Matahari mulai meredupkan cahayanya, awan berkumpul dan langit sedikit menjadi gelap. Tadi pagi bercahaya, menjelang siang sedikit redup seperti itulah langit diciptakan-Nya, kita tidak tahu yang terjadi sedetikpun kedepannya, semoga hari ini dapat kabar gembira gumamku sedikit. Aku menuruni anak tangga didepan teras gedung, yang ku dapati ialah mahasiswa/i yang sibuk dengan aktivitas masing-masing, ada yang berjalan membawa banyak buku sampai kewalahan, ada yang bawa tas bagai kura-kura, ada yang berjalan sambil bergosip, dan ada juga yang beranjak pergi dengan mengendarai kereta/mobil.
Tanpa sadar, aku melangkah sudah mendekati koridor kantin, riuh suasana kantin yang membuatku ingin terfokus pada stelingku. Pandangan yang ku dapati ialah Risa yang duduk sendirian dan dia fokus pada hp di tangan kirinya sedangkan tangan kanan melurus sebagai bantal kepala.
"Wayo! Ngapain!" serang ku kepada Risa dengan nada keras, tangan kanan menepuk pundaknya.
"Apaan si Gita!, Orang lagi pw juga!" gerutu Risa dengan bibir mungilnya dan berusaha bangkit. "Lagian juga, gak bisa pelan-pelan apa? Main kejutin aja" kesel Risa menyandarkan kepalanya kembali di atas meja dan menggenggam hp scroll sosmed. (pw; posisi enak).
"Iya, iya, maaf, lagi kenapa? Ada apa? Sini cerita" rayuanku agar Risa mau bangkit kembali, dan aku mencari posisi duduk yang pas.
"Lagi pms nih, hari pertama" rengekannya dengan nada kesal, rasa sakit senggugut merengguti perutnya, ia berusaha mengangkat badan tidak seberapa beratnya.
"Ohh..." cibirku dengan membulatkan bibir. "Oiya, Meinizar mana nih, tak terlihat batang hidungnya akhir-akhir ini" heran ku sambil meraih gelas dan teko.
"Sebentar lagi mungkin datang" jawab Risa nada pelan dengan melemaskan badan. "Acc?" singkat Risa nada samar-samar meletakkan hp di atas meja, tangannya meraih gelas ke arahku yang memegang teko.
"Kamu kok bisa tahu? Dia ngechat kamu?" heran ku.
"Kan aku bilang mungkin, artinya bisa datang atau bisa tidak datang" celetuk Risa.
"Datang? Pak Pram mau ngapain datang kemari?" tanyaku heran mengerutkan dahi.
"Astaghfirullah Anggita" hela napas Risa sedikit diatur agar tidak meledak, "kamu tadi nanya Meinizar kan? Ya aku jawab "sebentar lagi mungkin datang"" jelas Risa dengan menahan emosinya. Tolong ya Anggita jangan mengundang emosi.
"Oh..." pahamku membulatkan bibir dengan nada panjang.
"Lagaknya kamu yang kenapa Anggita, sampai susah fokus gitu" tanya Risa dengan heran, karena jarang kali aku seperti ini kecuali kalau ada hal yang membuatku panik.
"Aku? Ada apa denganku? Baik-baik saja kok" sanggah ku dengan penasaran terhadap diri sendiri dan mencoba untuk berfikir, "Oiya, ada pula dosen yang seperti itu ya?" pertanyaanku yang membuat Risa bingung.
"Dosennya yang gimana maksud kamu?" jawab Risa dengan menimpalinya kembali.
"Dosen yang membiarkan anak bimbingannya tersesat dalam pikiran" sungut ku menatap wajah Risa.
"Ha? Maksud kamu gimana, yang jelaslah Gita!" pinta Risa dengan rada emosi.
"Dih, mentang-mentang pms, naik pitam terus" ledekanku menyambar. Aku menceritakan kejadian dari awal hingga Pram meninggalkan ku. Tidak satu pun terlupakan termasuk Arkhan yang menyuruhku untuk masuk ke ruangan.
"Rese juga ya pak Pram itu, untung aku bukan anak bimbingannya" membela dirinya sendiri, "Lalu tulisannya gimana? Kamu abaikan saja? Nanti bapak itu tanya, kamu tidak bisa menjawabnya" ujar Risa untuk mewanti-wanti agar aku selamat dari manusia kulkas 7 pintu itu.
"Mungkin bisa tanya kepada Arkhan, Arkhan kan juga anak bimbingan pak Pram" polos ku.
"Iya sih" singkat Risa arah mata yang melirik notifikasi hpnya. "Oiya juga, bukannya Arkhan itu adiknya pak Pram ya?" tanya Risa menepuk lengan ku.
"Apa iya?, Tapi nama mereka juga sama ada Adiwijaya nya"
"Iya juga sih, tapi wajah mereka dan fisiknya berbeda, tidak ada mirip-mirip nya" keraguan Risa yang membuat fakta tidak jelas.
"Iya kan!" cibir ku sembari memasang wajah sumringah bahwa pernyataan itu benar. "Perawakannya juga beda, Arkhan lebih lembut walau terlihat cuek, kalau pak Pram dari wajahnya terlihat sangar dan dingin banget dari auranya, apalagi saat dia bicara kepadaku, antara lembut sama membingungkan mangsa gitu, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata lah pokoknya!" jelas ku membicarakan tutur kata Pram saat bimbingan, padahal aku menjelaskannya tidak secara menganalisa lebih dalam tentangnya.
"Kabarnya kan, bapak itu mau menikah Git" bisik Risa melirik kanan kiri, wajahnya berusaha untuk mendekati telingaku.
"Bukannya sudah menikah ya? Soalnya di meja bapak ada bingkai foto setapak tangan dewasa" bisikku membeo dengan wajah sedikit serius, menutupi gerak gerik isyarat berbicara.
"Ehh iya?" rasa penasaran Risa, "Mungkin isi fotonya calon pasangan bapak itu" nada penasaran Risa yang ingin menggali informasi lebih dalam.
"Tadi saat bimbingan, tidak sengaja terlihat wallpaper hp bapak itu, seperti foto wanita, tapi samar-samar wajahnya" iringan bisik ku menambah suasana lebih nyaman untuk mengghibah.
"Wahh, kok tidak diperhatikan lebih dalam lagi, katanya calon bapak itu mahasiswi sini" dengan mudahnya Risa membeberkan bumbu gosip.
"Masa? Jurusan apa? Semester berapa dia Risa?" menimpali pertanyaan Risa.
"Hayo... menggosip!" tiba-tiba suara lantam dari wanita bercadar menghampiri, aku tersentak kaget, baju yang tertutup seluruh badan dengan sempurna berkacak pinggang dan bola mata yang sedikit membesar.
Ada pula wanita bercadar mengejutkan sesama hambaNya, suara yang membuat ku dan Risa bergegas untuk sadarkan diri.
"Hehe" serentak kami cengengesan bubar formasi tanpa curiga sedikitpun siapa wanita bercadar ini.
"Maaf kak, kak mau mesan apa?" sahut ku mencairkan suasana yang sedikit menghimbau.
"Oiya dek, mau mesan waktunya, boleh?" dengan mudahnya ia mengucap.
Seorang wanita yang tidak dikenal, meminta waktu kami? Apa anak semester tua ya? Tapi segitunya kah untuk memenuhi data sampel skripsi? Apa yang bisa digali dari informasi pengetahuan kami yang masih sebesar biji sawi ini bila memang iya.
"Oh, boleh kak, silakan duduk kak" ramah Risa sambil menyingkap kursi plastik.
"Terima kasih" jawab wanita cadar, "Cerita apa tadi?" bukannya ini sudah sebatas teman akrab bila bertanya seperti ini?, Apa maksudnya ini?.
Bibir mungil Risa bergerak "Maaf sebelumnya, kakak siapa ya? Sangat familiar di mata kami" dengan rasa canggung mengikuti suasana setiap detiknya.
Apa aku jahili mereka saja ya? Seru juga tuh, batin Mei mulai menggoda, tapi perkataannya tidak sesuai dengan hatinya.
"Ini aku, Meinizar!" nada sarkas nya yang khas sambil menyeringai dibalik cadarnya.
Berasa tersambar petir di siang bolong, seorang Meinizar pakai cadar, Why?!, tidak apa-apa sih, baik untuknya, tapi kan alasannya membuat kami penasaran.
Aku, Risa hanya diam terpaku tanpa seribu bahasa, mata kami mengitari tubuh Mei dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Yang terlihat bedakan hanya cadar saja, selebihnya seperti biasa dipakai hari-hari kuliah" lirih Mei menenangkan suasana. "Jadi, cerita apa tadi?" gumam Mei yang penasaran.
Aku masih membisu dengan cadar Mei, ada apa gerangan, tidak percaya apa yang digunakan Mei. Aku paham, Mei sangat dalam dengan pemahaman agama, namun bercadar bukanlah hal yang mudah kan, lantas harus menumbuhkan rasa cinta bercadar terlebih dahulu baru hati bergerak untuk istiqamah, dan ujian di universitas ini banyak jika memakai cadar, karena ada juga dosen yang tidak memperdulikan anak bimbingan perkara ia memakai cadar.
"Dosen pembimbing Anggita, rese keknya bapak itu" sahut Risa memperdulikan perasaan aku saat bimbingan sama Pram.
"Siapa? Pak Pram?" singkat Mei.
"Iya, gosipnya bapak itu mau nikah ya?" pernyataan Risa menyambar seperti api yang berkobar.
"Belum, masih mencari pasangan bapak itu" jawab Mei dengan menyanggah pernyataan dengan ringannya.
Lagi-lagi tersambar petir terjadi, Mei, kenapa kamu bisa tahu?, Jangan bilang kamu tetangganya pak Pram, tidak kan Mei?, nada batinku menerka, yang benar saja, seperti begituan engkau paham Mei.
Mata Risa yang sendu kini menatap Mei mendelik tajam, tersenyum kecut, "Ahh, Mei, diam-diam menghanyutkan, bahaya!" ucapan bibir cantik Risa yang menyerang perkataan Mei.
"Opp, tenang, wahai wanita muda. Pak Pram itu abang sepupu aku, dia kadang curhat sedikit mengenai wanita, jadi ya wajarlah aku bisa paham keadaannya" dengan tenang Mei menjawab pertanyaan dari sahabat karibnya, padahal Mei ingin sekali membongkar rahasia dibalik sifat Pram yang bagaimana. "Tenang frend, aku tidak mau membuka aib abang sepupu ku, yang pasti dia belum menikah, dan belum punya pasangan, sekian dan terima kasih atas perhatiannya" delik perkataan Mei membuat Risa tertegun keras apa yang barusan dikatakan.
"Wahh, minta bergelut argumen nampaknya" tidak bisa dibiarkan Mei membungkam rahasia sifat Pram, Risa mengeluarkan kata pamungkas agar Mei mengungkapkan aib itu segera memperlihatkan pesonanya.
"Maaf saudari seperjuangan ku, informasi ini di segel 100 persen" tanpa sebab Mei menghindari perdebatan tentang sepupunya itu.
"Yahh" saking ingin dengar aibnya Pram terbongkar, sampai mereka memelaskan badan.
"Iya deh iya" Risa menyerah mendapatkan informasi yang hot itu.
Di balik cadar, Mei hanya tersenyum lepas dan menghiraukan keinginan Risa.
"Bagaimana dengan kondisi ibu mertua mu? Sudah bisa berjalan atau melakukan aktivitas yang lainnya?" aku menimpali pertanyaan lain.
"Alhamdulillah, dengan banyaknya kemoterapi, dan segala terapi yang dilakukan, sudah pulih kembali seperti semula"
"Alhamdulillah, udah bisa senam aerobik lah ya"
"Ya kali Gita!, Itu membunuh secara tidak langsung atau gimana?" perlawanan Mei dengan mengataiku.
"Hehe, maaf, kan badan jadi lebih sehat"
"Ya iya, tapikan tidak gitu juga konsepnya" iya kali langsung bisa senam aerobik, untuk berjalan saja masih tergopoh-gopoh, strategi secara halus untuk membunuh itu mah, hasil menyeka Mei dalam batinnya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
senam aerobik?????
Astaghfirulloh...
Anda kocak sekali, Git....
wah Gita anak Karo yaa.
salken deh dr anak Medan...
☺😆
2024-02-06
0