NovelToon NovelToon

Dia-log Skripsi

1. Prolog

Anggita Dahniah, nama yang diberikan oleh ayahku. Ayah meninggal dunia ketika aku masih sekolah dasar. Ibuku tidak mencari sosok ayah baru untukku, karena menurutnya ayah selalu berada disisinya saat melakukan kewajiban jadi tulang punggung keluarga.

Ibu memperlakukanku dengan tegas, baik dari segi pendidikan, budi pekerti, agama dan sosial budaya. Saking tegasnya dengan pendidikan, aku mendapatkan beasiswa di Universitas Bintang Utara Yogyakarta dengan jurusan Pengembangan Masyarakat Islam. Beasiswa ini didapatkan ketika pihak sekolah mengajukan pendapat untuk masuk di universitas ternama melalui jalur undangan. Dibilang prestasiku cukup untuk masuk kesana hanya dengan nilai rapotku, dan bersyukurnya, aku di izinkan oleh ibu untuk melanjutkan pendidikan disana.

Satu hal yang aku pikirkan, bagaimana dengan ekonomi ibuku? Apakah cukup untuk berpendidikan disana?. Ibuku bukanlah manusia yang bergelimang harta, sedangkan untuk bertahan hidup, ibuku sampai banting tulang, apa aku tega dengan semua ini.

Suatu hari, rezeki tidak disangka-sangka datang. Pihak sekolah dengan antusias memberikan bantuan agar aku mahu melanjutkan pendidikan di pulau sebrang, dengan catatan jangan sampai putus sekolah, tanpa ragu aku menerima tantangan tersebut.

Aku harus meninggalkan ibu sendirian di tanah Karo. Perjuanganku harus bisa dibuktikan, bahwa ibuku hanya seorang petani biasa yang mampu membimbingku sampai sukses. Kenangan aktivitas hari-hariku terlintas saat ingin meninggalkan rumah, apakah aku akan mendapatkan rumah senyaman ini disana? See you again, rumah ku tercinta, tutur batinku.

Aku tidak tahu ada apa disana, apakah bara api yang akan aku genggam atau seperti untaian emas berlian yang aku harapkan. Tidak ada yang bisa diprediksikan tentang kehidupan seseorang, apalagi seseorang yang baru saja mulai berjalan keluar dari kandang rumahnya.

Masa orientasi pengenalan universitas diadakan tidak lama setelah aku datang ke Yogyakarta. Seperti biasa, para senior membentak junior untuk melakukan yang mereka inginkan, bernyanyi, meragakan binatang, diperintahkan akting, terdengarku suara lantam dari mereka. Padahal drama para senior itu hanyalah gertakan bagi yang tidak nurut dengan perkataan mereka dan itu semua adalah sketsa permainan mereka. Adiwijaya Pramuda, ketua panitia yang ketus saat berbicara, hidung mancung, alis tebal, mata tajam, perawakan yang wibawa. Satu fakultas mungkin mengenal dia sangat baik, tapi bagiku dia hanyalah manusia kulkas 7 pintu, karena dari tatapan mata tajamnya membuatku merinding.

Kirana Larisa, panggil dia Risa, dia adalah teman pertama serta teman sekamarku, dia kelahiran tanah minang dan juga merupakan mahasiswi yang sama sepertiku. Sejauh ini dia sangat baik padaku, perawakan yang dewasa seperti kakak bagiku. Ketika aku terkena culture shock, Risa-lah yang bisa membuat aku percaya diri lagi bahwa aku bisa berjuang sampai perasaan emas berlian itu aku genggam dengan tanganku sendiri. Aku dipersatukan dengan mahasiswa/i yang dominan tinggal sekitaran kota Yogyakarta, perawakan mereka sangat sopan santun, ramah tamah dan berhati lembut.

Hijab syar'i, Hidung mancung, mata lebar, kulit putih bersinar bagai pantulan sinar matahari yang  menghiasi wajahnya. Meinizar Stefani, Aku terkecoh saat dia mendatangiku, di pikiranku apakah aku ada salah dengannya, apakah aku telah menyakiti hatinya dengan akhlakku, ternyata tidak, dia hanya ingin berteman denganku, menyapaku, dan berdialog denganku. Dia kelahiran tanah jawa asli Yogyakarta, dia sudah menikah namun belum dikaruniai anak, usia pernikahan mereka baru setahun. Aku terheran, mengapa dia sudah menikah ingin kuliah, bukankah sudah menikah itu lebih baik dirumah mengurus kenyamanan rumah tangga, bukankah permasalahan berumah tangga itu lebih sulit, tidak!, wanita ini tidak menganggapnya seperti itu, melainkan menikah atau belum menikah, bila kehendak ini diizinkan oleh Allah, dia dengan ikhlas akan menerima semua ujian apapun yang disanggupi dia. Bukankah Allah akan meletakkan ujian kepada hambanya sesuai dengan porsinya masing-masing?, Itulah jawaban yang terdengar ketika aku bertanya kepadanya. Sungguh mulia bukan?, Wanita berhati lembut, wajah dingin bagai pantulan air yang jernih, mata indah bagai pecahan beling kaca, bagaimana perasaan laki-laki yang bisa mendapatkan wanita sholehah ini?, Pasti dia adalah manusia yang paling bahagia didunia ini.

Hari pertama kuliah, aku dibanjiri dengan pertanyaan kenapa kamu bisa terdampar sampai sini? Apakah di tanah Karo semua orang disana suku karo? Kamu punya margakah?, Pertanyaan yang tidak perlu aku jawab, cukup senyumin dan menggeleng pelan tanpa berkata kebenaran disana seperti apa.

Langkah menyisir pria santai tepat didepan mataku, menyelipkan tas hitam diantara lengan kiri dengan punggung belakang, jaket jeans biru, tinggi semampai bagai pintu 2 m, hampir, tinggi dia sekitar 189 cm, kulit putih bersih, bola mata coklat berkaca, serta tangkai lolipop diantara dua bibirnya menambah kesan misterius, setiap mata mahasiswa/i dikelas tertuju padanya. Adiwijaya Arkhan, itulah namanya seperti golongan orang yang identik dengan orang berada dan terpandang.

Kesan pertama kali kuliah bukanlah hal yang mudah, aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kepada diriku sendiri. Aku bukannya tidak bisa, melainkan apakah aku akan bertahan hingga peluang emas itu aku genggam? Apakah aku baik-baik saja disini tanpa adanya sanak saudara satupun? Bagaimana keadaan ibuku yang sendirian? overthinking-ku mulai menyerang dengan impianku.

***

2. Kulkas 7 Pintu?

Tahun telah berganti, kuliahku sangat aman-aman saja, selama 3 tahun ini tidak ada masalah yang begitu serius, namun ketika tiba di semester 7, aku belum siap secara psikis untuk menghadapi skripsi. Menurutku skripsi itu seperti membunuh mental secara perlahan, batin yang terkikis habis dan pikiran yang berperang satu sama lain, hingga bingung golongan pikiran yang mana akan menang. Egoku berkecamuk saat diberitakan dosen pembimbing skripsi yang tidak bisa diubah lagi, untuk hal ini aku tidak bisa menolak.

Risa berlari ke arah tempat bisnisku, sembari berkuliah, aku berbisnis makanan ringan ala masakan korea disekitaran kampus, dan omset saat ini sudah berjalan 2 cabang ditempat yang berbeda. " Anggita! Giittt...!", Aku menoleh ke suara Risa. "Kamu dapat dobing 1 (dosen pembimbing 1) Prof. Ali Mukti, dan dobing 2 bapak Adiwijaya Pramuda" suara Risa terengah-engah mengatur napas.

Aku memang lagi sibuk saat itu, hingga aku meminta Risa untuk melihat siapa yang menjadi dobing-ku. "Bapak Adiwijaya Pramuda siapa? Seperti tidak asing namanya, kayaknya pernah masuk kelas kita ya?" Pertanyaan lugu ku untuk mengingat lintasan masa lalu.

"Bagaimana kamu bisa lupa? Bapak yang mengajarkan mata kuliah manajemen SDM" lugas Risa. "Saking penuhnya kapasitas memori penyimpanan dipikiran kamu, jadinya sering lupa, pantesan kamu masih jomblo terus, jomblo ngenes" nyinyir Risa sedikit tersenyum.

"Daripada kamu, gamon-in orang gak jelas" tegas ku. "Dobing-mu siapa?" pertanyaan singkatku dengan nada datar.

"Dobing 1 Prof, Zainal, dan dobing 2 siapa lagi kalo bukan pak Iskandar. Ahh, aku senang sekali! Bagaikan bunga bermekaran mendukungku sepenuhnya, matahari yang hangat melindungi ku dari dinginnya kulkas 7 pintu seperti pak Pramuda. Aku kepadamu pak Iskandar, emmuach" kegirangan Risa hingga semua mata orang yang di kantin kampus tertuju padanya.

"Sejak kapan kamu seperti ini Risa? Kegirangan tidak jelas" tukas aku sembari lirik Risa.

"Ihh, hati lagi senang juga! Inner child dikeluarkan sedikit dilarang apa!, setidaknya aku tidak kayak kamu, yang mementingkan bisnis saja, A-n-g-g-i-t-a!" ujar Risa dengan pembelaan pada dirinya sendiri.

"Dihh" timpal nada ringanku dengan mata fokus meracik dagangan.

Tatapan tajam Risa ke meja makan, nasi lengkap dengan lauk serta lalapan yang menggiurkan, Risa langsung duduk dan menyantap tanpa berpikir panjang, suapan pertama ke mulutnya, aku dengan tegas mengatakan "Dari mantan kamu itu!" dengan mata yang masih terfokus pada bumbu dagangan.

Reaksi Risa tersedak hingga sulit bernapas, dia melangkah cepat untuk mengambil segelas air putih, meneguk air habis tak bersisa.

"Kenapa kamu tidak bilang? Tau tadi kan tidak jadi aku makan!" desak Risa sambil mengatur napas.

"Dia beri khusus untuk kamu, ya aku biarkan dulu disitu, karena sibuk menata bisnisku, baru diantarnya sebelum kamu kesini, jadi tidak lama dibiarkan nasinya" jelas ku sambil melirik sesekali ke arah Risa.

"Buat apa juga dia beri ini? Tidak sudi aku makannya!" celoteh Risa menggangguku, aku langsung membalas perkataannya agar dia paham bahwa perkataan dia tidak baik diucapkan.

"Tidak baik menolak pemberian rezeki dari orang, apalagi menghina makanan, kamu juga lapar kan? Ya dimakan lah, kalau kamu tidak mau, ya biar aku makan nanti. Lagian banyak di luaran sana yang mati kelaparan, kamu tidak malu?" penjelasan yang mungkin cukup untuk di sadarkan olehnya.

"Iya-iya, aku makan!" nada pelan Risa.

"Lagian juga, kalau masih saling sayang, balikan aja lagi, kenapa harus mengorbankan perasaan, agar terlihat baik-baik saja?" ujar protes ku sembari balik badan yang menggenggam pisau.

"Kamu tuh ya, jangan nasehati aku kalau belum pernah pacaran, boro-boro pacaran, deketi cowo aja, cowonya yang minder, hahaha" ejek Risa tanpa ragu.

"Tidak level bagiku pacar-pacaran" cetus ku naikan harga diri.

"Halah!" remeh Risa dengan wajah sepele.

"Sudahlah, aku mau beli sate dulu, jaga bisnis aku sebentar" pintaku sambil beranjak dari tempat awal.

"Minumannya nona" tiba-tiba suara Zibran mantan Risa, menyodorkan es lemon tea ke Risa saat menyendok makanan.

Risa terpaku menatap Zibran.

"Risa?" panggilan Zibran dengan terheran.

"Aku tidak minta" cetus Risa.

"Baiklah, akan aku bawa kembali" singkat Zibran.

"Ehh, jangan jangan! Orang sudah memberi, kok malah diambil lagi, rese tau!" rengekan Risa dengan pipi kemerahan.

Zibran tersenyum tipis.

"Cie-cie, cinta bersemi kembali" ejek ku kepada mereka.

"Dia sama gue? End Anggita!, sudah tidak punya urusan apa-apa lagi" tegas Risa didepan Zibran.

"Yakin tidak punya urusan lagi? Kalau aku sih, bersyukur kali dapat perlakuan di ratu kan oleh pangeran" jelas ku.

Zibran tertawa lepas.

Risa dan aku menatap tajam kepada Zibran.

"Hahaha, maaf, maaf, lanjutkan lah makannya, aku kembali dulu ya" sahut Zibran dengan meninggalkan jejak misterius.

"Lihatlah, maksudnya apa dengan perlakuan dia seperti itu?, Gitu kamu bilang pangeran, nol besar Anggita" cetus Risa.

Aku tersenyum tipis.

"Oiya Risa, gimana keadaan Meinizar dan ibu mertuanya?"

"Aku belum dapat kabar Git" jawabnya sambil menyuap makanan ke mulutnya.

Meinizar tidak datang saat pembagian dosen pembimbing dikarenakan mertua perempuannya sakit, aku tidak tahu penyakit apa, namun membuat Meinizar sampai kewalahan untuk merawat Ibu suaminya. Suaminya sibuk dengan bertanggung jawab untuk membiayai dan menafkahi ibu serta istrinya. Keadaan ekonomi mereka dibilang berkecukupan, namun biaya pengobatan ibunya diluar nalar membuat mereka mencari pinjaman kesana kemari. Rasa ibaku sedikit membantu mereka, namun belum sepenuhnya tertutupi, dan selebihnya aku hanya bisa berdoa untuk kebaikan mereka. Keluarga mereka terbilang harmonis, paham agama yang mereka pegang sangat kuat dan aura amalan yang mereka panjatkan terpancar dari tubuh mereka. Ujian yang mereka hadapi sangatlah menguras tenaga, dan mereka harus terima keadaan dan bersyukur atas nikmat yang diberi dari-Nya.

3. Perkara Judul Skripsi

Di hari berikutnya, aku duduk termenung tersentak dalam atma yang hening, dengan berfikir bagaimana mempersiapkan mentalku agar menghadapi skripsi tidak menguras batin ku. Jiwa meronta ku merajalela tanpa dipinta, pikiranku terfokus pada renungan sulitnya memikirkan judul untuk skripsi. Sering aku menjodohkan sebab-akibat rumusan masalah, tapi tetap saja terhentikan oleh kurangnya percaya diri. Aku mulai frustasi, tapi harus bisa. Mood yang sering berubah dan hilangnya pemikiran yang diselimuti tabu untuk jangan melakukan riset pada aliran ingatan ilmu, membuatku duduk berdiam lemah dengan tatapan mata kosong.

Di semester 7 ini sebenarnya ada mata kuliah wajib, tetapi aku sudah mengambil di semester sebelumnya karena nilaiku stabil dan tidak ada pengulangan mata kuliah yang lainnya, jadi di semester 7 ini hanya fokus pada penyusunan skripsi begitu juga dengan Risa dan Meinizar.

Aliran ide cemerlang mulai menjalar di saraf otakku, bibirku bergerak dengan nada pelan "Pemberdayaan wanita terhadap lingkungan masyarakat? Dinas ketenagakerjaan terhadap industri home made kripik pisang? Dinas sosial terhadap sosial media? Dinas kedinasan terhadap gerakan warga Indonesia? Ahh makin ngarang buat judul" namun dari pemikiran itu malah membuatku tidak bisa tenang, mereka berperan aktif di kapasitas memori.

Risa yang diam-diam berada di belakang ku "Dor" aksi tangan dan bibirnya membuatku jantungan.

"Astaghfirullah, Risa! Hobi kali kejutkan orang, lagi sibuk juga!" kesal ku sembari gerakkan badan ke arahnya.

"Halah! Sibuk ngapain kamu, orang duduk manis meratapi keluhan sampai pelanggan memanggil kamu malah tidak kamu tanggapi" celoteh Risa dengan tatapan tajam, menggerakkan tangan untuk kacak pinggang bagai Ibu yang memarahi anaknya sendiri.

"Belum ada pelanggan kok..." sahutku dengan pede-nya menegakkan kepala menatap Risa lebih dingin.

"Jadi makhluk yang di sebelah steling kamu ini apa? Makhluk halus?" cerewet Risa kepada Anggita sembari menunjukkan mbak-mbak yang berdiri menunggu antrian.

Aku hanya memiringkan kepala karena pandangan tertutupi oleh badan Risa, dan dilanjutkan arah pandang Risa ke arah pelanggan.

Antusias Risa untuk membantuku muncul, dia berbalik badan, melangkah, hingga menyapa mereka "Hehe, maaf ya kak, kakak sudah nunggu lama?" nada sopan Risa dengan sedikit membungkukkan badan.

"Tidak lama kok, kak" mbak berjilbab hitam menjawab dengan nada ramah.

Risa tersenyum tipis dan mengatakan "Kakak ingin mesan apa?" sembari tangan menyiapkan mangkuk beserta sendok jepitan yang tergenggam di tangan kanannya.

Pelanggan itu menunjukkan makanan frozen satu persatu yang tersusun rapi di steling, tugas Risa memasukkan makanan yang telah dipilih pelanggan dan memasaknya dengan kuah yang diracik bumbu khas dari tangan ku sendiri. Dari bumbu racikannya sampai saat ini belum ada yang bisa menyamakan rasa ciri khasnya.

Aku tanpa berbicara langsung berdiri dan membantu Risa yang menyiapkan pesanan pelanggan. Risa sering membantuku, bahkan tangan dia lebih aktif dibandingkan aku, tangan yang cekatan dan teliti, tanpa melihat, Risa hapal luar kepala tata letak berbagai macam makanan frozen yang ada didepannya lalu menyiram kuah dengan porsi yang pas.

"Kamu itu kenapa sih, kenapa melamun, merenungi apa? Nasib?, Seharusnya kamu itu bersyukur. Kamu orang yang kuat, dan tidak mementingkan apa yang tidak penting, lagian omset kamu melambung tinggi, orang kepercayaan kamu selalu ada bila dibutuhkan, apa yang kamu pikirkan lagi?" cerewet Risa sembari menyiapkan semua pesanan tanpa melihatku yang disampingnya.

"Aku mikirkan skripsi loh Risa! Aku bingung dengan judul skripsi ku, tidak mungkin aku buat dengan insting saja, apalagi ini adalah tugas akhirku, aku harus maksimal mengerjakannya" keluhku dengan nada datar.

"Gampang kalo skripsi Gita! Tinggal request sama joki skripsi" saran sesat Risa tidak karuan sambil melangkah untuk duduk setelah pesanan pelanggan sudah siap semua.

"Jadi apa gunanya kuliah kalau ngejoki sama orang? Semua jadi sia-sia apa yang telah dipelajari selama kuliah" jawabku berbalik badan menghadap Risa.

"Hmm?" Risa berfikir sesaat sembari mata yang menandakan untuk berfikir, "Tuk nyari jodoh mungkin" tanpa bersalah Risa melanjutkan perkataannya.

"Pikiran kamu ya Risa! Perlu di reset ulang itu" tegas ku memalingkan badan ke arah steling dagangan.

"Hehe" cengir Risa tanpa bersalah.

"Aku bingung dengan judul skripsi, menurutmu mana yang terlihat sebab-akibat yang cocok. Pemberdayaan wanita terhadap lingkungan masyarakat atau dinas sosial terhadap sosial media?" lugas aku memberikan pilihan judul skripsi sembari mengambil air minum dan duduk di hadapannya.

"Aduh Anggita, kamu tidak salah menanyakan hal itu? Kamu itu lebih pintar dari aku. Kamu kan suka berbisnis, coba sangkut pautkan dengan aktivitas hari-harimu agar lebih nyaman buat skripsi, gimana kalau perkembangan UMKM terhadap bisnis kamu dan kaitkan lah itu dengan jurusan kita, pengembangan masyarakat Islam, misalnya perkembangan Inflasi mata uang terhadap manajemen bisnis kamu kepada masyarakat. Kan bisa juga itu" penjelasan Risa dengan teliti yang menyadarkan pemikiranku.

"Tapi judul seperti itu tujuannya ke jurusan manajemen bisnis Risa, bukan jurusan kita" argumenku.

"Iya juga sih, ya sudah kamu cari dulu refrensi di google, mana tahu dapat pencerahan kan" arahan Risa yang cukup memungkinkan dengan mata santai dan bahu kanan agak naik sedikit menambah kesan meyakinkan.

"Baiklah, oiya jadwal aku besok bimbingan dengan pak Pram, aku belum ada persiapan lagi!" keluhku yang tidak akan menyelesaikan masalah dengan mata yang khawatir.

"Hayo lah, banyak baca sholawat saat jumpa bapak itu Gita, dan banyak refrensi juga, kamu harus pahami latar belakang rumusan masalahnya, karna banyak dari kawan kita judul skripsi mereka ditolak perkara tidak cocok dengan x terhadap y" jelas Risa yang menakuti mentalku.

"X terhadap y? Maksudnya gimana?" tanyaku dengan lugu.

"Anggita, kan sudah dijelasin di mata kuliah metodologi skripsi, itu rumus untuk mencari judul skripsi" jelas Risa dengan tangan yang meraih air minum lalu meminumnya. "Lebih singkatnya sih, judul itu kan ada beberapa variabel, namun di kita itu 2 variabel cukup untuk skripsi. Ibaratnya "x" sama dengan variabel yang bebas, dan "y" itu variabel yang terikat, lebih ke masalah yang ingin kita tuju. Misalnya dinas ketenagakerjaan terhadap manajemen pemasaran pada industri home made kripik pisang, variabel "x" adalah dinas ketenagakerjaan, dan variabel "y" itu pada manajemen pemasarannya" hardik Risa dengan nada penjelasan yang datar sembari untuk memahamkan penjelasan dengan peragakan tangan.

"Ohhh..." dengan mulutku yang membulatkan bibir dan bernada panjang, sembari mengangguk menandakan paham dengan Risa katakan. "Tapikan Risa, judul yang kamu contohkan itu bukan jurusan kita kan?" pertanyaan polos ku yang membuat Risa melemaskan badannya.

"Astaghfirullah Anggita, kan sudah aku jelaskan dengan kata misalnya, berartikan bisa saja contoh judul yang bukan jurusan kita" jawaban Risa yang memelas karena pertanyaanku.

Pria yang berdiri di sebelah steling dengan melipatkan kedua tangan sedang memantau reaksi kami, mata yang dingin, baju kemeja yang terbuka, kaos hitam untuk menyelimuti badan, celana jens yang khas dengan warna biru pudar. Mata Risa yang melirik kepadaku untuk memberitahukan keberadaan Arga di samping steling dagangan, aku langsung memutarkan badan 90 derajat untuk memastikannya.

"Sini" sapaku dengan ramah sembari tangan melambai.

Jatuhan tangan Arga dan langkah kakinya menghampiri kami serta menarik kursi plastik yang disediakan lalu duduk di sebelah ku.

"Kamu sudah lama berdiri disitu?" tanyaku dengan nada datar serta mataku melirik ke matanya, pemandangan saling tatapan satu sama lain terjadi.

Risa hanya melihat aksi kami dan tersenyum lembut.

"Cuma sebentar" singkat Arga sembari memalingkan pandangan, batinnya meronta astaghfirullah, bahwa pandangan itu belum halal baginya. "kalian bahas apa? Sepertinya serius kali" ujarnya dengan mata terfokus pada gelas bening yang di hadapanku.

"Tentang judul skripsi" singkat Risa dengan nada datar dan lirikan mata yang tertuju pada wajah Arga "Skripsi kamu sudah sampai mana?" pertanyaan polos dari Risa membuat raut wajah Arga memelas.

"Jangan tanyakan itu Risa, kamu akan mengerti saat memperjuangkan skripsi" ujar Arga sedikit cemberut.

"Tapi masih semangat kan?" potong pembicaraanku kepada Arga. "Apa pake joki orang?" pertanyaanku yang mungkin menambah beban pikirannya.

"Astaghfirullah Anggita!" tandas Arga untuk menyadarkan pertanyaanku, "Sejatuh-jatuhnya psikis aku, jangan sampai ada yang campur tangan di dalam skripsi ku" rengek Arga memperjelas keyakinannya untuk sanggup mengerjakan skripsi.

"Hahaha" aku dan Risa tertawa lepas karena menggoda pemikiran Arga yang lebih condong serius.

"Ingat umur Arga, kawanmu udah pada mau nikah" lanjut Risa untuk menggoda lebih dalam.

"Sudahlah Risa, seharusnya aku yang bilang gitu ke kamu" balas Arga untuk membalikkan fakta.

"Hahaha, kalau aku nanti dulu lah, lagian belum nampak hilalnya" jawab Risa dengan nada datar dan mengayunkan tangan mengabarkan jangan dulu untuk nikah muda.

Aku membeo tertawa ikuti irama Risa. Arga hanya tersenyum lepas dan melihatku. Mata coklatnya berbinar seolah wajahku bagaikan keindahan alam semesta. Padahal wajahku standar pada umumnya, punya mata, hidung, bola mata coklat, kelopak mata, punya alis, bibir merah merona dan lengkap pada wajarnya.

"Gimana laporannya pak "Manajer"?" terang pertanyaan ku untuk membangkitkan suasana sembari memandang separuh wajah Arga.

"Untuk laporan minggu ini, aman terkendali semua, pelanggan naik walaupun angkanya tidak berbeda jauh" jelas Arga sambil mengambil hp di kantong celana kanannya. "Grafiknya sudah aku buat, dari bulan lalu peningkatannya lumayan, 5 %" jelas Arga sambil mencari file grafik di hp nya. "Ini pergerakan grafiknya" tutur Arga yang menyodorkan gambar grafik padaku dan Risa.

Aku dan Risa memfokuskan penglihatan pada lingkaran grafik lalu menganggukkan kepala.

"Untuk 5 % lumayanlah, Alhamdulillah" ucap syukurku atas perjuangan membangun bisnis bersama orang kepercayaan dan tulus membantu.

"Tapi ada kendala juga Anggita" gumam Arga bernada pelan dengan wajah memelas, "Persaingan kita makin ketat dengan pebisnis yang lain. Apakah kita harus ber-inovasi secepatnya?, Atau menurunkan harga agar banyak pelanggan?" usaha saran Arga untuk meningkatkan konsumen.

"Opp, pelan-pelan pak supir..." ucapku sedikit menghibur Arga. "Tenangkan diri dulu, tidak semua bisnis bisa di selesaikan dengan inovasi" jelas ku untuk meyakinkan pikirannya, "Adakalanya kita untuk ber-inovasi, dan adakalanya kita tidak harus ber-inovasi. Contoh saat ini, hanya karena pesaing yang bertambah pesat, untuk solusi ini kita memakai hukum alam saja, ada kualitas maka ada harga, karena, jika kita menurunkan harga maka konsumen mengonsumsi karena harganya murah, bukan karena ada kualitas yang pas sesuai harga. Padahal kita mementingkan kualitas dari pada harga pesaing." penjelasanku yang membuat Arga dan Risa terpaku mencoba untuk mencerna dari perkataanku. Aku tersadar dengan terdiam nya mereka "Intinya untuk saat ini harga dan kualitas di pertahankan dulu" singkatku untuk menyadarkan mereka.

"Oh..." serentak Risa dan Arga.

"Kita fokus pada bisnis kita, rezeki sudah ada yang ngatur dan tidak pernah tertukar" semangatku untuk membangkitkan semangat mereka. "Kita pasti bisa, untuk kedepannya kamu sering laporan saja, oke" ucapku mengarah wajah Arga untuk meyakinkan monitoring bisnisku.

Risa dan Arga hanya mengangguk pelan tanpa berkata.

Arga Wijayanto adalah mahasiswa akhir semester 9, jurusan teknik industri. Aku mengenalnya ketika dompet dia ketinggalan di masjid universitas dan tertera KTP serta lengkap data diri, saat itu aku semester 2. Singkat cerita, aku bisa menemukan dia dan mengembalikan dompetnya ketika dia lagi memakai sepatu di masjid yang sama, setelah pertemuan itu, aku dan Risa sering berpapasan saat sholat sehingga akhirnya dia menjadi salah satu orang kepercayaanku untuk monitoring bisnis aku di semua omset.

Selama bekerjasama dengannya omset aku membaik dan terarah. Walaupun dia jurusan teknik industri, tapi pada bidang manajemen bisnis dialah ahlinya, tanpa dia mungkin omsetku belum sampai seperti ini. Tugasku di bisnis hanya mengarahkan pengelolaan bukan untuk memanajemennya. Sistem program manajemen bisnis, ku serahkan semuanya kepada Arga, dan Arga menerimanya dengan senang hati. Dia bisa memanage antara waktu untuk kuliah dan monitoring bisnis, karena bagi dia itu adalah kerjaan yang dia suka.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!