Bagaimana keadaan ibuku yang sendirian? overthinking-ku mulai menyerang dengan impianku.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
Adiwijaya pramuda dan Adiwijaya Arkhan apkh beda org, thor?????
2024-02-06
0
Mukmini Salasiyanti
Assalamu'alaikum
mampir ya thor qu....
2024-02-06
0
Erni Fitriana
mampir
2024-01-28
0